Langsung ke konten utama

Menjadi Intelektual Organik di Tengah Keterbatasan: Refleksi atas Pengalaman Bersama ISNU

 

Menjadi Intelektual Organik di Tengah Keterbatasan: Refleksi atas Pengalaman Bersama ISNU

Oleh: Syafaat

Ada banyak organisasi yang bisa diikuti oleh mereka yang pernah mencicip bangku kuliah. Ikatan alumni, baik alumni kampus mapun alumni organisasi ekstra kampus, organisasi masyarakat keagamaan. Beberapa memilih Muhammadiyah, sebagian memilih Nahdlatul Ulama atau yang lain. Sebagian lagi hanya menjadi penonton, menepi dari segala keramaian, dan memilih membaca sunyi.

Tapi bagi aparatur sipil negara, ada batas tipis yang harus dijaga. Panggilan organisasi tak boleh membuat tugas utama terbengkalai. Di meja kerja, laporan harus disusun. Data keagamaan harus diverifikasi. Warga datang dengan urusan pernikahan, perceraian, warisan, hingga anak-anak yang putus sekolah. Tugas-tugas itu tak mengenal musim. Tak ada spanduk, tak ada panggung, tak ada kamera. Tapi semua harus selesai. Dalam situasi seperti itu, organisasi keilmuan menjadi semacam jalan samping yang sunyi, tempat orang-orang berpaling sejenak untuk menyusun ulang makna. Salah satunya adalah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Tidak banyak yang tahu bagaimana ISNU bekerja di daerah. Tidak ada kantor permanen. Rapat kadang di warung kopi. Agenda pelatihan disusun lewat pesan singkat. Tapi justru di tengah keterbatasan semacam itu, kerja-kerja intelektual menemukan ruangnya yang paling otentik. Tidak ada yang mengejar panggung. Tidak ada yang sibuk mengejar pujian. Pengurus ISNU adalah para guru, dosen, ASN, peneliti muda, dan mahasiswa pascasarjana yang pulang kampung. Mereka tak pernah diberi gaji bulanan. Tapi setiap pekan, mereka datang: memberi pelatihan literasi, menyusun modul moderasi beragama, menjadi narasumber untuk forum kecil, menyambangi sekolah-sekolah yang nyaris dilupakan.

Di tangan mereka, ilmu tak hanya berada di ruang kelas. Ilmu menjelma menjadi suara yang menenangkan anak-anak muda. Menjadi nasihat yang bisa dipahami oleh petani. Menjadi semangat bagi ibu-ibu yang sedang membuka kelompok belajar. Ilmu, di sini, bukan untuk menara gading, tapi untuk jalanan desa yang tak beraspal. Antonio Gramsci pernah menyebut tentang "intelektual organik",  mereka yang tidak terpisah dari masyarakat, melainkan tumbuh bersama denyut nadinya. Dalam tubuh ISNU, istilah itu mendapat wajahnya yang baru. Tidak perlu nama besar. Tidak perlu pidato hebat. Cukup dengan kehadiran yang konsisten, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana.

Pierre Bourdieu menyebut kerja semacam ini sebagai bagian dari habitus. Tidak spektakuler, tidak viral, tapi terus-menerus mengakar. Kapital kultural yang lahir dari proses seperti itu tak selalu dicatat dalam jurnal ilmiah. Tapi bisa ditemukan dalam cara orang mendengar, cara mereka berubah, cara mereka mulai berani berbicara di depan forum. Ilmu yang dikejar demi ranking dan pengakuan cenderung mudah kering. Tapi ilmu yang dipraktikkan dalam kesunyian, justru tumbuh menjadi akar yang kuat. Dalam pelatihan-pelatihan ISNU, materi disampaikan dengan spidol yang mulai pudar. Slide presentasi diputar dengan laptop pinjaman. Tapi tak ada yang mengeluh. Karena yang dibangun bukan citra, melainkan kesadaran.

Banyak orang sibuk m


engejar publikasi. Sibuk menulis untuk jurnal yang tak pernah dibaca oleh petani atau guru madrasah. Tapi di ruang kecil tempat ISNU bekerja, ilmu menjelma menjadi diskusi tentang pola asuh, tentang ekonomi keluarga, tentang ketahanan pangan. Mereka tidak bicara tentang teori besar. Tapi membahas bagaimana cara menghidupkan kembali kelompok tani, atau membangun rumah baca di mushola. Di dunia yang dikuasai algoritma, kerja semacam ini dianggap pinggiran. Tapi justru dari pinggiranlah kehidupan sering dimulai. Dari obrolan setelah isya, dari pertemuan tak resmi di emperan kantor, dari sapaan kepada anak-anak sekolah yang pulang jalan kaki. ISNU tidak dibangun dengan semangat korporasi. Tapi dengan keikhlasan yang kadang sulit dinalar.

Banyak organisasi yang lahir untuk menjadi besar. Tapi ISNU tumbuh pelan-pelan. Kadang hanya dua orang yang datang ke rapat. Kadang harus patungan membeli air mineral untuk peserta pelatihan. Tapi yang sedikit itu pun tetap berjalan. Karena dalam dunia kerja sunyi, ukuran bukan pada jumlah, tapi pada keberlanjutan.

Tugas aparatur sipil negara tidak pernah mudah. Di satu sisi ada target administrasi, di sisi lain ada kebutuhan masyarakat yang tak bisa dibaca dengan angka. Di tengah itu, ISNU hadir sebagai jembatan. Bukan untuk menghindari tanggung jawab, tapi untuk memperluas medan pengabdian. Tugas negara tetap dijalankan. Tapi setelah jam kerja, pengabdian kepada ilmu dilanjutkan. Tak ada honor, tak ada liputan, tak ada tepuk tangan. Hanya secangkir kopi dan wajah-wajah yang tetap datang malam-malam.

Sudah saatnya negara membuka mata. Ada banyak kerja intelektual yang tak terindeks dalam Google Scholar, tapi nyata dampaknya. Ada banyak pengabdian yang tak tertulis dalam laporan proyek, tapi mengubah hidup orang. Negara seharusnya hadir bukan hanya sebagai pemberi perintah, tapi juga pelindung ruang-ruang kecil tempat ilmu dikerjakan dengan cinta.

Tak banyak yang tahu bahwa para sarjana Nahdlatul Ulama tidak hanya sibuk di balik meja kerja atau podium seminar. Ada sekelompok orang yang percaya bahwa pengetahuan yang mereka miliki sebaiknya tidak sekadar diabadikan dalam makalah akademik atau catatan kaki tesis. Mereka memilih jalan yang lebih sunyi: menyusun program, membangun skema pemberdayaan, dan perlahan menyusuri jalan terjal menuju perubahan yang lebih nyata. mereka memberi nama pada arah langkah itu: pemberdayaan sumber daya manusia NU, transformasi digital, dan penguatan ekonomi umat. Tujuannya bukan sekadar menggugurkan kewajiban organisasi. Ada angan yang lebih jauh dari itu: ikut serta menyiapkan Indonesia Emas 2045.

Maka bergeraklah mereka, menyusun satu demi satu program. Ada Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKM-NU) yang coba memetakan ulang harapan keluarga-keluarga NU di tengah gelombang zaman yang cepat berubah. Ada juga upaya menghadirkan koperasi tani berbasis pesantren, sebuah gagasan lama yang selalu tampak baru bila dilihat dari sisi yang tepat. Transformasi digital tak sekadar menjadi istilah yang digantungkan di spanduk seminar. Ia diterjemahkan ke dalam pelatihan, platform, dan kanal distribusi yang memberi ruang lebih luas bagi warga NU untuk menyusuri dunia digital tanpa kehilangan akar.

Di sisi lain, ada pula pendampingan kewirausahaan pangan yang lebih bersifat mendekatkan, bukan menggurui. Mereka duduk bersama para pelaku kecil dan menengah, mencoba memahami alur kerja mereka, mencatat kebutuhan, lalu menyambungkan dengan akses permodalan. Seringkali, yang dibutuhkan bukanlah dana besar, melainkan pintu yang terbuka. ISNU tak hendak bekerja dalam diam sepenuhnya, para sarjana ini tampak tenang. Mereka tahu bahwa kerja kebudayaan dan pemberdayaan tak akan pernah selesai. Mereka juga sadar, bahwa yang dibangun bukan sekadar program kerja, tetapi daya tahan. Sebab yang akan datang nanti bukan sekadar masa depan, melainkan masa depan yang menuntut kesiapan dari sekarang.

Dukungan tak harus berupa anggaran besar. Kadang cukup dengan pengakuan. Dengan ruang. Dengan tidak mencurigai mereka yang aktif di organisasi keilmuan. Dengan memberi waktu luang yang tak dihitung dengan curiga. Aparatur sipil negara adalah manusia juga. Mereka butuh saluran untuk berpikir, untuk menulis, untuk mengajar. Karena jika tidak, birokrasi akan jadi kuburan bagi potensi. Dalam kerja-kerja ISNU, yang dicari bukan kehormatan, melainkan kebermanfaatan. Bukan status, melainkan jejak. Kadang hanya satu anak muda yang berubah setelah ikut pelatihan. Tapi dari satu itu, lahir perubahan lain. Seperti benih kecil yang disimpan di tanah tandus, dan tiba-tiba tumbuh setelah hujan pertama turun.

Dan di dunia yang makin penuh suara ini, kadang yang dibutuhkan hanyalah ruang tenang. Tempat orang bisa berpikir tanpa tekanan. Tempat orang bisa berbagi ilmu tanpa pamer. Tempat orang bisa merasa berguna tanpa harus menjadi bintang, di tempat seperti itu, bukan sekadar organisasi. Ia adalah cara untuk tetap waras. Untuk tetap percaya bahwa ilmu bisa mengubah hidup. Bahwa pengabdian tidak harus menunggu jabatan. Dan bahwa menjadi manusia yang berguna tak selalu butuh mikrofon.

Ada kerja-kerja yang tak terlihat. Tapi bukan berarti tak bermakna. Di ruang-ruang itu, cahaya dijaga. Ditiup perlahan agar tidak padam. Dan dalam diam, orang-orang itu terus berjalan, menjadi penjaga cahaya, meski tak pernah disebut namanya.

Penulis adalah ASN Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...