Banyuwangi (Warta Blambangan) Omah Kopi Telemung pada senja itu tidak hanya dipenuhi aroma kopi, tetapi juga denyut kata dan getar makna. Antologi puisi Yo Mung karya Samsudin Adlawi dibedah dengan suasana hangat dan reflektif, menghadirkan perjumpaan antara penyair, budayawan, sejarawan, dan pegiat sastra Banyuwangi.
Hadir dalam forum tersebut Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Hasan Basri, Ketua Komunitas Panji Blambangan KRT Ilham Triadi, budayawan Killling Osing Banyuwangi Aekanu Hariyono, sejarawan Elvin Hendrata, Pramoe Soekarno, Ribut Kalembuan, serta para pegiat sastra. Diskusi dipandu dengan cair dan tajam oleh Syafaat dari Lentera Sastra Banyuwangi.
Hasan Basri menekankan kejujuran estetik dalam Yo Mung. Menurutnya, penggunaan bahasa daerah—bahkan dijadikan judul antologi—adalah langkah berani dan jarang ditemui dalam puisi Indonesia. “Ini upaya konkret menjalankan jargon: utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah,” ujarnya, seraya menilai puisi-puisi dalam buku ini hadir apa adanya, tanpa pretensi.
Sejarawan Elvin Hendrata menggarisbawahi produktivitas Samsudin Adlawi di tengah kesibukannya. Ia menyebut Samsudin konsisten menulis, terutama karya-karya yang berkelindan dengan Banyuwangi—sebuah kesetiaan pada lokalitas yang terus dirawat melalui sastra. Senada, Fatah Yasin Nor menilai Yo Mung berbeda dari buku puisi Samsudin sebelumnya: bahasanya sederhana, namun berlapis makna dan mengajak pembaca merenung lebih dalam.
Pada senja yang perlahan meredup, pembacaan puisi turut menghidupkan diskusi. Pramoe Soekarno membacakan puisi tentang tsunami Aceh dua dekade silam, yang memantik kesadaran bahwa luka sejarah kerap berulang dalam wujud berbeda—seperti luka yang baru sembuh, kembali tersentuh. Aekanu Hariyono, guide internasional, mengaku tertarik pada puisi-puisi dalam antologi ini karena sarat kearifan lokal Banyuwangi yang jernih dan membumi.
Syafaat menyoroti kekhasan Yo Mung yang ringkas namun dalam. “Puisi-puisi ini menuntut pembacaan berulang,” katanya. Ia juga mengangkat satu detail menarik dari puisi “Pada Lupa”, pada baris terakhir tertulis “hitam lenyak seketika”. Syafaat sempat mempertanyakan apakah ada kesalahan cetak karena kata yang terasa ganjil, hingga pembaca terdorong membuka kamus—sebuah bukti bahwa puisi mengajak dialog, bukan memberi jawaban tunggal. Perbedaan makna antara penulis dan pembaca, menurutnya, adalah ruang hidup puisi.KRT Ilham Triadi membagikan pengalamannya saat membacakan puisi pendek yang terasa sangat personal—seolah menyuarakan kegelisahan yang ia alami sendiri di hening senja. Pengalaman itu menegaskan bahwa puisi dalam Yo Mung mampu menjembatani perasaan penulis dan pembaca, meski tidak selalu mudah dipahami secara instan.
Mayoritas peserta bedah buku menyampaikan apresiasi, seraya mengakui bahwa kedalaman puisi-puisi Samsudin Adlawi tidak selalu mudah dijangkau semua pembaca. Menanggapi hal itu, Samsudin menyampaikan terima kasih atas pembacaan yang beragam. Ia mengungkapkan bahwa puisinya lahir dari perenungan panjang, referensi yang dalam, dan napas sufisme—yang juga dikuatkan oleh endorsemen Acep Zamzam Noor, penyair dengan jiwa tasawuf, dalam ulasan terhadap antologi ini.
“Puisi-puisi dalam antologi ini bagi saya terasa menyejukkan, ungkapannya singkat, jernih,
menyaran tema kesederhanaan, keseharian, peristiwa biasa—bahkan yang tampak kecil di pagi hari—namun dilukiskan menjadi sesuatu yang tidak hanya personal, melainkan juga universal.” kata Acep dalam Endorsemennya.
Senja di Omah Kopi Telemung pun ditutup dengan kesan bahwa Yo Mung bukan sekadar buku puisi, melainkan undangan untuk berhenti sejenak—membaca ulang hidup, dari hal-hal yang paling sederhana.(syaf)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar