Pages

Home » » Cahaya di Lorong Kesederhanaan: Renungan Pagi dari Masjid Ar Royan

Cahaya di Lorong Kesederhanaan: Renungan Pagi dari Masjid Ar Royan

 Renungan Pagi  dari Masjid Ar Royan

Oleh: Chaironi Hidayat


Pagi itu, masjid Ar Royan di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi terasa berbeda. Semestinya ada suara ustaz yang membimbing kita memasuki hari, membuka ruang-ruang hati dengan tausiyah, menguatkan langkah dengan doa. Suara yang biasanya membawa kita ke lorong-lorong hikmah—kadang sederhana, kadang rumit, tapi selalu menyisakan bekas di dada. Namun, pagi itu ia tak datang. Ustaz itu sakit, lalu izin. Dan kita pun duduk bersama dalam keheningan yang asing, dalam ruang kosong yang justru penuh makna.

Ketiadaannya ternyata menghadirkan pelajaran baru. Pelajaran yang mungkin lebih dalam daripada isi ceramah yang seharusnya kita dengar: bahwa manusia rapuh, tetapi ilmu tidak boleh berhenti. Bahwa sakit, absen, bahkan kematian sekalipun bukan alasan bagi cahaya untuk padam. Ilmu harus tetap berjalan, meski dengan suara lain, meski dengan cara yang tak pernah kita rencanakan.

Dan kita pun menoleh ke belakang. Ke Ramadan yang baru saja lewat. Ramadan yang menyisakan aroma kopi di meja, tikar yang digelar di aula, serta kitab kecil yang setiap hari menemani kita: Arba’in An-Nawawi. Kitab tipis, empat puluh hadis, sederhana bentuknya, kecil ukurannya. Namun, dari halaman-halaman ringkas itu lahirlah cahaya yang melampaui ukuran buku, bahkan melampaui ukuran manusia. 


Saya masih ingat ketika hadis ke-13 dibacakan. Hadis itu sederhana, seolah biasa, namun ia menyalakan cahaya kecil. Cahaya yang tidak meledak seperti kembang api, tidak menyalak seperti petasan, tetapi merembes pelan, merasuk ke hati, lalu menetap di sana. Itulah bedanya ilmu dengan tontonan. Ilmu tidak harus riuh, cukup ia menetes perlahan, lalu menumbuhkan akar yang dalam.

Sanad hadis itu bahkan sampai kepada saya. Seperti kejutan yang tak pernah saya bayangkan. Rasanya seperti Allah membukakan jalan pintas—sebuah bypass menuju kedalaman ilmu. Padahal dulu, sanad itu hanya saya temui di pondok sederhana, di malam-malam panjang bersama kitab kuning yang aromanya masih melekat dalam ingatan: bau kertas tua, tinta samar, doa-doa guru yang lirih tapi kuat, menempel di telinga para santri. Ilmu di sana bukan sekadar bacaan. Ia adalah napas. Ia pengingat, bahwa agama bukan hiburan.

Sayangnya, hari ini saya sering melihat ilmu berubah menjadi tontonan. Ceramah-ceramah lebih ramai karena kelucuan penceramah, bukan ketajaman nasihatnya. Jamaah pulang dengan cerita, “Tadi lucu sekali!”—bukan dengan hati yang tercerahkan. Dakwah diperas menjadi sekadar pertunjukan. Pertunjukan, seperti semua hiburan lain, hanya menyisakan tawa yang cepat pudar setelah keluar dari pintu masjid. Apakah itu yang kita mau? Agama dijadikan topeng agar acara terlihat meriah, penuh gelak, penuh tepuk tangan?

Dulu, para kiai berbicara dengan kesungguhan. Suara mereka tidak mengundang tawa, tapi meluruskan arah. Orang pulang dari pengajian dengan wajah tanpa senyum, namun dengan hati yang lebih terang. Kini, banyak orang pulang hanya mengingat guyonan. Dan agama pun perlahan direduksi menjadi panggung hiburan.

Rasulullah mengajarkan kita logika yang lain. Logika yang sering tidak enak di mata manusia. Lihatlah Perjanjian Hudaibiyah. Di mata para sahabat, itu aib. Umar marah, para sahabat gelisah. Namun Rasulullah menerimanya. Sebab beliau tahu, logika Allah lebih luas daripada logika manusia. Dari perjanjian yang tampak merugikan itulah pintu-pintu cahaya terbuka. Mekkah kemudian menerima Islam. Logika langit sering tampak sebagai luka di bumi, tapi dari luka itulah tumbuh cahaya.

Pertanyaannya, apakah kita masih belajar dari logika itu? Ataukah kita sibuk mencari ustaz yang paling pandai menghibur, yang paling viral di media sosial, yang ceramahnya dipotong-potong agar pas dijadikan konten?

Agama kehilangan wibawa ketika ia dipaksa mengikuti selera pasar. Padahal agama bukan barang dagangan. Ia bukan produk yang harus dibungkus dengan humor agar laku. Agama adalah napas panjang yang melatih kesabaran, mendidik keteguhan, dan mengajarkan manusia untuk tahan terhadap luka.

Kementerian Agama, tempat kita bernaung, jangan sampai kehilangan ruh agamanya. Ia bukan sekadar kantor dengan daftar hadir, rapat, dan laporan formal. Seharusnya ia menjadi jantung yang memompa darah spiritual bagi masyarakat. Betapa ironis bila kementerian ini sibuk dengan administrasi, tapi melupakan inti dari namanya sendiri: agama.

Bayangkan bila suatu hari Kementerian Agama hanya tinggal kantor dingin, penuh tanda tangan dan arsip, tapi kosong dari dzikir. Betapa ganjil, bila kementerian yang bernama “agama” justru kehilangan agama.

Kita butuh ruang-ruang seperti pengajian sederhana ini. Ruang yang kadang ada karena “darurat penceramah”. Namun justru dari kesederhanaan itu kita belajar melihat wajah satu sama lain, menyapa, meneguhkan iman. Di ruang sederhana itu, cicilan terasa lebih ringan, kesulitan rumah tangga lebih bisa ditanggung, dan doa-doa naik seperti asap tipis menuju langit. Logika Allah selalu lebih besar dari logika kita. Tugas kita bukan sekadar menghafal, tetapi menjadikannya jalan hidup.

Semoga kita tidak tergelincir dalam formalitas agama. Semoga kita tidak berhenti pada lucunya ceramah. Semoga kita kembali belajar dengan sabar, beribadah dengan ikhlas, dan mencintai Rasulullah bukan hanya di panggung maulid, tetapi dalam denyut kehidupan sehari-hari.

Karena jika kementerian ini kehilangan agama, apa lagi yang tersisa?


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger