*Kejujuran sebagai Pondasi Karakter*
Oleh: Moh. Jali
Pagi itu, selepas salat Subuh, saya merenung lama. Kita sering memperingati hari-hari besar, menjalankan upacara, bahkan mengikuti berbagai kegiatan seremonial keagamaan. Namun saya teringat satu hal penting: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membangun umat dengan upacara, melainkan dengan karakter.
Karakter itulah yang hari ini sedang kita usahakan bersama—baik di sekolah, di rumah, maupun di tempat kerja. Saya percaya, pendidikan yang sejati bukan hanya tentang seberapa tinggi nilai akademik atau seberapa banyak prestasi, tetapi tentang bagaimana kejujuran menjadi napas dalam setiap langkah hidup kita. Dulu, di sekolah dasar, guru agama saya sering bercerita bahwa Rasulullah memiliki empat sifat wajib: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas). Dari semua sifat itu, yang paling melekat dan menjadi dasar adalah shiddiq—kejujuran. Karena jujur itulah, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi, beliau telah dikenal dengan gelar Al-Amin, orang yang terpercaya. Maka, jika kita mengaku sebagai umatnya, seharusnya kejujuran itu juga menjadi darah yang mengalir dalam diri kita.
Sekarang, kita hidup di masa serba digital. Segala sesuatu diatur sistem, bahkan kehadiran kita di kantor pun dipantau dengan aplikasi, pusaka atau fingerprint. Ada yang mengeluh, merasa diawasi, merasa tidak dipercaya. Tapi saya ingin melihatnya dari sisi lain: barangkali sistem itu adalah cara zaman ini memaksa kita untuk jujur. Dulu, kejujuran diuji dengan kata dan tindakan. Sekarang, diuji oleh data dan waktu. Namun hakikatnya tetap sama: apakah kita hadir sesuai kenyataan, atau hanya hadir di atas kertas?
Mungkin, inilah bentuk ujian kecil yang harus kita hadapi di tengah rutinitas. Karena sesungguhnya, Allah tidak menilai besar kecilnya tugas kita, tetapi seberapa jujur niat kita dalam menjalankannya. Rasulullah bersabda,
> “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan menuntun ke surga. Seseorang terus berlaku jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan menuntun ke neraka. Seseorang terus berdusta hingga ia dicatat sebagai pendusta.”
(HR. Muslim)
Hadis itu sering kita dengar, tapi jarang kita renungkan dalam-dalam. Betapa ternyata jujur bukan sekadar soal berkata benar, melainkan soal membiasakan diri untuk lurus—meski dunia kadang membengkokkan kita.
Namun, saya juga paham bahwa kejujuran tidak selalu mudah. Ada saat-saat tertentu di mana berkata jujur bisa melukai, bisa menimbulkan fitnah, atau bahkan bahaya. Di sinilah Islam mengajarkan keseimbangan. Jujur tidak berarti sembrono. Ada kejujuran yang harus disampaikan dengan hikmah dan kebijaksanaan. Contohnya, ketika seseorang dikejar oleh orang jahat dan kita tahu tempat persembunyiannya, maka tidak pantas jika kita menyerahkannya hanya demi mengaku “jujur”. Itu bukan kejujuran yang membawa maslahat, tapi kejujuran yang menimbulkan mudarat.
Kejujuran harus tetap berjalan beriring dengan kasih sayang dan akal sehat.
Saya teringat cerita Sayyidina Abu Bakar dan putranya, Abdullah. Abdullah dikenal lembut, cerdas, dan penyayang. Namun karena cintanya yang besar kepada istrinya, ia sampai jarang keluar rumah untuk salat berjamaah di masjid. Abu Bakar pun menasihatinya dengan lembut, bahwa cinta yang benar adalah cinta yang tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Dari kisah itu, saya belajar bahwa jujur kepada diri sendiri adalah bentuk kejujuran tertinggi.
Berani mengakui bahwa kita masih lemah, masih sering kalah oleh nafsu, itulah awal dari perbaikan. Jujur kepada Tuhan berarti tidak menipu diri dengan dalih kebaikan.
Jujur kepada sesama berarti tidak menutup-nutupi kesalahan, tapi juga tidak membuka aib tanpa sebab. Jujur dalam pekerjaan berarti hadir, bekerja, dan berbuat sesuai kemampuan tanpa manipulasi. Membangun karakter bangsa tidak bisa dimulai dari slogan. Ia dimulai dari kebiasaan kecil: datang tepat waktu, mengembalikan barang pada tempatnya, menepati janji, dan berkata benar meski sederhana.
Kalau setiap guru, pegawai, dan orang tua menanamkan kejujuran dalam keseharian, maka kita tidak perlu terlalu banyak aturan untuk menegakkan kebaikan.
Karena sesungguhnya, sistem yang paling kuat bukan di komputer atau aplikasi, tapi di hati yang takut kepada Allah. Kita hidup dalam masa di mana banyak orang pandai berbicara, tapi sedikit yang jujur pada dirinya sendiri. Kita bisa membuat laporan indah, tetapi kalau nurani tidak tenang, semua itu kosong.
Maka, mulai sekarang, mari jadikan kejujuran sebagai kebiasaan, bukan beban. Karena kebiasaan jujur akan membentuk ketenangan jiwa, dan jiwa yang tenang itulah yang akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan, di dunia dan akhirat.
Jika suatu hari ajal datang secara tiba-tiba—seperti yang sering terjadi tanpa kita duga—semoga kita sedang dalam keadaan jujur. Karena kebiasaan baik yang kita lakukan di dunia akan menuntun kita di alam selanjutnya. Rasulullah pernah bersabda bahwa seseorang akan mati sesuai kebiasaan hidupnya.
Maka, jika kita terbiasa jujur, insyaAllah kita pun akan wafat dalam kejujuran, dan dibangkitkan bersama orang-orang yang benar. Saya tahu, menjadi jujur di zaman ini tidak mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Karena kejujuran bukan hanya warisan Nabi, melainkan tugas kemanusiaan yang membuat hidup kita lebih ringan, wajah kita lebih terang, dan langkah kita lebih tenang.
Mari mulai dari diri sendiri, dari hal kecil, dari sekarang. Karena bangsa yang besar tidak lahir dari gedung tinggi atau teknologi canggih, tapi dari manusia-manusia jujur yang menjaga amanah di mana pun mereka berada.
Dan semoga Allah mencatat kita termasuk di antaranya. Amin.






