Banyuwangi (Warta Blambangan);Dalam rangka meningkatkan kapasitas mitigasi konflik sosial berbasis komunitas, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penguatan Early Warning System (EWS) Berdimensi Keagamaan dalam Mencegah Potensi Konflik Sosial di Masyarakat”, pada Rabu (9/7/2025), bertempat di Meeting Room MAN 1 Banyuwangi.
Kegiatan ini bertujuan memperkuat integrasi antara pendekatan keagamaan dan sistem deteksi dini konflik (EWS), melalui penguatan kolaborasi multipihak, termasuk tokoh agama, lembaga keagamaan, serta unsur pemerintah daerah. FGD diselenggarakan secara partisipatif, dimoderatori oleh H. Syafaat, S.H., M.H.I., dengan format dialog terbuka dan pertukaran gagasan lintas sektoral.
Dalam sambutannya, Kepala Kantor Kementerian Agama Banyuwangi, Dr. H. Chaironi Hidayat, S.Ag., M.M., menegaskan bahwa pengelolaan keberagaman di masyarakat memerlukan kedewasaan sosial serta ketahanan terhadap provokasi berbasis perbedaan. Ia menyampaikan bahwa terdapat lima indikator utama yang sering kali menjadi pemicu konflik, yaitu: (1) rasa superioritas kelompok; (2) ketidakadilan distribusi; (3) kerentanan sosial yang tinggi; (4) krisis kepercayaan antar kelompok; dan (5) perasaan tidak diberdayakan.
“Konflik bukan semata akibat perbedaan, melainkan cara kita menyikapi perbedaan tersebut. Oleh karena itu, kedewasaan menjadi parameter penting dalam mencegah eskalasi konflik,” ujar Chaironi.
Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam, H. Mastur, S.Ag., M.Pd.I., menambahkan bahwa sistem EWS tidak cukup hanya bersifat administratif-formal, melainkan harus adaptif terhadap dinamika sosial yang berkembang di akar rumput. Menurutnya, penyusunan kebijakan berbasis EWS memerlukan keterlibatan langsung masyarakat serta pemangku kepentingan keagamaan untuk memastikan keberterimaan dan efektivitas implementasi.
Di sisi lain, Kasubbag Tata Usaha Kemenag Banyuwangi sekaligus anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Drs. H. Moh. Jali, M.Pd.I., dalam pemaparannya menyatakan bahwa pendekatan berbasis keagamaan merupakan instrumen strategis dalam meredam potensi konflik yang dibungkus oleh isu identitas. Ia menyebut bahwa konflik bernuansa agama kerap kali merupakan manifestasi dari konflik struktural lain, seperti perebutan sumber daya, dominasi politik, atau ketimpangan ekonomi.
“Keberhasilan mitigasi konflik bergantung pada sejauh mana tokoh agama mampu menjadi agen moderasi. Keteladanan dan legitimasi sosial para tokoh agama menjadi kunci,” terang Jali.
FGD ini turut menghadirkan peserta lintas organisasi keagamaan dan sosial di tingkat kabupaten, antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC-NU), Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah, Muslimat NU, Fatayat NU, Al-Irsyad, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Penyuluh Agama Islam, serta para Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Banyuwangi.
Diharapkan, hasil forum ini dapat dirumuskan menjadi policy brief yang bersifat operasional, serta menjadi model kolaboratif dalam penguatan sistem peringatan dini berbasis nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal, untuk mencegah serta mereduksi eskalasi konflik sosial di tingkat komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar