Pages

Home » » Penghargaan, dan Menjaga Ruang Hidup

Penghargaan, dan Menjaga Ruang Hidup

 Penghargaan, dan Menjaga Ruang Hidup 

oleh : Emi Hidayati , Dosen Fak. Dakwah UNIIB

Capaian Banyuwangi meraih berbagai penghargaan tata kelola terbaik tahun ini layak diapresiasi sebagai buah dari kerja panjang pemerintah daerah dalam membangun birokrasi yang terlatih bekerja kolaboratif, dan responsif terhadap isu-isu prioritas. Banyak elemen eksekutif telah terbiasa dengan pola kerja “mengeroyok program prioritas” sehingga memastikan berbagai agenda strategis—utamanya pengurangan kemiskinan—dapat berjalan serempak dan efektif. Keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan bupati yang konsisten menggagas inovasi kebijakan publik, membangun budaya pelayanan yang hangat (warming glow), serta menggerakkan jejaring komunitas hingga tingkat desa. Banyuwangi berhasil menunjukkan bahwa tata kelola yang baik bukan hanya urusan administrasi, tetapi kesanggupan membangun orkestrasi sosial yang berpengetahuan dan saling menguatkan. 


Apresiasi ini hadir pada momen yang menarik. Di saat yang sama, Kapolresta Banyuwangi dalam FGD bertema “Optimalisasi Peran Ormas dan Potmas untuk Mewujudkan Kamtibmas Menuju Banyuwangi Sejahtera” menegaskan bahwa keamanan daerah sangat terkait dengan kelestarian sumber daya alam. Air, hutan, dan tanah adalah fondasi hidup masyarakat. Ketika perebutan sumber daya meningkat, potensi gangguan kamtibmas pun ikut membesar. Pesan ini searah dengan peringatan global bahwa perubahan iklim dan krisis ekologis selalu memiliki dimensi sosial dan politik. Artinya, menjaga lingkungan bukan semata isu ekologis, tetapi juga syarat dasar bagi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Geografis Banyuwangi memang menunjukkan bahwa daerah ini memikul tanggung jawab ekologis besar. Dari total luas wilayah, sekitar 31,72% atau 183.396 ha adalah kawasan hutan—modal ekologis yang luar biasa. Persawahan mencapai 66.152 ha (11,44%), perkebunan 82.143 ha (14,21%), dan permukiman 127.454 ha (22,04%). Sementara itu, garis pantai sepanjang 175,8 km menjadikan daerah ini salah satu bentang pesisir paling strategis di Jawa. Angka-angka ini adalah kekuatan, tetapi sekaligus potensi kerentanan jika tata kelola ruang tidak diarahkan pada keberlanjutan.

Untuk itulah penguatan tata kelola lingkungan menjadi agenda yang tak bisa ditunda. Literatur mutakhir mengenai environmental governance menekankan bahwa tata kelola harus efektif, adil, responsif, dan robust (Bennett & Satterfield, 2018). Empat prinsip ini harus hadir secara seimbang. Efektivitas diperlukan agar kebijakan benar-benar menghasilkan perubahan. Keadilan penting untuk memastikan kelompok marginal—petani kecil, perempuan, masyarakat adat, dan komunitas pesisir—diakui hak dan pengetahuannya. Responsivitas dibutuhkan agar kebijakan mampu beradaptasi dengan situasi baru, terutama perubahan iklim. Sementara robustness memastikan kebijakan tetap kuat dan tidak mudah runtuh oleh tekanan ekonomi-politik.

Pendekatan ini selaras dengan gagasan sustainable livelihoods, yakni upaya membangun ruang hidup masyarakat yang berkelanjutan secara ekologis, aman secara sosial, dan layak secara ekonomi. Konsep ini mengajarkan bahwa keberlanjutan lingkungan harus selalu dipahami bersama keberlanjutan penghidupan masyarakat. Hutan bukan hanya tutupan lahan, tetapi basis pangan, air, budaya, dan stabilitas sosial. Pesisir bukan hanya objek wisata, tetapi ruang hidup nelayan dan benteng ekologi. Sawah bukan sekadar produksi padi, tetapi identitas dan jaring pengaman ekonomi.

Kerangka Bennett dan Satterfield menekankan bahwa tata kelola lingkungan harus dirancang sebagai sistem yang mampu belajar dan beradaptasi (adaptive governance). Dalam konteks Banyuwangi, ini berarti kebijakan—baik di sektor hutan, pertanian, kelautan, maupun permukiman—perlu semakin terbuka terhadap partisipasi masyarakat, berbasis data, dan sensitif terhadap potensi konflik sumber daya. Kapolresta Banyuwangi sudah memberi alarm penting: perebutan sumber daya dapat mengganggu keamanan publik. Karena itu, kebijakan penataan ruang, pengelolaan DAS, dan pemanfaatan pesisir harus dilakukan secara inklusif, dengan memastikan semua kepentingan dilibatkan dan risiko konflik ditekan melalui dialog berkelanjutan.

Selain itu, teori-teori tata kelola seperti Ostrom (1999) mengingatkan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada pengakuan dan pemberdayaan komunitas lokal. Banyak desa di Banyuwangi telah memiliki modal sosial kuat, kearifan lokal, dan mekanisme kontrol sosial yang efektif. Inilah aset yang perlu diproteksi dan diperkuat melalui kebijakan yang tidak top-down, tetapi kolaboratif.

Dengan capaian penghargaan tata kelola terbaik, Banyuwangi sesungguhnya sedang memasuki babak baru: dari daerah inovatif menuju daerah berketangguhan ekologis. Apresiasi ini adalah fondasi, tetapi bangunan besar bernama ketahanan ekologis hanya dapat berdiri melalui kerja kolektif. Pemerintah, komunitas lokal, ormas, pelaku usaha, akademisi, dan generasi muda harus berjalan pada visi yang sama: memastikan Banyuwangi tidak hanya indah untuk dilihat, tetapi kuat untuk bertahan dan adil untuk dihuni. Jika tata kelola terus diarahkan pada keberlanjutan, responsivitas, dan keadilan ekologis, maka Banyuwangi bukan hanya menerima penghargaan—tetapi benar-benar menjadi wilayah yang tangguh menghadapi masa depan.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger