Melati di Telapak Waktu: Ibu, Perempuan, dan Jalan Sunyi Menuju Indonesia Emas
Oleh : Syafaat
Rahim itu sunyi, tak tampak dalam pidato dan perayaan,
namun di sanalah masa depan disusui dengan kesabaran, doa, dan pengorbanan.
Maka ketika Hari Ibu diperingati, yang sesungguhnya kita hormati bukan sekadar
sosok ibu, melainkan rahim peradaban itu sendiri, tempat kehidupan dimulai,
nilai ditanamkan, dan arah bangsa diarahkan. Logo Hari Ibu dengan bunga
melatinya hadir sebagai isyarat lirih: bahwa kekuatan sejati tidak selalu
bersuara keras, dan masa depan tidak dilahirkan dari ambisi, melainkan dari
rahim kesucian, ketulusan, dan kasih yang setia merawat waktu.
Logo Hari Ibu tahun ini menghadirkan bunga melati, kecil,
putih, nyaris tak bersuara. Ia seperti doa yang dilafalkan dalam rahim sunyi,
tak diperdengarkan, namun sampai ke hadirat-Nya. Dalam kemerdekaan melaksanakan
dharma, melati tidak memekik seperti mawar yang menuntut pandang, tidak pula
mencolok seperti anggrek yang ingin dipuji. Ia memilih jalan rendah, dan justru
dari kerendahan itulah kesucian bersemi. Melati tidak meminta disanjung; ia
mengharumkan ruang dengan setia. Begitulah ibu: sering tak disebut dalam
pidato, jarang diangkat dalam perayaan, namun dari rahim dan kesabarannya arah
hidup dituntun. Ia memerdekakan dengan kasih, mendidik dengan diam, dan
menguatkan dunia tanpa suara. Tanpanya, hidup kehilangan poros, sebab doa-doa
paling sampai sering lahir dari yang paling sunyi.
Melati tumbuh dari akar budaya yang panjang, berjejak
pada tanah yang sabar menerima musim. Ia tidak lahir dari tanah yang
tergesa-gesa, melainkan dari bumi yang diolah dengan ketekunan. Di sanalah ia
belajar bertahan: dari hujan yang tak selalu ramah, dari panas yang menguji
keteguhan. Melati mengajarkan bahwa kekuatan perempuan Indonesia bukanlah
kekuasaan yang menghentak meja, bukan suara yang meninggi untuk menang.
Kekuatan itu adalah ketabahan yang setia merawat waktu, menunggu benih menjadi
pohon, menunggu luka menjadi pelajaran, menunggu bangsa dewasa dalam nurani.
Warna emas dan merah putih yang mengiringinya bukan
sekadar perhiasan visual. Emas adalah ingatan tentang kejayaan yang seharusnya
diraih dengan keluhuran budi, bukan dengan tipu daya dan lupa diri. Ia
mengingatkan bahwa kemuliaan tidak lahir dari kerakusan, melainkan dari
kejujuran yang dijaga meski sunyi. Emas adalah cahaya yang seharusnya
menerangi, bukan menyilaukan. Sementara merah putih bukan sekadar warna,
melainkan darah dan doa yang menjelma tanda. Merah adalah keberanian yang
berdetak di nadi bangsa, denyut yang lahir dari luka dan pengorbanan. Putih
adalah niat yang dijaga tetap bening, agar perjuangan tidak tercemar oleh
dendam dan kepentingan sempit. Di dalamnya tersimpan kerja yang tak selalu
tampak, keringat yang tak selalu mendapat nama, serta pengorbanan yang sering
luput dari catatan sejarah. Semuanya berpaut pada satu keyakinan sunyi: bangsa
ini tidak lahir dari kebetulan, melainkan dari rahim perjuangan yang panjang.
Dan rahim, selalu milik perempuan. Ia adalah tempat ternyaman dan teraman bagi tumbuhnya kehidupan, ruang sunyi tempat harapan dirawat dalam gelap. Dari rahim itulah kehidupan dimulai, dari sakit yang diterima dengan ikhlas, dari doa yang dipanjatkan tanpa pamrih, dari kesabaran yang tak menuntut balasan. Namun dari mulut rahim yang sama, sering pula lahir kecemasan dan persoalan: tangisan, risiko, bahkan kehilangan. Di sanalah perempuan menanggung paradoks kehidupan, menjadi pintu masuk bagi kehidupan sekaligus menanggung segala kemungkinan deritanya. Tetapi justru dari keberanian menanggung itulah, peradaban menemukan maknanya yang paling dalam.
Maka logo itu sesungguhnya bukan sekadar gambar. Ia
adalah pengingat. Bahwa di balik kemajuan yang ingin kita capai, ada
nilai-nilai yang harus tetap dijaga. Bahwa sebelum bangsa ini bermimpi menjadi
emas, ia harus terlebih dahulu setia pada kesucian, ketulusan, dan kesabaran, nilai-nilai
yang sejak awal dirawat oleh perempuan, setia, dalam sunyi. Namun, simbol hanya
akan menjadi poster jika tidak diterjemahkan dalam laku. Kepemimpinan perempuan
yang digaungkan tidak cukup berhenti pada kursi jabatan atau angka
keterwakilan. Kepemimpinan perempuan sejati adalah kepemimpinan yang
memanusiakan. Ia tahu kapan harus tegas, dan kapan harus menunggu. Ia tahu
bahwa keberlanjutan bukan sekadar pembangunan yang ramah lingkungan, tetapi
juga ramah batin. Dunia yang rusak seringkali bukan karena kurang teknologi,
melainkan karena kehilangan kasih.
Sejarah Hari Ibu di Indonesia lahir dari Kongres
Perempuan 1928. Saat itu, perempuan belum berbicara tentang bonus demografi
atau revolusi digital. Mereka berbicara tentang martabat, pendidikan, dan nasib
anak-anak perempuan yang ingin keluar dari gelap. Di ruang sederhana Yogyakarta
itu, para perempuan menanam benih peradaban. Mereka tidak tahu bahwa puluhan
tahun kemudian, benih itu akan kita sebut sebagai fondasi Indonesia Emas.
Tetapi mereka tahu satu hal: bangsa tidak akan pernah besar jika setengah dari
jiwanya dibiarkan kecil.
Dalam ajaran agama, ibu menempati posisi yang nyaris tak
tertandingi. Nabi menyebut “ibumu” tiga kali sebelum “ayahmu”, seakan ingin
menegaskan bahwa cinta paling sunyi justru yang paling berat bebannya. Surga
diletakkan di bawah telapak kaki ibu, bukan karena ibu ingin disembah, tetapi
karena dari ketaatan kepada ibu, manusia belajar merendahkan ego. Doa ibu
melesat tanpa sekat, sebab ia lahir dari luka yang tidak pernah benar-benar
sembuh: luka mengandung, melahirkan, menyusui, dan melepaskan.
Ibu adalah madrasah pertama. Dari suaranya, anak belajar
mengenal Tuhan. Dari pelukannya, anak mengenal dunia. Maka ketika kita bicara
tentang Indonesia Emas 2045, pertanyaan paling jujur bukanlah seberapa cepat
teknologi kita, melainkan seberapa sehat rahim sosial kita. Apakah perempuan
diberi ruang aman untuk tumbuh? Apakah ibu diberi waktu untuk mendidik tanpa
dihimpit ketakutan ekonomi? Apakah kepemimpinan perempuan dimaknai sebagai
kekuatan etik, bukan sekadar kosmetik demokrasi?
Gerakan perempuan yang progresif, sebagaimana dibayangkan
dalam desain Hari Ibu 2025, seharusnya melangkah ke depan tanpa kehilangan
jejaknya di tanah asal. Ia boleh berlari bersama zaman, menyentuh teknologi,
menembus batas-batas lama, tetapi akarnya mesti tetap menghunjam ke bumi nilai.
Sebab pohon yang tumbuh tinggi tanpa akar yang kuat hanya menunggu waktu untuk
tumbang. Kemajuan yang tercerabut dari kearifan hanya akan melahirkan kelelahan
baru, bukan peradaban.
Perempuan Indonesia tidak sedang menuntut keistimewaan,
apalagi pengunggulan yang meminggirkan yang lain. Yang diminta hanyalah
kehadiran yang utuh dan adil. Kehadiran sebagai pemikir yang suaranya didengar,
sebagai pengasuh yang jerih payahnya dihargai, sebagai pemimpin yang
kebijaksanaannya dipercaya, dan sebagai penjaga nurani bangsa yang kepekaannya
tidak diremehkan. Dalam diri perempuan, akal dan kasih tidak saling meniadakan.
Justru di sanalah keduanya berdamai, lalu melahirkan keputusan yang manusiawi.
Hari Ibu bukanlah perayaan sentimentil yang cukup ditebus
dengan bunga dan unggahan media sosial. Ia bukan sekadar hari untuk mengucapkan
terima kasih lalu kembali lupa esok pagi. Hari Ibu adalah saat berhenti
sejenak, menundukkan kepala, dan bertanya dengan jujur kepada nurani kolektif
kita: apakah bangsa ini telah cukup adil kepada perempuan? Apakah kebijakan
yang lahir dari meja-meja rapat sungguh ramah kepada ibu, atau justru menambah
beban yang harus dipikul dalam diam? Apakah masa depan yang kita bangun hari
ini layak diwariskan kepada anak-anak yang baru belajar mengeja kehidupan dari
kata paling awal yang mereka kenal: “ibu”?
Jika Indonesia sungguh ingin menjadi emas, maka kilau itu
tidak boleh hanya tampak di statistik dan pidato. Ia harus memancar dari nilai
yang hidup, dari keadilan yang dirasakan, dari kasih yang diwujudkan dalam
kebijakan dan laku sehari-hari. Dan nilai itu, sejak awal sejarah, dijaga
dengan setia oleh perempuan. Seperti melati, ia tidak berisik, tidak menuntut
sorak. Tetapi tanpanya, rumah kehilangan aroma, dan bangsa kehilangan arah
pulang.
Penulis
adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar