Anak yang Berbicara Seperti Langit
Oleh: Juri Porseni Pildacil Kab. Banyuwangi
Malam itu saya mendengar kabar baik. Satu lagi anak Banyuwangi naik ke podium. Juara dua lomba pidato da’i cilik Porseni Madrasah ibtidaiyah tingkat provinsi Jawa Timur. Saya lupa namanya. Tapi saya ingat betul bagaimana naskah pidatonya dulu sempat saya tengok dan bantu sedikit memperhalus isinya. Ia putri kecil dari Madrasah Ibtidaiyah, entah dari kecamatan mana. Saya tidak hafal. Tapi saya tahu suaranya telah menyentuh langit.
Dalam hati saya menggumam: anak-anak seperti inilah yang kelak akan menjadi penyampai kebenaran. Mereka akan tumbuh, dan bila dunia tidak terlalu jahat padanya, mereka akan menyampaikan kebaikan kepada siapa saja yang masih sudi duduk dan mendengar.
Saya bukan guru. Bukan pula pendidik. Anak itu bukan anak kandung saya, bukan murid saya, bahkan saya hanya sekali bertemu dengannya saat menjadi juri lomba. Tapi anehnya, saya merasa bangga seperti seorang ayah yang mendengar anaknya naik mimbar masjid besar dan disimak oleh ratusan orang. Perasaan ini datang begitu saja, seperti angin yang tahu kapan harus menyejukkan.
Saya beberapa kali menjadi juri dalam lomba semacam itu. Pildacil. Bahasa Indonesianya: pidato da’i cilik. Biasanya digelar di aula Kemenag atau aula madrasah yang kursinya masih dilapisi plastik. Dari pagi sampai zuhur, bahkan kadang melewati adzan asar. Pesertanya lebih dari lima puluh. Masing-masing kecamatan mengirimkan satu, kadang dua anak. Semuanya menghafal, pernah ada yang menangis ketika tidak juara. Sebagian berdiri dengan percaya diri seperti sudah pernah menjadi khatib Jumat di Masjid Istiqlal.
Sebagai juri, kami menilai dengan angka dan catatan. Tapi yang paling saya suka adalah bagian mencatat. Karena angka hanya mewakili hasil, sementara catatan menyimpan kemungkinan. Catatan itulah yang bisa menjadi bahan perbaikan. “Suara bagus, intonasi perlu diperhatikan.” Atau: “Isi menyentuh, perlu perbanyak contoh aktual.” Dan: “Coba dikurangi bagian meniru ustaz kondang, biar lebih alami.” Catatan itu semacam doa-doa kecil yang kita titipkan agar kelak ia menemukan jalannya sendiri dalam berdakwah.
Biasanya setelah seleksi kabupaten selesai, panitia akan kembali menghubungi kami, para juri. Bukan untuk memberi hadiah. Tapi untuk satu tugas tambahan yang tidak dibayar: membantu merevisi naskah pidato anak yang akan maju ke tingkat provinsi. Saya tidak keberatan. Bahkan saya menikmatinya.
Tentu saya tidak mengubah semua. Hanya menyisipkan kejujuran-kejujuran kecil. Menata ulang metafora. Membuang kalimat-kalimat yang terasa seperti hasil unduhan Google. Dan, yang terpenting, saya mencoba membayangkan anak itu membacakannya.
Saya bayangkan: bagaimana suaranya? Bagaimana sorot matanya? Seberapa tinggi badannya? Bagaimana dia mengangkat tangannya untuk menekankan kalimat “Wahai umat Islam yang saya cintai”? Kadang saya bertanya kepada guru pendampingnya: “Anak ini kalau sedih seperti apa wajahnya?” Karena dengan itu saya bisa menyisipkan rasa dalam tulisannya. Karena pidato bukan sekadar bacaan. Ia adalah perasaan yang dibentuk menjadi suara.
Dulu saya pernah menyusun naskah pidato untuk lomba remaja masjid tingkat kabupaten. Yang membacakannya anak SMA. Saya sendiri yang menyusun. Anak itu tidak menang. Tapi panitia memberi pengumuman khusus: naskah pidato terbaik tahun itu adalah yang dibawakan oleh anak kami. Saya hanya senyum. Rasanya seperti menang tapi tidak ikut lari.
Saya memang tidak jago berpidato. Saya lebih senang menyusun kata-kata di kertas, daripada menyampaikannya dengan suara. Saya percaya bahwa tidak semua yang bisa menulis harus bisa bicara. Dan tidak semua yang bisa bicara harus pandai menyusun kata. Kadang yang satu menulis dan yang lain menyuarakan. Dunia ini bisa lebih adil jika dua itu saling percaya dan tidak saling menuntut.
Anak-anak sekarang sering menyusun pidato dengan cara yang ajaib: menyalin dari internet. Saya tahu. Karena pernah saya temukan tiga peserta lomba yang membawa naskah pidato yang sama. Hanya nama madrasahnya yang diubah. Itu sebabnya saya tidak pernah mengambil bahan dari internet. Saya lebih percaya pada pengalaman, dan pada rasa.
Ketika saya menyusun naskah, saya membayangkan saya adalah anak itu. Saya menjadi lidahnya. Saya memakai pecinya. Saya berdiri di mimbar. Saya menatap hadirin. Dan saya tahu saya harus bicara dari hati.
Saya percaya, pidato yang bagus tidak harus panjang. Tapi harus menyentuh. Tidak harus berteriak-teriak. Tapi harus sampai. Anak-anak itu seperti air jernih. Bila naskahnya kotor, airnya keruh. Bila naskahnya jernih, airnya memantulkan cahaya langit.
Dan anak itu, si juara dua dari Banyuwangi itu, telah membuktikan bahwa cahaya bisa dipantulkan bahkan dari suara kecil seorang da’i cilik. Ia berdiri di podium provinsi. Membaca naskah yang ia hafalkan, yang sebagian saya bantu tulis. Ia menyuarakan sesuatu yang jauh lebih besar dari tubuhnya: iman.
Kelak, ia akan tumbuh. Suaranya mungkin akan berubah. Tapi saya berharap, yang tidak berubah adalah keyakinannya. Bahwa menyampaikan kebaikan bukan hanya tugas ustaz. Tapi tugas siapa pun yang percaya bahwa dunia bisa lebih baik bila satu suara kecil mau bicara dari hati.
Saya tidak tahu apakah ia akan menjadi da’i internasional. Tapi saya tahu, setiap kali anak-anak naik ke mimbar dengan suara gemetar dan mata berbinar, dunia sedang didoakan dengan cara yang paling jujur.
Dan untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih pada semua guru yang dengan sabar menyusun, menyunting, dan mengajarkan naskah pidato. Karena lewat tangan kalian, anak-anak tidak hanya belajar berbicara. Tapi belajar merasakan kebenaran.
Karena pidato yang baik bukan hanya tentang bicara. Tapi tentang keberanian untuk percaya, bahwa suara sekecil apapun bisa mengubah dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar