Bimbingan
Keluarga Sakinah: Ketika Dua Jiwa Mengetuk Pintu Langit yang Mencari Jalan
Pulangnya
Oleh :
Syafaat
Ada
masa ketika dua manusia duduk saling berhadapan dan tiba-tiba menyadari bahwa
hidup ini bukan hanya tentang saling mencintai, tetapi tentang saling menuntun.
Kelak, setiap perkawinan akan menemukan jalannya sendiri. Ada yang berkelok
seperti sungai purba mencari muara yang jauh, memantulkan cahaya matahari di
antara bebatuan sabar. Ada yang mengalir senyap seperti doa yang dipanjatkan di
sepertiga malam, hanya terdengar oleh malaikat yang menjaga langit. Ada pula
yang deras seperti hujan yang turun membawa berkah, namun tetap memerlukan
tadah yang kuat agar tak menjadi luapan yang tak tertampung. Dan sebelum dua
manusia itu memutuskan berjalan beriringan, keduanya harus mengerti bagaimana
berdiri sebagai pribadi yang matang—sebagaimana pohon yang baru mampu menaungi
burung-burung dan manusia apabila akarnya telah bersahabat dengan tanah tempat
ia bersujud.
Di hadapan dirinya sendiri, manusia adalah cermin yang tak bisa berbohong, dalam pantulan itu, ia belajar memandang hirarki nilainya yang sesungguhnya. Menimbang kelebihan yang kadang dibanggakan dengan suara paling nyaring, meneliti kekurangan yang selama ini disembunyikan di balik tawa paling ramah. Kesadaran diri bukan sekadar latihan batin; ia adalah pintu pertama yang harus dibuka sebelum seseorang mengetuk pintu hati pasangannya. Bagaimana mungkin seseorang mengasuh jiwa orang lain bila ia belum selesai merawat carut-marut jiwanya sendiri?, bagaimana mungkin ia memeluk kegelisahan orang lain bila sumber gelisahnya sendiri tak pernah ia kenali?
Dan
ketika dua manusia duduk saling menatap, menyebut perlahan satu per satu nilai
hidup yang mereka junjung, kelebihan yang ingin dibagi, kekurangan yang ingin
ditata ulang, serta bahan bakar cinta yang menggerakkan langkah
keduanya—sebenarnya mereka sedang menyerahkan peta masing-masing. Peta yang tak
pernah lengkap, yang selalu memuat jejak langkah tersandung, coretan koreksi,
noda yang tak sempat dilap. Namun justru dari ketidaksempurnaan itulah
perjalanan dimulai. Dari keberanian untuk berkata, “Inilah aku apa adanya,
dengan langkah-langkah yang pernah goyah, dengan harapan panjang yang sedang
kutanam, dan dengan luka yang sedang kucicil sembuhnya.” Setiap pengakuan kecil
adalah jembatan. Setiap kejujuran adalah mercusuar yang menuntun agar mereka
tak saling kehilangan di tengah kabut waktu.
Pada
akhirnya, setiap pasangan akan sampai pada pertanyaan yang lebih besar daripada
“mampukah kita bersama?” Pertanyaan itu, entah mengapa, sering muncul di malam
yang paling sunyi: “Apa yang ingin kita capai dengan kebersamaan ini? Ke mana
arah sungai kehidupan kita mengalir? Apakah kita hanya ingin dikenal oleh dunia
ataukah dikenang oleh langit?” Di titik itulah perjalanan dunia bertemu
perjalanan akhirat. Sebab hidup manusia bukan hanya untuk meninggalkan jejak di
lantai bumi yang akan lunas oleh hujan, tetapi untuk membangun kesaksian di
hadapan Allah—pada hari ketika lidah terkunci, ketika tangan berbicara, ketika
kaki memberi kesaksian tentang langkah mana yang mendekat dan mana yang menjauh
dari-Nya. Ketika peserta diminta membayangkan bagaimana ingin dikenang oleh
Tuhannya, sesungguhnya mereka sedang menuliskan visi paling dalam dari sebuah
keluarga: ketenteraman yang tak hanya dirasakan di ruang tamu rumah, tetapi
juga di mahkamah Rabb yang Maha Menyaksikan.
Musyawarah
dalam rumah tangga adalah rakit yang dirakit dari dua pasang tangan yang
mungkin tak sama kuat, tak sama cekatan, namun punya niat yang sama: sampai
tujuan dengan selamat. Tanpa musyawarah, suami dan istri akan hanyut menuju
arah berbeda, sebagaimana barisan yang bubar karena setiap orang bergerak
menurut langkahnya sendiri. Musyawarah mengikat kaki agar melangkah serempak,
mengikat hati agar tidak terbelah, mengikat pandangan agar tetap pada arah yang
sama. Keluarga sakinah tak lahir dari dua manusia yang sempurna—sebab
kesempurnaan hanyalah milik Allah—tetapi dari dua manusia yang mau terus
belajar untuk mendengarkan dan bersedia diperdengarkan, untuk memahami sebelum
meminta dipahami, untuk mencintai tanpa menghapuskan tanggung jawabnya terhadap
Allah.
Lima
pilar itu—zawaj, mitsaqan ghalizhan, mu’asyaroh bil-ma’ruf, musyawarah,
dan taradhin—bukan sekadar aturan yang dibacakan pada bimtek atau
pelatihan pranikah. Ia adalah taman yang mesti dipelihara setiap hari. Disiram
dengan doa yang terbit dari hati yang jernih, dipangkas dengan kesabaran yang
panjang, dijaga dengan akhlak terbaik yang menjadi wangi keharuman rumah itu
sendiri. Suami menjadi pakaian bagi istri, dan istri menjadi pakaian bagi
suami. Mereka saling menutupi aib sebagaimana kain menutupi tubuh, saling
menghangatkan ketika malam kesulitan datang, saling melindungi dari dinginnya
dunia yang sering menguji ketabahan.
Ketika
ikrar suci dibacakan, tangan saling menggenggam, mata saling menatap malu-malu
tetapi penuh keyakinan—ada sesuatu yang lebih halus daripada kata-kata ikut
turun menyertai mereka. Itu sesuatu yang lembut seperti angin subuh yang
menyusup dari celah jendela, sesuatu yang jernih seperti ridha yang turun
perlahan dari langit. Pada saat itu, keduanya bukan hanya menyatukan dua tubuh
atau dua nama keluarga, tetapi sedang mengikrarkan bahwa rumah yang akan mereka
bangun kelak bukan sekadar tempat istirahat, tetapi tempat ibadah; bukan
sekadar tempat berteduh, tetapi tempat bertumbuh; bukan sekadar tempat pulang,
tetapi tempat memulihkan iman.
Dalam
sesi pembelajaran, peserta mengeksplorasi ciri kehidupan perkawinan yang sukses
dan yang gagal, sehingga mereka dapat membaca ulang peta tantangan dalam
kehidupan keluarga. Mereka mempelajari komponen penting hubungan pasangan,
tahap perkembangan relasi suami-istri, pembangun dan penghancur hubungan, serta
hal-hal yang wajib diselamatkan agar pernikahan tetap bernyawa. Peserta juga
diajak menelusuri potensi konflik dan cara mengelolanya—sebab rumah mana yang
tak pernah retak, hati mana yang tak pernah goyah, namun semua itu dapat
diselamatkan bila dikelola dengan iman dan saling pengertian.
Kedekatan
emosi tumbuh dari kasih sayang, mawaddah, dan rahmah—sebagaimana ditegaskan
dalam QS. Ar-Rum (30:21). Mereka menjadikan pasangan sebagai pasangan jiwa,
tempat berbagi kehidupan yang sesungguhnya. Gairah menjadi komponen lain yang
tak bisa diabaikan. Dorongan untuk saling memberi kepuasan halal adalah bagian
dari tujuan pernikahan itu sendiri, sebagaimana digariskan dalam QS. Al-Baqarah
(2:187). Dan komitmen—itulah tiang yang menyangga semuanya. Komitmen yang
disebut Al-Qur’an sebagai mitsaqan ghalizhan (QS. An-Nisa, 4:21), ikatan
yang sangat kokoh, yang dibangun agar rumah tangga tidak roboh oleh badai
kecil.
Perkawinan,
akhirnya, adalah dua manusia yang berjanji untuk selalu kembali kepada Allah
bahkan ketika mereka saling tersesat; untuk saling memperbaiki diri bahkan
ketika luka kembali terbuka; untuk menjaga cinta bukan hanya agar tetap hangat,
tetapi agar tetap suci. Relasi harmonis terbangun ketika dua jiwa bersepakat
untuk menempuh satu jalan—jalan yang mungkin panjang, mungkin berdebu, mungkin
sunyi, tetapi diterangi cahaya tauhid yang tak pernah padam.
Dan
keluarga sakinah adalah ketika jalan itu ditembus oleh cahaya-Nya—hingga setiap
langkah menjadi ibadah, setiap pelukan menjadi doa, dan setiap kesulitan
berubah menjadi ladang pahala.
ASN /
Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar