Larung Secaji di Kampung Mandar: Ketika Laut Menjadi Doa yang Tak Pernah Usai
oleh: Syafaat
Malam ini angin dari Teluk Boom datang tanpa rencana, seperti seseorang yang lewat di depan rumah dan tiba-tiba ingin berhenti sebentar untuk mendengarkan apa yang sedang dibicarakan manusia. Angin itu duduk bersama kami, bersama para tetua Kampung Mandar yang berkumpul untuk selamatan kecil sebelum larung secaji besok pagi. Di bawah langit yang menggantungkan aroma garam, saya merasa laut di depan kami sedang mengingat sesuatu: mungkin luka lamanya sendiri, mungkin doa-doa yang pernah dititipkan orang-orang yang sudah lama pergi.
Di tengah percakapan para tetua, ada seorang remaja putri—wajahnya tenang, matanya jernih—ditunjuk ketua adat untuk menceritakan sejarah. Ia berbicara pelan, seperti berusaha tidak membangunkan sesuatu yang sedang tidur di balik masa lalu. Ada jarak tipis antara suaranya dan waktu yang ia ceritakan, jarak yang justru membuat kisah itu terasa lebih nyata.v
Ia bercerita tentang bagaimana leluhur Mandar datang ke Blambangan. Para pelaut yang singgah di Ulupampang—sekarang Muncar—lalu berpindah ke pesisir Boom ketika Belanda mulai mengotak-ngotakkan kampung seperti menata warna kuning dan biru di kain batik. Tentang Raja Blambangan yang mengundang mereka memperkuat armada laut, bukan karena membaca catatan sejarah, tetapi karena melihat keberanian yang tumbuh dari garam dan badai.
Cerita yang keluar dari mulut seorang remaja membuat sejarah itu seperti seseorang yang belum selesai berpamitan. Kita bisa merasakannya berjalan pelan di gang-gang Mandar; mungkin masih memegang kemudi perahu yang dulu dipakai mengusir kapal-kapal VOC.
Rumah-rumah panggung yang mereka bangun tampak seperti pengingat bahwa manusia harus bersiap untuk apa pun. Laut bisa jinak hari ini dan marah besok pagi. Rumah itu bukan bentuk ketakutan; lebih seperti cara halus untuk memberi tahu laut: Kami tahu siapa kamu, dan kami menghormatimu.
Di situlah letak religiositas orang Mandar yang paling awal—iman yang diam-diam, tidak perlu pengucapan, hanya perlu kecakapan membaca bahaya. Doa bisa lahir dari kemampuan manusia menjaga hidup yang dititipkan Tuhan kepadanya.
Mata pencaharian mereka adalah laut. Tetapi bagi orang Mandar, laut bukan tempat bekerja; laut adalah lawan bicara yang tidak bisa disuap. Mereka membuat dan menjual garek—umpan pancing—seperti menjual peluang kecil yang bisa mengubah hari seseorang. Dan di setiap kansen kecil itu, ada doa yang tidak pernah disebutkan dengan suara.
Tradisi mereka berjalan seperti air yang tidak pernah berhenti mencari jalannya sendiri. Saulak sebelum pernikahan. Petik Laut yang dilayarkan dalam bentuk kepala sapi. Keyakinan lama yang berdampingan dengan sholawat tanpa pernah saling berteriak. Laut dan Tuhan berdampingan seperti garis pantai dan ombak—tidak bersatu, tapi tidak mungkin dipisahkan.
Malam ini sholawat dibaca di tepi pantai. Suaranya terbang, dibawa angin ke arah gelap yang tidak terlihat. Mungkin begitulah cara Tuhan membiarkan manusia mengembalikan sunyi kepada-Nya: lewat ombak, lewat napas air asin.
Remaja putri itu menyebut nama Tuk Kapitan. Pemimpin komunitas Mandar pada masa kolonial. Saya membayangkan ia masih berdiri di langit-langit rumah panggung, masih mengawasi Teluk Boom yang dulu menjadi jalur penting antara Jawa dan Bali. Orang Mandar tidak hanya menjaga laut; mereka menjaga cerita agar Blambangan tetap punya tulang punggung.
Menarik melihat anak-anak muda Mandar hari ini menari Gandrung Sewu. Tarian Banyuwangi. Tarian yang tidak lahir dari kampung leluhur mereka. Tetapi mereka menari tanpa kehilangan Mandarnya. Mereka bisa menari apa saja, bisa ikut tradisi siapa saja, tetapi tetap berdiri di atas tanah yang masih dikenali oleh nenek moyang mereka. Tidak ada yang saling meniadakan. Tidak ada yang harus hilang untuk sesuatu yang lain bisa hidup.
Orang Mandar memang seperti pelaut: mereka membaca arus, lalu memilih arah yang paling selamat, bahkan ketika arah itu tampak mustahil.
Di tengah obrolan malam, saya menangkap satu pelajaran yang sesederhana cahaya lampu minyak: laut mendidik manusia menjadi rendah hati. Rezeki tidak akan habis selama manusia tidak serakah kepada sumbernya. Syukur tidak harus dikeraskan; cukup diturunkan dalam bentuk sesaji dan dibiarkan ombak mengantarkan sisanya.
Bagi orang Mandar, syukur kepada Tuhan tidak berhenti di masjid. Syukur harus sampai ke laut. Karena laut adalah tempat di mana mereka hidup, gagal, ditegur, dan dipelihara.
Saya melihat sholawat bercampur dengan aroma garam. Saya melihat tradisi Mandar berdiri berdampingan dengan tradisi Banyuwangi tanpa saling melukai. Saya melihat generasi muda yang menari dengan dua identitas yang tidak saling berebut. Dan saya melihat laut seperti ayat panjang yang tidak pernah selesai dibaca.
Malam ini bukan sekadar sajian makanan atau tarian khas Mandar yang ditampilkan. Ada keris-keris tua, senjata-senjata kuno yang dipamerkan seperti benda yang sedang menunggu seseorang mengingat namanya. Saya tidak tahu persis nama senjatanya, tapi saya tahu satu hal: benda-benda itu pernah menjadi saksi ketika penjajah mencoba menaklukkan kampung ini. Ia pernah berada di tangan seseorang yang mempertaruhkan hidupnya di gelombang yang tidak ramah.
Besok pagi, sesaji akan dilarungkan. Ombak akan menerimanya tanpa suara, seperti menerima rahasia yang sudah lama menunggu untuk kembali. Dan mungkin Tuhan mendengarnya, dengan cara yang tidak perlu dijelaskan. Karena doa-doa yang datang dari laut selalu menemukan jalan pulang.
Kampung Mandar Banyuwangi, 09–11–2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar