Pages

Yasmin, Anak Kecil yang Menjadi Cahaya

 Yasmin, Anak Kecil yang Menjadi Cahaya

Ada anak kecil bernama Yasmin Najma Faliha. Orang-orang memanggilnya Neng Yasmin, asal Kecamatan Glenmore, masih kelas empat sekolah dasar, kalau anda melihatnya sekilas, mungkin tidak ada yang istimewa. Ia sama seperti anak-anak lain, dengan senyum ceria, tawa polos, dan semangat khas usia belia.

Namun, siapa sangka, anak sekecil itu mampu tampil tenang di panggung Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-31 Jawa Timur dan meraih juara ketiga kategori tilawah 1 juz putri.

Yang lebih menggetarkan hati bukanlah sekadar posisinya sebagai pemenang, tetapi perjalanan bagaimana ia bisa sampai di sana.

Yasmin membaca ayat-ayat Al-Qur’an tanpa bisa melihat mushaf, matanya memang tidak diberi kemampuan untuk menatap huruf-huruf suci itu, tetapi jemarinya yang kecil mampu meraba tulisan Braille, hatinya mampu menghafal ayat-ayat dengan sempurna, dan suaranya mampu melantunkan dengan indah, seolah tidak ada sekat antara dirinya dengan firman Tuhan, di hadapan Yasmin, kita belajar sesuatu yang sering kita lupakan bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya.


Ketika Yasmin melantunkan tilawahnya, banyak yang terdiam, suaranya tidak sekadar bacaan. Ia seperti doa yang merambat ke dinding-dinding relung hati, seperti lantunan yang memaksa kita berhenti sejenak dari segala kesibukan, lalu mendengarkan dengan tenang, seolah bumi ikut bergetar, seolah langit menunduk, mendengar suara kecil yang penuh ketulusan itu. Saya membayangkan, betapa panjang jalan yang ditempuhnya sebelum sampai ke panggung itu, tidak mungkin seorang anak kecil langsung begitu mahir tanpa belajar, tanpa mengulang, tanpa salah, tanpa jatuh bangun. Yasmin tentu pernah menangis ketika gagal menghafal. Ia pasti pernah jenuh, mungkin pernah ingin berhenti, tapi entah dari mana datangnya, semangat itu tidak pernah padam, ketika ditanya bagaimana perasaannya meraih juara ketiga, wajahnya berseri. Ia berkata bahwa ia sangat senang, sangat gembira, tidak ada rasa lebih, tidak ada sombong. Tidak ada keinginan untuk menonjolkan diri karena berbeda, justru ia menyampaikan harapan sederhana: semoga teman-temannya juga tidak mudah menyerah.

Yang lebih menakjubkan, perjalanan Yasmin tidak berhenti di panggung MTQ. Setelah orang-orang mendengar tilawahnya, undangan mulai berdatangan, ada pengajian di desa, ada acara keagamaan di kota, ada majelis-majelis shalawat yang ingin menghadirkan suara kecil yang menggetarkan hati itu.

Saya mendengar cerita bagaimana Yasmin, ditemani keluarga, menyeberang selat menuju Pulau Bali, di sana, di hadapan jamaah yang khusyuk, ia diminta membacakan tilawah dan shalawat, lantunan suaranya yang bening melintasi udara, menyejukkan telinga orang-orang yang hadir, dan menanamkan rasa haru yang sulit dilukiskan.

Di kesempatan lain, ia juga menyeberang ke Pulau Madura, lagi-lagi, bukan sekadar untuk dipertontonkan, tetapi untuk menjadi bagian dari doa bersama. Yasmin diminta melantunkan shalawat, dan siapa pun yang mendengarnya akan tahu: ada kehangatan yang tulus dalam setiap nadanya, ada cinta yang jernih kepada Nabi, ada semangat yang lahir dari hati yang ikhlas.

Anak kecil ini, yang matanya tidak bisa melihat, justru menjadi cahaya yang dilihat banyak orang.

Kita sering salah paham dalam menilai diri manusia, kita menganggap tubuh yang lengkap, mata yang melihat, telinga yang mendengar, adalah tanda sempurna, sebaliknya, jika seseorang kehilangan satu indera atau satu kemampuan, kita anggap sebagai cacat, sebagai kekurangan. Padahal, tidak jarang, di ruang kosong itulah Tuhan menitipkan cahaya yang tidak bisa kita lihat.

Yasmin tidak bisa melihat dunia dengan indra matanya, tetapi justru karena itulah, ia menghafal dengan hati yang lebih peka, jemarinya membaca huruf-huruf Braille dengan kesabaran. Ia mengandalkan daya ingat yang tidak semua anak seumurannya punya. Kekurangan pada matanya menjelma kelebihan pada hatinya, dan bukankah begitu cara Tuhan bekerja? Menyembunyikan cahaya di tempat yang tidak kita sangka.

Pendidikan kita sering kali hanya sibuk mengejar angka, nilai, dan ranking, kita jarang mendidik hati, kita lupa bahwa anak-anak tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga ketabahan, kesabaran, dan iman.

Yasmin tidak membaca buku tebal filsafat atau teori, tetapi hatinya sudah mengenal kesabaran. Ia tahu arti berjuang dengan keterbatasan. Ia belajar untuk terus mencoba meski jalannya tidak mudah.

Itulah pendidikan hati yang kita butuhkan, pendidikan yang mengajarkan anak-anak untuk tabah, untuk tekun, untuk percaya pada doa., dan pendidikan itu, kadang tidak datang dari ruang kelas, melainkan dari panggung pengajian, dari majelis shalawat, dari perjalanan ke Bali dan Madura, ketika seorang anak kecil mengajarkan kepada orang dewasa arti keikhlasan.

Sore itu, di panggung MTQ, suara Yasmin bukan hanya bacaan. Ia adalah doa, agar kita semua tidak berhenti percaya, doa agar kita tidak cepat menyerah, doa agar kita mau melihat bahwa setiap jiwa membawa cahaya, meski kadang datang dari arah yang tidak kita sangka.

Dan ketika ia melantunkan shalawat di pengajian, entah di Banyuwangi, Bali, atau Madura, suaranya tetap sama: bening, polos, tulus, sebuah suara yang membuat hati kita mengerti bahwa mencintai Nabi tidak harus dengan syair panjang, cukup dengan suara jernih yang lahir dari hati yang bersih.

Saya kira, Tuhan sering berbicara kepada kita melalui jalan yang sederhana, kadang lewat alam, kadang lewat peristiwa kecil, kadang lewat orang-orang yang kita anggap lemah, kali ini, Tuhan berbicara lewat seorang anak kecil bernama Yasmin, seorang anak kelas empat SD, yang tidak bisa melihat dunia dengan matanya, tetapi bisa membuat dunia melihat cahaya lewat suaranya.

Dari Banyuwangi ia berangkat, ke Jember ia bertanding, ke Bali ia menyeberang, ke Madura ia bershalawat, jejaknya bukan sekadar perjalanan seorang anak, melainkan perjalanan cahaya yang berpindah dari satu hati ke hati lain.

Dan bukankah itu cara Tuhan bekerja, mengirimkan pesan melalui mulut-mulut kecil yang polos, melalui hati yang murni, agar kita, orang-orang dewasa yang sering lupa, kembali ingat: bahwa cahaya itu selalu ada

Bupati Ipuk Fiestiandani Apresiasi Kafilah Banyuwangi di MTQ XXXI Jawa Timur

Jember (Warta Blambanga)  Dalam kesejukan senja yang dipenuhi lantunan ayat suci, langkah seorang pemimpin hadir membawa cahaya doa. Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, mendatangi basecamp kafilah Banyuwangi pada Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-31 tingkat Provinsi Jawa Timur di Jember, Jumat (20/9/2025). Kehadirannya bagaikan embun yang menyejukkan hati para kafilah yang tengah berjuang mengibarkan panji Qur’ani dari ujung timur Pulau Jawa.

Dengan tatapan penuh kasih dan suara yang lembut, Ipuk menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta, baik yang menorehkan kemenangan maupun yang belum digariskan takdir untuk meraih juara. Baginya, setiap peluh yang jatuh, setiap ayat yang dihafal, dan setiap doa yang dipanjatkan adalah kemenangan itu sendiri. 


“Saya tidak pernah berhak kecewa,” ujar beliau dengan mata berkaca, “karena semua hasil ini adalah buah dari usaha sungguh-sungguh, doa orang tua, dan anugerah Allah SWT. Kepada yang juara, saya ucapkan selamat. Dan kepada yang belum, janganlah berkecil hati, sebab Allah selalu menyediakan jalan bagi hamba-Nya yang terus berikhtiar.”

Asisten I Sekda Banyuwangi, Muhammad Yanuar Bramudya, mengabarkan bahwa dari 34 peserta, Banyuwangi telah menorehkan catatan membanggakan. Cabang Musabaqah Fahmil Qur’an Putri berhasil meraih puncak juara, sementara putra menyentuh peringkat ketiga. Tak ketinggalan, cabang hafalan Al-Qur’an 30 juz dan tilawah 1 juz putri yang diikuti Yasmin juga menyumbang peringkat ketiga.

Nama Yasmin menjadi cahaya yang menyentuh hati. Seorang putri tunanetra yang dengan suara merdu tilawahnya menembus dinding keterbatasan. Ketika lantunan ayat suci meluncur dari lisannya, seakan-akan langit ikut bergetar dan bumi memberi ruang. Bukti bahwa cinta kepada Qur’an mampu melampaui segala batas. “Ini sungguh membanggakan,” tutur Ipuk, “karena Yasmin telah mengajarkan kita bahwa yang disebut kelemahan hanyalah semu bila hati berpegang pada firman Allah.”

Dalam kesempatan itu, Ipuk meneguhkan kembali komitmen pemerintah daerah: membangun Banyuwangi dengan kekuatan sumber daya manusia yang unggul dalam iman, ilmu, dan akhlak. “Kemajuan bukan hanya perkara teknologi, melainkan pula perkara cahaya yang bersemayam di hati. Generasi Qur’ani inilah penopang masa depan Banyuwangi,” ucapnya.

Syafaat, pembina kafilah dari Kementerian Agama Banyuwangi, menuturkan bahwa kedatangan Bupati Ipuk bagai angin segar bagi para peserta. “Anak-anak semakin bersemangat. Mereka yang juara mendapat bingkisan langsung dari beliau, dan yang belum berhasil mendapat doa serta motivasi. Itu lebih dari cukup untuk menyalakan api perjuangan kembali,” katanya penuh syukur.

Dengan wajah yang teduh, Bupati Ipuk menutup perjumpaan itu dengan harapan: semoga setiap pengalaman di MTQ kali ini menjadi bekal berharga, semoga setiap suara yang melantunkan Qur’an menjadi doa yang menembus langit, dan semoga Banyuwangi senantiasa dipenuhi generasi yang menjadikan kalam Ilahi sebagai pedoman hidup.


Kasih Ibu Ipuk Fiestiandani Kepada Generasi Qurani MTQ XXXI

Mendekat. Begitulah rasanya ketika melihat langkah Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, hadir di tengah anak-anak Qur’ani pada Basecamp Kafilah Kabupaten Banyuwangi pada MTQ ke-31 di Jember, kehadirannya bukan hanya dianggap sebagai seorang pejabat tertinggi di Kabupaten Banyuwangi, namun lebih dari itu. Beliau datang dengan kasih dan cinta ibu terhadap anaknya.


Seorangnya pemimpin bisa saja memilih jarak. Bisa saja cukup menitip salam lewat pejabat, atau sekadar mengirim ucapan lewat layar telepon. Tapi kali ini, yang terjadi justru sebaliknya: ia mendekat, dan beliau hadir tanpa sekat, berbaur dengan anak-anak yang barusaja menyelesaikan babak yang menentukan pada ajang dua tahunan tersebut.

Kehadirannya bukan sekadar tanda tangan protokoler, melainkan sesuatu yang lebih sunyi dan dalam: perhatian. Di balik segala kesibukan seorang bupati, ia duduk bersama anak-anak kafilah Banyuwangi, seperti seorang ibu yang merunduk di tepi ranjang anaknya yang sedang demam. Ada ketenangan yang turun, ada rasa teduh yang membuat wajah-wajah remaja itu bersinar kembali kalimat yang ia ucapkan ketika melepas kafilah di aula Rempeg Jogopati masih diingat dan sederhana: “Jangan terbebani untuk menjadi juara.” Tetapi sederhana sering kali justru paling abadi, dalam kitab suci, kita belajar bahwa manusia hanya diminta untuk berikhtiar dengan sungguh-sungguh, menang atau kalah hanyalah amplop yang kita terima di ujung jalan. Isinya rahasia. Dan rahasia itu hanya Allah yang tahu.

Saya melihat, saat kalimat itu terlontar, sebagian beban di dada anak-anak Qur’ani yang berangkat ke Jember itu luruh perlahan. Mereka berangkat bukan lagi membawa ambisi, melainkan membawa doa, dan bukankah itu yang paling penting dari sebuah musabaqah? Bahwa Al-Qur’an bukan hanya dilombakan, melainkan dihidupkan. Dan ada anak-anak yang menangis karena belum beruntung. Ada yang air matanya jatuh karena meraih kemenangan. Dua-duanya sama-sama indah. Karena di hadapan Tuhan, air mata yang lahir dari kesungguhan tidak pernah sia-sia. Dan di sanalah, saya melihat kehadiran seorang pemimpin yang tidak datang dengan jarak kekuasaan, melainkan dengan jarak keibuan.

Beliau berkata, tidak ada yang pantas kecewa. Hasil apa pun, selama melalui proses yang jujur dan sungguh-sungguh, adalah hasil terbaik. Bukankah kita semua belajar hal yang sama dari kehidupan sehari-hari?. Kita bekerja keras, kita berdoa, lalu kita menyerahkan hasilnya pada takdir. Bila juara datang, itu anugerah. Bila kalah, itu pun anugerah, yakni anugerah berupa kesempatan untuk lebih dewasa. 


Maka, MTQ bukan sekadar arena lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu melafalkan ayat, bukan hanya untuk dinilai, tetapi untuk menyirami hatinya sendiri. Dan seorang bupati yang mau hadir, yang mau mendengar, yang mau menghapus air mata anak-anaknya, sebetulnya sedang menunjukkan pada kita semua: bahwa membaca Al-Qur’an adalah perjalanan hati, bukan sekadar kompetisi.

Banyuwangi tidak pulang dengan tangan kosong. Ada yang masuk final dan juara pertama, ada yang masih harus menunggu giliran di tahun-tahun mendatang. Tetapi apa arti tangan kosong, bila dada mereka pulang dengan cahaya?

Saya kira, inilah yang akan terus diingat: seorang pemimpin yang mendekat, seorang ibu yang menenangkan, dan sebuah pesan yang akan terus bergema di hati anak-anak Qur’ani kita: jangan takut kalah, karena yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga cahaya Al-Qur’an tetap menyala dalam dada.

Saya menyaksikan seorang anak laki-laki menunduk, bahunya bergetar, karena kalah tipis dari lawannya. Bupati menghampiri. Ia tidak berkata banyak, hanya menepuk bahu anak itu, seolah ingin mengatakan: “Kamu sudah sangat baik.” Saya kira, anak itu akan mengingat tepukan itu sepanjang hidupnya. Karena ada saat-saat tertentu, kekalahan tidak butuh banyak kata. Ia hanya butuh sentuhan kecil untuk membuatnya tidak runtuh. Seorang pemimpin, dalam hakikat yang lebih dalam, bukan hanya pengatur administrasi. Ia adalah teladan. Dan teladan itu tidak selalu hadir dalam bentuk keputusan besar, kadang ia hadir dalam hal-hal sederhana: duduk bersama, mendengar, menenangkan, menghapus air mata.

Dan saya percaya, di situlah nilai sejati MTQ. Ia bukan sekadar lomba. Ia adalah ruang perjumpaan manusia dengan firman Tuhan. Anak-anak itu membaca, menghafal, melantunkan, bukan hanya untuk dinilai juri, tetapi juga untuk menyirami jiwa mereka sendiri. Di ruang seperti itu, kehadiran seorang pemimpin yang mendekat bukan lagi sekadar urusan protokol. Ia berubah menjadi teladan bahwa firman Tuhan itu bukan sekadar diperlombakan, melainkan dihayati.

Banyuwangi memang tidak selalu membawa pulang piala tertinggi. Tetapi apa arti piala, bila yang pulang bukan cahaya? Ada semangat baru yang lahir. Ada keyakinan bahwa perjalanan masih panjang. Dan ada doa yang lebih ringan, karena dibawa dengan cinta, dengan kejujuran dan bukan ambisi.

Mungkin di sinilah letak indahnya sebuah musabaqah. Ia tidak berhenti di podium juara. Ia terus hidup dalam hati anak-anak yang berjanji untuk menjaga Al-Qur’an dalam keseharian mereka. Dan ketika seorang bupati hadir, bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai seorang ibu, kita tahu bahwa ada yang lebih penting daripada kemenangan: ada cinta yang diturunkan bersama ayat-ayat suci.

Dan cinta itu, saya kira, akan bertahan lebih lama daripada piala.

Bidadari Surga Qur'ani

Ada saat-saat tertentu dalam hidup yang membuat dada kita terasa lapang. Seperti ketika saya duduk di antara generasi cerdas Qur’an, mereka adalah Auline Alvira Syafa Azzahra, Anggun Dwi Wahyuni, dan Alwa Sakna Fuadiyah. Mereka masih remaja, masih duduk di kelas sebelas dan dua belas, dan satunya baru semester awal. Tapi apa yang mereka bawa di kepala dan hati membuat saya berpikir: betapa luasnya dunia anak-anak muda ini, betapa tenang sekaligus bergemuruh jalan yang sedang mereka tempuh.

Di Jember, pada Musabaqah Fahmil Qur’an (MFQ) tingkat provinsi Jawa Timur ke-XXXI, mereka berhasil menjadi yang terbaik. Kemenangan itu, tentu saja, bukan hanya kemenangan atas nama madrasahnya, tetapi juga untuk Banyuwangi. Kemenangan itu seperti sebuah pesan yang turun perlahan: bahwa ayat-ayat yang dijaga dengan cinta, yang diulang tanpa rasa lelah, akhirnya menjelma menjadi cahaya bagi siapa saja yang mau melihat. 


Saya menatap sang juru bicara, seorang remaja dengan hafalan tiga puluh juz. Bayangkan, tiga puluh juz di dalam jiwa seorang anak yang mungkin masih suka bercanda di sela-sela latihan. Bagaimana seorang anak seusia itu bisa membawa Al-Qur’an seutuhnya ke dalam hidupnya? Ada rahasia di sana, rahasia yang tidak terjangkau oleh hitungan jam belajar biasa. Rahasia itu bernama kesetiaan, kesungguhan, dan cinta yang tidak berpamrih.

Orang tua mereka, saya pikir, tentu sedang menahan bahagia yang nyaris tumpah. Apa lagi yang lebih indah selain menyaksikan anak-anak kita berjalan dengan bendera kalamullah di tangannya? Bersyukurlah mereka yang menjadi orang tua dari anak-anak cerdas ini. Sebab, tidak semua orang tua diberi anugerah untuk melihat buah hatinya menjadi lentera di jalan Qur’an.

Saya berdoa, semoga langkah mereka tidak berhenti di sini. Semoga di tingkat nasional mereka juga bisa menjadi yang terbaik. Tapi lebih dari sekadar piala atau gelar juara, saya ingin mereka tetap menjaga cahaya yang kini sudah menyala. Cahaya itu lebih penting daripada sekadar podium. Karena cahaya itu akan terus menemani, bahkan ketika perlombaan sudah selesai, ketika dunia semakin bising, ketika manusia makin sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Dan di tengah semua itu, tiga remaja ini mengajarkan saya sesuatu: bahwa Qur’an bukan hanya kitab untuk dibaca. Qur’an adalah jalan panjang yang, bila kita ikuti dengan cinta, akan membawa kita pulang dengan tenang.

Ketegangan Semifinal MFQ ke XXXI Provinsi Jawa Timur

 Ketegangan Semifinal MFQ XXXI Jawa Timur

oleh.: Syafaat 

Pagi itu bukan sekadar pagi biasa, melainkan sebuah halaman kitab yang baru saja dibuka dengan hati yang berdebar. Di dalamnya tersimpan kisah empat regu yang akan bertanding pada Musabaqah Fahmil Qur’an. (MFQ), Salah satunya adalah regu putri dari Banyuwangi. Mereka duduk berfampingan dengan wajah tenang, seperti kuntum bunga yang mekar di antara seribu daun, tetapi dada mereka berdegup seperti pintu yang diketuk tanpa henti.

Ketika regu pertama—yang bukan dari Banyuwangi—menjawab sebuah soal, limpahan nilai 175 justru jatuh ke pangkuan regu putri kami. Sebuah anugerah yang tidak hanya berupa angka, melainkan semacam bisikan lembut dari langit. Nilai itu seakan berkata: “Aku hanya titipan. Rawatlah aku dengan syukur. Jangan pernah merasa ini milikmu sepenuhnya.”

Kemenangan, ternyata, sering datang dari jalan yang tidak pasti. Dari lemparan soal yang membuat peserta lain terguncang, dari kerikil kecil yang justru membuka pintu rezeki bagi yang lain. Hidup memang bergerak seperti itu: yang satu tergelincir, yang lain mendapat pijakan. Namun dalam setiap peristiwa, ada hikmah yang lebih besar ketimbang sekadar angka di papan skor.

Lalu ujian kecil itu datang, seperti cara Tuhan mengingatkan agar manusia tak terlalu hanyut dalam gembira. Saat giliran soal bahasa Inggris, sistem tiba-tiba error. Layar membeku, ruangan hening. Sesaat semua mata saling berpandangan, menunggu keputusan. Tetapi justru di dalam hening itu, lahirlah sesuatu yang lebih indah: dewan juri mengajak semua hadirin bershalawat.

Maka terdengar suara demi suara menyatu, mengalun pelan, lalu menguat, memenuhi ruangan. Shalawat itu berputar, naik ke langit, dan jatuh kembali sebagai ketenteraman. Tidak ada yang tahu berapa menit keheningan itu berlangsung. Waktu seolah berhenti, dan hanya doa yang terus bergerak. Pada akhirnya, soal bahasa Inggris dilewati begitu saja, memberi jalan kepada soal berikutnya.

Alhamdulillah, regu putri Banyuwangi tetap melangkah dengan nilai tertinggi. Mereka berhak menuju final. Ada rasa lega, bahagia, sekaligus syukur yang meluap-luap. Tetapi perjalanan belum selesai. Setelah Dzuhur, giliran regu putra akan bertanding. Kegembiraan bercampur cemas, seperti menunggu kabar baik dari kejauhan, seperti seorang ibu yang menunggu anaknya pulang.

Di sela-sela sebelum lomba berlangsung, saya berkata kepada para peserta: “Hubungilah ibumu. Mintalah doa darinya. Sebab doa yang paling tulus, paling jujur, dan paling lurus menuju langit, adalah doa seorang ibu untuk anaknya.” Mereka menunduk, beberapa langsung mengambil ponsel, mengirim pesan singkat atau menekan nomor. Saya tahu, dalam detik-detik itu, hati mereka kembali tenang.

Dan di situlah cinta dan agama bertemu: di antara doa seorang ibu yang tak pernah berhenti mendoakan, bahkan ketika anaknya sedang duduk di ruangan sunyi dengan kitab suci terbuka.

Jika perasaan ini dapat dilukiskan, barangkali tak ada garis yang cukup tegas untuk menggambarkannya. Ia lebih mirip riak air yang dipukul angin, gemetar, tapi indah. Bergetar, tapi tak pecah. Begitulah wajah-wajah peserta MTQ sore itu ketika semifinal berlangsung. Empat regu putra duduk berfampingan, dan nilai mereka nyaris bersisian, hanya terpaut dua puluh lima poin, tipis, rapuh, seperti jarak antara harap dan cemas.

Para pendamping kafilah pun tak kalah gelisah. Mereka yang sejak berbulan-bulan membina, mengajarkan, membimbing dengan sabar, kini hanya bisa duduk dengan dada berdebar. Ketika seorang peserta keliru menjawab, pembinanya menunduk, melafazkan astaghfirullahaladzim dengan suara yang hanya Allah mendengar. Tapi di sisi lain, pembina regu lawan tersenyum lega, bahkan kadang tepuk tangan pun tak tertahan.

Di situ terasa benar: betapa hidup selalu menakar dengan dua sisi, ada yang jatuh, ada yang bangkit. Ada yang dirundung musibah, ada yang beroleh rezeki. MTQ sore itu menjadi cermin kecil dari dunia: tidak semua bisa naik bersama. Ada yang harus berhenti, agar yang lain bisa melanjutkan. Ada yang harus rela, agar yang lain mendapat kesempatan.

Namun di menit-menit terakhir, keajaiban sederhana itu hadir. Regu putra Banyuwangi menjawab benar pertanyaan terakhir, menambah seratus poin, dan melampaui batas yang menentukan. Dari empat regu yang berjuang, hanya dua yang berhak ke final, dan Banyuwangi termasuk di dalamnya. Lebih dari itu, sejarah tercipta: regu putra dan putri sama-sama lolos ke babak final. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di MTQ tingkat provinsi. 

Semua orang bergembira. Tapi kegembiraan ini bukan semata tentang juara. Mereka sadar, menjadi yang terbaik hanyalah tambahan. Yang utama adalah belajar mendekat kepada Al-Qur’an, merawat cintanya dengan suara, hafalan, dan pemahaman. Juara hanyalah bonus, sementara hadiah sejati adalah keberanian untuk duduk di hadapan kitab suci, mengucapkan ayat-ayatnya dengan penuh iman, dan belajar rendah hati di antara kemenangan maupun kekalahan.

Kita melihat bagaimana ayat-ayat Allah tidak hanya dibaca, tetapi juga hidup di dalam dada mereka. Kita menyaksikan bagaimana anak-anak muda itu belajar bahwa kemenangan sejati bukanlah saat nama mereka disebut di podium, melainkan saat mereka mampu menjaga Al-Qur’an tetap bercahaya dalam kehidupan sehari-hari.

Di situlah cinta dan religi menyatu. Bahwa setiap debar bukan semata tentang kalah atau menang, melainkan tentang kesadaran bahwa hidup, sebagaimana musabaqah ini, selalu berjalan di antara dua ayat: ujian dan rahmat. Yang satu menuntun agar kita sabar, yang lain menuntun agar kita bersyukur.

Dan mungkin, jika hati kita cukup jernih untuk membaca, kita akan sadar bahwa hidup kita pun tak ubahnya musabaqah panjang. Pertanyaan-pertanyaan akan datang, kadang mudah, kadang sulit, bahkan kadang membuat sistem kita error. Namun selalu ada shalawat, selalu ada doa ibu, selalu ada cahaya yang turun diam-diam dari langit untuk menenangkan hati. Sampai akhirnya kita pun akan berdiri di panggung akhir, menunggu pengumuman yang

 hanya Allah yang tahu hasilnya.

Motivasi di Balik Hafalan Ayat-Ayat Suci

                                                Motivasi di Balik Ayat-Ayat Suci

oleh : Syafaat

Sore itu menjelang ashar. Udara Jember masih hangat, langit mendung separuh jingga, dan langkah-langkah kecil menuju sebuah gedung dekat GOR Kaliwates terasa seperti perjalanan yang sederhana namun penuh makna. Di tangan ada sebuah tanggung jawab kecil: mengantar peserta musabaqah hifdzil qur’an. Tidak ada sambutan megah, tidak ada karpet merah. Hanya sebuah kesadaran bahwa kehadiran, sekadar hadir, sekadar menatap, sekadar mendampingi, adalah bentuk motivasi yang tidak bisa dianggap remeh.

Orang kadang melupakan hal-hal kecil yang memberi kekuatan. Sebagian besar kita mengira bahwa motivasi hanya lahir dari kata-kata besar, pidato panjang, atau janji kemenangan. Padahal, sering kali yang dibutuhkan anak-anak itu hanyalah seseorang yang menemani mereka berjalan menuju sebuah gedung perlombaan. Karena percaya diri adalah setengah dari kemenangan. Dan percaya diri itu, kadang, lahir dari mata orang lain yang menatap mereka dengan kasih. 


Anak-anak itu, dengan wajah polos, berdiri di depan pintu gedung. Ada yang sibuk merapikan jilbabnya, ada yang memegang lembaran mushaf kecil untuk mengulang hafalan, ada yang hanya diam sambil menunduk, menahan degup jantung yang semakin cepat. Setiap orang punya caranya sendiri menghadapi detik-detik menjelang giliran tampil.

Saya melihat beberapa anak SMP datang dengan gurunya. Kepala sekolah mereka ikut mengantar, bahkan sempat mengambil foto di depan backdrop sederhana yang dipasang panitia. Foto itu mungkin akan dikirim ke grup WhatsApp sekolah, menjadi laporan, atau sekadar tanda bahwa mereka sudah hadir. Namun, lebih dari sekadar laporan, kehadiran guru mereka adalah cahaya kecil yang menyala di hati peserta.

Anak-anak yang datang tidak selalu paham arti kemenangan. Mereka hanya tahu bahwa ada ayat-ayat suci yang telah mereka hafalkan, dan hari itu mereka diminta untuk melantunkannya. Bagi sebagian besar dari mereka, keberanian untuk berdiri di depan orang banyak sudah merupakan kemenangan tersendiri. Mereka mungkin tidak mengejar juara, tidak mencari piala, tidak berharap pada sertifikat. Yang mereka kejar hanyalah mempersembahkan yang terbaik dari hafalan yang menempel di hati. Dan bagi mereka, ayat-ayat itu bukan sekadar deretan huruf. Al-Qur’an adalah tubuh cahaya, yang bertubuh indah saat dilantunkan, yang bertugas maknanya ketika dihayati, dan yang tidak akan lekang oleh perkembangan zaman.

Saya teringat sebuah kalimat lama: “Kehadiran adalah bentuk cinta yang paling sederhana, dan mungkin yang paling penting.” Betapa benar kalimat itu. Seorang anak yang berjalan menuju panggung dengan ditemani orang tuanya, akan tampil lebih percaya diri dibanding anak yang berjalan sendirian. Seorang remaja yang menoleh dan menemukan gurunya duduk di bangku penonton, akan melantunkan ayat dengan lebih tenang. Karena sesungguhnya, kehadiran adalah doa yang menjelma bentuk.

Musabaqah hifdzil qur’an, atau lomba hafalan Al-Qur’an bukanlah ajang biasa. Di sana, setiap kata adalah cahaya, setiap huruf adalah doa. Mereka yang menghafalnya tidak hanya sedang mengumpulkan kata, tetapi sedang membangun benteng di dalam dirinya. Banyak orang percaya bahwa penghafal Al-Qur’an diberi keistimewaan: otaknya terlatih untuk menyimpan, hatinya terlatih untuk menjaga, jiwanya terlatih untuk bersih. Maka tak heran bila banyak dari mereka yang kelak tumbuh menjadi manusia-manusia cemerlang di bidang apa pun. Ada yang menjadi dokter, ada yang menjadi insinyur, ada pula yang menjadi pemimpin. Sebab, mereka telah terbiasa merawat sesuatu yang suci di dalam kepala dan hatinya.

Saya teringat satu cerita. Seorang kawan lama pernah berkata bahwa ia tidak pandai menghafal pelajaran sejarah di sekolah. Nama-nama tokoh dan tanggal peristiwa selalu berlarian dari kepalanya. Tapi anehnya, ketika ia mencoba menghafal satu surah pendek dalam Al-Qur’an, ia bisa menyimpannya dengan cepat. Ia heran sendiri. Kemudian ia menyadari, bukan karena dirinya lebih cerdas. Tetapi karena Al-Qur’an memang memiliki irama, struktur, dan keseimbangan yang membuatnya mudah masuk ke dalam ingatan. Ayat-ayat itu seperti musik yang tidak pernah lekang, yang terdengar sama di setiap tempat, di setiap lidah, di setiap zaman.

Tidak seperti kitab-kitab lain yang harus diterjemahkan dan bisa kehilangan sebagian maknanya, Al-Qur’an tetap sama di manapun. Huruf-hurufnya tidak berkurang, tidak bertambah, tidak berubah. Itulah mengapa menghafalnya bukan sekadar latihan mengingat, melainkan latihan menjaga kesetiaan pada sesuatu yang tetap. Sore itu, aku melihat seorang anak laki-laki duduk di pojok ruangan. Wajahnya serius, bibirnya bergerak pelan, matanya menunduk pada mushaf kecil yang sudah lusuh. Sesekali ia berhenti, menutup mata, seolah mengulang ayat di dalam hati. Aku teringat pada kalimat lain: “Al-Qur’an tidak hanya dibaca dengan mulut, tetapi juga dengan hati.”

Dan di sana, di wajah anak itu, saya melihat kebenaran kalimat itu. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an, bahkan dari mulut anak-anak, adalah keberkahan. Setiap huruf yang terucap menghunjam dada, menyentuh sanubari. Kita mungkin tidak selalu mampu menghafalnya, tapi telinga yang ikhlas mendengar bisa menjadi pintu masuk bagi cahaya-Nya. Ada kalanya, doa seorang ibu yang membacakan Al-Qur’an untuk anaknya jauh lebih kuat daripada seribu nasihat. Ada kalanya, suara anak-anak yang melantunkan ayat lebih murni daripada suara para qari dewasa yang sudah terbiasa tampil. Karena di dalam suara yang polos itu, tidak ada ambisi lain selain mempersembahkan ayat Tuhan dengan sebaik-baiknya.

Al-Qur’an memang berbeda. Ia tidak sekadar kitab. Ia mukjizat. Ia bisa didengar oleh bayi dalam kandungan. Bahkan, para ibu yang sedang hamil sering membacakan ayat-ayat Al-Qur’an agar anak yang dikandungnya tumbuh dengan sifat-sifat mulia. Nada bacaan Al-Qur’an, kata mereka, bisa membuat detak jantung bayi lebih teratur, lebih sehat, lebih tenteram. Dan benar saja, setiap kali ayat-ayat itu dibacakan, suasana ruangan berubah. Ada ketenangan yang turun. Ada kedamaian yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

Hari itu di Jember, saya menyaksikan semua itu. Anak-anak SMP yang baru selesai sekolah, datang dengan baju rapi. Guru-guru yang sabar menunggu mereka di luar ruangan. Orang tua yang menatap dari kejauhan dengan doa yang tak terucap. Semuanya berkumpul bukan hanya untuk sebuah lomba. Mereka berkumpul untuk merayakan cahaya yang tidak akan pernah padam. Dan aku belajar satu hal: bahwa kemenangan sejati bukanlah piala yang dibawa pulang. Kemenangan sejati adalah keberanian untuk berdiri, melafalkan ayat Tuhan dengan percaya diri, dan menyadari bahwa di setiap huruf yang diucapkan, ada cahaya yang turun, ada doa yang mengalir, ada kasih yang melingkupi. Sore itu menjelang ashar, di sebuah gedung sederhana dekat GOR Kaliwates, aku tahu bahwa motivasi terbesar sesungguhnya bukanlah kata-kata. Motivasi terbesar adalah hadir.

Hadir untuk mendengar.

Hadir untuk menemani.

Hadir untuk percaya.

Bahwa setiap anak yang melafalkan Al-Qur’an, sedang menjadi jembatan bagi cahaya yang abadi untuk sampai pada kita semua.

Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi



Berlayar dengan Cahaya Kalam Ilahi: Kafilah Banyuwangi Menuju MTQ Jatim XXXI

Banyuwangi (Warta Blambangan) Dari tanah ujung timur pulau, fajar Qur’ani kembali dipantulkan. Sebanyak 34 kafilah Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Kabupaten Banyuwangi resmi diberangkatkan menuju gelanggang suci MTQ Tingkat Provinsi Jawa Timur ke-XXXI yang digelar di Jember, 12–19 September 2025. Di Aula Rempeg Jogopati, Kamis (12/9/2025), doa, harapan, dan restu berpadu dalam satu irama.

Mereka adalah putra-putri pilihan: 19 qari dan hafidz dari barisan lelaki, 15 dari kalangan putri. Semuanya siap menorehkan ayat dengan suara dan hafalan, berkompetisi di 25 cabang lomba. Mereka tidak berangkat sendirian. Sebelas pembina mendampingi langkah; sembilan dari LPTQ Banyuwangi, dua dari LPTQ Jawa Timur. Sejak Juli 2024, peluh dan doa mereka ditempa dalam pembinaan yang panjang hingga September 2025—ibarat menempa pedang agar tajam di medan laga.

Ketua I LPTQ Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, S.Ag., M.M., yang juga Kepala Kantor Kementerian Agama, menuturkan bahwa pembinaan dilakukan melalui pola intensif dua pekan sekali, dipadu dengan tujuh kali pembinaan terpusat. “Usaha panjang ini diharapkan membuahkan hasil maksimal, mengantarkan kafilah Banyuwangi tampil percaya diri di Jember,” ucapnya, seakan menyalakan pelita di dada para peserta. 


Lebih jauh, Chaironi mengabarkan kabar bahagia: dua tokoh Banyuwangi, Dewasa dan Ustadz Yasin Habibi, dipercaya menjadi dewan hakim MTQ Jawa Timur ke-XXXI. Amanah itu, katanya, adalah kepercayaan yang harus dijaga dengan keadilan, bahkan ketika harus menilai anak-anak Banyuwangi sendiri.

Dari panggung doa, suara Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, meneteskan makna lain. Baginya, MTQ bukan sekadar perlombaan melagukan Kalamullah. Ia adalah jalan membangun karakter dan peradaban. “Jika semakin banyak anak-anak Banyuwangi mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an, saya yakin masa depan Banyuwangi akan lebih baik,” ucapnya, dengan keyakinan yang menyerupai doa ibu pada anaknya.

Ipuk pun menitipkan pesan keberangkatan. “Kalian berangkat bukan hanya membawa nama pribadi, tetapi juga nama baik Banyuwangi. Tunjukkan kemampuan terbaik, dan insyaallah pulang membawa kabar gembira,” katanya, menutup dengan restu penuh kebanggaan.

MTQ Jawa Timur ke-XXXI sendiri akan dibuka pada Sabtu malam (13/9/2025) di Stadion Universitas Negeri Jember. Lomba akan berlangsung 14–19 September, dengan penutupan pada Jumat malam (19/9/2025). Di Hotel GM253 Jember, kafilah Banyuwangi akan berdiam, menjadikannya basecamp perjuangan, sementara dukungan transportasi telah disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 


Di pundak mereka, ayat suci bukan sekadar bacaan. Ia menjelma pelita, menjelma nafas, menjelma cahaya yang siap membawa harum nama Banyuwangi di kancah provinsi.


 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger