*Suara Kecil dari Cluring yang Menggema di Jember*
Malam itu, dari sebuah grup WhatsApp yang sunyi dan biasanya hanya dipenuhi puisi dan ulasan sastra, tiba-tiba muncul kabar yang membuat saya menghentikan sejenak langkah kaki menuju dapur. Kabar itu datang dari Mas Punjul Ismuwardoyo, budayawan berambut gondrong dari Tegaldlimo, yang juga takmir masjid dan pengasuh sanggar seni bernama Alang-alang Kumitir. Ia mengabarkan bahwa seorang anak perempuan dari Cluring berhasil menyabet juara dua lomba pidato dai cilik tingkat provinsi Jawa Timur. (7-9/06/2025)
Namanya Naufalyn Mughny Shaliha. Panjang dan lembut. Nama itu seperti potongan ayat yang terselip di antara helaian sajadah tua di musholla belakang rumah. Ia siswa MI Nahdlotus Shibyan, Desa Tamanagung, Cluring. Tempat yang tidak ada di peta-peta mewah hotel bintang lima, tapi ada dalam peta kecil para pejalan sunyi yang percaya bahwa suara seorang anak bisa lebih murni dari pidato pejabat mana pun.
Saya tidak mengenal Naufalyn. Tapi saya mengenal betul wajah-wajah semangat dari anak-anak madrasah. Wajah yang pucat tapi tekun. Wajah yang tahu bagaimana caranya menahan lapar sambil menghafal teks dakwah. Mereka sering kita anggap kecil. Tapi siapa sangka suara mereka bisa melompati pagar-pagar administratif, melompati nama-nama besar, dan menjatuhkan embun di hati juri.
Mas Muncul, dalam pesannya, menyebut bahwa suara anak ini sangat kuat. Mentalnya pun demikian. Seperti potongan besi yang ditempa doa ibu di dini hari. Tapi ia juga menyebut ada kekurangan. Teks yang dibacakan Naufalyn adalah hasil karya guru di madrasah. Ia menghafal. Bukan menyusun. Dan di sinilah, terkadang, letak masalah kita dalam menyiapkan anak-anak menuju mimbar lebih tinggi. Kita lebih rajin membentuk lidah mereka, tapi lupa mengasah isi kepala mereka.
Saya pernah duduk berdampingan dengan beberapa orang tua murid yang anak-anaknya masuk lomba pidato. Mereka selalu khawatir soal gaya. Tentang busana. Tentang intonasi. Tapi lupa bertanya: “Apa yang kamu pikirkan soal ceramahmu?” Anak-anak kita belum diberi ruang untuk berpikir. Mereka baru disuruh menghafal. Maka pantas saja jika pidato terasa seperti mendengar kaset lawas yang diputar ulang. Hanya ketika hati mereka yang berbicara, kita bisa mendengar kejujuran, bukan sekadar susunan kata yang manis.
Namun, Naufalyn berbeda. Setidaknya begitu kata Syafaat, salah satu Juri dari Lentera Sastra Banyuwangi. Katanya, anak ini adalah bahan mentah yang sangat potensial. Ia bukan marmer. Ia batu kali yang siap dipahat. Dan sungguh, seorang dai yang baik adalah batu yang belum terlalu halus. Ia harus kasar dahulu. Harus dilukai dahulu. Harus dihadapkan pada sorot lampu panggung, supaya kelak bisa bicara bukan hanya di mimbar musala, tapi di pelataran hati manusia.
Saya membayangkan, setelah malam itu, Naufalyn pulang ke rumahnya yang sederhana. Mungkin disambut senyum malu ibunya. Mungkin bapaknya mengelus kepala dengan tangan yang juga biasa mengangkat karung. Tak ada confetti. Tak ada spanduk. Tapi di dalam dada mereka, ada rasa yang tak bisa digambarkan. Seperti selembar langit yang dipasang tepat di atas ranjang bambu.
Kemenangan ini, kata Mas Muncul, begitu tipis. Juara satu jatuh ke tuan rumah. Tapi siapa peduli? Kita sudah cukup sering belajar bahwa dalam lomba-lomba seperti ini, rumah adalah medan magnet yang bisa menarik perhatian juri. Kita juga tahu, juri, sekokoh apapun niatnya, kadang masih juga manusia. Dan manusia, seperti kita tahu, punya kelemahan di titik-titik tak terduga. Maka juara dua, dalam kondisi ini, terasa lebih sahih, lebih tulus, lebih jernih.
Sehari kemudian, saya mendengar kabar tambahan. Ada seorang kepala madrasah tsanawiyah negeri yang terkenal di Banyuwangi, menawarkan beasiswa penuh untuk Naufalyn. Saya tidak tahu siapa kepala madrasah ini. Tapi saya ingin menjabat tangannya. Karena di zaman ini, menawarkan beasiswa kepada anak kecil bukan hanya soal membentuk siswa, tapi soal menyiram benih mimpi yang hampir layu di ladang yang terlalu panas, tentu, beasiswa bukan jaminan bahwa Naufalyn kelak akan menjadi dai besar. Tapi setidaknya itu jembatan. Dan kadang, dalam hidup ini, jembatan lebih penting daripada istana.
Kita membutuhkan lebih banyak anak seperti Naufalyn. Anak-anak yang tidak takut berdiri di mimbar. Anak-anak yang bisa menatap ratusan pasang mata tanpa kehilangan akal sehatnya. Anak-anak yang bisa mengangkat tangan, bukan untuk menunjuk, tapi untuk menyapa. Anak-anak yang bisa mengubah ruang kelas menjadi panggung perubahan, bukan hanya ruang untuk mencatat pelajaran.
Saya membayangkan masa depan yang tenang. Di mana anak-anak seperti Naufalyn menjadi guru. Menjadi jurnalis. Menjadi pembaca puisi. Menjadi dai. Menjadi apa saja yang mereka cintai. Karena sejak kecil mereka telah belajar bahwa bicara bukan hanya perkara suara, tapi perkara keberanian. Dan keberanian, seperti kita tahu, adalah sumber dari hampir semua perubahan besar di dunia ini, kita mungkin lupa pidatonya. Kita mungkin tak ingat bait-bait yang diucapkannya malam itu. Tapi kita akan ingat bahwa pernah, dari sebuah desa kecil bernama Tamanagung, Cluring, ada suara kecil yang menggema sampai ke telinga-telinga orang dewasa di Jember. Dan itu cukup. Cukup untuk menyalakan lagi lilin di hati kita yang hampir padam.
Terima kasih, Naufalyn. Kau telah mengajari kami arti keberanian dalam bentuk paling sederhana: berdiri, bicara, dan percaya pada suaramu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar