Pages

Kejujuran sebagai Pondasi Karakter

 *Kejujuran sebagai Pondasi Karakter*

Oleh: Moh. Jali

Pagi itu, selepas salat Subuh, saya merenung lama. Kita sering memperingati hari-hari besar, menjalankan upacara, bahkan mengikuti berbagai kegiatan seremonial keagamaan. Namun saya teringat satu hal penting: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membangun umat dengan upacara, melainkan dengan karakter. 

Karakter itulah yang hari ini sedang kita usahakan bersama—baik di sekolah, di rumah, maupun di tempat kerja. Saya percaya, pendidikan yang sejati bukan hanya tentang seberapa tinggi nilai akademik atau seberapa banyak prestasi, tetapi tentang bagaimana kejujuran menjadi napas dalam setiap langkah hidup kita. Dulu, di sekolah dasar, guru agama saya sering bercerita bahwa Rasulullah memiliki empat sifat wajib: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas). Dari semua sifat itu, yang paling melekat dan menjadi dasar adalah shiddiq—kejujuran. Karena jujur itulah, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi, beliau telah dikenal dengan gelar Al-Amin, orang yang terpercaya. Maka, jika kita mengaku sebagai umatnya, seharusnya kejujuran itu juga menjadi darah yang mengalir dalam diri kita.

Sekarang, kita hidup di masa serba digital. Segala sesuatu diatur sistem, bahkan kehadiran kita di kantor pun dipantau dengan aplikasi, pusaka atau fingerprint. Ada yang mengeluh, merasa diawasi, merasa tidak dipercaya. Tapi saya ingin melihatnya dari sisi lain: barangkali sistem itu adalah cara zaman ini memaksa kita untuk jujur. Dulu, kejujuran diuji dengan kata dan tindakan. Sekarang, diuji oleh data dan waktu. Namun hakikatnya tetap sama: apakah kita hadir sesuai kenyataan, atau hanya hadir di atas kertas?

Mungkin, inilah bentuk ujian kecil yang harus kita hadapi di tengah rutinitas. Karena sesungguhnya, Allah tidak menilai besar kecilnya tugas kita, tetapi seberapa jujur niat kita dalam menjalankannya. Rasulullah bersabda,

> “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan menuntun ke surga. Seseorang terus berlaku jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan menuntun ke neraka. Seseorang terus berdusta hingga ia dicatat sebagai pendusta.”

(HR. Muslim)

Hadis itu sering kita dengar, tapi jarang kita renungkan dalam-dalam. Betapa ternyata jujur bukan sekadar soal berkata benar, melainkan soal membiasakan diri untuk lurus—meski dunia kadang membengkokkan kita.

Namun, saya juga paham bahwa kejujuran tidak selalu mudah. Ada saat-saat tertentu di mana berkata jujur bisa melukai, bisa menimbulkan fitnah, atau bahkan bahaya. Di sinilah Islam mengajarkan keseimbangan. Jujur tidak berarti sembrono. Ada kejujuran yang harus disampaikan dengan hikmah dan kebijaksanaan. Contohnya, ketika seseorang dikejar oleh orang jahat dan kita tahu tempat persembunyiannya, maka tidak pantas jika kita menyerahkannya hanya demi mengaku “jujur”. Itu bukan kejujuran yang membawa maslahat, tapi kejujuran yang menimbulkan mudarat.

Kejujuran harus tetap berjalan beriring dengan kasih sayang dan akal sehat.

Saya teringat cerita Sayyidina Abu Bakar dan putranya, Abdullah. Abdullah dikenal lembut, cerdas, dan penyayang. Namun karena cintanya yang besar kepada istrinya, ia sampai jarang keluar rumah untuk salat berjamaah di masjid. Abu Bakar pun menasihatinya dengan lembut, bahwa cinta yang benar adalah cinta yang tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Dari kisah itu, saya belajar bahwa jujur kepada diri sendiri adalah bentuk kejujuran tertinggi.

Berani mengakui bahwa kita masih lemah, masih sering kalah oleh nafsu, itulah awal dari perbaikan. Jujur kepada Tuhan berarti tidak menipu diri dengan dalih kebaikan.

Jujur kepada sesama berarti tidak menutup-nutupi kesalahan, tapi juga tidak membuka aib tanpa sebab. Jujur dalam pekerjaan berarti hadir, bekerja, dan berbuat sesuai kemampuan tanpa manipulasi. Membangun karakter bangsa tidak bisa dimulai dari slogan. Ia dimulai dari kebiasaan kecil: datang tepat waktu, mengembalikan barang pada tempatnya, menepati janji, dan berkata benar meski sederhana.

Kalau setiap guru, pegawai, dan orang tua menanamkan kejujuran dalam keseharian, maka kita tidak perlu terlalu banyak aturan untuk menegakkan kebaikan.

Karena sesungguhnya, sistem yang paling kuat bukan di komputer atau aplikasi, tapi di hati yang takut kepada Allah. Kita hidup dalam masa di mana banyak orang pandai berbicara, tapi sedikit yang jujur pada dirinya sendiri. Kita bisa membuat laporan indah, tetapi kalau nurani tidak tenang, semua itu kosong.

Maka, mulai sekarang, mari jadikan kejujuran sebagai kebiasaan, bukan beban. Karena kebiasaan jujur akan membentuk ketenangan jiwa, dan jiwa yang tenang itulah yang akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan, di dunia dan akhirat.


Jika suatu hari ajal datang secara tiba-tiba—seperti yang sering terjadi tanpa kita duga—semoga kita sedang dalam keadaan jujur. Karena kebiasaan baik yang kita lakukan di dunia akan menuntun kita di alam selanjutnya. Rasulullah pernah bersabda bahwa seseorang akan mati sesuai kebiasaan hidupnya.

Maka, jika kita terbiasa jujur, insyaAllah kita pun akan wafat dalam kejujuran, dan dibangkitkan bersama orang-orang yang benar. Saya tahu, menjadi jujur di zaman ini tidak mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Karena kejujuran bukan hanya warisan Nabi, melainkan tugas kemanusiaan yang membuat hidup kita lebih ringan, wajah kita lebih terang, dan langkah kita lebih tenang.

Mari mulai dari diri sendiri, dari hal kecil, dari sekarang. Karena bangsa yang besar tidak lahir dari gedung tinggi atau teknologi canggih, tapi dari manusia-manusia jujur yang menjaga amanah di mana pun mereka berada.

Dan semoga Allah mencatat kita termasuk di antaranya. Amin.

Literasi Finansial Keluarga Muda pada Gerakan Keluarga Maslahah

 Literasi Finansial Keluarga Muda pada Gerakan Keluarga Maslahah

Oleh : Syafaat

 

Ada dua bahasa yang mesti dikuasai agar rumah tangga berjalan tenang: bahasa cinta dan bahasa angka, bahasa cinta menjaga hati agar tidak retak, sementara bahasa angka menjaga dapur agar tetap berasap, dua bahasa ini tak lahir dari tempat yang sama, namun saling melengkapi seperti dua sisi doa, yang satu melembutkan rasa, yang lain menegakkan nalar. Bahasa cinta lahir dari kehangatan jiwa. Ia seperti cahaya senja yang menenangkan mata, mengajarkan pelukan saat gagal, doa ketika terdesak, dan pengertian di saat yang lain lelah. Ia membuat manusia kuat menghadapi kekurangan, menukar kemewahan dengan ketulusan.

Ada bahasa kedua, yang sering terlupakan: bahasa angka, bahasa yang tampak kaku, tapi justru menyelamatkan; terdengar dingin, tapi menjaga api dapur agar tetap hidup. Ia tak mengenal kata rindu, tapi paham arti menabung. Sebagian besar pasangan muda fasih dalam bahasa cinta, tapi gagap dalam bahasa angka. Mereka hafal tanggal ulang tahun, tapi lupa tanggal jatuh tempo listrik. Pandai mencintai, tapi belum tentu pandai menghitung. Cinta, pada awalnya, terasa seperti mata air yang tak akan kering. Pelukan dianggap lebih penting daripada perencanaan, tawa dianggap cukup menggantikan tabungan, dan keyakinan seolah bisa membayar semua tagihan. Tapi waktu, seperti guru yang sabar, mengajarkan bahwa listrik tak bisa dibayar dengan maaf, dan beras tak bisa dibeli dengan sabar. Cinta tanpa perhitungan akan kehilangan arah, seperti kapal tanpa kompas di tengah lautan kebutuhan.

Waktu tidak memusuhi cinta, hanya menuntut kedewasaan dalam mengelolanya, cinta yang benar bukan hanya tentang memberi bunga, tapi juga menyiapkan lahan untuk menanamnya. Bahasa cinta membuat kita bertahan, tapi bahasa angka membuat kita berdaya. Keduanya seperti dua sayap burung yang harus bergerak seirama agar bisa terbang tinggi, satu menjaga arah, satu menahan keseimbangan. Jika hanya cinta tanpa hitungan, rumah tangga akan melayang terlalu tinggi dan lupa tanah, jika hanya angka tanpa cinta, rumah akan dingin dan kehilangan jiwa. Dalam rumah tangga yang damai, keduanya bersahutan seperti zikir:
Cinta berkata, “aku bersamamu,” dan angka menjawab, “aku menyiapkan jalan agar kita tetap bersama.” 


Bahasa cinta menyalakan api, bahasa finansial menjaga agar api itu tidak membakar, keduanya, jika disatukan dalam iman, menjadi bahasa keberkahan,
bahasa yang membuat rumah sederhana terasa seperti surga kecil di bumi.
Sebab cinta yang berpadu dengan perhitungan akan melahirkan ketenangan,
dan ketenangan yang dijaga dengan iman akan tumbuh menjadi keluarga maslahah, tempat cinta bukan hanya hidup, tetapi menjadi ibadah yang terus bernapas di antara angka-angka kehidupan.

Gerakan Keluarga Maslahah lahir dari kesadaran yang perlahan tumbuh di antara kesibukan dunia: bahwa keluarga bukan sekadar tempat bernaung, melainkan ruang suci di mana cinta diuji dengan kenyataan, dan iman diuji oleh kebutuhan. Ia bukan program birokrasi, bukan pula proyek sesaat yang berhenti di spanduk dan laporan. Ia adalah panggilan halus, seperti bisikan subuh di hati mereka yang ingin menata ulang makna rumah tangga, menjadikan cinta sebagai ibadah, dan rezeki sebagai amanah.

Kementerian Agama menamai gerakan ini sebagai upaya membangun keluarga yang bahagia, sejahtera, dan taat agama. Kalimat itu sederhana, tapi di dalamnya terkandung cita-cita besar yang melampaui angka-angka APBN: cita-cita untuk membentuk keluarga utuh, yang tangannya bekerja di bumi, tapi hatinya tetap tertaut pada langit. Di bawah naungan program ini, ada banyak cabang kegiatan: bimbingan perkawinan yang mengajarkan cinta bukan hanya sebagai rasa, tapi sebagai tanggung jawab. Ada pelatihan parenting yang menuntun orang tua agar mendidik anak bukan hanya dengan kata, tapi dengan teladan. Ada intervensi stunting, agar tubuh anak-anak tumbuh sehat bersama dengan akal dan imannya. Ada pemberdayaan ekonomi, agar rezeki mengalir tanpa kehilangan keberkahan. Ada penguatan karakter, agar keluarga tetap tegak meski badai zaman datang berganti rupa, semua itu berpangkal pada satu hal: kesadaran bahwa keluarga adalah madrasah pertama tempat iman diuji dalam bentuk paling nyata, pengelolaan kehidupan sehari-hari.

Di sanalah semua teori agama menemukan wajah praktisnya, bagaimana suami menahan diri ketika rezeki menipis, bagaimana istri bersabar tanpa kehilangan harap,
bagaimana anak belajar arti syukur dari piring sederhana di meja makan. Setiap detik di rumah tangga adalah pelajaran tauhid: ketika seseorang menakar beras, menulis daftar belanja, membayar listrik, menabung sedikit demi sedikit, semuanya bisa menjadi dzikir jika dilakukan dengan kesadaran. Maka literasi keuangan keluarga bukan sekadar ajaran duniawi; ia adalah bentuk lain dari fikih kehidupan, sebab di balik hitungan angka, tersembunyi ujian hati.Seberapa ikhlas kita mengelola yang sedikit, seberapa amanah kita menjaga yang banyak.

Di luar negeri, harta bekerja untuk manusia, mereka membangun sistem agar uang berputar, menciptakan manfaat, menumbuhkan kesejahteraan Bersama, namun di negeri ini, sering kali manusia bekerja untuk menumpuk harta, seolah-olah harta itu jaminan keselamatan. Padahal, harta yang tidak bergerak untuk kebaikan, akan membatu di dalam dada seperti karat yang pelan-pelan merusak iman. Itulah mengapa gerakan ini penting, karena ia mengembalikan ruh ekonomi kepada nilai-nilai spiritualnya. Bahwa uang bukan tujuan, tapi titipan, bahwa kekayaan sejati bukan di rekening, tapi di keberkahan yang menenangkan batin. Seorang ulama pernah berkata, “Harta yang tak dizakati akan menjadi api yang membakar pemiliknya.” Maka, bagaimana mungkin kita merasa cukup hanya dengan mengumpulkannya, tanpa pernah menyalurkannya?

Gerakan Keluarga Maslahah mengajak kita menatap uang seperti kita menatap diri sendiri: rapuh tapi berharga, fana tapi bisa menjadi jalan menuju keabadian.
Ia bukan musuh yang harus dihindari, bukan pula tuan yang harus disembah. Ia hanyalah alat, jembatan menuju kemaslahatan, jika digunakan dengan hikmah. Bayangkan jika setiap rumah tangga Muslim di negeri ini paham bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan dengan niat baik bisa menjadi sedekah, bahkan ketika hanya untuk membeli susu anak atau membayar sekolah, jika setiap keluarga menulis rencana keuangannya dengan bismillah, bukan dengan ambisi, betapa tenteramnya negeri ini, karena kesejahteraan tak lagi diukur dari banyaknya harta, tapi dari tenangnya hati yang mengelolanya.

Gerakan Keluarga Maslahah bukan sekadar pelatihan keuangan, tapi gerakan menyucikan cara kita mencari dan membelanjakan rezeki. Ia mengingatkan kita bahwa tangan yang menulis anggaran rumah tangga seharusnya adalah tangan yang pernah berdoa di sepertiga malam, bahwa angka-angka di buku catatan seharusnya diimbangi dengan zikir di hati yang tak henti. Di setiap kolom pemasukan, ada doa agar rezeki datang dari jalan yang halal, di setiap kolom pengeluaran, ada harap agar tak satu pun keluar tanpa manfaat, dan di setiap rencana masa depan, ada sujud yang panjang agar semua itu diridai Allah.

Karena sejatinya, kesejahteraan bukanlah tentang berapa banyak yang kita miliki, melainkan tentang seberapa cukup hati kita dengan yang ada. Keluarga maslahah adalah keluarga yang belajar menyeimbangkan cinta dan angka, iman dan perhitungan, rasa syukur dan usaha. Mereka memahami bahwa cinta yang tak diatur dengan perencanaan bisa kehilangan arah, dan perencanaan yang tak disertai cinta hanya akan menjadi daftar kosong tanpa ruh, ketika cinta bersanding dengan iman, dan angka tunduk pada takwa,di sanalah lahir keluarga yang sejati,  keluarga yang tidak sekadar hidup dari harta,tetapi hidup untuk memberi makna pada harta. Keluarga yang tidak hanya mencari dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai ladang menuju akhirat, menjadikan rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat pulang bagi hati yang sedang belajar menjadi hamba.

Di sebuah ruang pelatihan sederhana, para pasangan muda duduk berdampingan, di atas meja, selembar kertas terbentang: tabel pemasukan, pengeluaran, aset, dan rencana, di mata sebagian orang, itu hanyalah angka. Tapi di mata mereka yang mulai belajar, itu adalah cermin kecil, tempat mereka melihat ulang diri sendiri. Ada yang menulis dengan cepat, ada yang menatap lama, seolah setiap kolom menyimpan pertanyaan yang lebih dalam: “Untuk apa sebenarnya kita bekerja?” Seorang perempuan muda berjilbab krem menatap kertasnya lama sebelum menulis: “Agar suami saya tidak khawatir besok makan apa.” Kalimat sederhana itu menyimpan keheningan panjang, lahir dari hidup yang dijalani dengan sabar. Di sudut lain, seorang lelaki mengaku pelan, “Saya tidak tahu ke mana gaji saya pergi setiap bulan.” Ucapan ringan, tapi terasa seperti pengakuan dosa kecil. Di situlah literasi keuangan bermula, bukan dari angka, melainkan dari kejujuran kepada diri sendiri, dari keberanian menyingkap kalimat “nanti juga cukup” yang sering kita jadikan tameng.

Fasilitator menyebutnya financial check-up, namun sejatinya itu muhasabah harta, sebuah zikir sunyi tentang asal dan arah rezeki, setiap catatan pengeluaran menjadi bentuk dzikrullah di antara tagihan dan kebutuhan. Di luar sana, dunia berputar cepat: diskon memanggil, media sosial memamerkan kebahagiaan palsu. Banyak yang hidup dari utang demi citra, padahal yang mereka cari hanyalah ketenangan yang beriman, rasa cukup yang tak lagi diukur dari kepemilikan, melainkan dari keikhlasan menerima, keberhasilan rumah tangga bukan diukur dari harta, tapi dari kemampuan menahan diri. Bukan meniru orang lain, tapi menemukan ritme rezeki sendiri, seorang pembicara berpesan lirih, “Jangan bekerja hanya untuk menumpuk aset, tapi tumbuhkan manfaat.” Harta, katanya, hanyalah amanah; dan amanah kelak akan ditagih.

Kini, banyak orang mengejar angka tanpa makna, penghasilan naik, tapi hati tetap resah. Tabungan penuh, tapi berkah menipis. Maka literasi keuangan keluarga sejatinya adalah pelajaran tauhid dalam bentuk paling praktis, bahwa setiap rupiah adalah ujian, dan setiap pengeluaran adalah kesaksian. Menghitung bukan berarti kikir, menahan bukan berarti miskin. Seperti cinta, uang pun harus diurus dengan iman. Sebab cinta tanpa perencanaan melahirkan kekacauan, sementara perencanaan tanpa cinta menimbulkan kekeringan, dan di antara keduanya, manusia belajar bahasa yang lebih tinggi: bahasa keberkahan. Bahasa yang tak terhitung oleh kalkulator, tapi terasa di hati yang tenang setelah memberi, tempat di mana cukup berarti kaya, dan kaya berarti sanggup bersyukur.

Penulis adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Literasi Keuangan Keluarga Didorong Lewat Gerakan Keluarga Maslahah

Banyuwangi  (Warta Blambangan) Kementerian Agama Dorong Keluarga Muda Melek Finansial Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi mendorong peningkatan literasi keuangan keluarga melalui kegiatan Gerakan Keluarga Maslahah yang digelar di aula bawah kantor setempat, Senin (4/11/2025).

Kegiatan ini diikuti oleh pasangan keluarga muda—mereka yang usia pernikahannya di bawah lima tahun—serta para penyuluh agama Islam dari berbagai kecamatan. Program ini menjadi sarana edukasi finansial bagi keluarga Muslim agar mampu mengelola keuangan rumah tangga secara bijak dan berkelanjutan. 


Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, dalam sambutannya menegaskan pentingnya perubahan pola pikir dalam pengelolaan aset dan perencanaan ekonomi keluarga.

Mainset dalam perencanaan perekonomian harus diubah. Aset masyarakat Indonesia umumnya masih tidur. Masyarakat kita bekerja untuk mengumpulkan aset, sementara di luar negeri, justru aset yang bekerja untuk mereka,” ujar Chaironi.

Menurutnya, pengelolaan keuangan rumah tangga perlu disusun berdasarkan skala prioritas agar pendapatan tidak sekadar habis untuk konsumsi, melainkan juga berfungsi produktif bagi masa depan keluarga.

Sementara itu, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Banyuwangi, H. Mastur, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan membangun ketahanan keluarga melalui pendekatan spiritual, sosial, dan ekonomi.

Program ini menghadirkan keluarga muda dan para penyuluh agama Islam agar pengetahuan keuangan keluarga dapat disebarluaskan melalui majelis taklim binaan,” ungkapnya.

Dua fasilitator utama, Imam Muklis, S.Ag. (Kepala KUA Kecamatan Glagah) dan Ahmad Sakur Isnaini, S.Ag. (Kepala KUA Kecamatan Sempu), menyampaikan materi interaktif seputar perencanaan keuangan keluarga berbasis nilai-nilai Islam. Di antaranya meliputi pentingnya menabung, berinvestasi secara halal, hingga mengelola hutang dengan cara yang sehat.

Melalui kegiatan ini, masyarakat Banyuwangi diharapkan semakin sadar akan pentingnya perencanaan ekonomi keluarga yang terukur dan berorientasi masa depan. Literasi keuangan keluarga juga diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menekan angka perceraian, terutama yang dipicu oleh persoalan ekonomi.

Dengan pemahaman yang baik tentang keuangan keluarga, semoga rumah tangga menjadi lebih harmonis, mandiri, dan berdaya,” tutup Dr. Chaironi Hidayat.

Ketika Para Perempuan NU Dilantik di Pendopo

 Ketika Para Perempuan NU Dilantik di Pendopo

Oleh : Syafaat

Di layar kecil gengaman tangan yang memantulkan wajah dan cahaya, hadir sosok Dr. Emy Hidayati, teman lama saya di pergerakan, suaranya tenang, namun setiap kata mengandung getar yang dalam, gesah virtual pasca pelantikan Muslimat NU itu bukan sekadar percakapan, melainkan semacam majelis ruhani yang menyulam harapan dengan kesadaran. Dalam tutur beliau, tersirat pesan yang meneduhkan: bahwa kepemimpinan bukan perkara jabatan, melainkan ladang pengabdian, bahwa perempuan Muslimat harus menjadi cahaya yang menerangi, bukan hanya di ruang publik, tetapi juga di ruang batin keluarga, di mana kasih sayang adalah tafsir terindah dari ajaran agama.

Pendopo itu, meski kini hanya menjadi latar di balik layar, seolah kembali hidup, seperti ruang yang mendengar dzikir, menyaksikan tekad, dan menyimpan doa-doa yang terbang dari hati yang berikrar untuk melanjutkan perjuangan para ibu terdahulu, dengan kelembutan yang tegas, dengan kesabaran yang berani, dan dalam setiap jeda gesah itu, terasa seperti ayat yang baru diturunkan: bahwa harapan bukanlah ucapan, melainkan cahaya yang tumbuh di dada, menuntun langkah Muslimat untuk terus menebar rahmat di bumi Banyuwangi yang diberkahi.

Di bawah atap pendopo yang teduh, para perempuan berseragam hijau itu duduk berbaris dengan wajah penuh cahaya, di sebagian tangan mereka, tasbih menggantung pelan seperti menunggu lafaz doa yang akan lahir dari hati, di sana, di ruang yang tidak hanya menampung tubuh tetapi juga niat, pelantikan kepemimpinan Muslimat NU berlangsung dengan khidmat. Pendopo itu bukan sekadar bangunan tua tempat acara digelar; ia seperti saksi dari kesungguhan hati perempuan-perempuan yang datang bukan untuk berkuasa, tetapi untuk berkhidmat, angin sore yang menyusup di sela-sela tiang kayu membawa harum bunga melati,  wangi yang mengingatkan bahwa pengabdian selalu bermula dari kesucian niat.

Pelantikan Muslimat NU bukan sekadar seremoni, melainkan pembacaan ulang atas makna rahmah dalam kehidupan sosial, dalam wajah-wajah yang tertunduk penuh syukur itu, terbaca tekad untuk menegakkan nilai-nilai kemaslahatan sebagaimana diajarkan maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tapi ada satu penjagaan lain yang tidak disebut dalam kitab-kitab fikih, yaitu menjaga kasih sayang agar tidak hilang dari bumi manusia. Sebab tanpa kasih sayang, kepemimpinan menjadi dingin, tanpa kelembutan, kekuasaan menjadi keras. Dan tanpa doa, semua perjuangan kehilangan arah.

Ayat dalam Surah An-Nisā’ seakan bergema di ruang pendopo itu:

"Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan mereka, kecuali yang mengajak kepada sedekah, kebaikan, dan perdamaian di antara manusia."

Ayat itu seperti turun langsung ke dada para Muslimat yang baru saja dilantik, mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan tentang banyaknya kegiatan, tetapi tentang makna di balik setiap langkah. Bahwa rapat, diskusi, dan program sosial hanya bernilai ketika berorientasi pada tiga hal: menolong yang lemah, menebar kebaikan publik, dan memelihara kedamaian sosial.


Dari pendopo itu, harapan baru dipanjatkan, harapan agar Muslimat NU tetap menjadi penyangga moral di tengah krisis kemanusiaan, agar kepemimpinan mereka menolak keserakahan material dan menggantinya dengan spiritualitas sosial, paradigma pembangunan yang menolak logika proyek dan menggantinya dengan logika cinta. Dalam setiap gerak langkahnya, Muslimat NU telah membuktikan bahwa kerelawanan tidak pernah mati. Ia hadir di dapur-dapur pesantren, di posko bencana, di jalanan tempat anak-anak kecil belajar mengaji di bawah lampu temaram, mereka datang bukan membawa spanduk, tapi membawa doa, tidak berteriak tentang program, tapi bekerja dalam senyap yang penuh keberkahan.

Kepemimpinan sejati, sebagaimana yang hidup dalam napas Muslimat NU, bukan tentang sorotan kamera, melainkan tentang tangan-tangan yang rela kotor demi membersihkan luka masyarakat. Bukan tentang suara yang lantang di panggung, melainkan tentang bisikan lembut di telinga anak yatim: “Sabar, Nak, Allah tidak pernah meninggalkanmu.” Dalam pandangan Islam, manusia bukan sumber daya, melainkan amanah. Maka kerja sosial adalah ibadah, bukan proyek, kepemimpinan adalah amanah, bukan posisi. Itulah sebabnya pendopo Muslimat bukan sekadar tempat pelantikan, melainkan tempat zikir sosial berlangsung, di sana, doa dan tanggung jawab berpelukan erat, di sana, spiritualitas tidak berhenti di sajadah, tetapi menjelma menjadi tindakan nyata, menolong, mendidik, dan merawat kehidupan. Keteladanan Muslimat NU tampak pada tiga keindahan:

husnul mu‘āmalah, berinteraksi dengan akhlak mulia,

husnul musyārakah, berpartisipasi dengan semangat kebersamaan,

dan husnul mu‘āsyarah, hidup rukun dalam keberagaman.

Tiga keindahan ini bukan hanya sekumpulan konsep moral, melainkan jalan sunyi yang ditempuh dengan kesadaran batin. Dalam husnul mu‘āmalah, seorang Muslimat belajar untuk menjadikan setiap perjumpaan sebagai ladang kebaikan. Ia berbicara dengan kelembutan, memberi dengan ketulusan, dan memaafkan tanpa menunggu permintaan. Akhlak mulia bukan sekadar sopan santun di depan publik, melainkan cara menjaga cahaya Tuhan agar tetap menyala di dalam dada.

Dalam husnul musyārakah, tampaklah kebersamaan yang tumbuh seperti taman: setiap bunga punya warna dan aroma sendiri, namun semuanya saling melengkapi dalam keindahan. Muslimat memahami bahwa berpartisipasi bukan berarti menonjolkan diri, melainkan menguatkan yang lain. Mereka terlibat dalam kerja sosial, dalam pendidikan anak-anak, dalam membantu masyarakat yang tertimpa musibah, bukan karena ingin dikenal, melainkan karena di dalam hati mereka ada ayat yang hidup: wa ta‘āwanū ‘alal birri wat-taqwā,  “Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa.”

Dan dalam husnul mu‘āsyarah, keindahan itu menemukan bentuk paling lembutnya. Hidup rukun dalam keberagaman adalah seni yang hanya bisa dijalankan oleh jiwa yang lapang. Di tengah masyarakat yang beragam keyakinan, suku, dan bahasa, Muslimat hadir bukan sebagai tembok pembeda, tetapi jembatan penghubung. Mereka tahu bahwa kedamaian tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kasih yang mampu menampung perbedaan.

Tiga keindahan ini, mu‘āmalah, musyārakah, dan mu‘āsyarah, adalah akar dari peradaban yang berakar pada iman dan berbuah pada kemanusiaan. Bila tiga keindahan ini tumbuh di hati para pemimpin, maka bangsa akan tumbuh dalam damai. Karena pemimpin yang lahir dari rahim akhlak tidak mencari kekuasaan, melainkan keberkahan. Mereka yang memimpin dengan husnul mu‘āmalah akan menebarkan kasih, bukan ketakutan. Mereka yang berjuang dengan husnul musyārakah akan menguatkan rakyat, bukan mengeksploitasi mereka. Dan mereka yang hidup dengan husnul mu‘āsyarah akan menata perbedaan menjadi harmoni, bukan konflik.

Dalam keheningan malam, ketika dzikir Muslimat berputar di pesantren, atau musala kecil di ujung desa, mungkin di situlah Tuhan sedang menatap mereka dengan senyum lembut. Sebab di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh ambisi, masih ada perempuan-perempuan yang memilih jalan kesederhanaan dan pengabdian, mereka tidak selalu tampil di layar televisi, tetapi dari tangan dan doa mereka, bangsa ini tetap bertahan dalam kesejukan. Keteladanan Muslimat adalah cahaya yang tidak berteriak, namun menerangi. Ia tumbuh dari dalam rumah, dari ruang pengajian, dari langkah-langkah kecil menuju majelis ilmu, dan setiap kali mereka menebar salam, sesungguhnya mereka sedang mengajarkan kepada dunia bahwa peradaban tidak dibangun oleh kekuatan, melainkan oleh kelembutan yang bersumber dari iman.

Maka ketika tiga keindahan itu menyatu, mu‘āmalah, musyārakah, dan mu‘āsyarah, bangsa ini akan menemukan dirinya kembali: tenang, santun, dan bersinar dalam damai. Sebab akar peradaban sejati tidak tumbuh di istana yang megah, tidak pula di ruang sidang yang riuh oleh retorika, melainkan di hati yang telah belajar mencintai tanpa batas. Dari hati yang lembut itu lahir tindakan-tindakan kecil yang menumbuhkan keindahan: senyum yang tulus pada tetangga, tangan yang menolong tanpa pamrih, dan doa yang lirih di tengah malam untuk keselamatan sesama. Inilah peradaban yang tumbuh diam-diam, bukan dengan pekik kemenangan, tetapi dengan bisikan kasih yang meneduhkan.

Ketika mu‘āmalah menjadi napas setiap pergaulan, maka manusia tidak lagi memandang dengan prasangka, melainkan dengan kasih. Ketika musyārakah menjadi semangat dalam bekerja, maka bangsa ini tidak lagi berkompetisi untuk mengalahkan, tetapi bergandeng tangan untuk membangun. Dan ketika mu‘āsyarah menjadi sikap hidup, maka keberagaman tidak lagi menjadi alasan untuk berjarak, melainkan ruang untuk saling mengenal sebagaimana firman Allah: “Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” Dalam kesatuan tiga keindahan itu, Indonesia tidak hanya akan damai di permukaan, tetapi juga tenteram di dalam jiwanya. Sebab damai yang sejati bukanlah hasil perjanjian politik, melainkan buah dari akhlak yang tumbuh di dada manusia yang ikhlas.
Dan bangsa yang memiliki akhlak seperti itu tidak akan mudah goyah oleh zaman, sebab ia berdiri di atas pondasi cinta,  cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, dan cinta kepada tanah air.

Maka biarlah istana tetap berdiri megah di pusat kota, namun biarkan juga taman-taman kasih tumbuh di hati rakyat yang sederhana. Sebab dari merekalah cahaya bangsa memancar, dari rumah yang bersahaja, dari tangan yang menanak nasi, dari lidah yang berdoa pelan sebelum fajar. Di sanalah akar peradaban sejati menancap: bukan pada kekuasaan, tetapi pada kelembutan; bukan pada jabatan, tetapi pada kesetiaan hati. Dan selama hati manusia masih sanggup mencintai dengan ikhlas, selama doa masih naik dari dapur dan langgar kecil di kampung, bangsa ini tidak akan kehilangan arah. Sebab sejatinya, peradaban bukan bangunan dari batu, melainkan bangunan dari cinta, dan cinta itu, sebagaimana tiga keindahan itu, tumbuh tanpa pamrih, mengalir dari hati yang mengenal Tuhan, dan meneduhkan siapa pun yang singgah di bawah rindangnya.

Perempuan memang punya cara sendiri untuk memimpin: dengan kesabaran yang panjang, dengan doa yang tidak bersuara, dengan air mata yang menjadi hujan bagi kehidupan, dari kelembutan mereka, lahir kekuatan yang tidak tampak tapi bekerja, seperti akar yang menegakkan pohon besar tanpa pernah menuntut dilihat. Maka pelantikan di pendopo itu akan selalu punya cerita, setiap kursi di dalamnya menyimpan nama-nama perempuan yang berkhidmat dalam diam, setiap pilarnya mungkin pernah mendengar ayat-ayat dibaca dengan suara bergetar. Dan setiap langkah keluar dari pendopo itu, sejatinya adalah langkah menuju pengabdian yang lebih luas, di jalan rahmah, di jalan kasih sayang. Muslimat NU tidak hanya memimpin dengan program, tapi dengan cinta, tidak hanya menggerakkan organisasi, tapi menghidupkan nilai, mereka membangun peradaban bukan dengan kekuasaan, tapi dengan doa.

Dari pendopo yang dibangun para pendahulu itu, rahmah dipantulkan ke langit, lalu turun kembali menjadi cahaya yang menerangi bumi. Selamat berkhidmat, para perempuan rahmah, semoga setiap langkah menjadi ayat hidup, setiap keputusan menjadi amal shalih, dan setiap senyum menjadi doa yang menyejukkan dunia. Amin.

Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

.

Gema Madrasah di Liga Puisi

 Gema Madrasah di Liga Puisi

Oleh: Syafaat

Liga Puisi 4 yang digelar Jawa Pos Radar Banyuwangi memang telah berakhir, namun gema dan napasnya belum benar-benar pergi. Ia masih berputar di udara seperti gema adzan di dada yang belum selesai berdzikir. Setiap kali kenangan itu disentuh, terdengar kembali suara-suara anak madrasah yang membaca puisi dengan wajah serius, suara yang mungkin sedikit gemetar, namun jujur. Suara yang tidak hanya mengucapkan kata, tetapi menyalakan lentera kecil di dalam dirinya sendiri.

Dari empat kategori jenjang yang dilombakan, tiga juara pertama diraih oleh insan madrasah: SD/MI, SMP/MTs, dan kategori guru. Tiga kemenangan itu seperti tiga bait dalam satu puisi panjang tentang kesabaran, bait pertama ketulusan, bait kedua keuletan, bait ketiga doa yang tak bersuara. Orang bisa menyebutnya keberuntungan, tetapi siapa pun yang memahami denyut hidup di madrasah akan tahu: ini bukan kebetulan. Ini buah dari kerja panjang yang senyap, dari peluh yang jatuh di antara dhuha dan ashar, dari latihan-latihan kecil yang tak pernah dimuat di berita, tapi menyimpan cahaya di baliknya, seperti lampu minyak yang terus menyala di tengah malam panjang. 


Madrasah adalah dunia kecil yang melatih kepekaan dengan cara paling sederhana. Di sana anak-anak belajar membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar, melagukan Tilawah dengan suara yang bening, lalu tanpa sadar belajar pula membaca kehidupan dengan rasa yang halus. Dua tahun sekali mereka mengadakan Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) hingga ke tingkat provinsi—dan membaca puisi selalu menjadi cabang lomba yang ditunggu, seperti zikir yang berubah rupa menjadi suara. Di madrasah, puisi bukan pelarian dari kenyataan, melainkan pelengkap iman. Anak-anak membaca dan menulis tentang ibu yang tak pernah berhenti berdoa, tentang guru yang berjalan di bawah gerimis membawa spidol, tentang langit pagi yang disapa dengan salam dan harapan.

Sering kali terlupa bahwa di balik seragam hijau tua itu, tersimpan anak-anak yang memendam mimpi menjadi penyair. Mereka mungkin tak memiliki banyak buku sastra, tetapi mereka punya guru yang mengajarkan makna kata ikhlas. Mungkin karena itu, setiap kali mereka membaca puisi, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, getar yang membuat penonton diam sejenak sebelum bertepuk tangan. Bukan karena kagum, tetapi karena terharu. Sebab yang berbicara di atas panggung bukan sekadar anak madrasah, melainkan hati yang sedang mencari cara untuk bersyukur.

Kini banyak madrasah menggandeng pelatih profesional, bukan karena kurang percaya diri, melainkan karena ingin belajar dari yang terbaik. Mereka tahu, membaca puisi bukan hanya tentang suara, tetapi tentang keberanian membuka hati. Di antara anak-anak itu, ada yang dulunya pemalu, tak berani bicara di depan kelas. Namun ketika diberi teks puisi dan diminta membaca, sesuatu di dalam dirinya menyala. Puisi memberi ruang untuk menjadi diri sendiri, memberi tempat bagi jiwa untuk berbicara tanpa takut dihakimi.

Kementerian Agama dalam beberapa tahun terakhir semakin giat menumbuhkan gerakan literasi dan sastra. Guru-guru madrasah dan ASN membentuk komunitas, menerbitkan antologi, menulis di media. Sebagian dari mereka bahkan rutin mengadakan pelatihan menulis di sela jam mengajar, di antara azan dan ujian. Literasi di madrasah bukan sekadar program, melainkan jalan menuju empati; bukan lomba untuk menang, tetapi perjalanan menuju pencerahan.

Entah dengan rahasia apa, madrasah selalu punya cara yang lembut namun dalam dalam menanak rasa. Kata-kata di sana tumbuh dari tanah yang disiram doa dan diterangi ayat. Saat para santri menulis, ada aroma kitab yang baru saja dibuka, wangi kertas, tinta, dan kesunyian yang penuh makna. Di antara diksi-diksi mereka tercium jejak sujud yang panjang, langkah kecil menuju pemahaman yang tak selalu perlu dijelaskan. Dan ketika mereka membaca, suara mereka datang dari ruang yang lebih jauh dari sekadar panggung, ada gema doa di setiap jeda, ada dzikir yang bersembunyi di antara tanda baca. Bahasa mereka mungkin belum semegah para penyair besar, tetapi kejujuran mereka berdenyut lebih hangat, lebih hidup—seperti embun yang tak tahu bahwa dirinya sedang memantulkan cahaya matahari. Sebab di madrasah, kata-kata tak pernah dikejar untuk dipuji, melainkan dijaga agar tetap suci. Di sana, kalimat lahir dari hati yang terbiasa tunduk pada makna, dan setiap makna adalah perjalanan pulang menuju Yang Maha Kata.

Liga Puisi bukan sekadar ajang, melainkan cermin kecil dari apa yang telah mereka tanam bertahun-tahun. Kemenangan bukan tujuan utama, mereka datang bukan hanya untuk bersaing, tetapi untuk berbagi ruh. Ada murid MI yang membaca puisi tentang pendidikan dan kemiskinan, guru madrasah yang menulis tentang sunyi ruang kelas dan karut-marut nasib anak bangsa, siswi MTs yang suaranya nyaris pecah menahan tangis saat membaca tentang perjuangan orang tua. Tak satu pun dari itu dibuat-buat, semuanya lahir dari hati yang mengenal kehilangan dan doa.

Layak diteladani, bagaimana mereka saling mendukung tanpa iri, tanpa ingin tampil paling indah. Di ruang lomba itu, terpantul semangat lama: bahwa puisi tidak dilahirkan dari kepandaian, melainkan dari kepedihan yang diterima dengan sabar. Dan barangkali di situlah madrasah menang, karena mereka telah terbiasa menulis dan membaca dengan kesabaran, seperti santri yang belajar menulis huruf arab satu demi satu hingga menjadi doa yang utuh.

Madrasah, dengan segala kesederhanaannya, kini menjelma taman kata. Di sana, iman dan imajinasi saling berpelukan seperti dua sahabat lama yang tak pernah benar-benar berpisah. Anak-anak belajar shalawat sambil belajar metafora, menulis bukan untuk terkenal, melainkan agar langit mendengar. Setiap bait menjadi doa yang disusun dalam bentuk baru; setiap kata adalah zikir yang disampaikan dengan nada lembut. Suatu hari nanti, tak ada lagi yang heran melihat madrasah terus melahirkan penyair. Sebab di sana, puisi tak pernah diajarkan sebagai pelajaran, tetapi dihidupkan sebagai kehidupan. Membaca puisi menjadi cara lain untuk bersyukur, menulis puisi menjadi bentuk zikir yang paling sunyi.

Dan ketika panggung Liga Puisi telah kosong, mikrofon dimatikan, para juri meninggalkan tepat, gema itu masih tinggal. Ia bergetar di dada para guru yang tersenyum bangga, berbisik di hati anak-anak yang malamnya masih mengulang bait-baitnya di depan cermin. Di dunia yang semakin bising ini, madrasah telah memberi satu anugerah paling berharga: kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri, suara yang lirih namun abadi, yang kelak tumbuh menjadi puisi kehidupan itu sendiri.


Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Pesan Moral Pelantikan Kepemimpinan Muslimat NU

Pesan Moral Pelantikan Kepemimpinan Muslimat NU

Emi Hidayati : Wakil Ketua PC Muslimat NU Banyuwangi

Pelantikan kepemimpinan Muslimat NU bukan sekadar peristiwa seremonial, melainkan momentum spiritual dan sosial untuk memperbarui niat, arah, dan tanggung jawab kolektif dalam membangun peradaban berbasis kasih sayang (rahmah). Dalam bingkai maqāṣid al-syarī‘ah — menjaga agama (hifz ad-dīn), jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-māl) — Muslimat NU memiliki peran mulia untuk menegakkan nilai-nilai kemaslahatan yang berpihak pada kaum lemah, memuliakan perempuan, dan memperkuat keadaban sosial umat.

Sebagaimana pelajaran dalam Surah An-Nisā’ ayat 114:

"Lā khaira fī katsīrin min najwāhum illā man amara biṣ-ṣadaqatin aw ma‘rūfin aw iṣlāḥin baina an-nās."

"Tidak ada kebaikan sama sekali bagimu dalam berorganisasi, rapat-rapat, diskusi-diskusi, seminar-seminar, bahkan dalam bernegarapun tidak ada artinya kecuali mempunyai agenda besar. Pertama ,peduli terhadap fakir miskin dan sesama melalui amal sosial dan sedekah, kedua, menebarkan amal kebajikan dan kebaikan publik (al-ma‘rūf), dan ketiga membangun rekonsiliasi serta kedamaian sosial (iṣlāḥ baina an-nās)”. Inilah tiga agenda penting yang harus menjadi napas dan orientasi Muslimat NU dalam menjalankan amanah kepemimpinan. 


Kepemimpinan Muslimat NU yang baru dilantik perlu meneguhkan paradigma pembangunan berbasis kerelawanan dan spiritualitas sosial — sebuah paradigma yang menolak keserakahan material dan menggantinya dengan semangat kesederhanaan, gotong royong, dan cinta kasih. Dalam konteks maqāṣid al-syarī‘ah, kerja sosial Muslimat bukan semata amal, melainkan ibadah yang menjaga kehidupan manusia secara menyeluruh. Gerakan ini menolak logika pembangunan modern yang eksploitatif, dan mengembalikannya menjadi pembangunan yang memanusiakan manusia, memperkuat ukhuwah insaniyyah, serta menumbuhkan akhlakul karimah dalam kehidupan bersama.

Dalam praksisnya, kepemimpinan Muslimat NU harus menjadi teladan husnul mu‘āmalah (berinteraksi dengan akhlak mulia), husnul musyārakah (berpartisipasi dengan semangat kebersamaan), dan husnul mu‘āsyarah (hidup rukun dalam keberagaman). Semua itu berpuncak pada cita-cita besar: membangun masyarakat yang shāliḥ, berkeadaban, dan berkeimanan yang kuat. Inilah bentuk nyata iṣlāh sosial — memperbaiki kehidupan umat dari akar kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan, menuju masyarakat yang penuh kasih, adil, dan bermartabat.

Muslimat NU dipanggil untuk menegaskan kembali ruh kerelawanan sosial yang menjadi inti gerakan Islam rahmatan lil ‘ālamīn. Di tengah krisis kemanusiaan dan moral global, kerelawanan bukan hanya sikap individual, melainkan jalan perjuangan kolektif yang menyatukan spiritualitas dan solidaritas. Ia menjadi bentuk kemiskinan yang ramah — kesediaan untuk hidup sederhana, berbagi dengan tulus, dan menempatkan kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi.

Melalui semangat ini, Muslimat NU dapat menjadi penyangga moral bangsa, menginspirasi perempuan untuk berdaya tanpa kehilangan kelembutan, berjuang tanpa kehilangan keikhlasan, dan memimpin tanpa kehilangan ketawadhuan. Kepemimpinan yang lahir dari rahim kerelawanan dan ketulusan inilah yang akan menjaga keseimbangan sosial, memperbaiki kerusakan, dan menuntun umat menuju peradaban yang berkeadilan, beradab, dan beriman.

Selamat berkhidmat kepada seluruh jajaran kepemimpinan Muslimat NU yang baru dilantik.

Semoga setiap langkah dan keputusan menjadi amal shalih yang menebar manfaat, menumbuhkan cinta kasih, dan memperkuat peradaban rahmah di bumi pertiwi. 

Membaca Ulang Sastra Santri dan Pesantren

Membaca Ulang Sastra Santri dan Pesantren

Oleh : Syafaat


Tahun lalu, dalam perhelatan Jambore Sastra Asia Tenggara di Banyuwangi, ada satu denyut yang menggugah kesadaran: denyut dari balik tembok pesantren. Dari ratusan puisi yang mengalir menuju meja panitia, banyak di antaranya lahir dari tangan-tangan santri, dari ruang-ruang sunyi Kementerian Agama dan pesantren yang tersebar dari Riau hingga Madura, dari Tapal Kuda hingga lereng-lereng pesantren tua di timur Jawa. Fenomena ini tentu bukan kebetulan. Ia seperti getar halus dari sejarah yang tengah menulis dirinya sendiri, bahwa pesantren kini sedang membuka babak baru dalam kesusastraan Indonesia. Dari balik dinding yang dulu hanya bergema lantunan kitab kuning, desiran syi’ir selepas adzan, kidung puji-pujian sebelum jamaah berkumpul untuk shalat, dan bisikan wirid Subuh yang merambat lembut di antara detik-detik pagi, kini mengalir pula sajak-sajak yang berbahasa Indonesia: puisi yang tetap berjiwa religius namun menatap dunia dengan mata kemanusiaan.

Dan ketika Sastra Timur Jawa menggelar Temu Karya Serumpun 2025, gema itu kembali terdengar. Di antara halaman-halaman tebal antologi yang disusun dari penulis lintas negara, puisi-puisi santri turut menorehkan warna, lembut tapi teguh, sederhana namun memancarkan kedalaman batin. Sastra pesantren telah menjelma bukan hanya gema spiritual, tetapi juga pernyataan estetik: bahwa dari rahim kesunyian, lahir puisi yang membawa cahaya. 


Puisi di pesantren tumbuh dari keseharian yang sederhana, dari ketukan waktu yang diatur oleh adzan, dari denyut kehidupan asrama yang bersahaja, dari perenungan malam di serambi mushala yang remang. Puisi santri lahir bukan dari ruang akademik atau ruang baca yang tenang, tetapi dari ruang-ruang batin yang penuh dzikir dan kesunyian. Mereka menulis di antara waktu belajar Nahwu dan Shorof, di antara doa dan kerja bakti, di antara rindu dan kepatuhan. Karena itu, puisi-puisi mereka sering kali tidak berambisi menjadi “modern” atau “eksperimental” dalam pengertian estetika kota, tetapi jujur dan bersumber dari getaran iman yang paling dalam.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru, tradisi puisi sudah lama menjadi bagian dari kehidupan pesantren, bahkan sejak masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Syi’ir-syi’ir berbahasa Arab dan Jawa dengan aksara Pegon digunakan sebagai media pengajaran dan dakwah. Nadzoman tentang akhlak, fiqih, dan tasawuf dilagukan dengan nada yang indah agar mudah dihafal. Para santri belajar ilmu sekaligus belajar estetika: bagaimana kata bisa menuntun hati, bagaimana irama bisa menjadi jalan menuju Tuhan. Dalam suasana seperti itulah lahir ungkapan terkenal bahwa “setiap ilmu yang tidak disertai adab adalah kegelapan, dan setiap kata tanpa niat adalah suara kosong.”

Sastra pesantren, dalam beragam bentuknya, hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, syi’ir, dan nadzoman, merupakan cermin dari upaya manusia pesantren memahami dunia. Ia lahir dari pergulatan antara teks dan konteks, antara tradisi keilmuan dan realitas sosial. Karya-karya ini dibacakan di surau, di langgar, di rumah-rumah kiai, dan di sela pengajian. Orang-orang tua dan muda mendengarkannya bersama, lalu menurunkannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itulah sastra pesantren memiliki sifat komunal, ia milik bersama, bukan milik individu semata.

Berbicara tentang “sastra pesantren” berarti berbicara tentang kesadaran budaya yang tumbuh dari pengalaman religius. Ia bukan sekadar catatan kehidupan kaum santri, tetapi juga cermin dari subyektivitas kreatif mereka dalam menafsirkan dunia. Sejarah mencatat bahwa sejak abad ke-17, pesantren telah menjadi tempat persemaian para pujangga dan penulis. Yasadipura I (Raden Ngabehi Yasadipura I), Yasadipura II (Tumenggung Sastronagoro), dan Ranggawarsita yang hidup di Kasunanan Surakarta adalah contoh klasik: mereka pernah nyantri, menguasai bahasa Arab dan Jawa, dan menulis karya-karya besar yang menggabungkan hikmah spiritual dengan pengalaman sejarah bangsanya.

Yasadipura I, misalnya, melalui karyanya Serat Cabolek, adalah sebuah cermin zaman — cermin yang merekam denyut ketegangan antara syariat dan makrifat, antara akal yang tunduk pada hukum dan hati yang mencari makna di balik hukum itu sendiri. Di dalamnya bergolak perdebatan antara Ketib Anom, sang penjaga kemurnian ajaran syariat, dengan Haji Mutamakkin, pengembara ruhani yang menapaki lorong-lorong mistik Jawa. Keduanya berhadap-hadapan di hadapan para ulama dan bangsawan Keraton Kartasura, di mana agama dan kekuasaan bersilang pandang, dan bahasa langit bernegosiasi dengan bahasa bumi. Melalui karya Yasadipura I, kisah itu menjelma bukan sekadar pertentangan dua tokoh, melainkan pertemuan dua arus besar peradaban: pesantren dan kraton, kitab dan kebudayaan, syariat dan rasa. Di sana, pesantren tampak tidak lagi semata sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi menjelma menjadi pusat kebudayaan jiwa Jawa — ruang di mana aksara berdoa, dan doa berubah menjadi aksara

Dalam berbagai daerah Nusantara, karya-karya santri juga berkembang dalam bentuk lokalnya masing-masing. Di Jawa Barat muncul Tjarita Ibrahim dan Tjarita Nurulqamar; di pesisir Jawa Tengah hidup Serat Jatiswara dan Serat Centhini; di Sumatera terdapat Hikayat Pocut Muhammad dan Hikayat Indrapura; bahkan di Sulawesi Selatan, kisah I La Galigo disisipkan unsur pesantren, ketika tokoh Sawerigading dalam versi santri digambarkan pergi menuntut ilmu ke Mekkah dan pulang mendirikan masjid. Proses penyisipan dan penyesuaian ini menunjukkan daya kreatif kaum pesantren dalam mentransformasikan kebudayaan lokal menjadi kebudayaan Islam Nusantara.

Tradisi puisi dalam pesantren memiliki kekuatan spiritual yang khas. Ia tidak semata berbicara tentang cinta atau keindahan, tetapi juga tentang perjalanan jiwa. Dalam syi’ir-syi’ir pesantren, cinta selalu mengarah pada Tuhan, dan keindahan adalah cermin dari keagungan-Nya. Puisi menjadi alat tafakur, sarana tazkiyah (penyucian jiwa). Santri belajar menulis bukan untuk menjadi penyair besar, melainkan untuk memahami makna diri. Dan dalam keheningan malam, mereka melafalkan kata-kata yang seolah menembus batas antara manusia dan Tuhan.

Puisi-puisi itu kini menemukan bentuk barunya. Para santri muda menulis di koran, di majalah sastra, dan di media sosial. Mereka menulis tentang kehidupan pesantren dengan bahasa yang segar, namun tetap membawa nilai-nilai keislaman dan etika sufistik. Karya-karya penyair seperti D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Ahmad Tohari menjadi bukti bahwa dunia pesantren masih memancarkan cahaya bagi kesusastraan Indonesia. Mereka membawa kesederhanaan hidup santri ke panggung nasional, tanpa kehilangan ruh spiritual yang membentuknya.

Sebut saja dua puisi Acep Zamzam Noor dalam antologi Semesta Ingatan, Trauma, dan Imaji Kebebasan, dua puisi (Fajar bagi Kata-kata, dan Teluk Nipah) yang memantulkan aroma pesantren, serupa dupa yang menyala perlahan di ruang hati. Di antara bait-baitnya, tercium wangi kesunyian, getir pengalaman, dan cahaya makrifat yang menetes lembut dari langit penghayatan. Acep, penyair yang menempuh jalan sunyi antara sastra dan tasawuf, seolah menulis dengan tinta yang dicelup dari air wudhu. Puisinya bukan sekadar rangkaian kata, melainkan dzikir yang berirama, doa yang disamarkan dalam keindahan metafora. Ketika ia hadir dalam Liga Puisi 2025 di Banyuwangi, suaranya bukan hanya membaca, ia menafsirkan diri sendiri. Setiap larik yang keluar dari bibirnya seperti menyentuh ruang batin para pendengar; menyapa yang jauh, memeluk yang luka, dan mengingatkan bahwa kata sejati selalu lahir dari jiwa yang bersujud. 

Juga KHR Ahmad Azzaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, turut menorehkan cahaya dalam antologi Semesta Ingatan, Trauma, dan Imaji Kebebasan. Puisinya yang berjudul “Allahumma Ampelkan Jiwa Raga” adalah napas panjang dari seorang salik yang berjalan di jalan sunyi menuju Yang Maha Cinta. Dalam larik-lariknya, kata tidak hanya menjadi bunyi, melainkan doa yang berdenyut, dzikir yang bergetar, dan cahaya yang menuntun jiwa. Puisi itu seolah lahir dari kedalaman malam di mana seorang kekasih berbicara diam-diam dengan Tuhannya.

Aroma tasawuf begitu kental di dalamnya, seakan setiap kata telah dimandikan oleh air mata rindu yang tak pernah kering. Ia menulis bukan untuk memamerkan keindahan bahasa, melainkan untuk mengembalikan bahasa kepada asalnya: sebagai jalan pulang. Dan dari bait-bait itu, kita merasakan sesuatu yang melampaui wacana, semacam getar halus dari hati yang telah luluh di hadapan Sang Maha Segalanya. Dalam puisi Allahumma Ampelkan Jiwa Raga, kata “Ampelkan” bukan sekadar seruan, tetapi permohonan seorang hamba agar raganya pun berlabuh di pelukan Ilahi.

Namun demikian, posisi sastra pesantren, termasuk puisi pesantren, masih berada di pinggiran dalam peta sastra Indonesia. Karya-karya mereka sering dianggap kurang “modern”, atau terlalu “moralistik”. Padahal, di tengah krisis spiritual masyarakat modern, suara-suara dari pesantren justru menawarkan keseimbangan. Mereka mengingatkan bahwa sastra bukan hanya permainan bentuk, tetapi juga laku batin; bukan hanya tentang estetika, tetapi juga etika; bukan sekadar tentang kata-kata, tetapi tentang kejujuran hati.

Dalam pandangan ini, sastra pesantren bukan sekadar genre, melainkan cara hidup. Ia mengajarkan bahwa menulis adalah bagian dari ibadah, membaca adalah bagian dari tafakur, dan mendengar adalah bagian dari dzikir. Santri yang menulis puisi sesungguhnya sedang belajar memahami dirinya sendiri: bagaimana ia mencintai, bagaimana ia percaya, bagaimana ia berdoa. Dalam setiap bait puisi, selalu ada jejak sujud yang tak kelihatan.

Di Banyuwangi, sastra pesantren tumbuh seperti pohon tua yang akarnya menembus masa lalu dan pucuknya menatap langit masa kini. Jejaknya kentara, berdenyut dalam nadi para santri dan insan Kementerian Agama yang menulis bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk menyucikan ingatan. Sebut saja Shalawat Badar, yang ditulis oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi pada tahun 60-an, sebuah kidung yang melampaui zaman, menjadi gema dari masa ketika puisi masih lahir dari sujud dan air mata. Dari tangan seorang abdi negara, lahirlah syair yang bukan sekadar karya sastra, melainkan dzikir yang berpakaian bahasa.

Kini, ketika dunia semakin bising oleh kata-kata yang kehilangan makna, puisi pesantren hadir sebagai suara yang lembut namun tegas. Ia tidak berteriak, tidak menggurui, tapi mengalir seperti air yang jernih, menyentuh yang mau disapa, dan menghidupkan yang haus akan makna. Dalam setiap puisinya, ada doa yang disamarkan, ada cinta yang disembunyikan, dan ada pengakuan kecil bahwa manusia selalu butuh Tuhan dalam setiap perjalanan menulisnya.

Mungkin di situlah letak keabadian sastra pesantren: ia tidak mencari kemegahan, tapi ketulusan. Ia tidak mengejar abadi, tapi karena keikhlasanlah, ia bertahan dalam keabadian.


Penulis adalah ASN/Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger