Langsung ke konten utama

Penyuluh di Jalan Sunyi

 “Penyuluh di Jalan Sunyi”

Oleh : Lensa Banyuwangi

Di banyak desa, di kampung yang terhubung oleh jalan setapak dan jembatan kayu, ada sosok yang datang bukan untuk menjual barang dagangan atau menawarkan pinjaman. Mereka tidak membawa brosur paket wisata, tidak mengajak orang mengunduh aplikasi, dan tidak memaksa tanda tangan di atas formulir. Mereka datang dengan langkah yang biasa saja, membawa tas yang tak selalu rapi, berisi buku catatan, selembar kertas materi, dan kadang sebungkus kacang rebus dari rumah.b



Mereka disebut penyuluh agama. Nama itu terdengar resmi, bahkan sedikit kaku. Ada peraturan yang menaunginya: PermenPAN-RB Nomor 9 Tahun 2021. Di dalamnya, dua tugas utama tertulis jelas bimbingan atau penyuluhan, dan pengembangan bimbingan atau penyuluhan agama. Kalimat-kalimat itu rapi, seperti meja kerja yang baru dibersihkan. Tetapi begitu keluar dari halaman peraturan, masuk ke lapangan, ke rumah-rumah warga, ke serambi masjid, ke balai dusun yang catnya mulai pudar, kalimat itu berubah menjadi percakapan yang cair.

Di tempat-tempat seperti itulah bimbingan terjadi. Kadang dimulai dari obrolan singkat soal harga gabah, lalu mengalir ke masalah keluarga, lalu diam-diam menyentuh hati. Kadang dimulai dari tanya-jawab anak-anak remaja tentang pergaulan, yang pelan-pelan berubah menjadi diskusi panjang soal mimpi dan masa depan.


Bimbingan dalam definisi resmi pasal tidak hanya berarti menyampaikan informasi keagamaan. Ia adalah proses yang merangkai banyak unsur: komunikasi, motivasi, konseling, edukasi, fasilitasi, dan advokasi. Tujuannya bukan hanya agar masyarakat tahu, tapi agar mereka berubah: lebih baik perilakunya, lebih sehat pemahamannya, lebih siap berperan dalam pembangunan sosial dan keagamaan.

Tugas ini tidak ringan. Apalagi ketika penyuluh harus menghadapi latar belakang yang beragam. Ada penyuluh yang memang sejak awal menempuh pendidikan agama, paham betul seluk-beluk materi. Ada pula yang datang dari jalur berbeda, yang harus belajar cepat sambil menyesuaikan diri dengan medan tugas. Dan lapangan bukanlah ruang steril, ada persoalan warga yang rumit, ada perbedaan pandangan, ada juga jarak kepercayaan yang harus dijembatani.

Namun, di antara semua itu, ada penyuluh yang bekerja dengan hati penuh. Mereka hadir di lapangan bukan sekadar untuk memenuhi target laporan. Lembar laporan mereka bukan formalitas; ia memuat kegiatan nyata, kelompok binaan yang benar-benar ada, foto-foto yang diambil dari pertemuan yang sungguh terjadi. Mereka mengenal satu per satu orang yang dibimbingnya, tahu siapa yang sedang sakit, siapa yang anaknya baru lulus sekolah, siapa yang diam-diam sedang menghadapi krisis rumah tangga.

Penyuluh seperti ini sering berjalan tanpa sorotan. Tidak masuk berita. Tidak mendapat ucapan terima kasih yang megah. Tetapi di lingkungan mereka, kehadirannya terasa. Mereka mengajari remaja menjaga diri dari godaan zaman, menguatkan pasangan suami-istri yang hampir menyerah, mengadakan dialog dengan tokoh lintas iman untuk mengusir prasangka, dan menanamkan kepada masyarakat bahwa agama bukan sekadar ibadah pribadi, tapi juga urusan menjaga harmoni hidup bersama.

Menjadi penyuluh berarti siap berjalan di jalan sunyi. Tidak ada riuh tepuk tangan, tidak ada sambutan yang meriah. Hasil kerjanya jarang tampak besar di awal. Perubahan datang perlahan, dari percakapan singkat di teras rumah, dari kunjungan rutin yang nyaris tak pernah putus, dari kehadiran yang setia bahkan ketika tak diminta.

Tapi jalan sunyi ini tidak boleh dilalui sendirian tanpa bekal. Dukungan dari instansi pembina menjadi penting. Pelatihan, penguatan metodologi, pemanfaatan teknologi, hingga evaluasi yang adil adalah kebutuhan yang tak bisa diabaikan. Penyuluh yang serius butuh ruang untuk berkembang, sementara yang masih tertatih butuh bimbingan yang sabar dan berkelanjutan.

Di era digital, medan penyuluhan telah berubah. Ceramah di balai desa bisa diperluas menjadi video singkat di media sosial. Diskusi tatap muka di mushola bisa dilanjutkan dengan grup daring yang menjaga komunikasi. Anak-anak muda yang sulit duduk lama di pengajian bisa disentuh lewat konten kreatif yang mereka temui di ponsel.

Meski begitu, teknologi hanyalah alat. Inti dari pekerjaan penyuluh tetaplah sama: membangun kedekatan, menumbuhkan kepercayaan, menyalakan harapan. Tidak ada aplikasi yang bisa menggantikan tatapan mata yang tulus atau tepukan di bahu yang menguatkan.

Mungkin di masa depan, penyuluh agama akan lebih dikenal sebagai agen perubahan sosial. Bukan karena mereka sering tampil di panggung besar, tapi karena masyarakat merasakan hasil kerja mereka: keluarga yang lebih harmonis, remaja yang punya arah, komunitas yang saling menghormati.

Dan pada akhirnya, penyuluh tetap akan berjalan di jalan sunyi itu. Jalan yang jarang dipilih orang, tapi menjadi nadi bagi kehidupan bersama. Mereka akan terus membawa pesan yang sama, yang tak lekang oleh waktu: bahwa agama adalah tentang membangun, merawat, dan memberi manfaat bagi sesama, tanpa pamrih, tanpa lelah, tanpa berhenti di tengah jalan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...