Pages

 Peluncuran Buku HISKI Meriahkan KIK Ke-34: Menyongsong 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer

Surabaya, 2025 — Menjelang peringatan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer yang tinggal 82 hari lagi masa berlakunya, para akademisi, sastrawan, dan pegiat literasi dari berbagai daerah di Indonesia segera berjibaku mempersiapkan peluncuran buku yang akan menjadi salah satu momen penting dalam Kongres Internasional HISKI (KIK) ke-34. Kegiatan ini menjadi bagian dari agenda utama KIK 2025 dan diselenggarakan dengan semangat kolaboratif lintas komisariat. Sebanyak 29 penulis dan editor dari berbagai universitas dan komisariat HISKI akan naik ke panggung untuk mempertontonkan karya mereka masing-masing, menandai tonggak produktivitas akademik dan kebangkitan humaniora Indonesia. Para peserta peluncuran buku diminta hadir dengan membawa buku karya mereka sendiri, yang akan ditampilkan secara simbolis di hadapan publik. Video peluncuran resmi akan diputar saat masing-masing penulis tampil di panggung, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan hanya seremoni, melainkan perayaan hidup atas gagasan dan kerja intelektual.

Salah satu buku yang akan menjadi penanda penting tahun ini adalah karya kolaboratif Humaniora Digital (2025) yang digawangi oleh Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum., dkk., yang juga menjadi mitra dalam sesi diskusi bersama Humaniora Digital esok hari. Buku ini menjadi jembatan konseptual menuju era baru penelitian dan kreativitas sastra di ruang digital. Peluncuran buku dalam rangka KIK ke-34 ini juga akan menampilkan berbagai karya unggulan yang merepresentasikan keragaman tema, pendekatan, dan perspektif dalam ranah humaniora Indonesia. Di antara karya yang akan diluncurkan ialah Ekokritik & Ekopedagogi dalam Sastra Indonesia karya Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum., yang menyoroti hubungan antara sastra, lingkungan, dan pendidikan ekologi; Perempuan dalam Sastra Etnografi Indonesia karya Dr. Cahyaningrum Dewojati, M.Hum., yang mengulas representasi perempuan dalam karya sastra berbasis etnografi; serta Publikasi Artikel Siswa di Media Massa: Tema SDGs sebagai Pembelajaran Menulis karya Nurul Ludfia Rochmah, M.Pd., yang mengintegrasikan literasi siswa dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, terdapat pula Caliban dan Baron Sekeber dalam Tegangan Poskolonialitas karya Prof. Paulus Sarwoto, Ph.D., yang menghadirkan pembacaan kritis atas relasi kuasa dan identitas dalam sastra, serta Menyuarakan Creative (Nonfiction) Writing dari Ruang Ketiga karya Dr. Much. Khoiri, M.Si., yang mengeksplorasi gagasan tentang penulisan kreatif nonfiksi dalam ruang lintas batas disiplin. 

Beragam karya tersebut menjadi wujud nyata produktivitas akademik dan kreativitas sastra yang menggambarkan keluasan wilayah, kedalaman kajian, serta semangat kolaboratif HISKI di seluruh Indonesia.Menurut Much. Khoiri, selaku PIC kegiatan, peluncuran buku ini bukan hanya ajang seremonial, tetapi juga bentuk nyata dari komitmen HISKI dalam mendorong regenerasi, kolaborasi ilmiah, dan penguatan literasi humaniora. “Setiap buku yang lahir adalah representasi semangat berkarya di tengah zaman digital. Melalui panggung ini, kita tidak hanya meluncurkan karya, tetapi juga merayakan keberlanjutan intelektual,” ujarnya.

Kegiatan peluncuran buku HISKI di KIK ke-34 ini sekaligus menjadi pra-perayaan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer, sosok pengarang besar yang menjadi inspirasi bagi perjalanan literasi bangsa. Dengan semangat “berjibaku bersama karya”, HISKI meneguhkan diri sebagai rumah besar bagi akademisi dan seniman yang terus menulis, meneliti, dan menghidupkan kemanusiaan melalui kata. (Lutfia)


KIK ke-34 HISKI Resmi Dibuka di BBPMP Jawa Timur: Soroti Sastra dan Aktivisme Sosial di Era Digital

Surabaya, (Warta Blambangan) Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) secara resmi membuka Konferensi Internasional Kesusastraan (KIK) ke-34 di Graha Wiyata Hall, Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Timur, Jumat (10/10). Tahun ini, konferensi mengangkat tema besar “Sastra dan Aktivisme Sosial”, menyoroti peran sastra dalam mengartikulasikan isu-isu kemanusiaan, lingkungan, dan teknologi digital.

Acara pembukaan dimulai pukul 13.00 WIB, diawali dengan registrasi peserta dan makan siang bersama, dilanjutkan dengan laporan Ketua Pelaksana Prof. Pratiwi Retnaningdyah, Ph.D., serta sambutan dari Ketua Umum HISKI, Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum., dan Rektor Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Nurhasan. Dalam kesempatan itu, HISKI juga menyerahkan penghargaan “Tokoh Peduli Pantun” serta melakukan penandatanganan MoU antara HISKI Pusat dan UNESA sebagai wujud kolaborasi akademik lintas lembaga. 

Acara turut dimeriahkan dengan peluncuran buku oleh Dr. Much. Koiri, diikuti sesi pleno menghadirkan tiga pembicara utama: Hafidz Muksin, S.Sos., M.Si., Annisa Beta, Ph.D. (University of Melbourne), dan Prof. Milena Mileva (Slovenia).

Setelah sesi utama, peserta mengikuti sesi paralel I dan II yang menghadirkan ratusan pemakalah dari berbagai universitas dan komisariat HISKI di seluruh Indonesia. Sesi ini membahas beragam topik mulai dari ekosastra, feminisme, sastra digital, hingga pendidikan literasi berbasis nilai kemanusiaan.

Konferensi berlanjut pada Sabtu, 11 Oktober 2025, dengan agenda pleno internasional menghadirkan tiga pembicara terkemuka: Dr. Annette Damayanti Lienau dari Harvard University, Dr. Ai Takeshita dari Tokyo University of Foreign Studies, dan Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, tokoh pendidikan nasional.

Rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan sesi paralel III, Rapat Koordinasi Nasional HISKI Pusat dan Daerah (RAKORNAS), penampilan keroncong, serta penutupan dan penyerahan penghargaan pada sore hari.

Ketua Umum HISKI, Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, menegaskan bahwa konferensi ini bukan hanya ajang akademik, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral komunitas sastra untuk merespons tantangan sosial dan kemanusiaan. “Sastra hari ini bergerak dalam ruang aktivisme. Sastra diharapkan kuat berbicara tentang lingkungan, kesetaraan, spiritualitas, dan teknologi sebagai buah refleksi dari dunia yang terus berubah,” ujarnya. 


Dengan lebih dari 140 pemakalah dan sembilan subtema utama, KIK ke-34 HISKI diharapkan menjadi forum penting bagi pertukaran gagasan, kolaborasi penelitian, dan penguatan jejaring akademik lintas disiplin untuk kemajuan ilmu kesusastraan Indonesia. (Lutfia)

Membaca Novel Robohnya Surau Kami

 Membaca Novel Robohnya Surau Kami

Oleh: Syafaat

 

Membaca Kumpulan cerita pendek Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, bagi saya, seperti membaca kisah tentang diri kita sendiri yang diam-diam sedang kehilangan arah. Haji Saleh dalam cerita itu bukan sekadar tokoh fiksi dari Minangkabau tahun 1950-an; ia adalah bayangan manusia hari ini, rajin beribadah, tapi lupa menengok sekeliling. Cerpen itu, yang ditulis dengan bahasa sederhana dan getir, terasa seperti teguran yang dititipkan Tuhan melalui pena seorang sastrawan.

Barangkali benar kata Navis: surau bisa roboh bukan karena gempa, bukan karena hujan deras, tapi karena kosong. Kosong dari kehidupan, kosong dari kasih, kosong dari manusia, atau surau itu benar-benar roboh karena kosong pondasi, kosong perencanaan, kosong pengetahuan tentang banguan. Setiap kali saya mendengar berita sebuah mushala, pesantren atau bangunan peribadata ambruk, entah karena usia atau kesalahan teknis, saya tidak hanya melihat tragedi bangunan., ada sesuatu yang lebih dalam, lebih menyesakkan: jangan-jangan yang sebenarnya roboh bukan hanya temboknya, melainkan maknanya. Jangan-jangan kita sudah terlalu sibuk membangun rumah Tuhan, tapi lupa meihat pondasi yang menumbuhkan penghuni setia, aman dan nyaman di dalamnya.

Saya pernah tinggal di pesantren tua yang didirikan sekitar tahun 1950-an, bangunannya tiga lantai, yang dibangun ulang setelah sebelumnya di zaman agresi pesantren tersebut sempat dibakar oleh tentara Belanda hingga ludes nyaris tanpa bekas. Lantai bawah untuk kamar para santri, lantai dua juga kamar tapi berpapan kayu jati yang tebal, dan lantai tiga adalah aula tempat mengaji, berpidato, atau menulis surat untuk orang tua di malam hari. tidak ada beton, tidak ada baja ringan, hanya bata merah, kayu jati, dan niat yang lurus. Bangunan itu dibangun dengan perencanaan matang yang membuat penghuninya yakin dengan kekuatannya. Yang atas tidak membebani yang bawah, bahkan cenderung mengayomi.

Setiap kali menaiki tangga, kayunya berderit pelan, tapi bunyi itu bukan tanda rapuh, melainkan tanda hidup. Ia menanggung langkah-langkah kecil yang penuh cita-cita. Di sanalah kami tertawa, berdoa, belajar, dan menangis. Lantai itu tahu betul siapa yang rajin tahajud, siapa yang sering kesiangan, tahu betul bahwa hidup kami memang sederhana, seperti cita-cita kami yang juga sederhana. Bangunan itu tak pernah roboh, meski beberapa kali diguncang gempa kecil, saya percaya, bukan semata karena bahan bangunannya kuat, tapi karena ia dibangun dengan cinta. Setiap bata ditempelkan dengan keikhlasan doa, setiap papan dipasang dengan kesungguhan. Tak ada arsitek dari perguruan tinggi ternama, tapi ada iman. Tak ada rancangan rumit, tapi teliti dan ada dzikir di setiap ayunan palu. Pondasinya dalam, bukan hanya karena tanahnya digali, tapi karena hati para pembangunnya ikut ditanam di sana. Dan barangkali di situlah perbedaan antara bangunan yang berdiri karena proyek, dan bangunan yang berdiri karena doa. Namun saya sering bertanya: kalaupun bangunannya masih berdiri, apakah suraunya masih hidup?

 

Hari ini kita hidup di zaman yang mencintai kemegahan. Masjid dan musala menjulang dengan kubah berlapis marmer, lantai berkilau, dan lampu-lampu kristal yang berpendar seperti bintang di langit malam. Di setiap sudutnya ada pengeras suara, udara di dalamnya sejuk oleh pendingin ruangan, seolah-olah surga bisa diciptakan dengan rancangan arsitektur. Tapi entah mengapa, di dalamnya semakin sunyi. Jamaah kian berkurang, suara adzan yang dulu menggetarkan kini hanya bersahut pada ruang kosong. Anak-anak yang dulu berlari di halaman surau, kini berdiam di depan layar ponsel, bermain di dunia yang tanpa wudu, tanpa kiblat, tanpa jeda. Tadarus yang dulu bergaung setiap Ramadan kini hanya tinggal gema masa lalu, seperti suara masa kecil yang hilang di balik riuh kota.

Kita membangun rumah Tuhan dengan megah, tapi membiarkan hati manusia menjadi reruntuhan. Dindingnya tinggi, tapi jiwa-jiwa yang seharusnya bersandar di sana telah menjauh, tersesat dalam gemerlap yang menipu. Kita sibuk mempercantik mihrab, tetapi lupa menambal lubang-lubang dalam iman. Kita memperindah rumah Tuhan, tapi jarang membersihkan jalan menuju ke sana. Dan mungkin di situlah ironi zaman ini bersembunyi, kita membuat tempat sujud semakin nyaman, tapi tak lagi tahu bagaimana rasanya berlutut dengan hati yang benar-benar tunduk. Kita mencintai kemegahan, namun kehilangan kesederhanaan yang dulu membuat doa terasa dekat. Rumah Tuhan berdiri megah, tapi anak-anak Tuhan berjalan menjauh.

Dalam cerpen Navis, Haji Saleh mengira ibadahnya sempurna. Ia mengira surga sudah menunggunya. Tapi Tuhan bertanya dengan satu kalimat yang menembus dasar hati:

“Apa yang kau lakukan selama hidupmu?”

“Aku beribadah, ya Tuhan.”

“Untuk siapa kau beribadah?”

Pertanyaan itu pecah seperti cermin di depan wajah kita. Betapa sering kita beribadah hanya untuk diri sendiri, agar terlihat saleh, agar merasa aman. Kita menunaikan kewajiban, tapi lupa menyalakan kasih sayang. Kita sujud berulang kali, tapi lupa menegakkan kemanusiaan.


Saya masih ingat mushala kecil di kampung, dindingnya retak, karpetnya tipis, kipas anginnya berdecit. Tapi setiap azan berkumandang, jamaah datang. Anak-anak berlari kecil, orang tua menenteng sajadah lusuh, dan suara muazin naik perlahan dari mulut yang tak lagi muda. Surau itu hidup, karena ada manusia di dalamnya yang masih setia menengadahkan tangan, meski hidup mereka sendiri sering tak mudah. Sebaliknya, di kota, saya pernah melihat mushala megah, kubahnya berlapis marmer, karpetnya harum, udaranya dingin, tapi sepi. Tak ada tadarus, tak ada anak-anak mengaji. Ia hanya ramai ketika hari raya, atau ketika kamera dating, surau itu indah, tapi dingin. Kokoh, tapi kosong.

Mungkin beginilah yang dimaksud Navis ketika mengatakan “robohnya surau kami.” Ia bukan tentang bangunan, melainkan tentang ruh. Tentang bagaimana manusia modern terlalu sibuk memoles wujud agama, tapi lupa menanamkan maknanya. Seorang kiai tua pernah berkata pada saya:

“Nak, Tuhan tidak butuh rumah. Ia sudah punya langit dan bumi. Surau itu bukan tempat Tuhan tinggal, tapi tempat manusia belajar mencintai.”

Kalimat itu sederhana, tapi menancap, mungkin itu sebabnya, banyak surau hari ini tampak kokoh tapi tak lagi punya jiwa, kita bangun gedungnya, tapi tidak menanamkan kasih, kita cat temboknya, tapi membiarkan hati jamaahnya retak.

Saya teringat surau kecil peninggalan kakek saya di kampung, dulu tempat kami mengaji, tempat kami mengenal huruf-huruf hijaiyah dengan suara terbata. Setelah beliau wafat, surau itu dibiarkan kosong, atapnya bocor, dindingnya lapuk, hingga suatu hari dianggap membahayakan, lalu dibongkar, surau itu hilang, tinggal pondasi yang ditumbuhi Semak. Saya sedih. Seolah bukan bangunan yang diruntuhkan, tapi kenangan masa kecil kami yang ikut rubuh.

Beberapa tahun kemudian, bersama warga kampung, saya mencoba membangunnya Kembali, kami menamainya Baitus Syafaat, rumah pertolongan. Saya ingin surau itu menjadi tempat hidup kembali: tempat belajar agama, tempat anak-anak mengenal sujud, tempat orang-orang dewasa beristirahat dari lelah dunia. Saya tidak ingin surau itu sepi lagi, saya tidak ingin ia roboh, bukan karena tanah, tapi karena kita abai, sebab membangun itu lebih mudah daripada menjaga agar surau itu tidak sunyi, agar anak-anak menarasa senang mendatanginya, agar orang-orang yang mampir sekedar ikut sembahyang juga merasa nyaman.

Setiap kali mendengar berita tentang surau roboh, saya membayangkan bukan hanya reruntuhan bata dan papan, tapi reruntuhan hati manusia yang sudah lama tak berdoa, surau yang runtuh hari ini mungkin hanya cerminan dari doa-doa yang kita abaikan kemarin. Kita hidup di masa ketika tangan sibuk menggenggam ponsel, tapi jarang terangkat untuk berdoa, ketika mulut fasih bicara tentang agama, tapi kaku menyebut nama Tuhan dengan lembut, ketika waktu salat lewat begitu saja, tergantikan oleh notifikasi yang lebih mendesak, kita rajin membangun menara, tapi lupa membangun pondasi jiwa.

Padahal pondasi surau bukan hanya semen dan besi, pondasinya adalah kesadaran bahwa ibadah sejati bukan hanya menunduk di sajadah, tapi juga menegakkan keadilan di luar sajadah. Bahwa doa bukan sekadar suara yang naik ke langit, tapi juga tindakan yang turun ke bumi. Dan mungkin, surau yang paling suci bukan yang berdiri di atas tanah wakaf, tapi yang berdiri di dalam dada manusia. Surau yang diisi oleh rindu, dzikir, dan kasih. Surau yang tak bisa dirobohkan oleh gempa, tak bisa dibakar oleh zaman. Sebab kalau surau di dalam hati masih tegak, maka meski dunia runtuh, kita tetap punya tempat untuk bersujud.

Dan jika suatu hari Tuhan bertanya pada kita seperti Ia bertanya pada Haji Saleh, semoga kita bisa menjawab tanpa gugup:

 “Ya Tuhan, aku tidak hanya membangun rumah-Mu. Aku juga menjaga agar ia tak sepi. Aku menjaga agar surau-Mu tetap hidup.”

Kita sering sibuk menegakkan dinding-dinding baru, menambah lantai demi lantai, membuat kehidupan ini tampak tinggi menjulang. Kita menghitung kekuatan besi, mengukur kedalaman pondasi, memastikan tak ada retak yang bisa membuatnya goyah. Tapi jarang sekali kita menanyakan: di atas apa sesungguhnya bangunan jiwa ini berdiri?

Seperti gedung bertingkat yang butuh pondasi kokoh, perhitungan matang dan waktu yang tepat,  iman pun memerlukan tanah kesadaran yang dalam, tak cukup dengan pengetahuan yang dipajang di kepala; ia perlu keyakinan yang hidup di dada. Karena jika kesadaran itu rapuh, sehebat apa pun bangunan amal akan retak, dan setinggi apa pun menara kebaikan akan runtuh dalam sunyi. Roboh itu tidak selalu terdengar, kadang ia diam, terjadi perlahan, ketika seseorang berhenti berdoa karena merasa semua baik-baik saja. Ketika sujud kehilangan makna, dan zikir hanya tinggal bunyi tanpa arah, maka yang runtuh bukan tembok, melainkan ruang dalam hati yang tak lagi mampu menampung cahaya.

Iman tidak tumbuh dari banyaknya ayat yang kita hafal, melainkan dari seberapa jujur kita menundukkan diri. Ia seperti tanah liat, lembut tapi kuat, yang mesti dibasahi air penyesalan agar bisa dibentuk menjadi sesuatu yang bernilai. Tanpa itu, ia akan mengeras, kering, dan pecah, bahkan sebelum sempat dijadikan apa pun. Karena itu, sebelum membangun kehidupan setinggi langit, pastikan pondasinya menancap ke bumi sujud, sebab tidak ada bangunan yang lebih indah dari hati yang tahu caranya kembali berlutut.

Penulis adalah ASN/ Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.

 

 

 

 

Rayakan HUT ke-80, Kodim 0825 adakan Upacara dan Pembagian Sembako kepada BCM Taman Blambangan

Banyuwangi (Warta Blambangan) Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-80, Kodim 0825 Banyuwangi menggelar upacara khidmat di Taman Blambangan, Minggu (5/10/2025). Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Dandim 0825 Banyuwangi, Letkol (Arm) Triyadi Indrawijaya, S.H., M.I.P., dan berlangsung tertib serta penuh semangat kebangsaan.

Momentum peringatan HUT TNI kali ini terasa lebih istimewa karena diakhiri dengan kegiatan sosial berupa pembagian sembako kepada para pelaku UMKM yang tergabung dalam Banyuwangi Creative Market (BCM) di sekitar Taman Blambangan. Aksi sosial tersebut menjadi wujud kepedulian dan kedekatan TNI dengan masyarakat kecil, khususnya para pelaku ekonomi kreatif lokal.b


“Bakti sosial ini merupakan bentuk nyata kemanunggalan TNI dengan rakyat. Kami ingin kebahagiaan HUT TNI juga dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang setiap hari berjuang menghidupi keluarga lewat usaha kecil,” ujar Letkol Triyadi usai kegiatan.

Pada usia ke-80, TNI mengusung tema besar “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju.” Tema tersebut mengandung makna filosofis yang mendalam. Kata prima merupakan akronim dari profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif, yang mencerminkan tekad TNI untuk terus meningkatkan kualitas prajurit agar siap menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.

Sementara frasa “TNI Rakyat” menegaskan kembali jati diri TNI sebagai penjaga kedaulatan yang lahir dari rakyat, berjuang untuk rakyat, dan senantiasa hadir di tengah-tengah rakyat. Adapun “Indonesia Maju” menjadi tujuan akhir sinergi antara TNI dan masyarakat, yakni mewujudkan bangsa yang berdaulat, mandiri, serta sejahtera.

Letkol Triyadi menambahkan, kemanunggalan TNI dengan rakyat adalah kekuatan utama dalam menjaga keutuhan NKRI. “Kami akan terus berupaya menjadi garda terdepan dalam pertahanan, sekaligus menjadi sahabat rakyat dalam setiap langkah menuju Indonesia yang maju,” tegasnya.

Upacara HUT TNI ke-80 di Taman Blambangan berjalan lancar, diiringi antusiasme masyarakat yang memadati area taman. Suasana penuh keakraban antara prajurit dan warga menjadi bukti nyata semangat kebersamaan dan nasionalisme yang terus tumbuh di Banyuwangi.

Diam Lebih Nyaring dari Ribuan Komentar Netizen

 Diam Lebih Nyaring dari Ribuan Komentar Netizen

Oleh: Syafaat

Di sebuah perumahan padat, jarak antar rumah hanya selembar dinding. Suara batuk dari ruang tamu bisa jadi terdengar sampai ke rumah sebelah, rahasia keluarga yang dibicarakan di kamar sering kali bocor tanpa disengaja karena tembok tipis tak sanggup menahan getar suara. Dalam suasana seperti itu, masalah kecil bisa membesar, perselisihan tentang parkir kendaraan di jalan perumahan, suara musik yang terlalu keras, atau percakapan yang salah tangkap bisa berlanjut menjadi keretakan yang panjang. Namun, selama masih berada di lingkup perumahan, masalah itu bisa diatasi lewat musyawarah kecil, lewat tegur sapa, atau setidaknya lewat dinginnya diam yang akhirnya meluruhkan amarah.

Akan tetapi, ketika masalah serupa berpindah ke media sosial, ia seakan menemukan sayap terbang, persoalan sederhana tentang parkir mobil bisa melompat menjadi tontonan ribuan orang. Pertengkaran antar tetangga bisa disaksikan jutaan mata yang sama sekali tidak mengenal para pelaku. Masalah yang mestinya cukup diselesaikan dengan duduk di beranda rumah sambil ngopi berubah menjadi perdebatan panjang yang menyeret opini tokoh publik, bahkan kadang pejabat negara sekelas gubernur bisa nimbrung. Yang lebih menakjubkan sekaligus menakutkan, kasus sepele itu bisa menyeberang batas negara tanpa paspor, tanpa visa, tanpa penghalang apa pun, hanya karena sebuah unggahan yang viral.

Fenomena ini tidak hanya bicara tentang teknologi. Ia lebih mirip cermin yang memantulkan wajah batin masyarakat, mqqqqedia sosial memberi panggung tanpa batas, memberi mikrofon tanpa mati, dan menyediakan penonton yang tak pernah bubar. Siapa pun bisa berbicara, siapa pun bisa bersuara, siapa pun bisa menilai. Hasilnya, banyak yang lebih cepat mengetik daripada merenung, lebih rajin mengomentari daripada menyimak.

Ruang digital yang mestinya bisa menjadi lahan doa, sering kali berubah menjadi ladang iri, dengki, dan amarah. Kata-kata yang lahir dari jari manusia terlempar ke ruang maya seakan tanpa bobot, padahal setiap huruf adalah bagian dari diri, setiap kalimat adalah catatan yang kelak dibuka kembali di hadapan Tuhan. Betapa sering nasihat sederhana Rasulullah ﷺ diabaikan: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Satu kalimat yang tampak ringan, tetapi begitu sulit diterapkan ketika jari sudah menari di atas layar. 


Anonimitas memberi keberanian palsu. Orang bisa menyembunyikan wajah, menyamarkan nama, lalu melontarkan kata-kata yang tak pernah ia ucapkan di warung kopi. Dunia maya seperti pesta topeng, di mana setiap orang bisa menjadi siapa saja, bisa berkata apa saja, tanpa harus mempertanggungjawabkan wajah aslinya. Mereka yang pendiam di dunia nyata tiba-tiba berubah garang di dunia maya. Mereka yang sopan dalam percakapan sehari-hari, di ruang digital bisa menjadi pengadil yang paling keras. Dunia maya membiakkan wajah kedua manusia, wajah yang lebih liar, wajah yang sering kali lebih jujur sekaligus lebih kejam.

Kata-kata di layar sering dianggap main-main. “Itu hanya komentar,” begitu alasan yang kerap muncul. Tetapi sesungguhnya tidak ada yang sekadar komentar. Setiap kalimat menempel di hati orang lain, bisa menorehkan luka, bisa menyalakan harapan. Kalimat yang ditulis dengan ringan bisa menjadi beban berat di hati penerimanya. Dan yang lebih dalam, setiap kata adalah amal. Ia ditulis tidak hanya di layar, tetapi juga di lembar catatan malaikat.

Julid, sebuah kata yang lahir dari kebiasaan menyindir, kini menjadi salah satu wajah paling nyata dari kehidupan digital. Ia tidak sekadar komentar pedas, tetapi semacam bayangan batin bangsa yang sedang belajar mengelola kebebasan kata. Julid lahir dari iri, dari keinginan untuk merendahkan kebahagiaan orang lain. Seseorang memajang foto liburan, segera dituduh pamer. Seseorang menulis tentang keberhasilan, segera dihujani komentar sinis. Padahal kebahagiaan orang lain tidak pernah mengurangi kebahagiaan diri sendiri, sebagaimana tetes hujan yang jatuh di halaman tetangga tidak membuat halaman rumah menjadi kering.

Ketiadaan rasa syukur membuat hati mudah karatan. Nabi ﷺ mengingatkan, “Hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.” Karat hati adalah iri dan dengki, kebiasaan melihat nikmat orang lain lebih besar daripada nikmat sendiri. Media sosial hanyalah kaca pembesar bagi karat itu. Di layar, iri tampak lebih gamblang, dengki tampak lebih telanjang.

Budaya ikut-ikutan memperparah keadaan. Bangsa yang besar ini sering larut dalam keramaian. Satu orang julid, seribu ikut. Satu topik viral, semua latah. Ramai lebih menarik daripada sepi, kerumunan lebih menggoda daripada kesunyian doa. Dunia maya menjelma seperti pasar malam digital: lampu warna-warni berkelip, musik berdentum, orang-orang berdesakan tanpa tahu apa yang diperebutkan.

Kesopanan digital di negeri ini pernah dicatat rendah oleh survei internasional. Itu bukan sekadar angka, melainkan cermin budaya. Banyak yang pandai membeli gawai, tetapi miskin dalam mengelola kebebasan digital. Banyak yang pandai menggulir layar, tetapi enggan membuka lembar buku, banyak yang piawai berkomentar, tetapi kaku dalam berdoa.

Media sosial menyingkap dua wajah manusia. Di dunia nyata, orang menjaga basa-basi, takut menyinggung tetangga, takut malu di hadapan teman. Di dunia maya, orang bisa kasar, berani, dan tega. Pertanyaan yang muncul: manakah wajah yang asli? Mungkin keduanya adalah benar. Media sosial hanyalah cermin, yang memantulkan isi hati. Bila hati penuh kasih, yang keluar adalah doa. Bila hati penuh iri, yang lahir adalah sindiran dan caci maki.

Fenomena julid memperlihatkan bahwa yang sering terluka bukan hanya orang yang disindir, tetapi juga orang yang menyindir. Barangkali para netizen julid itu bukanlah orang jahat, melainkan orang yang sedang kalah dalam pertarungan dengan dirinya sendiri. Orang yang kehilangan ruang sehat untuk meluapkan emosi, lalu memilih menumpahkannya di kolom komentar.

Al-Qur’an memberi panduan yang begitu jelas: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra: 53). Bila ayat ini dihayati, seharusnya setiap komentar menjadi cahaya, setiap kata menjadi doa. Tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya, banyak kata dipakai untuk memadamkan cahaya.

Nabi ﷺ pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak memasukkan manusia ke surga. Beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Akhlak yang baik mencakup akhlak berkata-kata. Dunia digital bukan pengecualian. Setiap kata di layar adalah bagian dari akhlak, adalah bagian dari iman diam sering kali menjadi pilihan yang lebih nyaring daripada komentar. Diam bukan kelemahan. Diam bisa menjadi doa dalam senyap, bisa menjadi benteng dari dosa yang lahir dari lisan dan tulisan. Dalam dunia digital yang gaduh, diam sering lebih lantang daripada ribuan komentar yang melukai.

Kelak, ketika lidah dikunci dan tangan bersaksi, setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap komentar yang pernah diketik akan kembali hadir di hadapan Tuhan. Saat itu, barangkali yang paling disesali adalah kalimat-kalimat yang ditulis tanpa berpikir, komentar-komentar yang lahir dari iri dan amarah.

Diam bisa menyelamatkan lebih banyak daripada seribu kata, diam adalah ruang untuk menimbang, untuk menahan, untuk mencegah diri agar tidak menambah luka di dunia yang sudah terlalu banyak berdarah oleh kata-kata. Dan mungkin, di hadapan Allah, diam itu lebih mulia daripada seribu komentar yang lahir dari hati yang berkarat.

Media sosial tidak pernah benar-benar sunyi. Ia terus bergerak, terus berisik, terus menyodorkan ribuan kata setiap detik. Tetapi manusia selalu punya pilihan: ikut dalam riuh itu, atau menjaga diri dalam sepi. Setiap kata akan tetap hidup, menunggu hari ketika semua catatan dibuka. Dan pada hari itu, diam yang dijaga dengan sabar akan berbicara lebih nyaring daripada semua komentar yang pernah ditulis di layar.

Ketua Lentera Sastra Banyuwangi 

Doa Samar Wulu di KUA Cluring


Doa Samar Wulu di KUA Cluring


Senja di langit Cluring seperti menutup tirai perlahan, lembayung menggantung di udara, angin membawa bau semen dan cat baru dari bangunan KUA yang hendak ditempati. Di Jawa, sebelum bangunan baru dihuni, selalu ada selamatan. Doa, syukur, dan permohonan keselamatan, di Cluring, selamatan itu diwujudkan dalam salat Magrib berjamaah. Magrib dipilih bukan tanpa alasan, magrib adalah garis tipis, batas antara terang dan gelap, antara kepastian dan keraguan. Dalam bahasa Osing, waktu itu disebut samar wulu—saat ketika cahaya mulai luntur, sementara gelap belum sepenuhnya datang. Ada keindahan sekaligus kegetiran dalam samar wulu: keindahan karena langit lembayung, kegetiran karena ia mengingatkan bahwa tidak ada yang abadi. 


Samar wulu adalah wajah kehidupan: tidak seluruhnya jelas, tidak seluruhnya gelap, kita selalu berada di antara yakin dan ragu, bahagia dan sedih, sehat dan sakit. Al-Qur’an mengingatkan, “Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda…” (QS. Al-Isra: 12). Tetapi di antara dua tanda itu ada ruang samar, ruang yang tidak disebut, ruang yang hanya bisa kita lewati dengan pasrah.

Kami menundukkan kepala di ruang baru itu, sujud pertama di lantai dingin, dinding masih asing, udara masih menyengat cat, tetapi doa bersama membuat segalanya menjadi hangat, seakan-akan sesuatu sedang ditanamkan: bahwa bangunan tidak hanya berdiri dari semen, tetapi juga dari doa yang dititipkan.

Orang Jawa selalu paham bagaimana menautkan iman dan budaya, selamatan bukan sekadar makan bersama. Tumpeng adalah kitab bisu: nasi mengerucut ke atas melambangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, lauk-pauk di sekelilingnya melambangkan hubungan dengan sesama. Dua arah itu tidak boleh dipisahkan. Saya teringat doa Nabi Ibrahim: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan berikanlah rezeki kepada penduduknya…” (QS. Al-Baqarah: 126). Selamatan adalah ikhtiar kecil agar bangunan ini aman, rezeki mengalir, keberkahan turun.b


Lebih dari lima tahun saya pernah bertugas di KUA Cluring, ada kisah lucu, ada kisah aneh, ada yang membuat bulu kuduk berdiri. Pernah seorang teman berlari ketakutan keluar dari kamar mandi, karena melihat penggosok lantai bergerak sendiri seakan ada yang menggerakkan dan sedang membersihkan kamar mandi. Pernah sebuah berkas hilang dari meja, lalu beberapa saat kemudian kembali, diletakkan rapi seperti ada tangan gaib yang mengurusnya. Bagi kami hidup di dunia ini memang tidak boleh egois, kita hidup dengan makhluk hidup yang lain, baik terlihat maupun tidak terlihat, yang gaib bukan untuk ditakuti, melainkan untuk saling menghormati. Bukankah iman sendiri adalah percaya pada adanya yang ghaib? Dunia ini dihuni oleh banyak makhluk, yang terlihat maupun yang tak terlihat, dan kita bisa hidup berdampingan dengan sesama makhluk.

Tetapi yang paling lekat dalam ingatan saya bukan kisah gaib, melainkan kisah manusia, saya masih ingat seorang perempuan muda dengan baju sederhana. Ia datang membawa map berisi berkas pernikahan, ingin konsultasi daftar nikah karena calon suami masih bekerja ditempat yang jauh. Saat map itu dibuka, diperiksa berkas-berkas, dan ada bungkusan dari kertas kecil yang dikiranya foto calon manten, jatuhlah sejumput rambut hitam, agak keriting. Wajah perempuan tersebut memerah, ia terbata menjelaskan bahwa itu rambut dari bagian tubuh yang tidak boleh ilihat selain dirinya dan suaminya, dicukur sebelum haid dan sebelum nikah. Saya menyuruhnya segera memungutnya, karena berceceran di lantai, saya tidak tertawa, sebab ada hal-hal yang terlalu rapuh untuk dijadikan olok-olok. Maksudnya baik, bulu tersebut dicukur ditempat tersembunyi, ditaruh ditempat khusus untuk dibuang ditempat yang tersembunyi juga, tetapi dia lupa ketika ditaruh di map berkas manten dan lupa pula membuangnya. Begitulah KUA: ia menyimpan kisah-kisah kecil yang tidak tercatat di akta, tetapi tetap hidup di dindingnya.

Dan ada satu kisah lain, yang lebih sunyi, lebih berat. Selama bertugas di Cluring, saya tiga kali mengurus cuti sakit untuk tiga orang teman. Satu per satu, mereka akhirnya berpulang. Kebetulan ketika wafat, mereka masih bertugas di Cluring. Saya tidak percaya ini karena Cluring. Tidak ada tempat yang membawa maut bagi seseorang. Semua hanyalah kebetulan yang digariskan. “Tiap-tiap umat mempunyai ajal; apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34). Namun tetap saja, ada rasa yang membekas, ketika mengingat berkas cuti itu, saya merasa seperti sedang membaca catatan samar dari kehidupan: selembar kertas yang diam-diam menjadi tanda terakhir. Samar wulu kehidupan—antara sakit dan sehat, antara hadir dan tiada.

Tanah tempat KUA ini berdiri juga punya riwayat samar. Dulu ia pasar. Sebelum pasar, ia makam, meskipun hanya beberapa jasat. Sebelum makam, ia aliran sungai yang kering, di peta krawangan, ia bahkan tidak tergambar. Dari tanah samar menjadi tanah yang sah bersertifikat, dari terlupakan menjadi bernilai. Bukankah begitu juga perjalanan manusia? Dari tidak dikenal menjadi dikenal, dari samar menjadi nyata. Saya percaya, setiap bangunan menyimpan doa pertama yang dipanjatkan di dalamnya. Doa itu menjadi akar. Ia menahan bangunan meski angin zaman bertiup. Beton menguatkan dinding, tetapi doa yang menguatkan jiwa.

Gedung KUA Cluring ini akan menyimpan tangis pengantin yang gugup saat ijab, juga doa lirih seorang yang baru kehilangan pasangan hidupnya. Ia akan menyimpan rahasia kecil: tanda tangan yang gemetar, wajah memerah karena malu, doa yang tak selesai diucapkan. Semua itu akan menempel di ruang-ruangnya.

Selamatan Magrib di hari peresmian hanyalah awal. Sesudahnya, akan datang orang-orang dengan cerita masing-masing: ada yang membawa harapan, ada yang membawa luka dan ingin menyembuhkan luka tak berdarah. Gedung ini akan mendengar semuanya, menjadi saksi bisu yang sabar.

Hidup memang samar wulu. Kita berjalan di batas antara terang dan gelap. Kita hadir, lalu hilang. Kita tertawa, lalu diam. Kita sehat, lalu sakit. Kita hidup, lalu pulang. Dan dalam samar itu, manusia belajar menunduk, berdoa, percaya.bBangunan KUA Cluring, pada akhirnya, bukan hanya milik negara, tetapi milik doa. Ia berdiri di atas tanah yang dulunya samar, kini menjadi terang. Seperti Magrib, ia akan selalu berada di perbatasan: antara dunia yang tampak dan dunia yang tersembunyi. Karena yang samar itulah yang mengajarkan kita untuk berhati-hati, yang samar itulah yang membuat kita berdoa. Yang samar itulah yang menyisakan ruang bagi iman.


Penulis : Syafaat 

Jika Ini Nafas Terahir

 Jika Ini Nafasku yang Terakhir

Oleh; Lulu' Anwariyah 


Jika ini nafasku yang terakhir,

Aku ingin meninggalkan semua kenangan itu

Sebuah kenangan yang yang bermakna

Dengan orang-orang yang aku cinta


Aku ingin memandang wajah manisnya

Satu kali lagi, sebelum aku pergi,

Aku ingin merasakan hangatnya,

Pelukan yang selalu memberikan ketenangan 


Jika ini nafasku yang terakhir,

Aku ingin mengucapkan terima kasih,

Kepada mereka yang selalu support langkahku,

Menghadapi kesulitan dan kebahagiaan.


Aku ingin meninggalkan pesan,

Bahwa hidup ini indah dan sangat berharga,

Tak perlu disesali meski tak selaras dan sehati

Tetaplah melangkah dan jangan pernah ragu.


Jika ini nafasku yang terakhir,

Aku ingin membisikkan kata sayang dengan manja

Kepada orang-orang yang aku cinta.

Semoga takdir indah akan mempertemukan 

Pada tempat yang jauh lebih indah.


Banyuwangi, 10 Februari 2025

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger