Membaca Novel Robohnya Surau Kami
Oleh:
Syafaat
Membaca
Kumpulan cerita pendek Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, bagi saya, seperti
membaca kisah tentang diri kita sendiri yang diam-diam sedang kehilangan arah.
Haji Saleh dalam cerita itu bukan sekadar tokoh fiksi dari Minangkabau tahun
1950-an; ia adalah bayangan manusia hari ini, rajin beribadah, tapi lupa
menengok sekeliling. Cerpen itu, yang ditulis dengan bahasa sederhana dan
getir, terasa seperti teguran yang dititipkan Tuhan melalui pena seorang
sastrawan.
Barangkali
benar kata Navis: surau bisa roboh bukan karena gempa, bukan karena hujan
deras, tapi karena kosong. Kosong dari kehidupan, kosong dari kasih, kosong
dari manusia, atau surau itu benar-benar roboh karena kosong pondasi, kosong
perencanaan, kosong pengetahuan tentang banguan. Setiap kali saya mendengar
berita sebuah mushala, pesantren atau bangunan peribadata ambruk, entah karena
usia atau kesalahan teknis, saya tidak hanya melihat tragedi bangunan., ada
sesuatu yang lebih dalam, lebih menyesakkan: jangan-jangan yang sebenarnya
roboh bukan hanya temboknya, melainkan maknanya. Jangan-jangan kita sudah
terlalu sibuk membangun rumah Tuhan, tapi lupa meihat pondasi yang menumbuhkan
penghuni setia, aman dan nyaman di dalamnya.
Saya
pernah tinggal di pesantren tua yang didirikan sekitar tahun 1950-an, bangunannya
tiga lantai, yang dibangun ulang setelah sebelumnya di zaman agresi pesantren
tersebut sempat dibakar oleh tentara Belanda hingga ludes nyaris tanpa bekas.
Lantai bawah untuk kamar para santri, lantai dua juga kamar tapi berpapan kayu jati
yang tebal, dan lantai tiga adalah aula tempat mengaji, berpidato, atau menulis
surat untuk orang tua di malam hari. tidak ada beton, tidak ada baja ringan, hanya
bata merah, kayu jati, dan niat yang lurus. Bangunan itu dibangun dengan
perencanaan matang yang membuat penghuninya yakin dengan kekuatannya. Yang atas
tidak membebani yang bawah, bahkan cenderung mengayomi.
Setiap
kali menaiki tangga, kayunya berderit pelan, tapi bunyi itu bukan tanda rapuh, melainkan
tanda hidup. Ia menanggung langkah-langkah kecil yang penuh cita-cita. Di
sanalah kami tertawa, berdoa, belajar, dan menangis. Lantai itu tahu betul
siapa yang rajin tahajud, siapa yang sering kesiangan, tahu betul bahwa hidup
kami memang sederhana, seperti cita-cita kami yang juga sederhana. Bangunan itu
tak pernah roboh, meski beberapa kali diguncang gempa kecil, saya percaya,
bukan semata karena bahan bangunannya kuat, tapi karena ia dibangun dengan
cinta. Setiap bata ditempelkan dengan keikhlasan doa, setiap papan dipasang
dengan kesungguhan. Tak ada arsitek dari perguruan tinggi ternama, tapi ada
iman. Tak ada rancangan rumit, tapi teliti dan ada dzikir di setiap ayunan
palu. Pondasinya dalam, bukan hanya karena tanahnya digali, tapi karena hati
para pembangunnya ikut ditanam di sana. Dan barangkali di situlah perbedaan
antara bangunan yang berdiri karena proyek, dan bangunan yang berdiri karena
doa. Namun saya sering bertanya: kalaupun bangunannya masih berdiri, apakah
suraunya masih hidup?
Hari
ini kita hidup di zaman yang mencintai kemegahan. Masjid dan musala menjulang
dengan kubah berlapis marmer, lantai berkilau, dan lampu-lampu kristal yang
berpendar seperti bintang di langit malam. Di setiap sudutnya ada pengeras
suara, udara di dalamnya sejuk oleh pendingin ruangan, seolah-olah surga bisa
diciptakan dengan rancangan arsitektur. Tapi entah mengapa, di dalamnya semakin
sunyi. Jamaah kian berkurang, suara adzan yang dulu menggetarkan kini hanya
bersahut pada ruang kosong. Anak-anak yang dulu berlari di halaman surau, kini
berdiam di depan layar ponsel, bermain di dunia yang tanpa wudu, tanpa kiblat,
tanpa jeda. Tadarus yang dulu bergaung setiap Ramadan kini hanya tinggal gema
masa lalu, seperti suara masa kecil yang hilang di balik riuh kota.
Kita
membangun rumah Tuhan dengan megah, tapi membiarkan hati manusia menjadi
reruntuhan. Dindingnya tinggi, tapi jiwa-jiwa yang seharusnya bersandar di sana
telah menjauh, tersesat dalam gemerlap yang menipu. Kita sibuk mempercantik
mihrab, tetapi lupa menambal lubang-lubang dalam iman. Kita memperindah rumah
Tuhan, tapi jarang membersihkan jalan menuju ke sana. Dan mungkin di situlah
ironi zaman ini bersembunyi, kita membuat tempat sujud semakin nyaman, tapi tak
lagi tahu bagaimana rasanya berlutut dengan hati yang benar-benar tunduk. Kita
mencintai kemegahan, namun kehilangan kesederhanaan yang dulu membuat doa
terasa dekat. Rumah Tuhan berdiri megah, tapi anak-anak Tuhan berjalan menjauh.
Dalam
cerpen Navis, Haji Saleh mengira ibadahnya sempurna. Ia mengira surga sudah
menunggunya. Tapi Tuhan bertanya dengan satu kalimat yang menembus dasar hati:
“Apa
yang kau lakukan selama hidupmu?”
“Aku
beribadah, ya Tuhan.”
“Untuk
siapa kau beribadah?”
Pertanyaan itu pecah seperti cermin di depan wajah kita. Betapa sering kita beribadah hanya untuk diri sendiri, agar terlihat saleh, agar merasa aman. Kita menunaikan kewajiban, tapi lupa menyalakan kasih sayang. Kita sujud berulang kali, tapi lupa menegakkan kemanusiaan.
Saya
masih ingat mushala kecil di kampung, dindingnya retak, karpetnya tipis, kipas
anginnya berdecit. Tapi setiap azan berkumandang, jamaah datang. Anak-anak
berlari kecil, orang tua menenteng sajadah lusuh, dan suara muazin naik
perlahan dari mulut yang tak lagi muda. Surau itu hidup, karena ada manusia di
dalamnya yang masih setia menengadahkan tangan, meski hidup mereka sendiri
sering tak mudah. Sebaliknya, di kota, saya pernah melihat mushala megah, kubahnya
berlapis marmer, karpetnya harum, udaranya dingin, tapi sepi. Tak ada tadarus,
tak ada anak-anak mengaji. Ia hanya ramai ketika hari raya, atau ketika kamera dating,
surau itu indah, tapi dingin. Kokoh, tapi kosong.
Mungkin
beginilah yang dimaksud Navis ketika mengatakan “robohnya surau kami.” Ia bukan
tentang bangunan, melainkan tentang ruh. Tentang bagaimana manusia modern
terlalu sibuk memoles wujud agama, tapi lupa menanamkan maknanya. Seorang kiai
tua pernah berkata pada saya:
“Nak,
Tuhan tidak butuh rumah. Ia sudah punya langit dan bumi. Surau itu bukan tempat
Tuhan tinggal, tapi tempat manusia belajar mencintai.”
Kalimat
itu sederhana, tapi menancap, mungkin itu sebabnya, banyak surau hari ini
tampak kokoh tapi tak lagi punya jiwa, kita bangun gedungnya, tapi tidak
menanamkan kasih, kita cat temboknya, tapi membiarkan hati jamaahnya retak.
Saya
teringat surau kecil peninggalan kakek saya di kampung, dulu tempat kami
mengaji, tempat kami mengenal huruf-huruf hijaiyah dengan suara terbata.
Setelah beliau wafat, surau itu dibiarkan kosong, atapnya bocor, dindingnya
lapuk, hingga suatu hari dianggap membahayakan, lalu dibongkar, surau itu
hilang, tinggal pondasi yang ditumbuhi Semak. Saya sedih. Seolah bukan bangunan
yang diruntuhkan, tapi kenangan masa kecil kami yang ikut rubuh.
Beberapa
tahun kemudian, bersama warga kampung, saya mencoba membangunnya Kembali, kami
menamainya Baitus Syafaat, rumah pertolongan. Saya ingin surau itu
menjadi tempat hidup kembali: tempat belajar agama, tempat anak-anak mengenal
sujud, tempat orang-orang dewasa beristirahat dari lelah dunia. Saya tidak
ingin surau itu sepi lagi, saya tidak ingin ia roboh, bukan karena tanah, tapi
karena kita abai, sebab membangun itu lebih mudah daripada menjaga agar surau
itu tidak sunyi, agar anak-anak menarasa senang mendatanginya, agar orang-orang
yang mampir sekedar ikut sembahyang juga merasa nyaman.
Setiap
kali mendengar berita tentang surau roboh, saya membayangkan bukan hanya
reruntuhan bata dan papan, tapi reruntuhan hati manusia yang sudah lama tak
berdoa, surau yang runtuh hari ini mungkin hanya cerminan dari doa-doa yang
kita abaikan kemarin. Kita hidup di masa ketika tangan sibuk menggenggam
ponsel, tapi jarang terangkat untuk berdoa, ketika mulut fasih bicara tentang
agama, tapi kaku menyebut nama Tuhan dengan lembut, ketika waktu salat lewat
begitu saja, tergantikan oleh notifikasi yang lebih mendesak, kita rajin
membangun menara, tapi lupa membangun pondasi jiwa.
Padahal
pondasi surau bukan hanya semen dan besi, pondasinya adalah kesadaran bahwa
ibadah sejati bukan hanya menunduk di sajadah, tapi juga menegakkan keadilan di
luar sajadah. Bahwa doa bukan sekadar suara yang naik ke langit, tapi juga
tindakan yang turun ke bumi. Dan mungkin, surau yang paling suci bukan yang
berdiri di atas tanah wakaf, tapi yang berdiri di dalam dada manusia. Surau
yang diisi oleh rindu, dzikir, dan kasih. Surau yang tak bisa dirobohkan oleh
gempa, tak bisa dibakar oleh zaman. Sebab kalau surau di dalam hati masih
tegak, maka meski dunia runtuh, kita tetap punya tempat untuk bersujud.
Dan
jika suatu hari Tuhan bertanya pada kita seperti Ia bertanya pada Haji Saleh,
semoga kita bisa menjawab tanpa gugup:
“Ya Tuhan, aku tidak hanya membangun rumah-Mu.
Aku juga menjaga agar ia tak sepi. Aku menjaga agar surau-Mu tetap hidup.”
Kita
sering sibuk menegakkan dinding-dinding baru, menambah lantai demi lantai,
membuat kehidupan ini tampak tinggi menjulang. Kita menghitung kekuatan besi,
mengukur kedalaman pondasi, memastikan tak ada retak yang bisa membuatnya
goyah. Tapi jarang sekali kita menanyakan: di atas apa sesungguhnya bangunan
jiwa ini berdiri?
Seperti
gedung bertingkat yang butuh pondasi kokoh, perhitungan matang dan waktu yang
tepat, iman pun memerlukan tanah
kesadaran yang dalam, tak cukup dengan pengetahuan yang dipajang di kepala; ia
perlu keyakinan yang hidup di dada. Karena jika kesadaran itu rapuh, sehebat
apa pun bangunan amal akan retak, dan setinggi apa pun menara kebaikan akan
runtuh dalam sunyi. Roboh itu tidak selalu terdengar, kadang ia diam, terjadi
perlahan, ketika seseorang berhenti berdoa karena merasa semua baik-baik saja.
Ketika sujud kehilangan makna, dan zikir hanya tinggal bunyi tanpa arah, maka
yang runtuh bukan tembok, melainkan ruang dalam hati yang tak lagi mampu
menampung cahaya.
Iman
tidak tumbuh dari banyaknya ayat yang kita hafal, melainkan dari seberapa jujur
kita menundukkan diri. Ia seperti tanah liat, lembut tapi kuat, yang mesti
dibasahi air penyesalan agar bisa dibentuk menjadi sesuatu yang bernilai. Tanpa
itu, ia akan mengeras, kering, dan pecah, bahkan sebelum sempat dijadikan apa
pun. Karena itu, sebelum membangun kehidupan setinggi langit, pastikan
pondasinya menancap ke bumi sujud, sebab tidak ada bangunan yang lebih indah
dari hati yang tahu caranya kembali berlutut.
Penulis
adalah ASN/ Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar