Diam Lebih Nyaring dari Ribuan Komentar Netizen
Oleh: Syafaat
Di sebuah perumahan padat, jarak antar rumah hanya selembar dinding. Suara batuk dari ruang tamu bisa jadi terdengar sampai ke rumah sebelah, rahasia keluarga yang dibicarakan di kamar sering kali bocor tanpa disengaja karena tembok tipis tak sanggup menahan getar suara. Dalam suasana seperti itu, masalah kecil bisa membesar, perselisihan tentang parkir kendaraan di jalan perumahan, suara musik yang terlalu keras, atau percakapan yang salah tangkap bisa berlanjut menjadi keretakan yang panjang. Namun, selama masih berada di lingkup perumahan, masalah itu bisa diatasi lewat musyawarah kecil, lewat tegur sapa, atau setidaknya lewat dinginnya diam yang akhirnya meluruhkan amarah.
Akan tetapi, ketika masalah serupa berpindah ke media sosial, ia seakan menemukan sayap terbang, persoalan sederhana tentang parkir mobil bisa melompat menjadi tontonan ribuan orang. Pertengkaran antar tetangga bisa disaksikan jutaan mata yang sama sekali tidak mengenal para pelaku. Masalah yang mestinya cukup diselesaikan dengan duduk di beranda rumah sambil ngopi berubah menjadi perdebatan panjang yang menyeret opini tokoh publik, bahkan kadang pejabat negara sekelas gubernur bisa nimbrung. Yang lebih menakjubkan sekaligus menakutkan, kasus sepele itu bisa menyeberang batas negara tanpa paspor, tanpa visa, tanpa penghalang apa pun, hanya karena sebuah unggahan yang viral.
Fenomena ini tidak hanya bicara tentang teknologi. Ia lebih mirip cermin yang memantulkan wajah batin masyarakat, mqqqqedia sosial memberi panggung tanpa batas, memberi mikrofon tanpa mati, dan menyediakan penonton yang tak pernah bubar. Siapa pun bisa berbicara, siapa pun bisa bersuara, siapa pun bisa menilai. Hasilnya, banyak yang lebih cepat mengetik daripada merenung, lebih rajin mengomentari daripada menyimak.
Ruang digital yang mestinya bisa menjadi lahan doa, sering kali berubah menjadi ladang iri, dengki, dan amarah. Kata-kata yang lahir dari jari manusia terlempar ke ruang maya seakan tanpa bobot, padahal setiap huruf adalah bagian dari diri, setiap kalimat adalah catatan yang kelak dibuka kembali di hadapan Tuhan. Betapa sering nasihat sederhana Rasulullah ﷺ diabaikan: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Satu kalimat yang tampak ringan, tetapi begitu sulit diterapkan ketika jari sudah menari di atas layar.
Anonimitas memberi keberanian palsu. Orang bisa menyembunyikan wajah, menyamarkan nama, lalu melontarkan kata-kata yang tak pernah ia ucapkan di warung kopi. Dunia maya seperti pesta topeng, di mana setiap orang bisa menjadi siapa saja, bisa berkata apa saja, tanpa harus mempertanggungjawabkan wajah aslinya. Mereka yang pendiam di dunia nyata tiba-tiba berubah garang di dunia maya. Mereka yang sopan dalam percakapan sehari-hari, di ruang digital bisa menjadi pengadil yang paling keras. Dunia maya membiakkan wajah kedua manusia, wajah yang lebih liar, wajah yang sering kali lebih jujur sekaligus lebih kejam.
Kata-kata di layar sering dianggap main-main. “Itu hanya komentar,” begitu alasan yang kerap muncul. Tetapi sesungguhnya tidak ada yang sekadar komentar. Setiap kalimat menempel di hati orang lain, bisa menorehkan luka, bisa menyalakan harapan. Kalimat yang ditulis dengan ringan bisa menjadi beban berat di hati penerimanya. Dan yang lebih dalam, setiap kata adalah amal. Ia ditulis tidak hanya di layar, tetapi juga di lembar catatan malaikat.
Julid, sebuah kata yang lahir dari kebiasaan menyindir, kini menjadi salah satu wajah paling nyata dari kehidupan digital. Ia tidak sekadar komentar pedas, tetapi semacam bayangan batin bangsa yang sedang belajar mengelola kebebasan kata. Julid lahir dari iri, dari keinginan untuk merendahkan kebahagiaan orang lain. Seseorang memajang foto liburan, segera dituduh pamer. Seseorang menulis tentang keberhasilan, segera dihujani komentar sinis. Padahal kebahagiaan orang lain tidak pernah mengurangi kebahagiaan diri sendiri, sebagaimana tetes hujan yang jatuh di halaman tetangga tidak membuat halaman rumah menjadi kering.
Ketiadaan rasa syukur membuat hati mudah karatan. Nabi ﷺ mengingatkan, “Hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.” Karat hati adalah iri dan dengki, kebiasaan melihat nikmat orang lain lebih besar daripada nikmat sendiri. Media sosial hanyalah kaca pembesar bagi karat itu. Di layar, iri tampak lebih gamblang, dengki tampak lebih telanjang.
Budaya ikut-ikutan memperparah keadaan. Bangsa yang besar ini sering larut dalam keramaian. Satu orang julid, seribu ikut. Satu topik viral, semua latah. Ramai lebih menarik daripada sepi, kerumunan lebih menggoda daripada kesunyian doa. Dunia maya menjelma seperti pasar malam digital: lampu warna-warni berkelip, musik berdentum, orang-orang berdesakan tanpa tahu apa yang diperebutkan.
Kesopanan digital di negeri ini pernah dicatat rendah oleh survei internasional. Itu bukan sekadar angka, melainkan cermin budaya. Banyak yang pandai membeli gawai, tetapi miskin dalam mengelola kebebasan digital. Banyak yang pandai menggulir layar, tetapi enggan membuka lembar buku, banyak yang piawai berkomentar, tetapi kaku dalam berdoa.
Media sosial menyingkap dua wajah manusia. Di dunia nyata, orang menjaga basa-basi, takut menyinggung tetangga, takut malu di hadapan teman. Di dunia maya, orang bisa kasar, berani, dan tega. Pertanyaan yang muncul: manakah wajah yang asli? Mungkin keduanya adalah benar. Media sosial hanyalah cermin, yang memantulkan isi hati. Bila hati penuh kasih, yang keluar adalah doa. Bila hati penuh iri, yang lahir adalah sindiran dan caci maki.
Fenomena julid memperlihatkan bahwa yang sering terluka bukan hanya orang yang disindir, tetapi juga orang yang menyindir. Barangkali para netizen julid itu bukanlah orang jahat, melainkan orang yang sedang kalah dalam pertarungan dengan dirinya sendiri. Orang yang kehilangan ruang sehat untuk meluapkan emosi, lalu memilih menumpahkannya di kolom komentar.
Al-Qur’an memberi panduan yang begitu jelas: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra: 53). Bila ayat ini dihayati, seharusnya setiap komentar menjadi cahaya, setiap kata menjadi doa. Tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya, banyak kata dipakai untuk memadamkan cahaya.
Nabi ﷺ pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak memasukkan manusia ke surga. Beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Akhlak yang baik mencakup akhlak berkata-kata. Dunia digital bukan pengecualian. Setiap kata di layar adalah bagian dari akhlak, adalah bagian dari iman diam sering kali menjadi pilihan yang lebih nyaring daripada komentar. Diam bukan kelemahan. Diam bisa menjadi doa dalam senyap, bisa menjadi benteng dari dosa yang lahir dari lisan dan tulisan. Dalam dunia digital yang gaduh, diam sering lebih lantang daripada ribuan komentar yang melukai.
Kelak, ketika lidah dikunci dan tangan bersaksi, setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap komentar yang pernah diketik akan kembali hadir di hadapan Tuhan. Saat itu, barangkali yang paling disesali adalah kalimat-kalimat yang ditulis tanpa berpikir, komentar-komentar yang lahir dari iri dan amarah.
Diam bisa menyelamatkan lebih banyak daripada seribu kata, diam adalah ruang untuk menimbang, untuk menahan, untuk mencegah diri agar tidak menambah luka di dunia yang sudah terlalu banyak berdarah oleh kata-kata. Dan mungkin, di hadapan Allah, diam itu lebih mulia daripada seribu komentar yang lahir dari hati yang berkarat.
Media sosial tidak pernah benar-benar sunyi. Ia terus bergerak, terus berisik, terus menyodorkan ribuan kata setiap detik. Tetapi manusia selalu punya pilihan: ikut dalam riuh itu, atau menjaga diri dalam sepi. Setiap kata akan tetap hidup, menunggu hari ketika semua catatan dibuka. Dan pada hari itu, diam yang dijaga dengan sabar akan berbicara lebih nyaring daripada semua komentar yang pernah ditulis di layar.
Ketua Lentera Sastra Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar