Pages

Home » » Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit 

Oleh : Syafaat

 

Ada saat ketika angka tak lagi sekadar angka. Ketika “961 jiwa meninggal” (BNPB,08/12/2025) berubah menjadi wajah-wajah yang tak sempat mengucap salam terakhir; menjadi cahaya mata anak yang menunggu ibunya pulang; menjadi tangan yang terjulur dari lumpur, seolah meminta disentuhkan kembali kepada Rahman dan Rahim. Angka-angka itu seperti ayat yang patah di tengah tilawah, meninggalkan ruang kosong di dada, membuat langit serasa turun lebih dekat, seperti ingin menuntun manusia membaca ulang makna musibah.

Dan ketika “hampir satu juta orang mengungsi” disebutkan, gema langkah mereka mengingatkan pada kisah-kisah tua, umat yang keluar dari Mesir bersama Musa, umat yang berlari menjauhi banjir besar Nuh. Bukan karena ingin, tetapi karena bumi yang terluka menghembuskan peringatan. Mereka meninggalkan rumah dengan dada bergetar, seperti orang yang tersengat takdir yang belum sempat dipahami. Banjir bandang, longsor yang memecah bukit, sungai yang berubah warna, semua itu bukan sekadar kejadian alam. Mereka adalah khutbah panjang yang dibacakan bumi kepada manusia. Setiap gemuruh air seperti kalimat tanpa huruf yang berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, sebelum luka ini menjelma murka yang lebih besar.”

Dalam arus kegelisahan itu, ekoteologi yang digelorakan di bawah kepemimpinan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, hadir bukan sebagai program birokrasi yang disusun dalam ruang-ruang rapat. Ia lebih menyerupai seruan halus dari kedalaman iman: ajakan agar manusia kembali memandang bumi sebagai amanah Tuhan, bukan sekadar lahan yang bisa ditakar-takar untuk dieksploitasi. Di tangan Kementerian Agama, ekoteologi menjelma jembatan yang menghubungkan langit dan tanah, mengikat ayat-ayat suci dengan akar yang tumbuh, menyatukan sujud dengan rimbunnya pepohonan, mengaitkan doa-doa umat dengan aliran sungai yang menghidupi.

Di bawah gerakan ini, setiap tradisi agama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya) dipanggil untuk kembali membaca kitab-kitab penciptaan. Menanam pohon bukan lagi kegiatan seremonial, tetapi dzikir yang menancap ke bumi. Mengurangi plastik bukan lagi kampanye kosong, tetapi bentuk taubat ekologis. Pendidikan berbasis iman tidak hanya melahirkan kecerdasan intelektual, tetapi kejernihan batin untuk menjaga rumah bersama tempat semua makhluk menundukkan kepala kepada Yang Maha Mencipta.

Sebab bumi, yang dulu dipanggil Ibu, kini terdengar merintih seperti tubuh renta yang dipaksa menyimpan dosa-dosa manusia. Pepohonan yang mestinya menjadi pakaian bumi telah dirampas oleh tangan-tangan yang lupa berdoa. Tanpa hutan, hujan yang turun sebagai rahmat berubah menjadi hantaman kasar, seperti air wudhu yang tumpah dari hati yang kehilangan kejernihan. Sejarah panjang Nusantara adalah sejarah manusia menggali, menebang, menjual, meratakan, sebuah perjalanan yang terkadang kehilangan adab, membuat manusia berdiri sebagai penguasa, bukan penjaga. Padahal ayat pertama tentang kehadiran manusia di muka bumi tidak pernah menyebutkan kekuasaan. Yang disebutkan hanyalah amanah:


Dalam tasawuf, alam disebut ayat kauniyah, ayat-ayat Tuhan yang tidak tercetak dalam mushaf, tetapi tumbuh sebagai daun yang bertasbih, mengalir sebagai sungai yang berdzikir, dan berguguran sebagai tanda waktunya manusia kembali mengingat. Maka ketika satu pohon hilang, sesungguhnya kita telah merobek satu halaman dari kitab yang belum selesai kita pahami. Ulama-ulama dahulu percaya bahwa kerusakan alam adalah tanda retaknya iman. Menebang pohon tanpa alasan dianggap melukai makhluk yang tengah bertasbih. Daun adalah dzikir, hujan adalah rahmat, angin adalah salam. Dan ketika rahmat berubah menjadi banjir, mungkin dzikir alam telah tergantikan oleh suara mesin dan keserakahan manusia.

Nenek moyang Nusantara pun telah lama memahami amanah ini. Gunung adalah kakek, tanah adalah ibu pertiwi, sungai adalah nadi kehidupan. Setiap penebangan pepohonan adalah dialog, bukan keputusan sepihak. Mereka percaya: alam yang marah tidak menghukum, tetapi mengingatkan. Dan kini pengingat itu datang dalam bentuk bencana—datang pelan namun pasti, seperti suara ibu yang dipaksa meninggikan nada karena anaknya terlalu keras kepala. Namun manusia tetap gemar menuding: menuding penebang liar, menuding pemilik sawit, menuding pemerintah. Padahal bayangan di cermin adalah terdakwa pertama. Kita menikmati hasil dari tanah yang disakiti, namun marah ketika bumi menagih haknya. Kita menikmati cahaya listrik, tetapi lupa harus ada bukit yang digunduli untuk mengalirkannya. Bencana adalah tadzkirah, peringatan dari langit yang tidak memihak. Ia tidak mengenal pejabat atau rakyat, kaya atau miskin. Ia bekerja dengan hukum sebab-akibat yang ditiupkan Tuhan pada awal penciptaan. Dalam suara angin yang berubah menjadi badai, dalam tanah yang retak tanpa salam, di situlah firman yang tak terucap itu turun: “Kembalilah.”

Tidak ada agama yang membenarkan pengrusakan. Tidak ada kitab suci yang memerintahkan pembakaran hutan. Tidak ada ayat yang memuji bala yang lahir dari kerakusan. Yang ada hanyalah manusia yang menafsirkan amanah sebagai lisensi untuk merampas. Sebelum pohon terakhir tumbang dan suaranya tinggal legenda; sebelum sungai terakhir berubah menjadi air mata; sebelum gunung terakhir kehilangan penopang dan runtuh seperti doa yang kehilangan makna, maukah manusia kembali kepada adab sebagai khalifah?

Kini adalah saatnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk perkembangan ekonomi,  mengendurkan langkah sebelum bumi yang letih ini benar-benar kehilangan suaranya. Sebab setiap yang berulah, setiap yang merusak, setiap tangan yang menodai alam dengan kesengajaan, kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Keadilan Tuhan tidak pernah buta; ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengetuk hati atau mengguncang batas kesadaran. Bumi ini tidak diciptakan untuk mereka yang merasa berkuasa hari ini, tetapi untuk anak-anak yang belum lahir, untuk generasi yang masih berupa doa dalam rahim waktu.

Menunduklah, seperti para sufi yang kembali kepada tanah untuk memahami asal mula dirinya. Sentuhlah bumi dan rasakan getir yang disimpannya, dengarkan bisikan pepohonan yang selama ini kalah oleh deru mesin dan ambisi manusia. Berdirilah di tepi sungai—yang jernih maupun yang telah keruh oleh kesalahan kita sendiri—dan biarkan hati bertanya dengan lirih: “Apakah aku penjaga bumi-Mu, atau perusak yang menodai amanah-Mu?”

Pertanyaan itu adalah pintu taubat, dan setiap pintu yang diketuk dengan kejujuran akan dibukakan oleh-Nya. Sebab bumi, sebagaimana hati manusia, selalu menunggu kesediaan untuk diperbaiki. Pertanyaan itu adalah doa, dan doa adalah cermin. Jawabannya tidak perlu lantang; cukup jujur. Sebab penjaga dan perusak dibedakan bukan oleh seragam, bukan oleh jabatan, tetapi oleh sikap batin: penjaga melihat bumi sebagai titipan, perusak melihatnya sebagai barang dagangan.Jika manusia kembali kepada nurani dan kembali kepada ayat-ayat Tuhan—baik yang tertulis di mushaf maupun yang tum buh sebagai pepohonan—bumi akan kembali membuka tangannya. Hujan turun sebagai berkah, sungai kembali bening, hutan kembali bertasbih, dan angka-angka duka tidak lagi jatuh dari layar berita. Hanya syukur yang tertinggal; syukur karena manusia akhirnya belajar untuk tidak melukai tanah dan tidak menyakiti langit.

Penulis adalah ASN Kementerian Agama / Ketua Letera Sastra Banyuwangi


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger