Pages

Banyuwangi, 254 Tahun: Kota yang Menyanyi dari Ingatan Panjang

 Banyuwangi, 254 Tahun: Kota yang Menyanyi dari Ingatan Panjang

Oleh : Syafaat

Dua ratus lima puluh empat tahun bukanlah sekadar deret angka yang dipahat di atas batu nisan sejarah, bukan pula sekadar hiasan umbul-umbul yang berkibar ditiup angin Selat Bali. Ia adalah usia yang lahir dari zikir panjang tanah ini, dari sujud-sujud sunyi para leluhur yang menggenggam iman sambil menahan pedang dan luka. Di kedalaman rahimnya, Banyuwangi adalah sebuah kitab besar, ditulis dengan tinta darah, air mata, dan doa yang ayat-ayatnya tak selalu dibaca di mimbar, tetapi terpatri di ladang, hutan, dan pantai.

Ketika kita merapal angka 254, sesungguhnya kita sedang membuka kembali lembar-lembar syahadat perlawanan yang pernah dikumandangkan di belantara Bayu. Syahadat bahwa tanah ini tidak tunduk selain kepada Yang Maha Merdeka. Syahadat bahwa manusia diciptakan untuk menjaga martabat, bukan menjualnya. Dari Minak Jinggo hingga para petani tanpa nama, dari ibu-ibu yang menyimpan beras di lumbung kecil hingga santri yang mengaji di surau bambu, semuanya adalah barisan panjang orang-orang beriman yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Banyuwangi tumbuh bukan dari kemewahan istana, melainkan dari kesabaran. Ia dibesarkan oleh air sendang yang disakralkan, oleh kidung yang dilantunkan sebagai doa, oleh seni yang bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan. Gandrung, hadrah, macapat, hingga lantunan ayat suci, semuanya adalah cara tanah ini bersujud, cara masyarakatnya mengikat langit dan bumi agar tetap seimbang.


Maka, memperingati usia ke-254 bukanlah semata pesta cahaya dan panggung megah. Ia adalah miqat, titik berhenti untuk menengok kembali niat. Sudahkah kita setia pada amanah leluhur? Sudahkah pembangunan berjalan seiring dengan pemuliaan manusia dan alam? Ataukah kita hanya sibuk menghitung capaian, lupa menghitung luka yang tertinggal?

Di usia ini, Banyuwangi dipanggil untuk kembali menjadi tanah yang aman bagi perbedaan, subur bagi harapan, dan ramah bagi iman. Tanah yang memuliakan seni sebagai jalan kebijaksanaan, memelihara budaya sebagai kearifan, dan menjadikan agama sebagai cahaya, bukan bara. Dua ratus lima puluh empat tahun adalah doa yang belum selesai. Dan kitalah yang hari ini diminta melanjutkan kalimatnya, dengan kerja yang jujur, dengan hati yang bersih, dan dengan kesetiaan pada Tuhan serta sejarah. Kota ini tidak lahir dari rahim kesunyian yang pasif, melainkan dari rahim sejarah yang berdenyut oleh doa dan perlawanan. Ia dilahirkan oleh gemuruh dzikir para ksatria Blambangan, dzikir yang tak selalu dilafalkan dengan tasbih, tetapi dengan keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan pada martabat. Mereka menolak tunduk pada tirani, sebab dalam keyakinan terdalam mereka, tunduk hanya layak dipersembahkan kepada Yang Maha Esa.

Perang Puputan Bayu, 18 Desember 1771, bukanlah kisah tentang kalah dan menang dalam timbangan dunia. Ia adalah fajar shādiq, fajar sejati yang merekah dari luka dan darah, menandai lahirnya kesadaran kolektif bahwa kehormatan lebih bernilai daripada usia yang panjang tanpa harga diri. Di medan itulah, jasad boleh rebah, tetapi ruh berdiri tegak menghadap langit. Pedang dan doa menyatu, teriakan dan takbir bertaut, seakan bumi dan langit sepakat menyaksikan sumpah terakhir anak-anak Blambangan. Di Bayu, etika keberagamaan dan kebernegaraan menemukan simpulnya. Membela tanah kelahiran bukan sekadar naluri, melainkan ibadah; menjaga bumi bukan sekadar tugas sejarah, melainkan amanah ilahi. Tanah air dipahami sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga dengan iman, bukan dieksploitasi dengan keserakahan. Dari sanalah Banyuwangi belajar bahwa nasionalisme yang sejati berakar pada spiritualitas, dan spiritualitas yang matang akan melahirkan keberanian moral.

Maka, hari jadi ini bukan sekadar penanda usia, tetapi mihrab perenungan. Ia memanggil kita untuk menyalakan kembali lentera di dalam dada, lentera yang pernah dinyalakan para leluhur dengan nyala keberanian dan keikhlasan. Agar di tengah riuhnya modernitas, di antara cahaya-cahaya palsu yang memukau mata namun menggelapkan hati, kita tidak tersesat dari asal-usul. Sebab kota ini hanya akan tetap hidup bila ingat pada doanya, setia pada lukanya, dan jujur pada imannya.

Hari ini, kita menyaksikan tetangga-tetangga kita ikut gairah, seakan bumi Tapal Kuda sedang berhias menyambut musim baru. Bandara-bandara ingin ikut membelah langit seperti Banyuwangi, landasan pacunya seperti sajadah panjang tempat harapan berangkat dan pulang. Jalan-jalan dibuka, aspal direntangkan laksana urat nadi yang mengalirkan rezeki, sementara pembangunan merayap pelan namun pasti ke sudut-sudut yang dahulu sunyi. Dalam kacamata duniawi yang sempit, semua ini kerap dibaca sebagai perlombaan, siapa lebih tinggi, lebih cepat, lebih gemerlap.

Namun bagi hati yang telah belajar tawaduk, kemajuan wilayah sekitar adalah tajallī, penampakan rahmat Tuhan yang tak mengenal pagar administrasi. Rezeki tidak pernah salah alamat, dan keberkahan tidak pernah berkurang hanya karena dibagi. Langit yang sama menaungi kita semua; angin yang sama membawa doa-doa dari desa ke desa. Maka, setiap landasan yang terbangun, setiap jalan yang terbuka, sejatinya adalah ayat-ayat Tuhan yang sedang diturunkan dalam bahasa pembangunan.

Banyuwangi tidak pernah memiliki watak rakus untuk menjadi pusat tunggal yang menelan sekelilingnya. Sejak awal, memori kolektif Blambangan adalah memori ruang yang luas, ruang persaudaraan, ruang lintasan budaya, ruang perjumpaan iman. Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa kemuliaan tidak lahir dari menyingkirkan yang lain, melainkan dari kemampuan hidup berdampingan. Maka, ketika wilayah di sekitar kita bertumbuh, itu adalah gema dari keberhasilan kita menjaga keseimbangan dan stabilitas kawasan, doa yang diam-diam dikabulkan.

Kita tidak sedang berlomba lari dengan napas terengah dan siku saling menyikut. Kita sedang tandang bareng dalam sebuah kafilah besar menuju kesejahteraan, di mana setiap langkah saling menguatkan dan setiap singgah saling mendoakan. Persaingan hanyalah ilusi bagi mereka yang hatinya belum selesai dengan urusan kedengkian, mereka yang mengira cahaya bisa direbut, bukan dipantulkan. Banyuwangi memilih menjadi lilin yang menyulut lilin-lilin lain. Ia rela nyalanya dibagi, sebab ia tahu cahaya tidak pernah habis ketika disebarkan. Ia menolak menjadi api yang memadamkan nyala orang lain demi terlihat paling terang. Dalam pilihan itu, kota ini bersujud: kepada Tuhan yang Maha Luas rahmat-Nya, dan kepada sejarah yang mengajarkan bahwa terang sejati adalah yang mampu menerangi jalan banyak orang.

Kita harus jujur pada nurani: Apakah bandara yang megah itu telah menjadi jembatan doa bagi rakyat kecil? Ataukah ia hanya menjadi monumen bisu bagi mereka yang mampu terbang? Banyuwangi memahami bahwa pembangunan tanpa dimensi uluhiyah (ketuhanan) dan insaniyah (kemanusiaan) hanyalah raga tanpa ruh. Masyarakat tidak butuh angka-angka pertumbuhan ekonomi di atas kertas jika dapur mereka tidak mengepulkan asap syukur. Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang memuliakan martabat manusia. Pembangunan yang membuat seorang petani di kaki Gunung Raung merasa aman, seorang nelayan di Muncar merasa terlindungi, dan seorang guru ngaji di pelosok desa merasa dihargai. Inilah esensi dalam pembangunan: menjadikan kebijakan sebagai bentuk pengabdian, bukan sekadar urusan administrasi.

Di Banyuwangi, seni tidak pernah lahir sebagai hiburan yang kosong makna. Ia bukan sekadar tontonan bagi mata, melainkan tuntunan bagi jiwa. Jauh sebelum panggung-panggung festival berdiri megah dengan cahaya LED dan sorak kamera, Gandrung telah lebih dahulu menjadi sajadah panjang tempat masyarakat bersyukur kepada Sang Pemberi Rezeki. Setiap lenggoknya adalah ungkapan terima kasih kepada bumi yang subur, kepada hujan yang setia turun, kepada hidup yang masih diberi kesempatan bersemi.

Barong tidak hadir sebagai hiasan folklor belaka. Ia adalah simbol penjaga desa, personifikasi ikhtiar spiritual manusia dalam menghadapi marabahaya yang tak kasatmata. Di balik topeng dan geraknya, tersimpan kesadaran kolektif bahwa hidup tidak hanya bergulat dengan yang terlihat, tetapi juga dengan yang gaib, dan untuk itu, manusia harus rendah hati, saling menjaga, dan selalu mengingat Yang Maha Melindungi. Hadrah Kunthulan pun bukan sekadar irama yang menggerakkan kaki. Ia adalah detak jantung komunitas, denyut iman yang memadukan gerak raga dengan puji-pujian kepada Baginda Nabi. Rebana yang ditabuh bukan hanya menghasilkan bunyi, melainkan menata batin; mengingatkan bahwa tubuh dan ruh seharusnya berjalan seiring menuju kebaikan.

Seni di tanah ini adalah bahasa kami untuk berdialog dengan Tuhan. Ketika penari Gandrung melenggok, ada doa yang dipanjatkan lewat jemari—doa yang mungkin tak terucap oleh lisan, namun fasih dibaca oleh langit. Ketika kendang bertalu dan gong berdentang, ada getaran qalbu yang mengingatkan manusia pada harmoni kosmos, bahwa alam pun bertasbih dengan caranya sendiri. Karena itu, Banyuwangi Festival (B-Fest) semestinya tidak berhenti sebagai etalase pariwisata, apalagi sekadar kalender acara. Ia adalah madrasah kebudayaan, ruang belajar lintas generasi, tempat nilai diwariskan, bukan hanya dipamerkan. Di sanalah seni dirawat agar tidak membeku menjadi fosil yang mati, tetapi terus bergerak menjadi energi yang menghidupkan: menghidupkan ingatan, menghidupkan iman, dan menghidupkan harapan bahwa modernitas dapat berjalan seiring dengan kesetiaan pada akar.

Memasuki usia 254, tantangan kita tak lagi berwujud meriam penjajah yang menggelegar di medan laga, melainkan sesuatu yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya: amnesia sejarah dan kekeringan spiritual. Musuh hari ini tidak datang dari laut dengan kapal perang, tetapi merayap pelan ke dalam ingatan, mengikis makna, memudarkan nilai, dan menggantinya dengan kilau sesaat yang sering kita salah sangka sebagai kemajuan. Jangan sampai bangunan-bangunan tinggi yang menjulang membuat pandangan kita lupa menunduk ke akar. Jangan sampai jalan-jalan lebar yang terbentang menjauhkan langkah kita dari jejak para leluhur. Kemajuan fisik yang tidak disertai kejernihan batin berisiko menjadikan kita asing di tanah sendiri, seperti musafir yang hafal peta, tetapi lupa arah pulang.

Kota yang besar bukan hanya yang kuat infrastrukturnya, melainkan yang utuh jiwanya. Kekayaan materi tanpa keluhuran tradisi hanyalah rumah megah tanpa ruh; berdiri, tetapi dingin dan sepi. Tradisi adalah ibu yang menyusui batin kolektif kita, tanpanya, kita akan tumbuh sebagai generasi yatim piatu secara kultural: hidup, tetapi kehilangan rasa memiliki. Di usia ini, Banyuwangi dipanggil untuk kembali berwudu pada sejarahnya, menyiram ingatan yang mulai kering dengan mata air spiritualitas. Agar setiap kemajuan menjadi sedekah, setiap pembangunan menjadi doa, dan setiap pencapaian menjadi jalan mendekat kepada Tuhan. Sebab hanya dengan begitu, kota ini tidak sekadar maju, tetapi juga beradab; tidak hanya bercahaya di mata dunia, tetapi hangat di pelukan sejarah dan iman, kita jadikan Hari Jadi Banyuwangi ini sebagai momentum untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri). Mari kita jaga harmoni antara kemajuan zaman dengan keteguhan iman. Kita ingin Banyuwangi yang modern, namun tetap memiliki bau tanah yang akrab bagi para petani; kita ingin Banyuwangi yang mendunia, namun tetap memiliki gema selawat yang syahdu di surau-surau.

Banyuwangi adalah sebuah "Lentera". Cahayanya harus mampu menerangi jalan bagi mereka yang gelap, memberi kehangatan bagi mereka yang kedinginan, dan menjadi penunjuk arah bagi mereka yang kehilangan makna hidup.

Penulis adalah :  Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.

 

 

Kemenag Banyuwangi Gelar Musabaqoh Qiroatul Kutub untuk Perkuat Kompetensi ASN

Banyuwangi (Warta Blambangan) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menggelar Musabaqoh Qiroatul Kutub (MQK) dalam rangka memperingati Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama Republik Indonesia ke-80, Rabu (17/12/2025). Kegiatan tersebut berlangsung di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Chaironi Hidayat, membuka kegiatan tersebut. Ia juga menjadi salah satu dewan juri bersama Ahmad Siddiq, Penyuluh Agama Islam KUA Kalipuro; Gufron, Kepala KUA Kecamatan Gambiran; serta Yusron, Kepala KUA Kecamatan Bangorejo yang bertindak sebagai penanggung jawab kegiatan. 


Chaironi mengatakan, Musabaqoh Qiroatul Kutub menjadi salah satu upaya Kementerian Agama untuk meningkatkan kompetensi aparatur sipil negara (ASN), khususnya Penyuluh Agama Islam, dalam penguasaan khazanah keilmuan Islam berbasis kitab kuning.

Menurut dia, kemampuan membaca dan memahami kitab kuning merupakan bagian penting dari profesionalitas ASN Kementerian Agama. Kompetensi tersebut dibutuhkan dalam menjalankan fungsi pembinaan dan pelayanan keagamaan kepada masyarakat.

Ia menambahkan, nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang terkandung dalam kitab kuning perlu terus dikontekstualisasikan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Nilai-nilai itu, kata dia, menjadi landasan dalam menjaga harmoni sosial serta memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Chaironi juga menilai, MQK relevan dengan upaya penguatan moderasi beragama. Melalui peningkatan literasi keagamaan, penyuluh agama diharapkan mampu berperan aktif dalam menangkal pemahaman keagamaan yang ekstrem dan tidak sejalan dengan prinsip kebangsaan.

Sementara itu, Koordinator Kegiatan MQK, Ahmad Siddiq, menjelaskan bahwa pelaksanaan musabaqoh mengedepankan prinsip objektivitas dan sportivitas. Peserta diharapkan mengikuti seluruh ketentuan yang telah ditetapkan agar kegiatan berjalan tertib dan lancar.

Kemenag Banyuwangi Merajut Karakter Lewat Workshop Pentigraf

Banyuwangi (Warna Blambangan) Di bawah kegiatan peringatan Hari Amal Bakti (HAB) ke-80 Kementerian Agama Republik Indonesia, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menyalakan obor literasi melalui Workshop Pentigraf—cerita pendek tiga paragraf—yang digelar secara hibrida, Selasa (26/12/2025). Aula MAN 3 Banyuwangi menjadi ruang temu luring, sementara layar-layar daring menghubungkan madrasah lain dalam satu tarikan napas yang sama: sastra sebagai jalan pembentukan karakter. 


Membuka kegiatan, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, menegaskan bahwa pentigraf bukan sekadar latihan merangkai kata. Ia adalah disiplin batin—cara berpikir holistik yang memaksa penulis memahami persoalan secara utuh, lalu merumuskannya dengan ringkas, padat, dan bermakna. Dalam kependekan, karakter diuji; dalam kesederhanaan, kedalaman dituntut.

Ketua Panitia HAB ke-80 Kementerian Agama RI pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Fathurrahman, menyambut kegiatan ini dengan rasa syukur. Berlatar pengalaman jurnalistik yang tumbuh tanpa bangku pelatihan formal, ia melihat workshop ini sebagai ladang subur bagi tumbuhnya insan literasi yang andal dan berkarakter—sebuah ikhtiar yang kini bersemi di lingkungan Kemenag Banyuwangi, diinisiasi oleh Lentera Sastra.

Dua suara menguatkan ikhtiar itu. Dr. Nurul Lutfia Rohmah dari Lentera Sastra—Ketua HISKI Komisariat Banyuwangi—membentangkan lanskap teori dan kepekaan sastra. Sementara Syafaat, Ketua Lentera Sastra, menautkan teori dengan laku: peserta tidak berhenti pada pemahaman, melainkan melangkah ke praktik. Mereka menulis, berlomba, dan karya terbaiknya kelak dibukukan—menjadi jejak yang dapat dibaca waktu.

Pelaksanaan hibrida menjahit jarak: materi disampaikan luring di MAN 3 Banyuwangi dan daring bersama siswa MTs Nurul Iman, Desa Sukojati, Kecamatan Blimbingsari. Dari ruang ke ruang, dari layar ke layar, sastra bekerja sebagai jembatan—menumbuhkan budaya literasi, mengasah kreativitas, dan meneguhkan karakter peserta didik. Di tiga paragraf, Banyuwangi belajar merangkum dunia; di sastra, ia menemukan arah.

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit 

Oleh : Syafaat

 

Ada saat ketika angka tak lagi sekadar angka. Ketika “961 jiwa meninggal” (BNPB,08/12/2025) berubah menjadi wajah-wajah yang tak sempat mengucap salam terakhir; menjadi cahaya mata anak yang menunggu ibunya pulang; menjadi tangan yang terjulur dari lumpur, seolah meminta disentuhkan kembali kepada Rahman dan Rahim. Angka-angka itu seperti ayat yang patah di tengah tilawah, meninggalkan ruang kosong di dada, membuat langit serasa turun lebih dekat, seperti ingin menuntun manusia membaca ulang makna musibah.

Dan ketika “hampir satu juta orang mengungsi” disebutkan, gema langkah mereka mengingatkan pada kisah-kisah tua, umat yang keluar dari Mesir bersama Musa, umat yang berlari menjauhi banjir besar Nuh. Bukan karena ingin, tetapi karena bumi yang terluka menghembuskan peringatan. Mereka meninggalkan rumah dengan dada bergetar, seperti orang yang tersengat takdir yang belum sempat dipahami. Banjir bandang, longsor yang memecah bukit, sungai yang berubah warna, semua itu bukan sekadar kejadian alam. Mereka adalah khutbah panjang yang dibacakan bumi kepada manusia. Setiap gemuruh air seperti kalimat tanpa huruf yang berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, sebelum luka ini menjelma murka yang lebih besar.”

Dalam arus kegelisahan itu, ekoteologi yang digelorakan di bawah kepemimpinan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, hadir bukan sebagai program birokrasi yang disusun dalam ruang-ruang rapat. Ia lebih menyerupai seruan halus dari kedalaman iman: ajakan agar manusia kembali memandang bumi sebagai amanah Tuhan, bukan sekadar lahan yang bisa ditakar-takar untuk dieksploitasi. Di tangan Kementerian Agama, ekoteologi menjelma jembatan yang menghubungkan langit dan tanah, mengikat ayat-ayat suci dengan akar yang tumbuh, menyatukan sujud dengan rimbunnya pepohonan, mengaitkan doa-doa umat dengan aliran sungai yang menghidupi.

Di bawah gerakan ini, setiap tradisi agama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya) dipanggil untuk kembali membaca kitab-kitab penciptaan. Menanam pohon bukan lagi kegiatan seremonial, tetapi dzikir yang menancap ke bumi. Mengurangi plastik bukan lagi kampanye kosong, tetapi bentuk taubat ekologis. Pendidikan berbasis iman tidak hanya melahirkan kecerdasan intelektual, tetapi kejernihan batin untuk menjaga rumah bersama tempat semua makhluk menundukkan kepala kepada Yang Maha Mencipta.

Sebab bumi, yang dulu dipanggil Ibu, kini terdengar merintih seperti tubuh renta yang dipaksa menyimpan dosa-dosa manusia. Pepohonan yang mestinya menjadi pakaian bumi telah dirampas oleh tangan-tangan yang lupa berdoa. Tanpa hutan, hujan yang turun sebagai rahmat berubah menjadi hantaman kasar, seperti air wudhu yang tumpah dari hati yang kehilangan kejernihan. Sejarah panjang Nusantara adalah sejarah manusia menggali, menebang, menjual, meratakan, sebuah perjalanan yang terkadang kehilangan adab, membuat manusia berdiri sebagai penguasa, bukan penjaga. Padahal ayat pertama tentang kehadiran manusia di muka bumi tidak pernah menyebutkan kekuasaan. Yang disebutkan hanyalah amanah:


Dalam tasawuf, alam disebut ayat kauniyah, ayat-ayat Tuhan yang tidak tercetak dalam mushaf, tetapi tumbuh sebagai daun yang bertasbih, mengalir sebagai sungai yang berdzikir, dan berguguran sebagai tanda waktunya manusia kembali mengingat. Maka ketika satu pohon hilang, sesungguhnya kita telah merobek satu halaman dari kitab yang belum selesai kita pahami. Ulama-ulama dahulu percaya bahwa kerusakan alam adalah tanda retaknya iman. Menebang pohon tanpa alasan dianggap melukai makhluk yang tengah bertasbih. Daun adalah dzikir, hujan adalah rahmat, angin adalah salam. Dan ketika rahmat berubah menjadi banjir, mungkin dzikir alam telah tergantikan oleh suara mesin dan keserakahan manusia.

Nenek moyang Nusantara pun telah lama memahami amanah ini. Gunung adalah kakek, tanah adalah ibu pertiwi, sungai adalah nadi kehidupan. Setiap penebangan pepohonan adalah dialog, bukan keputusan sepihak. Mereka percaya: alam yang marah tidak menghukum, tetapi mengingatkan. Dan kini pengingat itu datang dalam bentuk bencana—datang pelan namun pasti, seperti suara ibu yang dipaksa meninggikan nada karena anaknya terlalu keras kepala. Namun manusia tetap gemar menuding: menuding penebang liar, menuding pemilik sawit, menuding pemerintah. Padahal bayangan di cermin adalah terdakwa pertama. Kita menikmati hasil dari tanah yang disakiti, namun marah ketika bumi menagih haknya. Kita menikmati cahaya listrik, tetapi lupa harus ada bukit yang digunduli untuk mengalirkannya. Bencana adalah tadzkirah, peringatan dari langit yang tidak memihak. Ia tidak mengenal pejabat atau rakyat, kaya atau miskin. Ia bekerja dengan hukum sebab-akibat yang ditiupkan Tuhan pada awal penciptaan. Dalam suara angin yang berubah menjadi badai, dalam tanah yang retak tanpa salam, di situlah firman yang tak terucap itu turun: “Kembalilah.”

Tidak ada agama yang membenarkan pengrusakan. Tidak ada kitab suci yang memerintahkan pembakaran hutan. Tidak ada ayat yang memuji bala yang lahir dari kerakusan. Yang ada hanyalah manusia yang menafsirkan amanah sebagai lisensi untuk merampas. Sebelum pohon terakhir tumbang dan suaranya tinggal legenda; sebelum sungai terakhir berubah menjadi air mata; sebelum gunung terakhir kehilangan penopang dan runtuh seperti doa yang kehilangan makna, maukah manusia kembali kepada adab sebagai khalifah?

Kini adalah saatnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk perkembangan ekonomi,  mengendurkan langkah sebelum bumi yang letih ini benar-benar kehilangan suaranya. Sebab setiap yang berulah, setiap yang merusak, setiap tangan yang menodai alam dengan kesengajaan, kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Keadilan Tuhan tidak pernah buta; ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengetuk hati atau mengguncang batas kesadaran. Bumi ini tidak diciptakan untuk mereka yang merasa berkuasa hari ini, tetapi untuk anak-anak yang belum lahir, untuk generasi yang masih berupa doa dalam rahim waktu.

Menunduklah, seperti para sufi yang kembali kepada tanah untuk memahami asal mula dirinya. Sentuhlah bumi dan rasakan getir yang disimpannya, dengarkan bisikan pepohonan yang selama ini kalah oleh deru mesin dan ambisi manusia. Berdirilah di tepi sungai—yang jernih maupun yang telah keruh oleh kesalahan kita sendiri—dan biarkan hati bertanya dengan lirih: “Apakah aku penjaga bumi-Mu, atau perusak yang menodai amanah-Mu?”

Pertanyaan itu adalah pintu taubat, dan setiap pintu yang diketuk dengan kejujuran akan dibukakan oleh-Nya. Sebab bumi, sebagaimana hati manusia, selalu menunggu kesediaan untuk diperbaiki. Pertanyaan itu adalah doa, dan doa adalah cermin. Jawabannya tidak perlu lantang; cukup jujur. Sebab penjaga dan perusak dibedakan bukan oleh seragam, bukan oleh jabatan, tetapi oleh sikap batin: penjaga melihat bumi sebagai titipan, perusak melihatnya sebagai barang dagangan.Jika manusia kembali kepada nurani dan kembali kepada ayat-ayat Tuhan—baik yang tertulis di mushaf maupun yang tum buh sebagai pepohonan—bumi akan kembali membuka tangannya. Hujan turun sebagai berkah, sungai kembali bening, hutan kembali bertasbih, dan angka-angka duka tidak lagi jatuh dari layar berita. Hanya syukur yang tertinggal; syukur karena manusia akhirnya belajar untuk tidak melukai tanah dan tidak menyakiti langit.

Penulis adalah ASN Kementerian Agama / Ketua Letera Sastra Banyuwangi


SMPQ Akmalul Muhsinin Banyuwangi Bina 7 Karakter Siswa Berakhlak Santri

 



Yayasan Akmalul Muhsinin yang sudah satu dasawarsa mendidik dan mencetak santri yang bisa baca kitab kuning metode amsilati dan hafidz 30 juz, tahun ajaran baru 2026-2027 menorehkan sejarah dengan mendirikan SMP Qur’an Akmalul Muhsinin dengan memadukan kurikulum nasional dan berbasis pondok pesantren.

Selama ini santri tingkat SMA menempuh pendidikan formal di MA Baiturrahman, MAN, SMKN atau SMK swasta. Sedang jenjang SMP ikut sekolah terbuka filial SMPN 2 Kalipuro. Dan santri putra-putrinya banyak dari Kalipuro, Muncar, Srono, Kabat,Sempu hingga Kalibaru. Kalau luar kota ada dari Bali, Pasuruan dan Madura.
“Kami juga bina yatim piatu LKSA Graha Anak Sholeh yang gratis semua kebutuhan pendidikan maupun urusan dapur! ” tutur pengasuh KH Imam Hasan Thaha alumni Ponpes Al Amien Prenduan Madura yang pernah pimpin LAKZIZ Baiturrahman dan Kini Salah Satu Ketua Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi ini.

Ditemui media ini saat pimpin rutinan Majelis sholawatan dan dzikiir di Ponpes yang berdomisili di Jl Kopral Sanusi 32 Karangbaru Kelurahan Panderejo ini, SMPQ dengan metode I’Rab yang mempelajari Al-Qur’an dengan makna dan tehnis pedomannya, menurut KH Imam Hasan Thoha ini merupakan satu-satunya di Banyuwangi. “Hingga santri tak hanya hafal tapi juga paham dan bisa mengajarkan ke adik kelas maupun sudah siap khotbah! ” ujar khotib banyak masjid ini seraya mohon doa restu semangat syair tombo ati wali soal perjuangan mendirikan SMPQ Akmalul Muhsinin dengan harapan 2 rombel putra dan putri. Untuk kelas dan asrama putra disiapkan bangunan di Jalan Mahakam Mojoroto Penataban Giri.

Kepala SMPQ Akmalul Muhsinin, H. Wawuh Sondi Purnomo, ST, Gr ungkapkan lembaganya mengikuti kurikulum Kemen dikdasmen yang dipadukan Diniyah sesuai harapan orangtua era kini.”Selain menerapkan rutin olahraga Anak Indonesia Sehat dan 7 kebiasaan Anak Indonesia Hebat, kami juga punya 7 karakter yang istiqomah seperti rutin berjamaah sholat fardhu, istighotsah, dan mendoakan orangtua dan leluhur sesuai sunah nabi. Membaca Al-qur’an pasti karena ada program hafidz dan target khatam kitab kuning dan kitab dasar lainnya! ” tegas Wakil Manajemen Mutu SMKN 1 Kalipuro yang juga Ketua ranting NU dan Penggurus BKPRMI ini.

H.Wawuh Sondi Purnomo dan KH.Hasan Imam Thaha


Yang jelas visi misi kami menyiapkan peserta didik berakhlaqul karimah berjiwa kader qur’ani, unggul dalam iptek serta bersemangat keindonesiaan menyongsong generasi emas 2045 dan berwawasan global. “Dan kami siapkan pembina dan pelatih untuk kompetisi dan meraih prestasi sesuai bakat minatnya seperti hafidz, pidato, baca puisi, kaligrafi maupun ekstra khitobah juga dilatih MC dan hadrah! ” tambah H Wawuh yang pernah ke Singapura, Qatar dan Mekkah-Madinah ini.

Untuk yang membutuhkan informasi soal SPMB SMP Qur’an Akmalul Muhsinin Banyuwangi bisa silaturahmi atau komunikasi dengan panitia narahubung Jainul Abidin WA 083875684605 atau bisa langsung ke 081281856321(.Aguk Wahyu Nuryadi)


Saestwo Café Siap Jadi Panggung Asah Bakat Kreativitas Memperingati Harjaba Ke-254


 


Banyuwangi, – Dalam  memeriahkan Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) ke-254 yang tepatnya pada 18 Desember memperingati Perang Puputan Bayu 1771, sejumlah komunitas dan pelaku usaha lokal berkolaborasi menggelar serangkaian lomba bertajuk "Lomba Literasi Gotong Royong Harjaba 2025".

Kegiatan ini diinisiasi oleh Saestwo Cafe bersama Komunitas Gotong Royong 45, Penerbit Lintang yang terbitkan Antologi Gotongroyong yang jadi materi Lomba Baca Puisi dan bertujuan menjadi wadah ekspresi positif bagi generasi bangsa.

"Harjaba adalah momentum penting untuk merayakan kebersamaan, kreativitas, dan cinta terhadap daerah. Melalui lomba ini, kami ingin memberikan ruang bagi anak-anak dan remaja untuk menunjukkan potensi mereka sekaligus menumbuhkan rasa bangga akan kekayaan seni dan budaya Banyuwangi," ujar Bung Aguk Darsono dari EO Senyum Agmadina salah satu inisiator kegiatan.

Lomba yang mengusung tema "Gotong Royong untuk Banyuwangi Berdaya (Lestarikan Bahasa Daerah, Bangga Bahasa Indonesia, dan Kuasai Bahasa Asing)" ini menawarkan beragam kategori, di antaranya:

  1. Pidato Dai Cilik (untuk siswa SD/MI/TQA)
  2. Story Telling dalam Bahasa Inggris (untuk siswa SD/MI)
  3. Bercerita dalam Bahasa Using (untuk usia 10-15 tahun)
  4. Melukis di Kanvas (untuk usia 10-17 tahun)
  5. Baca Puisi Antologi Gotong Royong (untuk umum).

Ketua Panitia HM. Shodiqin, S. Pd, MM mengajak para pihak sinergi dan kolaborasi mulai pegiat seni, LKSA yatim dhuafa, ponpes, BKPRMI hingga emak-emak pegiat lingkungan yang tergabung di komunitas Green Jasmine. "Seluruh pemenangnya dan guru pendamping yang beruntung bisa dapat voucher umroh 2 juta langsung dari H. Tulus! " ucap guru SMKN 1 Kalipuro yang 3 bulan lalu ke Baitullah ini.

Dan pada hari pertama selain bakdha jum'atan  selain lomba pildacil dan melukis, panitia juga mengundang pelukis seperti Ben Hendro, Wega Averina,MH Basoeki, Momo dan Mbah Eko untuk mencoret kanvas on the spot dengan obyek yang ada di cafe. Juga undang penyair Pramoe Soekarno dan Mayor Saimah dan veteran IGM Sudharma perform.

"Alhamdulillah memaknai 10 tahun atau satu dasawarsa, kami relawan koppiwangi juga  tasyakuran tumpengan usai lomba pildacil! " ucap founder H. Mujiono, SH. "Dan juara 1 pildacil beserta orangtua kami beri bonus inap hotel atau homestay yang ada kolam renangnya! " tambah Ketua Umum BKPRMI Ahmad Sururudin, SE, M. Si.

Untuk finalis story telling ada bonus voucher discount English Language Course (ELC) Sibon Mandar. Sedang Toko Seragam dan kostum bordir Tiga Jaya Star 081336275599 sediakan plakat baca puisi gotongroyong.

Kegiatan yang telah mendapat dukungan dari  PT Tulus Hijrah Baitullah ,Koppiwangi (Komunitas Pegiat Peduli Pendidikan Banyuwangi) dan Yayasan Aura Lentera Indonesia serta media partner Sastra wacana. Id, jurnal news, menaramadinah. Com, JRKBB dan youtube Ha Pe Aja Channel ini akan diselenggarakan pada tanggal 19-20 Desember 2025 di Saestwo Cafe, Jl. Jembrana, Perum BGM Klarak -Kalipuro, Banyuwangi.

Owner Saestwo Cafe Vonny Lagenia Suhendi  ungkapkan memang tempat usahanya yang nyaman strategis bisa menjalin kemitraan dengan berbagai komunitas untuk kongkow seperti corolla club & mercy BWI, penggemar lagu nostalgia yang bernyanyi diiringi electone, resepsi pernikahan hingga mahasiswa yang butuh suasana nyantai cari inspirasi membuat karya fiksi hingga skripsi yang didukung Wi-Fi. "Bulan depan jelang puasa komunitas barista kopi juga mau menggelar event di saestwo cafe! " sambung gadis yang geluti ilmu hukum ini sambil senyum.

Bagi calon peserta yang berminat, pendaftaran dibuka hingga 15 Desember 2025 pukul 11.45 WIB. Pendaftaran dapat dilakukan langsung di Saestwo Cafe & Creative Space, Klatak ketemu peracik menu Romi yang punya nomer WA 082131497260, atau secara online melalui tautan https://whatsform.com/pxhfm_. Investasi pendaftaran untuk setiap peserta sebesar Rp 35.000.

Informasi lebih detail mengenai pendaftaran lomba dan petunjuk teknis setiap lomba dapat diakses dengan mengetikkan kata kunci pencarian "lomba harjaba 2025 di Saestwo Cafe" pada mesin pencari Google yang ter connect dengan aplikasi GATA yang ramah sebagai keluarga tangguh.(ARW/AWN/JN-SC)

Penghargaan, dan Menjaga Ruang Hidup

 Penghargaan, dan Menjaga Ruang Hidup 

oleh : Emi Hidayati , Dosen Fak. Dakwah UNIIB

Capaian Banyuwangi meraih berbagai penghargaan tata kelola terbaik tahun ini layak diapresiasi sebagai buah dari kerja panjang pemerintah daerah dalam membangun birokrasi yang terlatih bekerja kolaboratif, dan responsif terhadap isu-isu prioritas. Banyak elemen eksekutif telah terbiasa dengan pola kerja “mengeroyok program prioritas” sehingga memastikan berbagai agenda strategis—utamanya pengurangan kemiskinan—dapat berjalan serempak dan efektif. Keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan bupati yang konsisten menggagas inovasi kebijakan publik, membangun budaya pelayanan yang hangat (warming glow), serta menggerakkan jejaring komunitas hingga tingkat desa. Banyuwangi berhasil menunjukkan bahwa tata kelola yang baik bukan hanya urusan administrasi, tetapi kesanggupan membangun orkestrasi sosial yang berpengetahuan dan saling menguatkan. 


Apresiasi ini hadir pada momen yang menarik. Di saat yang sama, Kapolresta Banyuwangi dalam FGD bertema “Optimalisasi Peran Ormas dan Potmas untuk Mewujudkan Kamtibmas Menuju Banyuwangi Sejahtera” menegaskan bahwa keamanan daerah sangat terkait dengan kelestarian sumber daya alam. Air, hutan, dan tanah adalah fondasi hidup masyarakat. Ketika perebutan sumber daya meningkat, potensi gangguan kamtibmas pun ikut membesar. Pesan ini searah dengan peringatan global bahwa perubahan iklim dan krisis ekologis selalu memiliki dimensi sosial dan politik. Artinya, menjaga lingkungan bukan semata isu ekologis, tetapi juga syarat dasar bagi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Geografis Banyuwangi memang menunjukkan bahwa daerah ini memikul tanggung jawab ekologis besar. Dari total luas wilayah, sekitar 31,72% atau 183.396 ha adalah kawasan hutan—modal ekologis yang luar biasa. Persawahan mencapai 66.152 ha (11,44%), perkebunan 82.143 ha (14,21%), dan permukiman 127.454 ha (22,04%). Sementara itu, garis pantai sepanjang 175,8 km menjadikan daerah ini salah satu bentang pesisir paling strategis di Jawa. Angka-angka ini adalah kekuatan, tetapi sekaligus potensi kerentanan jika tata kelola ruang tidak diarahkan pada keberlanjutan.

Untuk itulah penguatan tata kelola lingkungan menjadi agenda yang tak bisa ditunda. Literatur mutakhir mengenai environmental governance menekankan bahwa tata kelola harus efektif, adil, responsif, dan robust (Bennett & Satterfield, 2018). Empat prinsip ini harus hadir secara seimbang. Efektivitas diperlukan agar kebijakan benar-benar menghasilkan perubahan. Keadilan penting untuk memastikan kelompok marginal—petani kecil, perempuan, masyarakat adat, dan komunitas pesisir—diakui hak dan pengetahuannya. Responsivitas dibutuhkan agar kebijakan mampu beradaptasi dengan situasi baru, terutama perubahan iklim. Sementara robustness memastikan kebijakan tetap kuat dan tidak mudah runtuh oleh tekanan ekonomi-politik.

Pendekatan ini selaras dengan gagasan sustainable livelihoods, yakni upaya membangun ruang hidup masyarakat yang berkelanjutan secara ekologis, aman secara sosial, dan layak secara ekonomi. Konsep ini mengajarkan bahwa keberlanjutan lingkungan harus selalu dipahami bersama keberlanjutan penghidupan masyarakat. Hutan bukan hanya tutupan lahan, tetapi basis pangan, air, budaya, dan stabilitas sosial. Pesisir bukan hanya objek wisata, tetapi ruang hidup nelayan dan benteng ekologi. Sawah bukan sekadar produksi padi, tetapi identitas dan jaring pengaman ekonomi.

Kerangka Bennett dan Satterfield menekankan bahwa tata kelola lingkungan harus dirancang sebagai sistem yang mampu belajar dan beradaptasi (adaptive governance). Dalam konteks Banyuwangi, ini berarti kebijakan—baik di sektor hutan, pertanian, kelautan, maupun permukiman—perlu semakin terbuka terhadap partisipasi masyarakat, berbasis data, dan sensitif terhadap potensi konflik sumber daya. Kapolresta Banyuwangi sudah memberi alarm penting: perebutan sumber daya dapat mengganggu keamanan publik. Karena itu, kebijakan penataan ruang, pengelolaan DAS, dan pemanfaatan pesisir harus dilakukan secara inklusif, dengan memastikan semua kepentingan dilibatkan dan risiko konflik ditekan melalui dialog berkelanjutan.

Selain itu, teori-teori tata kelola seperti Ostrom (1999) mengingatkan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada pengakuan dan pemberdayaan komunitas lokal. Banyak desa di Banyuwangi telah memiliki modal sosial kuat, kearifan lokal, dan mekanisme kontrol sosial yang efektif. Inilah aset yang perlu diproteksi dan diperkuat melalui kebijakan yang tidak top-down, tetapi kolaboratif.

Dengan capaian penghargaan tata kelola terbaik, Banyuwangi sesungguhnya sedang memasuki babak baru: dari daerah inovatif menuju daerah berketangguhan ekologis. Apresiasi ini adalah fondasi, tetapi bangunan besar bernama ketahanan ekologis hanya dapat berdiri melalui kerja kolektif. Pemerintah, komunitas lokal, ormas, pelaku usaha, akademisi, dan generasi muda harus berjalan pada visi yang sama: memastikan Banyuwangi tidak hanya indah untuk dilihat, tetapi kuat untuk bertahan dan adil untuk dihuni. Jika tata kelola terus diarahkan pada keberlanjutan, responsivitas, dan keadilan ekologis, maka Banyuwangi bukan hanya menerima penghargaan—tetapi benar-benar menjadi wilayah yang tangguh menghadapi masa depan.

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger