Menyelami Kisah Para Pejuang Veteran
Di tengah gegap gempita peringatan Hari Veteran Nasional
ke-68 dan menyambut Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-80, sekelompok anak muda dari
Perkumpulan Komunitas Gotong Royong 45 bersama beberapa jurnalis Media pemberitaan
Online, Penerbit dan Podcaster melakukan sebuahkegiatan yang tak biasa. Bukan
sekadar kunjungan atau perjalanan formal, melainkan sebuah upaya menyentuh
langsung denyut nadi sejarah melalui para pelakunya—dua sosok veteran
Banyuwangi, IGB Sudharma dan Mayor Saimah, S.Hub. Int.
Sebelumnya, rombongan juga telah menyambangi dua perempuan
tangguh, Chasiastoetie (85) dan Wahyuni Oneng (89), istri para pejuang yang
telah berpulang. Mereka adalah bagian dari sejarah yang seringkali
terlupakan—para perempuan yang mendampingi, mendukung, dan turut merasakan
getirnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Dialog dengan Sang Petarung: IGB Sudharma dan Kenangan
yang Tak Pernah Pudar
Di kediamannya yang sederhana di Perumahan Kalipuro Asri,
IGB Sudharma menyambut tamu-tamunya dengan senyum hangat. Namun, sorot matanya
masih tajam, mengingatkan kita pada seorang prajurit yang pernah berdiri di
garis depan. Dipandu oleh Kang Heri Iskandar, pria yang pernah bertugas di
Timor Timur ini membuka lembaran kenangan yang penuh dengan heroisme dan
pengorbanan.
"Saat itu, kami bukan hanya berperang melawan musuh,
tapi juga melawan rasa takut dan lelah," ujarnya, sambil menunjukkan bekas
luka di lengannya—sebuah tanda nyata dari pengabdiannya.
Yang menarik, di balik sosoknya yang tegas, tersimpan jiwa
seni yang mendalam. Ia bukan hanya jago bela diri, melainkan juga seorang
penyair. Saat membacakan puisinya, Balada Seorang Veteran, suaranya
bergetar. Puisi itu bukan sekadar rangkaian kata, melainkan ruh dari setiap
malam yang dihabiskannya di medan perang, di antara desing peluru dan dinginnya
bumi pengasingan.
Mayor Saimah: Perempuan Besi dengan Hati yang Lembut
Perjalanan berlanjut ke kediaman Mayor Saimah, seorang
veteran perempuan yang membuktikan bahwa dunia militer bukan hanya dominasi
laki-laki. Dengan seragam kebanggaannya, ia bercerita tentang pengalamannya
sebagai bagian dari Satgas Indobat XXIII-H Unifil di Lebanon dan UN Military
Staff di Afrika Tengah. Tak hanya itu, ia juga pernah menjadi ajudan dari Ibu Negara
Ani Bambang Yudhoyono.
Tapi siapa sangka, di balik ketegasannya, Saimah adalah
seorang penari dan penulis puisi. Ia membacakan karyanya, Masa Transisi,
dengan lantang namun penuh perasaan. "Kami berjuang bukan untuk disebut
pahlawan, tapi agar generasi setelah kami bisa hidup damai," katanya.
Tak hanya itu, ia juga mengabdikan diri di dunia kesehatan
dengan mengelola klinik terapi. "Pengabdian tidak harus selalu dengan
senjata," ujarnya.
Mengabadikan Cerita, Menyalakan Api Semangat
Kegiatan ini bukan sekadar seremonial. Para jurnalis dan
podcaster yang turut serta diharapkan bisa menjadi corong, menyebarkan
kisah-kisah ini ke seluruh penjuru negeri. Seperti kata Bung Aguk, Ketua
Komunitas Gotong Royong 45, "Veteran adalah buku sejarah yang berjalan.
Tugas kita adalah membuka halamannya, membacanya, dan meneruskannya kepada
generasi mendatang."
Di akhir acara, pekik "Merdeka!" menggema, bukan
sebagai slogan kosong, melainkan sebagai pengingat bahwa kemerdekaan ini
dibangun di atas pengorbanan yang nyata. Dan hari itu, di Banyuwangi, sejarah
tidak hanya dikenang—tetapi dihidupkan kembali. (AW/AWN/AF)
Komentar
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar