Motivasi di Balik Ayat-Ayat Suci
oleh : Syafaat
Sore itu menjelang ashar. Udara Jember masih hangat, langit mendung separuh jingga, dan langkah-langkah kecil menuju sebuah gedung dekat GOR Kaliwates terasa seperti perjalanan yang sederhana namun penuh makna. Di tangan ada sebuah tanggung jawab kecil: mengantar peserta musabaqah hifdzil qur’an. Tidak ada sambutan megah, tidak ada karpet merah. Hanya sebuah kesadaran bahwa kehadiran, sekadar hadir, sekadar menatap, sekadar mendampingi, adalah bentuk motivasi yang tidak bisa dianggap remeh.
Orang kadang melupakan hal-hal kecil yang memberi kekuatan. Sebagian besar kita mengira bahwa motivasi hanya lahir dari kata-kata besar, pidato panjang, atau janji kemenangan. Padahal, sering kali yang dibutuhkan anak-anak itu hanyalah seseorang yang menemani mereka berjalan menuju sebuah gedung perlombaan. Karena percaya diri adalah setengah dari kemenangan. Dan percaya diri itu, kadang, lahir dari mata orang lain yang menatap mereka dengan kasih.
Anak-anak itu, dengan wajah polos, berdiri di depan pintu gedung. Ada yang sibuk merapikan jilbabnya, ada yang memegang lembaran mushaf kecil untuk mengulang hafalan, ada yang hanya diam sambil menunduk, menahan degup jantung yang semakin cepat. Setiap orang punya caranya sendiri menghadapi detik-detik menjelang giliran tampil.
Saya melihat beberapa anak SMP datang dengan gurunya. Kepala sekolah mereka ikut mengantar, bahkan sempat mengambil foto di depan backdrop sederhana yang dipasang panitia. Foto itu mungkin akan dikirim ke grup WhatsApp sekolah, menjadi laporan, atau sekadar tanda bahwa mereka sudah hadir. Namun, lebih dari sekadar laporan, kehadiran guru mereka adalah cahaya kecil yang menyala di hati peserta.
Anak-anak yang datang tidak selalu paham arti kemenangan. Mereka hanya tahu bahwa ada ayat-ayat suci yang telah mereka hafalkan, dan hari itu mereka diminta untuk melantunkannya. Bagi sebagian besar dari mereka, keberanian untuk berdiri di depan orang banyak sudah merupakan kemenangan tersendiri. Mereka mungkin tidak mengejar juara, tidak mencari piala, tidak berharap pada sertifikat. Yang mereka kejar hanyalah mempersembahkan yang terbaik dari hafalan yang menempel di hati. Dan bagi mereka, ayat-ayat itu bukan sekadar deretan huruf. Al-Qur’an adalah tubuh cahaya, yang bertubuh indah saat dilantunkan, yang bertugas maknanya ketika dihayati, dan yang tidak akan lekang oleh perkembangan zaman.
Saya teringat sebuah kalimat lama: “Kehadiran adalah bentuk cinta yang paling sederhana, dan mungkin yang paling penting.” Betapa benar kalimat itu. Seorang anak yang berjalan menuju panggung dengan ditemani orang tuanya, akan tampil lebih percaya diri dibanding anak yang berjalan sendirian. Seorang remaja yang menoleh dan menemukan gurunya duduk di bangku penonton, akan melantunkan ayat dengan lebih tenang. Karena sesungguhnya, kehadiran adalah doa yang menjelma bentuk.
Musabaqah hifdzil qur’an, atau lomba hafalan Al-Qur’an bukanlah ajang biasa. Di sana, setiap kata adalah cahaya, setiap huruf adalah doa. Mereka yang menghafalnya tidak hanya sedang mengumpulkan kata, tetapi sedang membangun benteng di dalam dirinya. Banyak orang percaya bahwa penghafal Al-Qur’an diberi keistimewaan: otaknya terlatih untuk menyimpan, hatinya terlatih untuk menjaga, jiwanya terlatih untuk bersih. Maka tak heran bila banyak dari mereka yang kelak tumbuh menjadi manusia-manusia cemerlang di bidang apa pun. Ada yang menjadi dokter, ada yang menjadi insinyur, ada pula yang menjadi pemimpin. Sebab, mereka telah terbiasa merawat sesuatu yang suci di dalam kepala dan hatinya.
Saya teringat satu cerita. Seorang kawan lama pernah berkata bahwa ia tidak pandai menghafal pelajaran sejarah di sekolah. Nama-nama tokoh dan tanggal peristiwa selalu berlarian dari kepalanya. Tapi anehnya, ketika ia mencoba menghafal satu surah pendek dalam Al-Qur’an, ia bisa menyimpannya dengan cepat. Ia heran sendiri. Kemudian ia menyadari, bukan karena dirinya lebih cerdas. Tetapi karena Al-Qur’an memang memiliki irama, struktur, dan keseimbangan yang membuatnya mudah masuk ke dalam ingatan. Ayat-ayat itu seperti musik yang tidak pernah lekang, yang terdengar sama di setiap tempat, di setiap lidah, di setiap zaman.
Tidak seperti kitab-kitab lain yang harus diterjemahkan dan bisa kehilangan sebagian maknanya, Al-Qur’an tetap sama di manapun. Huruf-hurufnya tidak berkurang, tidak bertambah, tidak berubah. Itulah mengapa menghafalnya bukan sekadar latihan mengingat, melainkan latihan menjaga kesetiaan pada sesuatu yang tetap. Sore itu, aku melihat seorang anak laki-laki duduk di pojok ruangan. Wajahnya serius, bibirnya bergerak pelan, matanya menunduk pada mushaf kecil yang sudah lusuh. Sesekali ia berhenti, menutup mata, seolah mengulang ayat di dalam hati. Aku teringat pada kalimat lain: “Al-Qur’an tidak hanya dibaca dengan mulut, tetapi juga dengan hati.”
Dan di sana, di wajah anak itu, saya melihat kebenaran kalimat itu. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an, bahkan dari mulut anak-anak, adalah keberkahan. Setiap huruf yang terucap menghunjam dada, menyentuh sanubari. Kita mungkin tidak selalu mampu menghafalnya, tapi telinga yang ikhlas mendengar bisa menjadi pintu masuk bagi cahaya-Nya. Ada kalanya, doa seorang ibu yang membacakan Al-Qur’an untuk anaknya jauh lebih kuat daripada seribu nasihat. Ada kalanya, suara anak-anak yang melantunkan ayat lebih murni daripada suara para qari dewasa yang sudah terbiasa tampil. Karena di dalam suara yang polos itu, tidak ada ambisi lain selain mempersembahkan ayat Tuhan dengan sebaik-baiknya.
Al-Qur’an memang berbeda. Ia tidak sekadar kitab. Ia mukjizat. Ia bisa didengar oleh bayi dalam kandungan. Bahkan, para ibu yang sedang hamil sering membacakan ayat-ayat Al-Qur’an agar anak yang dikandungnya tumbuh dengan sifat-sifat mulia. Nada bacaan Al-Qur’an, kata mereka, bisa membuat detak jantung bayi lebih teratur, lebih sehat, lebih tenteram. Dan benar saja, setiap kali ayat-ayat itu dibacakan, suasana ruangan berubah. Ada ketenangan yang turun. Ada kedamaian yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Hari itu di Jember, saya menyaksikan semua itu. Anak-anak SMP yang baru selesai sekolah, datang dengan baju rapi. Guru-guru yang sabar menunggu mereka di luar ruangan. Orang tua yang menatap dari kejauhan dengan doa yang tak terucap. Semuanya berkumpul bukan hanya untuk sebuah lomba. Mereka berkumpul untuk merayakan cahaya yang tidak akan pernah padam. Dan aku belajar satu hal: bahwa kemenangan sejati bukanlah piala yang dibawa pulang. Kemenangan sejati adalah keberanian untuk berdiri, melafalkan ayat Tuhan dengan percaya diri, dan menyadari bahwa di setiap huruf yang diucapkan, ada cahaya yang turun, ada doa yang mengalir, ada kasih yang melingkupi. Sore itu menjelang ashar, di sebuah gedung sederhana dekat GOR Kaliwates, aku tahu bahwa motivasi terbesar sesungguhnya bukanlah kata-kata. Motivasi terbesar adalah hadir.
Hadir untuk mendengar.
Hadir untuk menemani.
Hadir untuk percaya.
Bahwa setiap anak yang melafalkan Al-Qur’an, sedang menjadi jembatan bagi cahaya yang abadi untuk sampai pada kita semua.
Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar