Di Jeddah, Cinta Tiba Terakhir Saya mendengar cerita ini dari seseorang yang tidak sedang menulis sejarah, melainkan sedang mengendapkan cinta. Bukan cinta yang gaduh, bukan cinta yang membuat orang bersajak atau membentangkan spanduk, melainkan cinta yang sabar. Yang tahu cara menunggu. Yang tahu tempat untuk tidak tergesa pulang. Namanya Dimyati. Ketua Kloter SUB-43. Asalnya dari Dusun Suwaluh Desa Sumbersari, sebuah desa yang jika matahari sore melorot ke balik bukit, akan terdengar kokok ayam jantan seperti memanggil pulang masa kecil saya, kita pernah sekolah di madrasah yang sama, meskipun dengan tahun berbeda. Desa kita bersebelahan, ada pesantren tua yang banyak memunculkan banyak tokoh nasional. Saya tidak tahu apakah Dimyati tahu bagaimana menciptakan sejarah. Tapi dari cerita yang sampai ke saya, ia tampaknya lebih tahu bagaimana cara tidak merusaknya. Dia bukan jenis ketua kloter yang berdiri di depan podium lalu menghilang ke kursi eksekutif. Ia tidak mengenakan nada ...
Media Informasi dan Komunikasi Masyarakat Banyuwangi