Pages

Home » » Pahlawan Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.

Pahlawan Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.

 Pahlawan Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.

Oleh : Syafaat

Peringatan Hari Pahlawan selalu kembali ke satu tanggal yang jauh tetapi tidak pernah benar-benar pergi: 10 November 1945, Surabaya. Pertanyaan yang selalu muncul, entah di kepala siapa saja yang masih menyimpan sedikit kegelisahan:
Apakah Indonesia menang pada hari itu? Atau sebaliknya, kita sebenarnya kalah, tetapi kekalahan itu justru membuka mata dunia bahwa bangsa ini tidak mau lagi dijajah?. Sejarah memilih diam, kita yang hidup belakangan inilah yang harus menafsirkan, dan sering kali tafsir yang paling jujur adalah yang paling sederhana: bangsa ini tidak memenangkan pertempuran itu, tetapi bangsa ini menang karena tidak mau tunduk. Kadang kemenangan lahir bukan dari menang berperang, tetapi dari keberanian untuk berkata: Kami tidak lagi mau diperintah oleh siapa pun kecuali diri kami sendir

Pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2025, Kementerian Sosial Republik Indonesia menetapkan tema nasional: “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.” Tema yang mengingatkan bahwa perjuangan tidak selesai oleh generasi sebelumnya, melainkan terus diwariskan kepada siapa saja yang hari ini masih menyebut dirinya orang Indonesia. Logo resmi Hari Pahlawan 2025 memuat figur manusia yang melangkah maju, bendera merah putih, serta sentuhan warna merah dan biru, seluruhnya menggambarkan keberanian, ketulusan, optimisme, dan gerak progresif menuju Indonesia Emas. 


Tahun ini pula pemerintah menetapkan sepuluh tokoh sebagai Pahlawan Nasional baru: KH Abdurrahman Wahid, Jenderal Besar Soeharto, Marsinah, Mochtar Kusumaatmadja, Rahmah El Yunusiyyah, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah. Sepuluh nama ini seperti sepuluh obor yang diserahkan kepada generasi hari ini agar tidak lupa dari mana cahaya bangsa ini pertama kali dinyalakan.

Pagi itu, di Taman Blambangan Banyuwangi, saya mendengar sesuatu yang jauh lebih tua dari letusan meriam atau desingan sejarah: suara manusia membaca puisi pelan-pelan, seolah sedang memanggil arwah para pahlawan untuk singgah sebentar, menepi dari keabadian, dan melihat bagaimana kita mengingat mereka. Lentera Sastra Banyuwangi, Dewan Kesenian Blambangan, dan Banyuwangi Creative Market menggelar acara kecil, tanpa panggung tinggi, tanpa spanduk besar, tetapi justru karena kecil itulah ia terasa dekat.

Angin mengibaskan daun trembesi. Langit merendah. Dan manusia-manusia di hadapan saya berdiri membawa sesuatu yang tidak terlihat: ingatan. Di tempat seperti ini, tanpa pasukan upacara, tanpa podium, sebenarnya negara ini dirayakan: di taman yang sederhana, di tanah yang pernah dilalui ribuan langkah orang biasa yang namanya tidak pernah masuk buku sejarah. Seorang penyair membuka acara dengan suara yang tidak keras, tetapi dalam seperti sumur tua. Ia mengingatkan kita bahwa sebelum bangsa ini punya lagu kebangsaan dan lambang negara, ia lebih dulu punya keberanian untuk menyebut dirinya Indonesia. Keberanian itu, kata penyair itu, sekarang terletak di tangan kita, di cara kita bekerja, menjaga hati, dan memperlakukan sesama.

Tidak setiap hari seorang perwira polisi membaca puisi. Tetapi siang itu Kapolresta Banyuwangi berdiri di depan mikrofon dan membaca “Pahlawan itu Bernama Rakyat”. Ada ketegasan dan kelembutan yang bertemu dalam satu suara. Ia menyebut para pemuda kampung, para santri, para pekerja yang berdiri menghadapi ultimatum Inggris pada 1945, bukan demi menang, tetapi demi mempertahankan martabat. “Kita tidak memperingati kemenangan,” katanya pelan. “Kita memperingati keberanian untuk tetap berdiri meski peluangnya kecil.”

Kata-kata itu jatuh seperti kabut: tidak berisik, tetapi mengendap. Setelah itu, giliran suara lain yang telah lama akrab di kota ini: Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, membaca puisi Hebat Bersama Umat dari bukunya sendiri. Dalam puisinya, pahlawan bukan sosok patung atau nama jalan; pahlawan adalah mereka yang bekerja tanpa disaksikan, yang menumbuhkan tanpa dipuji, yang menahan runtuhnya bangsa ini setiap hari dengan tindakan-tindakan kecil. Puisi itu terasa lebih mirip doa. Doa tentang umat yang kuat karena saling menguatkan, bukan saling mengalahkan.

Tema Hari Pahlawan tahun ini seakan mendapat konteks baru ketika pemerintah mengumumkan 10 Pahlawan Nasional. Mereka mengajarkan bahwa kepahlawanan datang dalam banyak bentuk:

  • Gus Dur, pahlawan moral yang membela orang-orang yang dibenci banyak orang.
  • Soeharto muda, yang memimpin Serangan Umum 1 Maret demi menunjukkan bahwa bangsa ini masih hidup.
  • Marsinah, buruh perempuan yang suaranya dibungkam tetapi gaungnya tidak padam.
  • Mochtar Kusumaatmadja, yang dengan pena mengubah batas laut Indonesia.
  • Rahmah El Yunusiyyah, yang mendidik perempuan sebagai strategi kemerdekaan.
  • Sarwo Edhie, yang menempuh jalan berat dalam masa transisi sejarah.
  • Sultan Salahuddin, yang menjadikan pendidikan sebagai bentuk perlawanan.
  • Syaikhona Kholil, guru para pendiri NU, pahlawan yang doanya bekerja di sunyi.
  • Rondahaim Saragih, pejuang Batak yang menjaga martabat bangsanya.
  • Zainal Abidin Syah, penjaga kesatuan Indonesia Timur.

Sepuluh nama itu mengingatkan kita bahwa kepahlawanan tidak pernah lahir dari pangkuan kenyamanan,melainkan dari jiwa-jiwa yang bersedia memikul beban yan g tak terlihat, menjaga kebenaran pada saat dunia lebih memilih menjadi buta dan bisu. Mereka adalah saksi bahwa cahaya selalu membutuhkan seseorang untuk menyalakannya, bahkan ketika malam sedang sangat pekat. Dan kepada kita, yang hidup jauh setelah luka-luka itu sembuh di permukaan, warisan mereka hanya meminta satu hal yang sederhana namun paling sulit: melanjutkan perjuangan, agar kita sungguh menjadi tuan di tanah sendiri, agar negeri ini tidak hanya merdeka oleh sejarah, tetapi juga merdeka oleh keluhuran tindakan kita sehari-hari. Karena kemerdekaan sejati bukan hadiah, melainkan kesediaan untuk terus menjaga yang benar, meski langkahnya kecil, meski jalannya sunyi, meski tak satu pun tepuk tangan terdengar.

Dan kembali ke Taman Blambangan, acara sastra itu berlangsung tanpa gegap gempita, tidak ada sorak, tidak ada hiruk, hanya kesunyian yang jujur, seperti ruang doa yang terbuka di bawah langit sore. Ketua Dewan Kesenian Blambangan berdiri dan membaca puisi tentang riwayat sastra Banyuwangi, riwayat yang telah bernafas jauh lebih lama daripada umur birokrasi mana pun. Suaranya mengalir seperti sungai tua yang tahu arah pulang. “Dari tembang Blambangan,” katanya pelan, “kita belajar bahwa bangsa ini lahir dari kata sebelum lahir dari senjata.”

Kata-kata itu membuat udara di taman terasa lebih dalam, seolah sejarah menoleh sebentar. Dari tanah Blambangan yang pernah disiram perang dan doa,
lahir Shalawat Badar yang menggetarkan langit, membawa gema pujian yang dahulu menguatkan para pejuang ketika malam terlalu panjang. Dari tanah yang sama pula lahir tembang rakyat Genjer-genjer, suara sederhana dari perut masyarakat,
yang tumbuh dari lumpur sawah, menyanyikan kisah kesusahan, tetapi juga keteguhan hati yang tidak mau menyerah. Di antara dua suara itu, shalawat para pecinta Tuhan dan tembang rakyat yang lahir dari tanah, kita memahami bahwa Banyuwangi telah lama menjadi tempat di mana kata adalah ibadah, sastra adalah perlawanan, dan nyanyian rakyat adalah cara jiwa menjaga dirinya dari gelap. Dan pagi itu, Taman Blambangan menjadi saksi bahwa setiap bait, setiap tembang, setiap helaan nafas puisi, masih menyimpan jejak doa dan perjuangan yang idak pernah padam.

Dalam kalimat itu, saya merasa ada sesuatu yang mengikat seluruh hari: logo manusia melangkah, merah-putih yang berkibar, warna merah yang penuh keberanian, warna biru yang penuh ketulusan, sepuluh pahlawan baru, puisi yang dibacakan perlahan, dan angin Taman Blambangan yang membawa ingatan. Makna kepahlawanan, jika disederhanakan dari semua itu, mungkin cuma ini:
melakukan yang benar sampai akhir, meski tidak ada yang menonton. Kita tidak diminta menjadi Gus Dur atau Marsinah. Kita hanya diminta untuk menjaga apa yang mereka tinggalkan: kejujuran kecil, keberanian kecil, kerja kecil yang membuat bangsa ini tetap bertahan. Dan mungkin suatu hari, ketika angin kembali melintas di Taman Blambangan membawa suara puisi, para pahlawan itu akan menoleh dan berkata:

“Mereka masih melanjutkan apa yang kami mulai.”

Penulis adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger