Pages

“Lereme Roso” Tajuk Banyuwangi Art Exhibition di Gedung Juang 45 Peringati Harjaba ke-254

Banyuwangi (Warta Blambangan) Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani membuka secara resmi pameran lukisan dan seni rupa bertajuk “Lereme Roso” dalam rangka memperingati Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) ke-254. Pameran yang digelar oleh Dewan Kesenian Blambangan (DKB) tersebut berlangsung di Gedung Juang 45 Banyuwangi mulai Senin (22/12/2025) hingga Minggu (28/12/2025).

Pameran seni rupa ini menjadi bagian dari rangkaian Banyuwangi Art Exhibition yang menghadirkan sebanyak 157 karya lukisan dan seni rupa dari pelukis lokal Banyuwangi serta perupa nasional dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan ini terbuka untuk umum dan digelar selama sepekan ke depan. 


Ketua Panitia Pameran, Kojin, menjelaskan bahwa tema “Lereme Roso” dipilih sebagai ajakan reflektif kepada masyarakat. Menurutnya, pameran ini tidak semata-mata menjadi ruang memamerkan karya seni, melainkan juga sarana kontemplasi batin.

“Lereme Roso berarti meredakan rasa. Harapannya, pameran ini mengajak masyarakat untuk menengok ke dalam diri, meredakan emosi, dan menjernihkan jiwa melalui karya seni,” ujar Kojin.

Salah satu daya tarik utama dalam pameran ini adalah kehadiran lukisan karya Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani. Lukisan tersebut menyita perhatian pengunjung karena menampilkan gaya realistik yang kuat dan detail, menunjukkan sisi lain dari pemimpin daerah yang juga menekuni dunia seni rupa.

Bupati Ipuk dalam sambutannya mengapresiasi peran Dewan Kesenian Blambangan dan para perupa yang terus konsisten menghadirkan ruang ekspresi seni di Banyuwangi. Ia menilai seni rupa memiliki peran penting dalam membangun kepekaan rasa, memperkuat identitas budaya, sekaligus menjadi medium dialog antara seniman dan masyarakat. 


“Pameran seni seperti ini menjadi ruang pertemuan antara karya, rasa, dan publik. Seni bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk direnungi dan dimaknai bersama,” ungkap Ipuk.

Melalui Banyuwangi Art Exhibition bertema “Lereme Roso” ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi bersama Dewan Kesenian Blambangan berharap peringatan Harjaba ke-254 tidak hanya dirayakan secara seremonial, tetapi juga diisi dengan kegiatan kebudayaan yang menumbuhkan kesadaran, kehalusan rasa, dan kebanggaan terhadap identitas Banyuwangi

Sosialisasi Hasil Rapat Koordinasi Nasional LPTQ Tahun 2025 di Lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi

Banyuwangi (Warta Blambangan) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Tahun 2025 pada Senin, 22 Desember 2025, bertempat di Aula Bawah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi. Kegiatan ini diikuti oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan se-Kabupaten Banyuwangi serta para pembina LPTQ tingkat kecamatan.

Kegiatan sosialisasi disampaikan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi yang diwakili oleh Kepala Subbagian Tata Usaha, H. Moh. Jali. Sosialisasi ini bertujuan untuk mendiseminasikan hasil, rekomendasi, serta arah kebijakan nasional LPTQ yang dihasilkan melalui Rakornas LPTQ 2025 yang dilaksanakan di Tangerang Selatan pada November 2025. 


Dalam pemaparannya, H. Moh. Jali menjelaskan bahwa Rakornas LPTQ 2025 menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis dalam rangka penguatan pembinaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di tingkat daerah. Salah satu rekomendasi utama adalah perlunya penerapan pola pembinaan MTQ yang lebih panjang, terstruktur, dan terukur, dengan rentang waktu pembinaan antara delapan hingga sepuluh bulan. Pola ini dinilai lebih efektif dalam meningkatkan kompetensi peserta secara berkelanjutan dibandingkan pembinaan jangka pendek.

Rakornas juga merekomendasikan percepatan revisi regulasi LPTQ guna memperkuat aspek kelembagaan, profesionalitas pengelolaan, serta konsistensi sistem pembinaan di seluruh wilayah. Selain itu, dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan MTQ, termasuk kajian mengenai kemungkinan penyelenggaraan MTQ secara tahunan sebagai upaya menjaga kesinambungan pembinaan dan peningkatan kualitas kafilah di daerah.

Lebih lanjut disampaikan bahwa Rakornas LPTQ 2025 membentuk beberapa komisi yang secara khusus membahas isu kelembagaan, pelaksanaan musabaqah dan sistem perhakiman, serta kepesertaan. Hasil kerja komisi tersebut menghasilkan rekomendasi konkret terkait penyesuaian standar penyelenggaraan MTQ, baik dari aspek manajerial, teknis lomba, maupun perhakiman, agar selaras dengan tuntutan kualitas dan objektivitas penilaian.

Pengalaman dan laporan dari sejumlah daerah, seperti Aceh dan Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa pembinaan yang berkelanjutan serta pola penyelenggaraan MTQ yang lebih rutin memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kualitas kafilah dan daya saing di tingkat nasional. Temuan tersebut menjadi salah satu dasar penguatan rekomendasi Rakornas LPTQ 2025.

Melalui kegiatan sosialisasi ini, diharapkan seluruh Kepala KUA dan pembina LPTQ kecamatan di Kabupaten Banyuwangi dapat mengimplementasikan hasil Rakornas LPTQ 2025 secara terintegrasi dan kontekstual sesuai dengan karakteristik daerah. Dengan demikian, sistem pembinaan MTQ di Kabupaten Banyuwangi diharapkan semakin terencana, berkelanjutan, dan berorientasi pada peningkatan mutu pembinaan Al-Qur’an.

Melati di Telapak Waktu: Ibu, Perempuan, dan Jalan Sunyi Menuju Indonesia Emas

 Melati di Telapak Waktu: Ibu, Perempuan, dan Jalan Sunyi Menuju Indonesia Emas

Oleh : Syafaat

Rahim itu sunyi, tak tampak dalam pidato dan perayaan, namun di sanalah masa depan disusui dengan kesabaran, doa, dan pengorbanan. Maka ketika Hari Ibu diperingati, yang sesungguhnya kita hormati bukan sekadar sosok ibu, melainkan rahim peradaban itu sendiri, tempat kehidupan dimulai, nilai ditanamkan, dan arah bangsa diarahkan. Logo Hari Ibu dengan bunga melatinya hadir sebagai isyarat lirih: bahwa kekuatan sejati tidak selalu bersuara keras, dan masa depan tidak dilahirkan dari ambisi, melainkan dari rahim kesucian, ketulusan, dan kasih yang setia merawat waktu.

Logo Hari Ibu tahun ini menghadirkan bunga melati, kecil, putih, nyaris tak bersuara. Ia seperti doa yang dilafalkan dalam rahim sunyi, tak diperdengarkan, namun sampai ke hadirat-Nya. Dalam kemerdekaan melaksanakan dharma, melati tidak memekik seperti mawar yang menuntut pandang, tidak pula mencolok seperti anggrek yang ingin dipuji. Ia memilih jalan rendah, dan justru dari kerendahan itulah kesucian bersemi. Melati tidak meminta disanjung; ia mengharumkan ruang dengan setia. Begitulah ibu: sering tak disebut dalam pidato, jarang diangkat dalam perayaan, namun dari rahim dan kesabarannya arah hidup dituntun. Ia memerdekakan dengan kasih, mendidik dengan diam, dan menguatkan dunia tanpa suara. Tanpanya, hidup kehilangan poros, sebab doa-doa paling sampai sering lahir dari yang paling sunyi.

Melati tumbuh dari akar budaya yang panjang, berjejak pada tanah yang sabar menerima musim. Ia tidak lahir dari tanah yang tergesa-gesa, melainkan dari bumi yang diolah dengan ketekunan. Di sanalah ia belajar bertahan: dari hujan yang tak selalu ramah, dari panas yang menguji keteguhan. Melati mengajarkan bahwa kekuatan perempuan Indonesia bukanlah kekuasaan yang menghentak meja, bukan suara yang meninggi untuk menang. Kekuatan itu adalah ketabahan yang setia merawat waktu, menunggu benih menjadi pohon, menunggu luka menjadi pelajaran, menunggu bangsa dewasa dalam nurani.

Warna emas dan merah putih yang mengiringinya bukan sekadar perhiasan visual. Emas adalah ingatan tentang kejayaan yang seharusnya diraih dengan keluhuran budi, bukan dengan tipu daya dan lupa diri. Ia mengingatkan bahwa kemuliaan tidak lahir dari kerakusan, melainkan dari kejujuran yang dijaga meski sunyi. Emas adalah cahaya yang seharusnya menerangi, bukan menyilaukan. Sementara merah putih bukan sekadar warna, melainkan darah dan doa yang menjelma tanda. Merah adalah keberanian yang berdetak di nadi bangsa, denyut yang lahir dari luka dan pengorbanan. Putih adalah niat yang dijaga tetap bening, agar perjuangan tidak tercemar oleh dendam dan kepentingan sempit. Di dalamnya tersimpan kerja yang tak selalu tampak, keringat yang tak selalu mendapat nama, serta pengorbanan yang sering luput dari catatan sejarah. Semuanya berpaut pada satu keyakinan sunyi: bangsa ini tidak lahir dari kebetulan, melainkan dari rahim perjuangan yang panjang.

Dan rahim, selalu milik perempuan. Ia adalah tempat ternyaman dan teraman bagi tumbuhnya kehidupan, ruang sunyi tempat harapan dirawat dalam gelap. Dari rahim itulah kehidupan dimulai, dari sakit yang diterima dengan ikhlas, dari doa yang dipanjatkan tanpa pamrih, dari kesabaran yang tak menuntut balasan. Namun dari mulut rahim yang sama, sering pula lahir kecemasan dan persoalan: tangisan, risiko, bahkan kehilangan. Di sanalah perempuan menanggung paradoks kehidupan, menjadi pintu masuk bagi kehidupan sekaligus menanggung segala kemungkinan deritanya. Tetapi justru dari keberanian menanggung itulah, peradaban menemukan maknanya yang paling dalam. 


Maka logo itu sesungguhnya bukan sekadar gambar. Ia adalah pengingat. Bahwa di balik kemajuan yang ingin kita capai, ada nilai-nilai yang harus tetap dijaga. Bahwa sebelum bangsa ini bermimpi menjadi emas, ia harus terlebih dahulu setia pada kesucian, ketulusan, dan kesabaran, nilai-nilai yang sejak awal dirawat oleh perempuan, setia, dalam sunyi. Namun, simbol hanya akan menjadi poster jika tidak diterjemahkan dalam laku. Kepemimpinan perempuan yang digaungkan tidak cukup berhenti pada kursi jabatan atau angka keterwakilan. Kepemimpinan perempuan sejati adalah kepemimpinan yang memanusiakan. Ia tahu kapan harus tegas, dan kapan harus menunggu. Ia tahu bahwa keberlanjutan bukan sekadar pembangunan yang ramah lingkungan, tetapi juga ramah batin. Dunia yang rusak seringkali bukan karena kurang teknologi, melainkan karena kehilangan kasih.

Sejarah Hari Ibu di Indonesia lahir dari Kongres Perempuan 1928. Saat itu, perempuan belum berbicara tentang bonus demografi atau revolusi digital. Mereka berbicara tentang martabat, pendidikan, dan nasib anak-anak perempuan yang ingin keluar dari gelap. Di ruang sederhana Yogyakarta itu, para perempuan menanam benih peradaban. Mereka tidak tahu bahwa puluhan tahun kemudian, benih itu akan kita sebut sebagai fondasi Indonesia Emas. Tetapi mereka tahu satu hal: bangsa tidak akan pernah besar jika setengah dari jiwanya dibiarkan kecil.

Dalam ajaran agama, ibu menempati posisi yang nyaris tak tertandingi. Nabi menyebut “ibumu” tiga kali sebelum “ayahmu”, seakan ingin menegaskan bahwa cinta paling sunyi justru yang paling berat bebannya. Surga diletakkan di bawah telapak kaki ibu, bukan karena ibu ingin disembah, tetapi karena dari ketaatan kepada ibu, manusia belajar merendahkan ego. Doa ibu melesat tanpa sekat, sebab ia lahir dari luka yang tidak pernah benar-benar sembuh: luka mengandung, melahirkan, menyusui, dan melepaskan.

Ibu adalah madrasah pertama. Dari suaranya, anak belajar mengenal Tuhan. Dari pelukannya, anak mengenal dunia. Maka ketika kita bicara tentang Indonesia Emas 2045, pertanyaan paling jujur bukanlah seberapa cepat teknologi kita, melainkan seberapa sehat rahim sosial kita. Apakah perempuan diberi ruang aman untuk tumbuh? Apakah ibu diberi waktu untuk mendidik tanpa dihimpit ketakutan ekonomi? Apakah kepemimpinan perempuan dimaknai sebagai kekuatan etik, bukan sekadar kosmetik demokrasi?

Gerakan perempuan yang progresif, sebagaimana dibayangkan dalam desain Hari Ibu 2025, seharusnya melangkah ke depan tanpa kehilangan jejaknya di tanah asal. Ia boleh berlari bersama zaman, menyentuh teknologi, menembus batas-batas lama, tetapi akarnya mesti tetap menghunjam ke bumi nilai. Sebab pohon yang tumbuh tinggi tanpa akar yang kuat hanya menunggu waktu untuk tumbang. Kemajuan yang tercerabut dari kearifan hanya akan melahirkan kelelahan baru, bukan peradaban.

Perempuan Indonesia tidak sedang menuntut keistimewaan, apalagi pengunggulan yang meminggirkan yang lain. Yang diminta hanyalah kehadiran yang utuh dan adil. Kehadiran sebagai pemikir yang suaranya didengar, sebagai pengasuh yang jerih payahnya dihargai, sebagai pemimpin yang kebijaksanaannya dipercaya, dan sebagai penjaga nurani bangsa yang kepekaannya tidak diremehkan. Dalam diri perempuan, akal dan kasih tidak saling meniadakan. Justru di sanalah keduanya berdamai, lalu melahirkan keputusan yang manusiawi.

Hari Ibu bukanlah perayaan sentimentil yang cukup ditebus dengan bunga dan unggahan media sosial. Ia bukan sekadar hari untuk mengucapkan terima kasih lalu kembali lupa esok pagi. Hari Ibu adalah saat berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan bertanya dengan jujur kepada nurani kolektif kita: apakah bangsa ini telah cukup adil kepada perempuan? Apakah kebijakan yang lahir dari meja-meja rapat sungguh ramah kepada ibu, atau justru menambah beban yang harus dipikul dalam diam? Apakah masa depan yang kita bangun hari ini layak diwariskan kepada anak-anak yang baru belajar mengeja kehidupan dari kata paling awal yang mereka kenal: “ibu”?

Jika Indonesia sungguh ingin menjadi emas, maka kilau itu tidak boleh hanya tampak di statistik dan pidato. Ia harus memancar dari nilai yang hidup, dari keadilan yang dirasakan, dari kasih yang diwujudkan dalam kebijakan dan laku sehari-hari. Dan nilai itu, sejak awal sejarah, dijaga dengan setia oleh perempuan. Seperti melati, ia tidak berisik, tidak menuntut sorak. Tetapi tanpanya, rumah kehilangan aroma, dan bangsa kehilangan arah pulang.

Penulis adalah ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

 

Harjaba-Fest 2025 Hari Kedua : Lomba Baca Puisi dan Story Telling Semarakkan Panggung

 


Banyuwangi, 20 Desember 2025 – Semarak Hari Jadi Banyuwangi ke-254 dan peringatan Hari Ibu kembali dirayakan melalui Harjaba-Fest 2025 di Saestwo Café Klatak, Kalipuro, pada hari kedua, Sabtu (20/12/2025). Meskipun cuaca mendung, antusiasme peserta dan pendukung tak surut, dan acara berlangsung sukses serta lancar tanpa diguyur hujan.

Acara yang dipandu oleh Bung Aguk Darsono, Ketua Perkumpulan Gotong Royong Empat Puluh Lima, dibantu Yeti Chotimah, guru penggerak dan penulis senior Banyuwangi, dibuka dengan sambutan motivasi dari HM. Shodiqin, owner Saestwo Cafe. Dalam sambutannya, ia mengajak untuk melestarikan bahasa daerah, bangga berbahasa Indonesia, dan menguasai bahasa asing seperti Inggris, Arab, Cina dan lainnya.

Berbeda dengan hari pertama, lomba pada hari kedua—yaitu Baca Puisi dan Story Telling (bercerita dalam bahasa Inggris)—digelar secara bergantian di panggung utama, menciptakan dinamika yang menarik. Lomba Baca Puisi, yang diikuti peserta beragam mulai dari pelajar SMP, SMA/SMK, hingga pekerja dan guru, dinilai oleh dewan juri Andi Budi Setiawan, S.Pd dan Indriana Laili, S.Pd. Sementara Lomba Story Telling yang dikhususkan untuk pelajar SD dan MI, dinilai oleh Efa Endang Triyono, S.Pd dan Slamet Hariyadi, B.A.


Untuk mengisi jeda penilaian juri, sejumlah ibu dari komunitas Green Jasmine dan orang tua peserta turut menghibur dengan membacakan puisi, menambah kemeriahan suasana.

Daftar Pemenang Lomba Story Telling:

  • Juara 1: Berlian Ramadhani (MI Darunnajah II)
  • Juara 2: Queenbe Hilwa Tazkia (SD Lazuardi)
  • Juara 3: Abdul Ghani Ibrahim (MI Darussalam 1 Kalipuro)
  • Harapan 1: Adhira Kayyira Luneto (MI Darunnajah I)
  • Harapan 2: Zahsy Rouwan Haqueena Yadid (MI Darunnajah II)
  • Harapan 3: Chantika Irfa' (MI Darussalam I Kalipuro)

Seluruh pemenang Story Telling mendapat apresiasi berupa voucher kursus di ELC senilai Rp 1.000.000. Khusus juara 1, 2, dan 3, juga mendapatkan voucher Umroh senilai Rp 2.000.000 dari Tulus Hijrah Baitullah Tour & Travel.

Daftar Pemenang Lomba Baca Puisi:

  • Juara 1: Adilla Makhrisza Alharsi (SMAN 1 Rogojampi)
  • Juara 2: Mohammad Rizky Yulleo Altaf (SMK Muhammadiyah 8 Siliragung)
  • Juara 3: Muhammad Iqbal Maulana (SMPN 3 Rogojampi)
  • Harapan 1: Kristanto (Unsur Masyarakat Umum)
  • Harapan 2: Farras Aryantaqi (SMK Pelayaran Kalipuro)

Disamping tropy juara, seluruh pemenang juga mendapatkan voucher Umroh senilai Rp 2.000.000 dari Tulus Hijrah Baitullah Tour & Travel.

Keberhasilan hari kedua Harjaba-Fest 2025 ini menunjukkan semangat kebersayaan dan apresiasi terhadap seni serta pendidikan bahasa yang tetap hidup di Banyuwangi, meski di tengah rintik awan mendung.

Berikut kami sampaikan juga semua pemenang lomba yang diselenggarakan di hari pertama :

  • Lomba Pildacil:
    • Juara 1: Azka Dzakiyatus Shaleha (TPQ Safinatul Huda)
    • Juara 2: Muchamad Favian (SDI Al Khairiyah)
    • Juara 3: Zulfa Chasna Chabibah (Yayasan Rodlotul Jannah Karangrejo)
  • Lomba Bercerita Bahasa Using:
    • Juara 1: Afina Alana Qolbi (MI Darunajah 2)
    • Juara 2: Nayla Taqqiyah (MI Darunajah 2)
    • Juara 3: Lutfiyatul Ilmiyah (Rumah Tumbuh Bhakti Imamudin Zhaini/SMP Muhammadiyah 11 Rogojampi)
  • Lomba Melukis di Atas Kanvas:


Konser Kotak: Panggung Pulang, dan Ingatan yang Tidak Pernah Pergi

 

Konser Kotak: Panggung Pulang, dan Ingatan yang Tidak Pernah Pergi

Oleh : Syafaat

Ada musisi yang naik panggung untuk menunjukkan siapa dirinya. Ada pula yang naik panggung untuk pulang. Pada peringatan Hari Jadi Banyuwangi ke-254, konser Kotak di Gesibu Blambangan terasa lebih dekat dengan yang kedua. Malam itu, panggung tidak sekadar menjadi tempat suara dikeraskan, tetapi ruang batin tempat ingatan dipanggil pulang satu per satu. Musik menjelma ziarah, perjalanan sunyi yang menyingkap hubungan purba antara bunyi, tanah asal, dan rasa memiliki yang tak pernah benar-benar selesai.

Banyuwangi, yang telah berusia dua setengah abad lebih, bukan sekadar latar perayaan. Ia adalah ibu yang menunggu anak-anaknya kembali, meski hanya sebentar. Di usia yang matang itu, kota ini seolah berbisik bahwa pulang tidak selalu berarti menetap, tetapi mengingat dengan penuh hormat. Maka dentum gitar dan gema suara malam itu tidak berdiri sendiri; ia bertaut dengan debur laut, desir angin, dan jejak langkah masa lalu yang masih setia tinggal di tanah Blambangan.

Seperti judul lagu mereka sendiri, Pelan-Pelan Saja, ingatan memang tak suka dikejar. Ia datang ketika diberi ruang. Ia menyapa ketika tidak dipaksa. Dalam alunan itu, waktu melunak, masa lalu dan masa kini saling menatap tanpa canggung. Musik menjadi cara paling jujur untuk berkata: kita boleh pergi jauh, tetapi ada bagian dari diri yang selalu ingin kembali, kepada tanah yang pertama kali mengajarkan kita arti suara, luka, dan cinta.


Kotak, band yang lahir dari The Dream Band pada 27 September 2004, telah menempuh perjalanan panjang. Formasinya boleh berubah, tetapi denyutnya tetap sama: Tantri dengan suara yang tegas sekaligus retak—retak yang justru membuatnya jujur; Chua dengan bass yang setia menjaga nadi; dan Cella, Mario Marcella Handika Putra, gitaris yang seperti garis lurus di tengah peta yang sering berbelok, ia menjadi satu-satunya personel awal yang bertahan. Barangkali karena ada sesuatu dalam dirinya yang memilih setia: pada musik, pada proses, dan pada asal. Setia itu bukan keras kepala, melainkan Cinta Jangan Pergi.

Cella adalah anak Banyuwangi. Ia fasih berbahasa Osing, bahasa yang tidak hanya berisi kata, tetapi juga cara menahan rindu dan menamai kampung halaman. Maka ketika konser digelar di Gesibu Blambangan, panggung itu tidak sepenuhnya asing baginya. Bahkan ia memilih berdiri di sisi kiri panggung, bukan di tempat lazimnya, karena di situlah ia dulu berdiri sebagai remaja, saat mengikuti audisi, saat mimpi masih berupa kemungkinan yang rapuh. Di sana, waktu seperti melipat dirinya sendiri. Seolah ada bisik lirih: Berharap Bisa Kembali. Dan air matanyapu jika diizinkan juga akan menetes, dalam konser di tanah kelahirannya sendiri.

Tantri malam itu mengenakan jilbab hitam; pada lagu lain ia mengenakan kostum gandrung. Ia menyanyi diiringi penari gandrung Banyuwangi. Bukan sebagai gimmick budaya, melainkan sebagai isyarat penghormatan. Seolah musik rock pun tahu cara menundukkan kepala di hadapan tradisi. Di titik itu, panggung menjadi ruang dialog: antara gitar listrik dan gendang, antara masa depan dan masa lalu, antara hiruk-pikuk industri dan kesenyapan akar. Rock tidak berteriak; ia Beraksi dengan takzim.

Acara bertajuk “Tandang Bareng” tidak sekadar menyuguhkan konser, melainkan menghadirkan perjumpaan lintas rasa dan lintas ingatan. Ia menjelma perayaan yang tidak tergesa, sebuah panggung yang sengaja memberi ruang bagi napas tradisi sebelum hiruk-pikuk modern mengambil alih. Malam itu, seni tidak dipertontonkan untuk dikagumi dari kejauhan, melainkan dipertemukan—seperti keluarga besar yang duduk melingkar, saling menatap, saling menyapa, sebelum satu per satu cerita dimulai. Nada-nada lokal hadir lebih dulu, seperti salam sopan kepada tanah yang menjadi tuan rumah. Tradisi tidak berdiri sebagai hiasan, tetapi sebagai fondasi. Di sanalah musik modern belajar menjejakkan kaki dengan rendah hati. Kotak sendiri pernah melakukan hal serupa: mengawali sebuah lagu dengan intro musik gandrung. Sebuah isyarat kecil namun bermakna, bahwa sebelum suara diperkeras, ada baiknya kita mendengarkan denyut yang lebih tua; sebelum melangkah jauh, kita menoleh sebentar ke asal.

Dalam perjumpaan itu, gandrung tidak merasa ditinggalkan, dan rock tidak merasa dibatasi. Keduanya saling menyapa tanpa saling mengalahkan. Seolah musik sedang mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak harus memutus ingatan, dan modernitas tidak perlu mengusir tradisi. Sebab seni, pada hakikatnya, adalah cara paling jujur manusia untuk pulang, kepada akar, kepada kebersamaan, dan kepada rasa hormat yang membuat setiap perayaan memiliki makna.

Pentas diawali oleh Kang Yons DD dengan Suling Montro. Nada-nadanya melayang pelan, seperti embun yang turun sebelum fajar, menyentuh tanah dengan lembut. Ia tidak meminta perhatian, tetapi mengundang keheningan. Lalu hadir Wandra dan Mak Temuk, membawa suara yang telah lama berdiam di lorong-lorong Banyuwangi, suara yang akrab dengan sawah, pasar, dan halaman rumah. Mereka bukan sekadar pengisi acara, melainkan penjaga pintu ingatan.

Musik lokal membuka jalan, memberi salam pada tanah sebelum dentuman rock mengambil alih. Seperti doa yang dibaca perlahan sebelum suara diperkeras, agar langkah tidak menjadi sombong, agar bunyi tidak kehilangan arah. Di titik inilah musik mengajarkan kita sesuatu yang sering kita lupa: keras tidak selalu berarti kasar; lantang bisa tetap santun. Tradisi tidak ditinggalkan, modernitas tidak ditolak. Keduanya berdiri berdampingan, saling menguatkan, saling memberi makna.

Lagu-lagu kebangsaan dan motivasi dilantunkan. Ada doa yang disisipkan untuk saudara-saudara kita yang tertimpa musibah di Aceh. Pada saat-saat seperti itu, musik berhenti menjadi hiburan. Ia berubah menjadi medium empati—cara manusia saling menguatkan ketika kata-kata terasa kurang. Nada menjadi pelukan; refrain menjadi Cinta Yang Sempurna, bukan karena tanpa cela, melainkan karena mau hadir.

Menariknya, para personel Kotak datang tidak sendiri. Mereka membawa keluarga, seakan ingin menjadikan Banyuwangi bukan sekadar kota singgah, melainkan halaman rumah tempat napas dilonggarkan. Di sela jadwal dan sorak penonton, mereka menikmati indahnya alam, laut yang tenang, hijau yang sabar, dan langit yang tidak menuntut apa-apa selain dipandangi. Liburan ini terasa seperti jeda yang disyukuri, bukan pelarian, melainkan kepulangan kecil di tengah perjalanan panjang.

Seolah mereka ingin mengatakan bahwa kesuksesan tidak harus menjauhkan seseorang dari rumah. Bahwa panggung tertinggi pun seharusnya tetap menyediakan ruang bagi anak-anak untuk berlari tanpa takut waktu, bagi istri untuk tersenyum tanpa jadwal, dan bagi kenangan lama untuk menyapa tanpa canggung. Di sanalah makna keberhasilan diuji: bukan pada seberapa terang lampu sorot menyala, tetapi pada seberapa hangat cahaya yang ikut pulang ke dapur, tempat cerita sederhana dibagi, dan hidup kembali menemukan wajah aslinya.

Konser itu berakhir, seperti semua konser. Lampu padam, suara reda, penonton pulang. Tetapi sesuatu tertinggal. Ingatan tentang seorang gitaris yang kembali ke titik awalnya. Tentang sebuah band yang tidak lupa pada tanah tempat salah satu nadinya berasal. Tentang Banyuwangi yang malam itu tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi rumah itu sendiri. Barangkali inilah makna paling sunyi dari musik: ia mengajarkan kita bahwa sejauh apa pun seseorang pergi, selalu ada panggung kecil di dalam dirinya yang ingin pulang. Dan pada malam itu, di Gesibu Blambangan, panggung kecil itu bernama Banyuwangi, tempat lagu-lagu tidak sekadar dinyanyikan, tetapi dikenang.

Penulis Adalah Ketua Lntera Sastra Banyuwangi

Keceriaan Da'i Cilik dan Dongeng Using Warnai Hari Pertama Harjaba-Fest 2025



Banyuwangi, 19 Desember 2025 – Suasana ceria mewarnai hari pertama pelaksanaan Harjaba-Fest 2025 di Saestwo Café Klatak, Kalipuro. Event yang digelar memperingati dua momen penting, yaitu Hari Jadi Banyuwangi ke-254 sekaligus PHBN Hari Ibu ini berlangsung sukses dan berkah. Kegiatan yang dipandu oleh Bung Aguk Darsono, Ketua Perkumpulan Komunitas Gotong Royong '45, secara resmi dibuka oleh H.M Shodiqin,S.Pd,MM,Guru Matematika SMKN 1 Kalipuro yang pernah mengabdi 20 tahun di Belu NTT berbatasan dengan Timtim. Dalam sambutannya, Shodiqin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang telah mendukung penyelenggaraan Harjaba-Fest 2025. Menutup sambutan pengurus BKPRMI dan Pergunu ini mengajak seluruh hadirin untuk bersama-sama menyanyikan lagu “Kasih Ibu” sebagai bentuk penghormatan kepada semua ibu yang telah mencintai, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya. Hari pertama festival diisi dengan serangkaian lomba yang mengangkat seni, budaya, dan nilai-nilai keagamaan. Tiga jenis lomba yang digelar di hari pertama itu adalah: 
1. Lomba Pildacil (Pemilihan Da'i Cilik), menampilkan bakat dakwah para generasi muda. 
2. Lomba Bercerita (Mendongeng) dalam Bahasa Using, sebagai upaya melestarikan bahasa lokal Banyuwangi. 
3. Lomba Melukis di Atas Kanvas, wadah ekspresi kreativitas anak dan remaja. 
Dewan juri berasal dari berbagai latar belakang profesional, meliputi unsur Jurnalis, Pengawas MI Kementerian Agama, Pondok Pesantren, Sanggar Seni Merah Putih '45 dan Komunitas Peduli Pendidikan Banyuwangi (Koppiwangi). 



Daftar Pemenang Harjaba-Fest 2025 Hari Pertama: 
Lomba Pildacil: 
• Juara 1: Azka Dzakiyatus Shaleha (TPQ Safinatul Huda) 
• Juara 2: Muchamad Favian (SDI Al Khairiyah) 
• Juara 3: Zulfa Chasna Chabibah (Yayasan Rodlotul Jannah Karangrejo) 

Lomba Bercerita Bahasa Using: 
• Juara 1: Afina Alana Qolbi (MI Darunajah 2) 
• Juara 2: Nayla Taqqiyah (MI Darunajah 2) 
• Juara 3: Lutfiyatul Ilmiyah (Rumah Tumbuh Bhakti Imamudin Zhaini/SMP Muhammadiyah 11 Rogojampi) 

Lomba Melukis di Atas Kanvas: 
• Juara 1: Rizka (SMPN 2 Kalipuro) 
• Juara 2: Alira (SMPN 2 Kalipuro) 
• Juara 3: Tegar (Pondok Pesantren Sirojul Hasan- Rejosari Glagah) 

Disamping tropy juara, setiap pemenang mendapat voucher umroh senilai 2 juta rupiah dari Tulus Hijrah Baitullah Tour & Travel. Demikian pula bagi beberapa panitia yang beruntung. 

Acara ini menjadi lebih meriah ketika KOPPIWANGI (Komunitas Peduli Pendidikan Banyuwangi) yang saat itu juga hadir dalam rangka memeriahkan event ini, melakukan potong tumpeng dalam rangka merayakan hari jadinya satu dekade yang ke 10. "Maturnuwun relawan KOPPIWANGI yang bhakti buat negeri serta kolaborasi dengan pegiat sosial lainnya sesuai kepedulian nya.Dan terus guyub rukun tebar kebaikan Nong tanah kelahiran .”, tutur pengurus PERADI dan LPTQ ini dalam sambutannya di sesi peringatan Hari Jadi KOPPIWANGI yang dihadiri Mitra sejawat dan anggotanya yang pakai seragam batik. 
Didampingi istrinya, H Mujiono potong tumpeng untuk Ketua Umum BKPRMI dan Pengawas Kemenag. 

Kegembiraan para pemenang dan antusiasme peserta serta pengunjung menjadi bukti bahwa semangat pelestarian budaya, pendidikan karakter, dan kreativitas terus hidup di Banyuwangi. Harjaba-Fest 2025 diharapkan dapat terus menjadi agenda tahunan yang memperkaya khasanah event daerah dalam menyambut hari jadi Kabupaten Banyuwangi. (AW/Q"Nin/JN)



Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Remaja Usia Sekolah di Madrasah Aliyah An-Nur Kecamatan Kalibaru

Banyuwangi (Warta Blambangan) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi melalui Seksi Bimbingan Masyarakat Islam melaksanakan kegiatan Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) di Madrasah Aliyah (MA) An-Nur, Kecamatan Kalibaru. Kegiatan ini diikuti oleh 150 peserta didik yang dikelompokkan ke dalam tiga kelompok belajar dan dilaksanakan selama kurang lebih delapan jam.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi yang diwakili oleh Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam, H. Mastur, menyampaikan bahwa pelaksanaan BRUS merupakan bagian dari strategi pembinaan remaja dalam rangka penguatan karakter, pemahaman keagamaan, serta peningkatan literasi sosial dan moral peserta didik. Pada sesi penutupan, H. Mastur melakukan evaluasi partisipatif dengan meminta umpan balik langsung dari peserta terkait pelaksanaan kegiatan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa peserta memiliki tingkat antusiasme yang tinggi serta memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru yang relevan dengan kebutuhan perkembangan remaja usia sekolah. 


Kepala MA An-Nur Kalibaru, Muhammad Isbat, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan BRUS di lingkungan madrasah yang dipimpinnya. Ia menilai kegiatan ini memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan kepribadian dan kesiapan sosial peserta didik. Lebih lanjut, ia berharap agar program bimbingan remaja usia sekolah dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan menjangkau lebih banyak madrasah, khususnya madrasah swasta.

Dari sisi pelaksanaan, kegiatan BRUS difasilitasi oleh narasumber yang memiliki kompetensi di bidangnya, terdiri atas akademisi, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), penyuluh agama, serta praktisi terkait. Pendekatan multidisipliner ini dinilai mampu memberikan perspektif yang komprehensif kepada peserta dalam memahami isu-isu remaja, termasuk penguatan nilai keagamaan, sosial, dan moral.

Sementara itu, Kepala KUA Kecamatan Kalibaru, Anwar Luton, menjelaskan bahwa selain mendukung kegiatan BRUS yang diselenggarakan oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, KUA Kecamatan Kalibaru juga secara aktif melaksanakan program sosialisasi pencegahan perkawinan usia dini melalui forum-forum keagamaan, seperti majelis taklim. Upaya tersebut merupakan bagian dari pendekatan preventif berbasis masyarakat dalam membina remaja agar memiliki kesiapan mental, sosial, dan spiritual.

Secara keseluruhan, pelaksanaan Bimbingan Remaja Usia Sekolah di MA An-Nur Kalibaru menunjukkan respons positif dari peserta dan pemangku kepentingan. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi model pembinaan remaja berbasis pendidikan dan keagamaan yang berkelanjutan dalam mendukung pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.

Banyuwangi, 254 Tahun: Kota yang Menyanyi dari Ingatan Panjang

 Banyuwangi, 254 Tahun: Kota yang Menyanyi dari Ingatan Panjang

Oleh : Syafaat

Dua ratus lima puluh empat tahun bukanlah sekadar deret angka yang dipahat di atas batu nisan sejarah, bukan pula sekadar hiasan umbul-umbul yang berkibar ditiup angin Selat Bali. Ia adalah usia yang lahir dari zikir panjang tanah ini, dari sujud-sujud sunyi para leluhur yang menggenggam iman sambil menahan pedang dan luka. Di kedalaman rahimnya, Banyuwangi adalah sebuah kitab besar, ditulis dengan tinta darah, air mata, dan doa yang ayat-ayatnya tak selalu dibaca di mimbar, tetapi terpatri di ladang, hutan, dan pantai.

Ketika kita merapal angka 254, sesungguhnya kita sedang membuka kembali lembar-lembar syahadat perlawanan yang pernah dikumandangkan di belantara Bayu. Syahadat bahwa tanah ini tidak tunduk selain kepada Yang Maha Merdeka. Syahadat bahwa manusia diciptakan untuk menjaga martabat, bukan menjualnya. Dari Minak Jinggo hingga para petani tanpa nama, dari ibu-ibu yang menyimpan beras di lumbung kecil hingga santri yang mengaji di surau bambu, semuanya adalah barisan panjang orang-orang beriman yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Banyuwangi tumbuh bukan dari kemewahan istana, melainkan dari kesabaran. Ia dibesarkan oleh air sendang yang disakralkan, oleh kidung yang dilantunkan sebagai doa, oleh seni yang bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan. Gandrung, hadrah, macapat, hingga lantunan ayat suci, semuanya adalah cara tanah ini bersujud, cara masyarakatnya mengikat langit dan bumi agar tetap seimbang.


Maka, memperingati usia ke-254 bukanlah semata pesta cahaya dan panggung megah. Ia adalah miqat, titik berhenti untuk menengok kembali niat. Sudahkah kita setia pada amanah leluhur? Sudahkah pembangunan berjalan seiring dengan pemuliaan manusia dan alam? Ataukah kita hanya sibuk menghitung capaian, lupa menghitung luka yang tertinggal?

Di usia ini, Banyuwangi dipanggil untuk kembali menjadi tanah yang aman bagi perbedaan, subur bagi harapan, dan ramah bagi iman. Tanah yang memuliakan seni sebagai jalan kebijaksanaan, memelihara budaya sebagai kearifan, dan menjadikan agama sebagai cahaya, bukan bara. Dua ratus lima puluh empat tahun adalah doa yang belum selesai. Dan kitalah yang hari ini diminta melanjutkan kalimatnya, dengan kerja yang jujur, dengan hati yang bersih, dan dengan kesetiaan pada Tuhan serta sejarah. Kota ini tidak lahir dari rahim kesunyian yang pasif, melainkan dari rahim sejarah yang berdenyut oleh doa dan perlawanan. Ia dilahirkan oleh gemuruh dzikir para ksatria Blambangan, dzikir yang tak selalu dilafalkan dengan tasbih, tetapi dengan keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan pada martabat. Mereka menolak tunduk pada tirani, sebab dalam keyakinan terdalam mereka, tunduk hanya layak dipersembahkan kepada Yang Maha Esa.

Perang Puputan Bayu, 18 Desember 1771, bukanlah kisah tentang kalah dan menang dalam timbangan dunia. Ia adalah fajar shādiq, fajar sejati yang merekah dari luka dan darah, menandai lahirnya kesadaran kolektif bahwa kehormatan lebih bernilai daripada usia yang panjang tanpa harga diri. Di medan itulah, jasad boleh rebah, tetapi ruh berdiri tegak menghadap langit. Pedang dan doa menyatu, teriakan dan takbir bertaut, seakan bumi dan langit sepakat menyaksikan sumpah terakhir anak-anak Blambangan. Di Bayu, etika keberagamaan dan kebernegaraan menemukan simpulnya. Membela tanah kelahiran bukan sekadar naluri, melainkan ibadah; menjaga bumi bukan sekadar tugas sejarah, melainkan amanah ilahi. Tanah air dipahami sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga dengan iman, bukan dieksploitasi dengan keserakahan. Dari sanalah Banyuwangi belajar bahwa nasionalisme yang sejati berakar pada spiritualitas, dan spiritualitas yang matang akan melahirkan keberanian moral.

Maka, hari jadi ini bukan sekadar penanda usia, tetapi mihrab perenungan. Ia memanggil kita untuk menyalakan kembali lentera di dalam dada, lentera yang pernah dinyalakan para leluhur dengan nyala keberanian dan keikhlasan. Agar di tengah riuhnya modernitas, di antara cahaya-cahaya palsu yang memukau mata namun menggelapkan hati, kita tidak tersesat dari asal-usul. Sebab kota ini hanya akan tetap hidup bila ingat pada doanya, setia pada lukanya, dan jujur pada imannya.

Hari ini, kita menyaksikan tetangga-tetangga kita ikut gairah, seakan bumi Tapal Kuda sedang berhias menyambut musim baru. Bandara-bandara ingin ikut membelah langit seperti Banyuwangi, landasan pacunya seperti sajadah panjang tempat harapan berangkat dan pulang. Jalan-jalan dibuka, aspal direntangkan laksana urat nadi yang mengalirkan rezeki, sementara pembangunan merayap pelan namun pasti ke sudut-sudut yang dahulu sunyi. Dalam kacamata duniawi yang sempit, semua ini kerap dibaca sebagai perlombaan, siapa lebih tinggi, lebih cepat, lebih gemerlap.

Namun bagi hati yang telah belajar tawaduk, kemajuan wilayah sekitar adalah tajallī, penampakan rahmat Tuhan yang tak mengenal pagar administrasi. Rezeki tidak pernah salah alamat, dan keberkahan tidak pernah berkurang hanya karena dibagi. Langit yang sama menaungi kita semua; angin yang sama membawa doa-doa dari desa ke desa. Maka, setiap landasan yang terbangun, setiap jalan yang terbuka, sejatinya adalah ayat-ayat Tuhan yang sedang diturunkan dalam bahasa pembangunan.

Banyuwangi tidak pernah memiliki watak rakus untuk menjadi pusat tunggal yang menelan sekelilingnya. Sejak awal, memori kolektif Blambangan adalah memori ruang yang luas, ruang persaudaraan, ruang lintasan budaya, ruang perjumpaan iman. Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa kemuliaan tidak lahir dari menyingkirkan yang lain, melainkan dari kemampuan hidup berdampingan. Maka, ketika wilayah di sekitar kita bertumbuh, itu adalah gema dari keberhasilan kita menjaga keseimbangan dan stabilitas kawasan, doa yang diam-diam dikabulkan.

Kita tidak sedang berlomba lari dengan napas terengah dan siku saling menyikut. Kita sedang tandang bareng dalam sebuah kafilah besar menuju kesejahteraan, di mana setiap langkah saling menguatkan dan setiap singgah saling mendoakan. Persaingan hanyalah ilusi bagi mereka yang hatinya belum selesai dengan urusan kedengkian, mereka yang mengira cahaya bisa direbut, bukan dipantulkan. Banyuwangi memilih menjadi lilin yang menyulut lilin-lilin lain. Ia rela nyalanya dibagi, sebab ia tahu cahaya tidak pernah habis ketika disebarkan. Ia menolak menjadi api yang memadamkan nyala orang lain demi terlihat paling terang. Dalam pilihan itu, kota ini bersujud: kepada Tuhan yang Maha Luas rahmat-Nya, dan kepada sejarah yang mengajarkan bahwa terang sejati adalah yang mampu menerangi jalan banyak orang.

Kita harus jujur pada nurani: Apakah bandara yang megah itu telah menjadi jembatan doa bagi rakyat kecil? Ataukah ia hanya menjadi monumen bisu bagi mereka yang mampu terbang? Banyuwangi memahami bahwa pembangunan tanpa dimensi uluhiyah (ketuhanan) dan insaniyah (kemanusiaan) hanyalah raga tanpa ruh. Masyarakat tidak butuh angka-angka pertumbuhan ekonomi di atas kertas jika dapur mereka tidak mengepulkan asap syukur. Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang memuliakan martabat manusia. Pembangunan yang membuat seorang petani di kaki Gunung Raung merasa aman, seorang nelayan di Muncar merasa terlindungi, dan seorang guru ngaji di pelosok desa merasa dihargai. Inilah esensi dalam pembangunan: menjadikan kebijakan sebagai bentuk pengabdian, bukan sekadar urusan administrasi.

Di Banyuwangi, seni tidak pernah lahir sebagai hiburan yang kosong makna. Ia bukan sekadar tontonan bagi mata, melainkan tuntunan bagi jiwa. Jauh sebelum panggung-panggung festival berdiri megah dengan cahaya LED dan sorak kamera, Gandrung telah lebih dahulu menjadi sajadah panjang tempat masyarakat bersyukur kepada Sang Pemberi Rezeki. Setiap lenggoknya adalah ungkapan terima kasih kepada bumi yang subur, kepada hujan yang setia turun, kepada hidup yang masih diberi kesempatan bersemi.

Barong tidak hadir sebagai hiasan folklor belaka. Ia adalah simbol penjaga desa, personifikasi ikhtiar spiritual manusia dalam menghadapi marabahaya yang tak kasatmata. Di balik topeng dan geraknya, tersimpan kesadaran kolektif bahwa hidup tidak hanya bergulat dengan yang terlihat, tetapi juga dengan yang gaib, dan untuk itu, manusia harus rendah hati, saling menjaga, dan selalu mengingat Yang Maha Melindungi. Hadrah Kunthulan pun bukan sekadar irama yang menggerakkan kaki. Ia adalah detak jantung komunitas, denyut iman yang memadukan gerak raga dengan puji-pujian kepada Baginda Nabi. Rebana yang ditabuh bukan hanya menghasilkan bunyi, melainkan menata batin; mengingatkan bahwa tubuh dan ruh seharusnya berjalan seiring menuju kebaikan.

Seni di tanah ini adalah bahasa kami untuk berdialog dengan Tuhan. Ketika penari Gandrung melenggok, ada doa yang dipanjatkan lewat jemari—doa yang mungkin tak terucap oleh lisan, namun fasih dibaca oleh langit. Ketika kendang bertalu dan gong berdentang, ada getaran qalbu yang mengingatkan manusia pada harmoni kosmos, bahwa alam pun bertasbih dengan caranya sendiri. Karena itu, Banyuwangi Festival (B-Fest) semestinya tidak berhenti sebagai etalase pariwisata, apalagi sekadar kalender acara. Ia adalah madrasah kebudayaan, ruang belajar lintas generasi, tempat nilai diwariskan, bukan hanya dipamerkan. Di sanalah seni dirawat agar tidak membeku menjadi fosil yang mati, tetapi terus bergerak menjadi energi yang menghidupkan: menghidupkan ingatan, menghidupkan iman, dan menghidupkan harapan bahwa modernitas dapat berjalan seiring dengan kesetiaan pada akar.

Memasuki usia 254, tantangan kita tak lagi berwujud meriam penjajah yang menggelegar di medan laga, melainkan sesuatu yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya: amnesia sejarah dan kekeringan spiritual. Musuh hari ini tidak datang dari laut dengan kapal perang, tetapi merayap pelan ke dalam ingatan, mengikis makna, memudarkan nilai, dan menggantinya dengan kilau sesaat yang sering kita salah sangka sebagai kemajuan. Jangan sampai bangunan-bangunan tinggi yang menjulang membuat pandangan kita lupa menunduk ke akar. Jangan sampai jalan-jalan lebar yang terbentang menjauhkan langkah kita dari jejak para leluhur. Kemajuan fisik yang tidak disertai kejernihan batin berisiko menjadikan kita asing di tanah sendiri, seperti musafir yang hafal peta, tetapi lupa arah pulang.

Kota yang besar bukan hanya yang kuat infrastrukturnya, melainkan yang utuh jiwanya. Kekayaan materi tanpa keluhuran tradisi hanyalah rumah megah tanpa ruh; berdiri, tetapi dingin dan sepi. Tradisi adalah ibu yang menyusui batin kolektif kita, tanpanya, kita akan tumbuh sebagai generasi yatim piatu secara kultural: hidup, tetapi kehilangan rasa memiliki. Di usia ini, Banyuwangi dipanggil untuk kembali berwudu pada sejarahnya, menyiram ingatan yang mulai kering dengan mata air spiritualitas. Agar setiap kemajuan menjadi sedekah, setiap pembangunan menjadi doa, dan setiap pencapaian menjadi jalan mendekat kepada Tuhan. Sebab hanya dengan begitu, kota ini tidak sekadar maju, tetapi juga beradab; tidak hanya bercahaya di mata dunia, tetapi hangat di pelukan sejarah dan iman, kita jadikan Hari Jadi Banyuwangi ini sebagai momentum untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri). Mari kita jaga harmoni antara kemajuan zaman dengan keteguhan iman. Kita ingin Banyuwangi yang modern, namun tetap memiliki bau tanah yang akrab bagi para petani; kita ingin Banyuwangi yang mendunia, namun tetap memiliki gema selawat yang syahdu di surau-surau.

Banyuwangi adalah sebuah "Lentera". Cahayanya harus mampu menerangi jalan bagi mereka yang gelap, memberi kehangatan bagi mereka yang kedinginan, dan menjadi penunjuk arah bagi mereka yang kehilangan makna hidup.

Penulis adalah :  Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.

 

 

Kemenag Banyuwangi Gelar Musabaqoh Qiroatul Kutub untuk Perkuat Kompetensi ASN

Banyuwangi (Warta Blambangan) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menggelar Musabaqoh Qiroatul Kutub (MQK) dalam rangka memperingati Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama Republik Indonesia ke-80, Rabu (17/12/2025). Kegiatan tersebut berlangsung di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Chaironi Hidayat, membuka kegiatan tersebut. Ia juga menjadi salah satu dewan juri bersama Ahmad Siddiq, Penyuluh Agama Islam KUA Kalipuro; Gufron, Kepala KUA Kecamatan Gambiran; serta Yusron, Kepala KUA Kecamatan Bangorejo yang bertindak sebagai penanggung jawab kegiatan. 


Chaironi mengatakan, Musabaqoh Qiroatul Kutub menjadi salah satu upaya Kementerian Agama untuk meningkatkan kompetensi aparatur sipil negara (ASN), khususnya Penyuluh Agama Islam, dalam penguasaan khazanah keilmuan Islam berbasis kitab kuning.

Menurut dia, kemampuan membaca dan memahami kitab kuning merupakan bagian penting dari profesionalitas ASN Kementerian Agama. Kompetensi tersebut dibutuhkan dalam menjalankan fungsi pembinaan dan pelayanan keagamaan kepada masyarakat.

Ia menambahkan, nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang terkandung dalam kitab kuning perlu terus dikontekstualisasikan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Nilai-nilai itu, kata dia, menjadi landasan dalam menjaga harmoni sosial serta memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Chaironi juga menilai, MQK relevan dengan upaya penguatan moderasi beragama. Melalui peningkatan literasi keagamaan, penyuluh agama diharapkan mampu berperan aktif dalam menangkal pemahaman keagamaan yang ekstrem dan tidak sejalan dengan prinsip kebangsaan.

Sementara itu, Koordinator Kegiatan MQK, Ahmad Siddiq, menjelaskan bahwa pelaksanaan musabaqoh mengedepankan prinsip objektivitas dan sportivitas. Peserta diharapkan mengikuti seluruh ketentuan yang telah ditetapkan agar kegiatan berjalan tertib dan lancar.

Kemenag Banyuwangi Merajut Karakter Lewat Workshop Pentigraf

Banyuwangi (Warna Blambangan) Di bawah kegiatan peringatan Hari Amal Bakti (HAB) ke-80 Kementerian Agama Republik Indonesia, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi menyalakan obor literasi melalui Workshop Pentigraf—cerita pendek tiga paragraf—yang digelar secara hibrida, Selasa (26/12/2025). Aula MAN 3 Banyuwangi menjadi ruang temu luring, sementara layar-layar daring menghubungkan madrasah lain dalam satu tarikan napas yang sama: sastra sebagai jalan pembentukan karakter. 


Membuka kegiatan, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, menegaskan bahwa pentigraf bukan sekadar latihan merangkai kata. Ia adalah disiplin batin—cara berpikir holistik yang memaksa penulis memahami persoalan secara utuh, lalu merumuskannya dengan ringkas, padat, dan bermakna. Dalam kependekan, karakter diuji; dalam kesederhanaan, kedalaman dituntut.

Ketua Panitia HAB ke-80 Kementerian Agama RI pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Dr. Fathurrahman, menyambut kegiatan ini dengan rasa syukur. Berlatar pengalaman jurnalistik yang tumbuh tanpa bangku pelatihan formal, ia melihat workshop ini sebagai ladang subur bagi tumbuhnya insan literasi yang andal dan berkarakter—sebuah ikhtiar yang kini bersemi di lingkungan Kemenag Banyuwangi, diinisiasi oleh Lentera Sastra.

Dua suara menguatkan ikhtiar itu. Dr. Nurul Lutfia Rohmah dari Lentera Sastra—Ketua HISKI Komisariat Banyuwangi—membentangkan lanskap teori dan kepekaan sastra. Sementara Syafaat, Ketua Lentera Sastra, menautkan teori dengan laku: peserta tidak berhenti pada pemahaman, melainkan melangkah ke praktik. Mereka menulis, berlomba, dan karya terbaiknya kelak dibukukan—menjadi jejak yang dapat dibaca waktu.

Pelaksanaan hibrida menjahit jarak: materi disampaikan luring di MAN 3 Banyuwangi dan daring bersama siswa MTs Nurul Iman, Desa Sukojati, Kecamatan Blimbingsari. Dari ruang ke ruang, dari layar ke layar, sastra bekerja sebagai jembatan—menumbuhkan budaya literasi, mengasah kreativitas, dan meneguhkan karakter peserta didik. Di tiga paragraf, Banyuwangi belajar merangkum dunia; di sastra, ia menemukan arah.

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit

Ketika Bumi Menegur dengan Suara Langit 

Oleh : Syafaat

 

Ada saat ketika angka tak lagi sekadar angka. Ketika “961 jiwa meninggal” (BNPB,08/12/2025) berubah menjadi wajah-wajah yang tak sempat mengucap salam terakhir; menjadi cahaya mata anak yang menunggu ibunya pulang; menjadi tangan yang terjulur dari lumpur, seolah meminta disentuhkan kembali kepada Rahman dan Rahim. Angka-angka itu seperti ayat yang patah di tengah tilawah, meninggalkan ruang kosong di dada, membuat langit serasa turun lebih dekat, seperti ingin menuntun manusia membaca ulang makna musibah.

Dan ketika “hampir satu juta orang mengungsi” disebutkan, gema langkah mereka mengingatkan pada kisah-kisah tua, umat yang keluar dari Mesir bersama Musa, umat yang berlari menjauhi banjir besar Nuh. Bukan karena ingin, tetapi karena bumi yang terluka menghembuskan peringatan. Mereka meninggalkan rumah dengan dada bergetar, seperti orang yang tersengat takdir yang belum sempat dipahami. Banjir bandang, longsor yang memecah bukit, sungai yang berubah warna, semua itu bukan sekadar kejadian alam. Mereka adalah khutbah panjang yang dibacakan bumi kepada manusia. Setiap gemuruh air seperti kalimat tanpa huruf yang berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, sebelum luka ini menjelma murka yang lebih besar.”

Dalam arus kegelisahan itu, ekoteologi yang digelorakan di bawah kepemimpinan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, hadir bukan sebagai program birokrasi yang disusun dalam ruang-ruang rapat. Ia lebih menyerupai seruan halus dari kedalaman iman: ajakan agar manusia kembali memandang bumi sebagai amanah Tuhan, bukan sekadar lahan yang bisa ditakar-takar untuk dieksploitasi. Di tangan Kementerian Agama, ekoteologi menjelma jembatan yang menghubungkan langit dan tanah, mengikat ayat-ayat suci dengan akar yang tumbuh, menyatukan sujud dengan rimbunnya pepohonan, mengaitkan doa-doa umat dengan aliran sungai yang menghidupi.

Di bawah gerakan ini, setiap tradisi agama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya) dipanggil untuk kembali membaca kitab-kitab penciptaan. Menanam pohon bukan lagi kegiatan seremonial, tetapi dzikir yang menancap ke bumi. Mengurangi plastik bukan lagi kampanye kosong, tetapi bentuk taubat ekologis. Pendidikan berbasis iman tidak hanya melahirkan kecerdasan intelektual, tetapi kejernihan batin untuk menjaga rumah bersama tempat semua makhluk menundukkan kepala kepada Yang Maha Mencipta.

Sebab bumi, yang dulu dipanggil Ibu, kini terdengar merintih seperti tubuh renta yang dipaksa menyimpan dosa-dosa manusia. Pepohonan yang mestinya menjadi pakaian bumi telah dirampas oleh tangan-tangan yang lupa berdoa. Tanpa hutan, hujan yang turun sebagai rahmat berubah menjadi hantaman kasar, seperti air wudhu yang tumpah dari hati yang kehilangan kejernihan. Sejarah panjang Nusantara adalah sejarah manusia menggali, menebang, menjual, meratakan, sebuah perjalanan yang terkadang kehilangan adab, membuat manusia berdiri sebagai penguasa, bukan penjaga. Padahal ayat pertama tentang kehadiran manusia di muka bumi tidak pernah menyebutkan kekuasaan. Yang disebutkan hanyalah amanah:


Dalam tasawuf, alam disebut ayat kauniyah, ayat-ayat Tuhan yang tidak tercetak dalam mushaf, tetapi tumbuh sebagai daun yang bertasbih, mengalir sebagai sungai yang berdzikir, dan berguguran sebagai tanda waktunya manusia kembali mengingat. Maka ketika satu pohon hilang, sesungguhnya kita telah merobek satu halaman dari kitab yang belum selesai kita pahami. Ulama-ulama dahulu percaya bahwa kerusakan alam adalah tanda retaknya iman. Menebang pohon tanpa alasan dianggap melukai makhluk yang tengah bertasbih. Daun adalah dzikir, hujan adalah rahmat, angin adalah salam. Dan ketika rahmat berubah menjadi banjir, mungkin dzikir alam telah tergantikan oleh suara mesin dan keserakahan manusia.

Nenek moyang Nusantara pun telah lama memahami amanah ini. Gunung adalah kakek, tanah adalah ibu pertiwi, sungai adalah nadi kehidupan. Setiap penebangan pepohonan adalah dialog, bukan keputusan sepihak. Mereka percaya: alam yang marah tidak menghukum, tetapi mengingatkan. Dan kini pengingat itu datang dalam bentuk bencana—datang pelan namun pasti, seperti suara ibu yang dipaksa meninggikan nada karena anaknya terlalu keras kepala. Namun manusia tetap gemar menuding: menuding penebang liar, menuding pemilik sawit, menuding pemerintah. Padahal bayangan di cermin adalah terdakwa pertama. Kita menikmati hasil dari tanah yang disakiti, namun marah ketika bumi menagih haknya. Kita menikmati cahaya listrik, tetapi lupa harus ada bukit yang digunduli untuk mengalirkannya. Bencana adalah tadzkirah, peringatan dari langit yang tidak memihak. Ia tidak mengenal pejabat atau rakyat, kaya atau miskin. Ia bekerja dengan hukum sebab-akibat yang ditiupkan Tuhan pada awal penciptaan. Dalam suara angin yang berubah menjadi badai, dalam tanah yang retak tanpa salam, di situlah firman yang tak terucap itu turun: “Kembalilah.”

Tidak ada agama yang membenarkan pengrusakan. Tidak ada kitab suci yang memerintahkan pembakaran hutan. Tidak ada ayat yang memuji bala yang lahir dari kerakusan. Yang ada hanyalah manusia yang menafsirkan amanah sebagai lisensi untuk merampas. Sebelum pohon terakhir tumbang dan suaranya tinggal legenda; sebelum sungai terakhir berubah menjadi air mata; sebelum gunung terakhir kehilangan penopang dan runtuh seperti doa yang kehilangan makna, maukah manusia kembali kepada adab sebagai khalifah?

Kini adalah saatnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk perkembangan ekonomi,  mengendurkan langkah sebelum bumi yang letih ini benar-benar kehilangan suaranya. Sebab setiap yang berulah, setiap yang merusak, setiap tangan yang menodai alam dengan kesengajaan, kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Keadilan Tuhan tidak pernah buta; ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengetuk hati atau mengguncang batas kesadaran. Bumi ini tidak diciptakan untuk mereka yang merasa berkuasa hari ini, tetapi untuk anak-anak yang belum lahir, untuk generasi yang masih berupa doa dalam rahim waktu.

Menunduklah, seperti para sufi yang kembali kepada tanah untuk memahami asal mula dirinya. Sentuhlah bumi dan rasakan getir yang disimpannya, dengarkan bisikan pepohonan yang selama ini kalah oleh deru mesin dan ambisi manusia. Berdirilah di tepi sungai—yang jernih maupun yang telah keruh oleh kesalahan kita sendiri—dan biarkan hati bertanya dengan lirih: “Apakah aku penjaga bumi-Mu, atau perusak yang menodai amanah-Mu?”

Pertanyaan itu adalah pintu taubat, dan setiap pintu yang diketuk dengan kejujuran akan dibukakan oleh-Nya. Sebab bumi, sebagaimana hati manusia, selalu menunggu kesediaan untuk diperbaiki. Pertanyaan itu adalah doa, dan doa adalah cermin. Jawabannya tidak perlu lantang; cukup jujur. Sebab penjaga dan perusak dibedakan bukan oleh seragam, bukan oleh jabatan, tetapi oleh sikap batin: penjaga melihat bumi sebagai titipan, perusak melihatnya sebagai barang dagangan.Jika manusia kembali kepada nurani dan kembali kepada ayat-ayat Tuhan—baik yang tertulis di mushaf maupun yang tum buh sebagai pepohonan—bumi akan kembali membuka tangannya. Hujan turun sebagai berkah, sungai kembali bening, hutan kembali bertasbih, dan angka-angka duka tidak lagi jatuh dari layar berita. Hanya syukur yang tertinggal; syukur karena manusia akhirnya belajar untuk tidak melukai tanah dan tidak menyakiti langit.

Penulis adalah ASN Kementerian Agama / Ketua Letera Sastra Banyuwangi


SMPQ Akmalul Muhsinin Banyuwangi Bina 7 Karakter Siswa Berakhlak Santri

 



Yayasan Akmalul Muhsinin yang sudah satu dasawarsa mendidik dan mencetak santri yang bisa baca kitab kuning metode amsilati dan hafidz 30 juz, tahun ajaran baru 2026-2027 menorehkan sejarah dengan mendirikan SMP Qur’an Akmalul Muhsinin dengan memadukan kurikulum nasional dan berbasis pondok pesantren.

Selama ini santri tingkat SMA menempuh pendidikan formal di MA Baiturrahman, MAN, SMKN atau SMK swasta. Sedang jenjang SMP ikut sekolah terbuka filial SMPN 2 Kalipuro. Dan santri putra-putrinya banyak dari Kalipuro, Muncar, Srono, Kabat,Sempu hingga Kalibaru. Kalau luar kota ada dari Bali, Pasuruan dan Madura.
“Kami juga bina yatim piatu LKSA Graha Anak Sholeh yang gratis semua kebutuhan pendidikan maupun urusan dapur! ” tutur pengasuh KH Imam Hasan Thaha alumni Ponpes Al Amien Prenduan Madura yang pernah pimpin LAKZIZ Baiturrahman dan Kini Salah Satu Ketua Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi ini.

Ditemui media ini saat pimpin rutinan Majelis sholawatan dan dzikiir di Ponpes yang berdomisili di Jl Kopral Sanusi 32 Karangbaru Kelurahan Panderejo ini, SMPQ dengan metode I’Rab yang mempelajari Al-Qur’an dengan makna dan tehnis pedomannya, menurut KH Imam Hasan Thoha ini merupakan satu-satunya di Banyuwangi. “Hingga santri tak hanya hafal tapi juga paham dan bisa mengajarkan ke adik kelas maupun sudah siap khotbah! ” ujar khotib banyak masjid ini seraya mohon doa restu semangat syair tombo ati wali soal perjuangan mendirikan SMPQ Akmalul Muhsinin dengan harapan 2 rombel putra dan putri. Untuk kelas dan asrama putra disiapkan bangunan di Jalan Mahakam Mojoroto Penataban Giri.

Kepala SMPQ Akmalul Muhsinin, H. Wawuh Sondi Purnomo, ST, Gr ungkapkan lembaganya mengikuti kurikulum Kemen dikdasmen yang dipadukan Diniyah sesuai harapan orangtua era kini.”Selain menerapkan rutin olahraga Anak Indonesia Sehat dan 7 kebiasaan Anak Indonesia Hebat, kami juga punya 7 karakter yang istiqomah seperti rutin berjamaah sholat fardhu, istighotsah, dan mendoakan orangtua dan leluhur sesuai sunah nabi. Membaca Al-qur’an pasti karena ada program hafidz dan target khatam kitab kuning dan kitab dasar lainnya! ” tegas Wakil Manajemen Mutu SMKN 1 Kalipuro yang juga Ketua ranting NU dan Penggurus BKPRMI ini.

H.Wawuh Sondi Purnomo dan KH.Hasan Imam Thaha


Yang jelas visi misi kami menyiapkan peserta didik berakhlaqul karimah berjiwa kader qur’ani, unggul dalam iptek serta bersemangat keindonesiaan menyongsong generasi emas 2045 dan berwawasan global. “Dan kami siapkan pembina dan pelatih untuk kompetisi dan meraih prestasi sesuai bakat minatnya seperti hafidz, pidato, baca puisi, kaligrafi maupun ekstra khitobah juga dilatih MC dan hadrah! ” tambah H Wawuh yang pernah ke Singapura, Qatar dan Mekkah-Madinah ini.

Untuk yang membutuhkan informasi soal SPMB SMP Qur’an Akmalul Muhsinin Banyuwangi bisa silaturahmi atau komunikasi dengan panitia narahubung Jainul Abidin WA 083875684605 atau bisa langsung ke 081281856321(.Aguk Wahyu Nuryadi)


 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger