Banyuwangi, 254 Tahun: Kota yang Menyanyi dari Ingatan Panjang
Oleh : Syafaat
Dua ratus lima puluh empat tahun bukanlah sekadar deret
angka yang dipahat di atas batu nisan sejarah, bukan pula sekadar hiasan
umbul-umbul yang berkibar ditiup angin Selat Bali. Ia adalah usia yang lahir
dari zikir panjang tanah ini, dari sujud-sujud sunyi para leluhur yang
menggenggam iman sambil menahan pedang dan luka. Di kedalaman rahimnya,
Banyuwangi adalah sebuah kitab besar, ditulis dengan tinta darah, air mata, dan
doa yang ayat-ayatnya tak selalu dibaca di mimbar, tetapi terpatri di ladang,
hutan, dan pantai.
Ketika kita merapal angka 254, sesungguhnya kita sedang membuka kembali lembar-lembar syahadat perlawanan yang pernah dikumandangkan di belantara Bayu. Syahadat bahwa tanah ini tidak tunduk selain kepada Yang Maha Merdeka. Syahadat bahwa manusia diciptakan untuk menjaga martabat, bukan menjualnya. Dari Minak Jinggo hingga para petani tanpa nama, dari ibu-ibu yang menyimpan beras di lumbung kecil hingga santri yang mengaji di surau bambu, semuanya adalah barisan panjang orang-orang beriman yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Banyuwangi tumbuh bukan dari kemewahan istana, melainkan dari kesabaran. Ia dibesarkan oleh air sendang yang disakralkan, oleh kidung yang dilantunkan sebagai doa, oleh seni yang bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan. Gandrung, hadrah, macapat, hingga lantunan ayat suci, semuanya adalah cara tanah ini bersujud, cara masyarakatnya mengikat langit dan bumi agar tetap seimbang.
Maka, memperingati usia ke-254 bukanlah semata pesta
cahaya dan panggung megah. Ia adalah miqat, titik berhenti untuk menengok
kembali niat. Sudahkah kita setia pada amanah leluhur? Sudahkah pembangunan
berjalan seiring dengan pemuliaan manusia dan alam? Ataukah kita hanya sibuk
menghitung capaian, lupa menghitung luka yang tertinggal?
Di usia ini, Banyuwangi dipanggil untuk kembali menjadi
tanah yang aman bagi perbedaan, subur bagi harapan, dan ramah bagi iman. Tanah
yang memuliakan seni sebagai jalan kebijaksanaan, memelihara budaya sebagai
kearifan, dan menjadikan agama sebagai cahaya, bukan bara. Dua
ratus lima puluh empat tahun adalah doa yang belum selesai. Dan kitalah yang hari ini diminta melanjutkan kalimatnya,
dengan kerja yang jujur, dengan hati yang bersih, dan dengan kesetiaan pada
Tuhan serta sejarah. Kota ini tidak lahir dari rahim kesunyian yang pasif,
melainkan dari rahim sejarah yang berdenyut oleh doa dan perlawanan. Ia
dilahirkan oleh gemuruh dzikir para ksatria Blambangan, dzikir yang tak selalu
dilafalkan dengan tasbih, tetapi dengan keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan
pada martabat. Mereka menolak tunduk pada tirani, sebab dalam keyakinan
terdalam mereka, tunduk hanya layak dipersembahkan kepada Yang Maha Esa.
Perang Puputan Bayu, 18 Desember 1771, bukanlah kisah
tentang kalah dan menang dalam timbangan dunia. Ia adalah fajar shādiq, fajar
sejati yang merekah dari luka dan darah, menandai lahirnya kesadaran kolektif
bahwa kehormatan lebih bernilai daripada usia yang panjang tanpa harga diri. Di
medan itulah, jasad boleh rebah, tetapi ruh berdiri tegak menghadap langit.
Pedang dan doa menyatu, teriakan dan takbir bertaut, seakan bumi dan langit
sepakat menyaksikan sumpah terakhir anak-anak Blambangan. Di Bayu, etika
keberagamaan dan kebernegaraan menemukan simpulnya. Membela tanah kelahiran
bukan sekadar naluri, melainkan ibadah; menjaga bumi bukan sekadar tugas
sejarah, melainkan amanah ilahi. Tanah air dipahami sebagai titipan Tuhan yang
harus dijaga dengan iman, bukan dieksploitasi dengan keserakahan. Dari sanalah
Banyuwangi belajar bahwa nasionalisme yang sejati berakar pada spiritualitas,
dan spiritualitas yang matang akan melahirkan keberanian moral.
Maka, hari jadi ini bukan sekadar penanda usia, tetapi
mihrab perenungan. Ia memanggil kita untuk menyalakan kembali lentera di dalam
dada, lentera yang pernah dinyalakan para leluhur dengan nyala keberanian dan
keikhlasan. Agar di tengah riuhnya modernitas, di antara cahaya-cahaya palsu
yang memukau mata namun menggelapkan hati, kita tidak tersesat dari asal-usul.
Sebab kota ini hanya akan tetap hidup bila ingat pada doanya, setia pada
lukanya, dan jujur pada imannya.
Hari ini, kita menyaksikan tetangga-tetangga kita ikut
gairah, seakan bumi Tapal Kuda sedang berhias menyambut musim baru.
Bandara-bandara ingin ikut membelah langit seperti Banyuwangi, landasan pacunya
seperti sajadah panjang tempat harapan berangkat dan pulang. Jalan-jalan
dibuka, aspal direntangkan laksana urat nadi yang mengalirkan rezeki, sementara
pembangunan merayap pelan namun pasti ke sudut-sudut yang dahulu sunyi. Dalam
kacamata duniawi yang sempit, semua ini kerap dibaca sebagai perlombaan, siapa
lebih tinggi, lebih cepat, lebih gemerlap.
Namun bagi hati yang telah belajar tawaduk, kemajuan
wilayah sekitar adalah tajallī, penampakan rahmat Tuhan yang tak
mengenal pagar administrasi. Rezeki tidak pernah salah alamat, dan keberkahan
tidak pernah berkurang hanya karena dibagi. Langit yang sama menaungi kita
semua; angin yang sama membawa doa-doa dari desa ke desa. Maka, setiap landasan
yang terbangun, setiap jalan yang terbuka, sejatinya adalah ayat-ayat Tuhan
yang sedang diturunkan dalam bahasa pembangunan.
Banyuwangi tidak pernah memiliki watak rakus untuk
menjadi pusat tunggal yang menelan sekelilingnya. Sejak awal, memori kolektif
Blambangan adalah memori ruang yang luas, ruang persaudaraan, ruang lintasan
budaya, ruang perjumpaan iman. Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa kemuliaan tidak
lahir dari menyingkirkan yang lain, melainkan dari kemampuan hidup
berdampingan. Maka, ketika wilayah di sekitar kita bertumbuh, itu adalah gema
dari keberhasilan kita menjaga keseimbangan dan stabilitas kawasan, doa yang
diam-diam dikabulkan.
Kita tidak sedang berlomba lari dengan napas terengah dan
siku saling menyikut. Kita sedang tandang bareng dalam sebuah kafilah
besar menuju kesejahteraan, di mana setiap langkah saling menguatkan dan setiap
singgah saling mendoakan. Persaingan hanyalah ilusi bagi mereka yang hatinya
belum selesai dengan urusan kedengkian, mereka yang mengira cahaya bisa
direbut, bukan dipantulkan. Banyuwangi memilih menjadi lilin yang menyulut
lilin-lilin lain. Ia rela nyalanya dibagi, sebab ia tahu cahaya tidak pernah
habis ketika disebarkan. Ia menolak menjadi api yang memadamkan nyala orang
lain demi terlihat paling terang. Dalam pilihan itu, kota ini bersujud: kepada
Tuhan yang Maha Luas rahmat-Nya, dan kepada sejarah yang mengajarkan bahwa
terang sejati adalah yang mampu menerangi jalan banyak orang.
Kita harus jujur pada nurani: Apakah bandara yang megah
itu telah menjadi jembatan doa bagi rakyat kecil? Ataukah ia hanya menjadi
monumen bisu bagi mereka yang mampu terbang? Banyuwangi memahami bahwa
pembangunan tanpa dimensi uluhiyah (ketuhanan) dan insaniyah
(kemanusiaan) hanyalah raga tanpa ruh. Masyarakat tidak butuh angka-angka
pertumbuhan ekonomi di atas kertas jika dapur mereka tidak mengepulkan asap
syukur. Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang memuliakan martabat
manusia. Pembangunan yang membuat seorang petani di kaki Gunung Raung merasa
aman, seorang nelayan di Muncar merasa terlindungi, dan seorang guru ngaji di
pelosok desa merasa dihargai. Inilah esensi dalam pembangunan: menjadikan
kebijakan sebagai bentuk pengabdian, bukan sekadar urusan administrasi.
Di Banyuwangi, seni tidak pernah lahir sebagai hiburan
yang kosong makna. Ia bukan sekadar tontonan bagi mata, melainkan tuntunan bagi
jiwa. Jauh sebelum panggung-panggung festival berdiri megah dengan cahaya LED
dan sorak kamera, Gandrung telah lebih dahulu menjadi sajadah panjang tempat
masyarakat bersyukur kepada Sang Pemberi Rezeki. Setiap lenggoknya adalah
ungkapan terima kasih kepada bumi yang subur, kepada hujan yang setia turun,
kepada hidup yang masih diberi kesempatan bersemi.
Barong tidak hadir sebagai hiasan folklor belaka. Ia
adalah simbol penjaga desa, personifikasi ikhtiar spiritual manusia dalam
menghadapi marabahaya yang tak kasatmata. Di balik topeng dan geraknya,
tersimpan kesadaran kolektif bahwa hidup tidak hanya bergulat dengan yang
terlihat, tetapi juga dengan yang gaib, dan untuk itu, manusia harus rendah
hati, saling menjaga, dan selalu mengingat Yang Maha Melindungi. Hadrah
Kunthulan pun bukan sekadar irama yang menggerakkan kaki. Ia adalah detak
jantung komunitas, denyut iman yang memadukan gerak raga dengan puji-pujian
kepada Baginda Nabi. Rebana yang ditabuh bukan hanya menghasilkan bunyi,
melainkan menata batin; mengingatkan bahwa tubuh dan ruh seharusnya berjalan
seiring menuju kebaikan.
Seni di tanah ini adalah bahasa kami untuk berdialog
dengan Tuhan. Ketika penari Gandrung melenggok, ada doa yang dipanjatkan lewat
jemari—doa yang mungkin tak terucap oleh lisan, namun fasih dibaca oleh langit.
Ketika kendang bertalu dan gong berdentang, ada getaran qalbu yang
mengingatkan manusia pada harmoni kosmos, bahwa alam pun bertasbih dengan
caranya sendiri. Karena itu, Banyuwangi Festival (B-Fest) semestinya tidak
berhenti sebagai etalase pariwisata, apalagi sekadar kalender acara. Ia adalah
madrasah kebudayaan, ruang belajar lintas generasi, tempat nilai diwariskan,
bukan hanya dipamerkan. Di sanalah seni dirawat agar tidak membeku menjadi
fosil yang mati, tetapi terus bergerak menjadi energi yang menghidupkan:
menghidupkan ingatan, menghidupkan iman, dan menghidupkan harapan bahwa
modernitas dapat berjalan seiring dengan kesetiaan pada akar.
Memasuki usia 254, tantangan kita tak lagi berwujud
meriam penjajah yang menggelegar di medan laga, melainkan sesuatu yang lebih
sunyi namun jauh lebih berbahaya: amnesia sejarah dan kekeringan spiritual.
Musuh hari ini tidak datang dari laut dengan kapal perang, tetapi merayap pelan
ke dalam ingatan, mengikis makna, memudarkan nilai, dan menggantinya dengan
kilau sesaat yang sering kita salah sangka sebagai kemajuan. Jangan sampai
bangunan-bangunan tinggi yang menjulang membuat pandangan kita lupa menunduk ke
akar. Jangan sampai jalan-jalan lebar yang terbentang menjauhkan langkah kita
dari jejak para leluhur. Kemajuan fisik yang tidak disertai kejernihan batin
berisiko menjadikan kita asing di tanah sendiri, seperti musafir yang hafal
peta, tetapi lupa arah pulang.
Kota yang besar bukan hanya yang kuat infrastrukturnya,
melainkan yang utuh jiwanya. Kekayaan materi tanpa keluhuran tradisi hanyalah
rumah megah tanpa ruh; berdiri, tetapi dingin dan sepi. Tradisi adalah ibu yang
menyusui batin kolektif kita, tanpanya, kita akan tumbuh sebagai generasi yatim
piatu secara kultural: hidup, tetapi kehilangan rasa memiliki. Di usia ini,
Banyuwangi dipanggil untuk kembali berwudu pada sejarahnya, menyiram ingatan
yang mulai kering dengan mata air spiritualitas. Agar setiap kemajuan menjadi
sedekah, setiap pembangunan menjadi doa, dan setiap pencapaian menjadi jalan
mendekat kepada Tuhan. Sebab hanya dengan begitu, kota ini tidak sekadar maju,
tetapi juga beradab; tidak hanya bercahaya di mata dunia, tetapi hangat di
pelukan sejarah dan iman, kita jadikan Hari Jadi Banyuwangi ini sebagai
momentum untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri). Mari kita jaga
harmoni antara kemajuan zaman dengan keteguhan iman. Kita ingin Banyuwangi yang
modern, namun tetap memiliki bau tanah yang akrab bagi para petani; kita ingin
Banyuwangi yang mendunia, namun tetap memiliki gema selawat yang syahdu di
surau-surau.
Banyuwangi adalah sebuah "Lentera". Cahayanya
harus mampu menerangi jalan bagi mereka yang gelap, memberi kehangatan bagi
mereka yang kedinginan, dan menjadi penunjuk arah bagi mereka yang kehilangan
makna hidup.
Penulis adalah :
Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar