Doa Samar Wulu di KUA Cluring
Senja di langit Cluring seperti menutup tirai perlahan, lembayung menggantung di udara, angin membawa bau semen dan cat baru dari bangunan KUA yang hendak ditempati. Di Jawa, sebelum bangunan baru dihuni, selalu ada selamatan. Doa, syukur, dan permohonan keselamatan, di Cluring, selamatan itu diwujudkan dalam salat Magrib berjamaah. Magrib dipilih bukan tanpa alasan, magrib adalah garis tipis, batas antara terang dan gelap, antara kepastian dan keraguan. Dalam bahasa Osing, waktu itu disebut samar wulu—saat ketika cahaya mulai luntur, sementara gelap belum sepenuhnya datang. Ada keindahan sekaligus kegetiran dalam samar wulu: keindahan karena langit lembayung, kegetiran karena ia mengingatkan bahwa tidak ada yang abadi.
Samar wulu adalah wajah kehidupan: tidak seluruhnya jelas, tidak seluruhnya gelap, kita selalu berada di antara yakin dan ragu, bahagia dan sedih, sehat dan sakit. Al-Qur’an mengingatkan, “Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda…” (QS. Al-Isra: 12). Tetapi di antara dua tanda itu ada ruang samar, ruang yang tidak disebut, ruang yang hanya bisa kita lewati dengan pasrah.
Kami menundukkan kepala di ruang baru itu, sujud pertama di lantai dingin, dinding masih asing, udara masih menyengat cat, tetapi doa bersama membuat segalanya menjadi hangat, seakan-akan sesuatu sedang ditanamkan: bahwa bangunan tidak hanya berdiri dari semen, tetapi juga dari doa yang dititipkan.
Orang Jawa selalu paham bagaimana menautkan iman dan budaya, selamatan bukan sekadar makan bersama. Tumpeng adalah kitab bisu: nasi mengerucut ke atas melambangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, lauk-pauk di sekelilingnya melambangkan hubungan dengan sesama. Dua arah itu tidak boleh dipisahkan. Saya teringat doa Nabi Ibrahim: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan berikanlah rezeki kepada penduduknya…” (QS. Al-Baqarah: 126). Selamatan adalah ikhtiar kecil agar bangunan ini aman, rezeki mengalir, keberkahan turun.b
Lebih dari lima tahun saya pernah bertugas di KUA Cluring, ada kisah lucu, ada kisah aneh, ada yang membuat bulu kuduk berdiri. Pernah seorang teman berlari ketakutan keluar dari kamar mandi, karena melihat penggosok lantai bergerak sendiri seakan ada yang menggerakkan dan sedang membersihkan kamar mandi. Pernah sebuah berkas hilang dari meja, lalu beberapa saat kemudian kembali, diletakkan rapi seperti ada tangan gaib yang mengurusnya. Bagi kami hidup di dunia ini memang tidak boleh egois, kita hidup dengan makhluk hidup yang lain, baik terlihat maupun tidak terlihat, yang gaib bukan untuk ditakuti, melainkan untuk saling menghormati. Bukankah iman sendiri adalah percaya pada adanya yang ghaib? Dunia ini dihuni oleh banyak makhluk, yang terlihat maupun yang tak terlihat, dan kita bisa hidup berdampingan dengan sesama makhluk.
Tetapi yang paling lekat dalam ingatan saya bukan kisah gaib, melainkan kisah manusia, saya masih ingat seorang perempuan muda dengan baju sederhana. Ia datang membawa map berisi berkas pernikahan, ingin konsultasi daftar nikah karena calon suami masih bekerja ditempat yang jauh. Saat map itu dibuka, diperiksa berkas-berkas, dan ada bungkusan dari kertas kecil yang dikiranya foto calon manten, jatuhlah sejumput rambut hitam, agak keriting. Wajah perempuan tersebut memerah, ia terbata menjelaskan bahwa itu rambut dari bagian tubuh yang tidak boleh ilihat selain dirinya dan suaminya, dicukur sebelum haid dan sebelum nikah. Saya menyuruhnya segera memungutnya, karena berceceran di lantai, saya tidak tertawa, sebab ada hal-hal yang terlalu rapuh untuk dijadikan olok-olok. Maksudnya baik, bulu tersebut dicukur ditempat tersembunyi, ditaruh ditempat khusus untuk dibuang ditempat yang tersembunyi juga, tetapi dia lupa ketika ditaruh di map berkas manten dan lupa pula membuangnya. Begitulah KUA: ia menyimpan kisah-kisah kecil yang tidak tercatat di akta, tetapi tetap hidup di dindingnya.
Dan ada satu kisah lain, yang lebih sunyi, lebih berat. Selama bertugas di Cluring, saya tiga kali mengurus cuti sakit untuk tiga orang teman. Satu per satu, mereka akhirnya berpulang. Kebetulan ketika wafat, mereka masih bertugas di Cluring. Saya tidak percaya ini karena Cluring. Tidak ada tempat yang membawa maut bagi seseorang. Semua hanyalah kebetulan yang digariskan. “Tiap-tiap umat mempunyai ajal; apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34). Namun tetap saja, ada rasa yang membekas, ketika mengingat berkas cuti itu, saya merasa seperti sedang membaca catatan samar dari kehidupan: selembar kertas yang diam-diam menjadi tanda terakhir. Samar wulu kehidupan—antara sakit dan sehat, antara hadir dan tiada.
Tanah tempat KUA ini berdiri juga punya riwayat samar. Dulu ia pasar. Sebelum pasar, ia makam, meskipun hanya beberapa jasat. Sebelum makam, ia aliran sungai yang kering, di peta krawangan, ia bahkan tidak tergambar. Dari tanah samar menjadi tanah yang sah bersertifikat, dari terlupakan menjadi bernilai. Bukankah begitu juga perjalanan manusia? Dari tidak dikenal menjadi dikenal, dari samar menjadi nyata. Saya percaya, setiap bangunan menyimpan doa pertama yang dipanjatkan di dalamnya. Doa itu menjadi akar. Ia menahan bangunan meski angin zaman bertiup. Beton menguatkan dinding, tetapi doa yang menguatkan jiwa.
Gedung KUA Cluring ini akan menyimpan tangis pengantin yang gugup saat ijab, juga doa lirih seorang yang baru kehilangan pasangan hidupnya. Ia akan menyimpan rahasia kecil: tanda tangan yang gemetar, wajah memerah karena malu, doa yang tak selesai diucapkan. Semua itu akan menempel di ruang-ruangnya.
Selamatan Magrib di hari peresmian hanyalah awal. Sesudahnya, akan datang orang-orang dengan cerita masing-masing: ada yang membawa harapan, ada yang membawa luka dan ingin menyembuhkan luka tak berdarah. Gedung ini akan mendengar semuanya, menjadi saksi bisu yang sabar.
Hidup memang samar wulu. Kita berjalan di batas antara terang dan gelap. Kita hadir, lalu hilang. Kita tertawa, lalu diam. Kita sehat, lalu sakit. Kita hidup, lalu pulang. Dan dalam samar itu, manusia belajar menunduk, berdoa, percaya.bBangunan KUA Cluring, pada akhirnya, bukan hanya milik negara, tetapi milik doa. Ia berdiri di atas tanah yang dulunya samar, kini menjadi terang. Seperti Magrib, ia akan selalu berada di perbatasan: antara dunia yang tampak dan dunia yang tersembunyi. Karena yang samar itulah yang mengajarkan kita untuk berhati-hati, yang samar itulah yang membuat kita berdoa. Yang samar itulah yang menyisakan ruang bagi iman.
Penulis : Syafaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar