BANYUWANGI – Geliat dunia perfilman Banyuwangi kembali ditunjukkan oleh para sineas mudanya. Kresek Entertainment, komunitas film yang berbasis di Srono, secara resmi meluncurkan film horor berjudul "Darma Malam Kelahiranku". Karya yang disutradarai oleh Muftiurrahman ini mengangkat kepercayaan lokal masyarakat Jawa tentang pamali bepergian di hari weton (kelahiran) sendiri.
Screening film ini digelar di Ruang Sinema Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, Jumat (14 November 2025). Acara tersebut
dibuka dan dimoderatori oleh Kabid Pemasaran Disbudpar, Ainur Rofiq,
dan dihadiri oleh beberapa sineas senior Banyuwangi seperti Bambang
Harjito serta berbagai kelompok pemerhati film lokal.
Syuting di 'Swiss van Banyuwangi' dan Kisahkan Mistis
Weton
Film yang digarap di kawasan hutan pinus Songgon—yang
dijuluki "Swiss van Banyuwangi"—ini menceritakan petualangan empat
remaja: Darma dan ketiga kawannya. Dalam pendakian mereka, seorang kuncen hutan
memperingatkan untuk segera pulang. Namun, peringatan itu diabaikan, yang
kemudian berakibat pada rangkaian peristiwa mistis yang merenggut nyawa,
termasuk Darma yang tewas tepat pada hari dan weton kelahirannya.
Film yang disajikan dalam bahasa Indonesia dan Jawa ini
mendapat apresiasi sekaligus kritikan. Andre Waluyo dari
Sanggar Merah Putih 45 memuji aspek teknis film. "Untuk ukuran film
produksi anak muda, hasilnya sangat baik, terutama dalam hal sinematografi dan
manajemen scene", ujarnya.
Namun, beberapa kritikan juga mengemuka, seperti
ketidaknaturalan akting yang dianggap masih seperti drama teater, makeup dan
kostum yang perlu perbaikan, serta ketidaktepatan dalam proses casting di
beberapa peran.
Koreksi Konsep "Based on True Story" dari Sineas Senior
Kritik mendalam datang dari sineas senior Bambang
Harjito. Ia mengoreksi penggunaan terminologi "Based on True
Story" dalam film ini. Menurutnya, film yang diangkat dari kultur atau
kepercayaan masyarakat, bukan dari peristiwa nyata yang spesifik, seharusnya
mencantumkan "Based on Culture".
"Jika mencantumkan 'Based on True Story', berarti film
itu dibuat dari kisah yang betul-betul pernah terjadi peristiwanya. Kalau ini
berdasarkan kultur, seharusnya 'Based on Culture'," jelas Bambang,
menekankan pentingnya memahami perbedaan konsep tersebut.
Terlepas dari berbagai catatan, kehadiran "Darma Malam
Kelahiranku" dinilai sebagai langkah positif yang tidak hanya menghibur
tetapi juga melestarikan nilai-nilai budaya lokal melalui medium film.(AW)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar