Pages

Home » » Tepuk Sakinah dan Mulut Netizen

Tepuk Sakinah dan Mulut Netizen

 Tepuk Sakinah dan Mulut Netizen


Saya kira tidak ada yang istimewa dari sebuah tepukan tangan. Anak-anak di taman kanak-kanak sudah melakukannya untuk menghafal doa sebelum makan, di sekolah dasar guru-guru menjadikannya permainan agar pelajaran tidak membosankan. Bahkan di pengajian kampung, ibu-ibu kadang menepuk tangan untuk mengiringi lagu shalawat anak-anak. Dan di gerakkan Pramuka seperti sebuah kewajiban. Tetapi tiba-tiba, di sebuah aula kecil bercampur dengan ruang arsip KUA Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi, karena gedungnya tidak terlalu besar, sebuah “tepukan” menjadi bahan pembicaraan nasional. Namanya Tepuk Sakinah.

Video itu beredar, diputar ulang jutaan kali di TikTok, dibagikan ulang di Facebook, diperbincangkan di ruang-ruang WhatsApp keluarga. Ia menjelma menjadi sesuatu yang lebih besar daripada niat asalnya. Dan seperti biasa, begitu sesuatu masuk ke media sosial, ia tidak pernah datang sendirian. Ia datang dengan komentar.

Ada komentar yang hangat: “Lucu, kreatif, bisa bikin suasana cair.”

Ada yang datar: “Ah, biasa saja.”

Ada yang menyindir: “Pernikahan itu janji suci, kok disederhanakan jadi tepuk tangan.”

Mulut netizen memang begitu: tidak pernah kering, selalu menemukan celah untuk menilai, menimbang, lalu menambah bumbu yang sering lebih banyak daripada isi. Padahal ini bukan kali pertama, jauh sebelumnya, di banyak Bimbingan Perkawinan, “tepuk” semacam itu sudah diperagakan. Bahkan sudah disosialisasikan dalam forum-forum resmi. Tetapi algoritma media sosial bekerja dengan caranya sendiri: ia bisa membuat hal lama terasa baru, dan hal kecil tampak seperti urusan besar.

Saya menonton video itu dengan rasa yang sulit saya uraikan. Ada geli, ada iba, ada kagum juga. Geli, karena irama yel-yelnya mengingatkan saya pada anak-anak kecil yang belajar hafalan dengan lagu. Iba, karena saya tahu betapa mudahnya orang menertawakan sesuatu tanpa mau tahu konteks. Kagum, karena ternyata fasilitator di KUA bisa secerdas itu: mengubah materi kaku menjadi permainan sederhana agar calon pengantin tidak bosan. Ada intonasi khas, artikulasi unik, bahkan ada semangat yang tulus terasa di balik suara fasilitator.

Yang orang tidak lihat dari video itu adalah konteks., bahwa Bimbingan Perkawinan bukan hanya soal tepuk tangan, ada materi tentang kewajiban suami-istri, ada penjelasan tentang kesehatan reproduksi, ada diskusi tentang cara menyelesaikan konflik rumah tangga. Ada pembekalan psikologis agar pasangan muda tidak patah ketika badai rumah tangga datang.

Tepuk sakinah hanyalah jeda. Ice breaking, selingan kecil agar kepala yang penat oleh teori dan dalil bisa kembali segar, tetapi kamera merekam, jari-jemari mengunggah, algoritma bekerja, dan tiba-tiba yang bukan inti menjadi inti. Sudah ada rambu-rambu yang dilalui, tepuk sakinah tidak wajib, bahkan ketika mengambil video juga minta persetujuan, karena tidak semua peserta rela di viralkan.

Saya jadi teringat sebuah ayat: wa qul lin-nāsi ḥusnā — katakanlah yang baik kepada manusia, tetapi di zaman ini, kebaikan sering kalah cepat dengan komentar, lidah sudah berubah menjadi keyboard., fitnah lisan bermigrasi menjadi fitnah komentar. Dan komentar, seperti kita tahu, sering lebih kejam daripada fakta.

Barangkali yang paling menyedihkan bukanlah komentar yang kasar. Yang paling menyedihkan adalah komentar yang lahir dari ketidaktahuan. Menonton 30 detik, lalu merasa paham 3 jam. Membaca satu kalimat, lalu merasa tahu seluruh buku. Kita hidup di zaman potongan. Zaman yang suka memotong video, memotong kalimat, memotong makna, lalu menilainya seakan-akan utuh.

Saya mencoba membayangkan manfaat “tepuk sakinah” itu di ruang nyata, katakanlah ada pasangan muda yang bertengkar suatu malam. Suami meninggikan suara, istri memalingkan wajah. Lalu salah satu menepuk tangan sambil berkata, “Ingat ya, janji kita itu mitsaqan ghalizan.” Bukankah itu bisa membuat keduanya tertawa, dan pertengkaran berhenti di situ? Bukankah itu lebih baik daripada saling mendiamkan sampai berhari-hari?b


Di situlah letak nilai sederhana dari tepuk sakinah: ia bukan substansi, tetapi ia bisa menjadi pintu kecil menuju substansi. Sebuah jembatan kecil untuk mengingatkan kembali pada yang besar. Saya tidak tahu kenapa manusia sering terjebak pada kulit, kita menertawakan gerakan tangan, tetapi lupa pada pesan yang dibawanya. Kita menganggap enteng sebuah metode, padahal metode itu sedang berusaha menyelamatkan generasi dari perceraian yang makin hari makin tinggi.

Mungkin inilah penyakit kita: lebih sibuk menertawakan sesuatu yang viral daripada merenungkan substansi yang sebenarnya, kita rela menghabiskan waktu berjam-jam membaca komentar, tapi enggan meluangkan lima menit untuk merenungi inti. Saya teringat sabda Nabi: inna minasy-syari la-fuhsyu fi-l kalām—sesungguhnya di antara keburukan adalah buruknya ucapan. Hari ini, ucapan itu tidak selalu di mulut. Ia bisa lahir dari jari-jari yang mengetik. Ia bisa muncul dari “mulut netizen” yang sebenarnya tak berwajah. Namun saya percaya satu hal: doa bisa sembunyi di mana saja, kadang ia ada di tikar sajadah, kadang ia bersembunyi di balik tawa anak kecil. Kadang ia menempel di tepukan tangan yang dianggap remeh oleh netizen.

Dan mungkin, tanpa sadar, tepuk sakinah sedang berdoa dengan caranya sendiri: doa agar pasangan-pasangan muda menemukan jalan keutuhan, doa agar rumah tangga mereka tidak mudah runtuh oleh badai, doa agar janji suci itu selalu diingat meski lewat sesuatu yang ringan. Maka, biarlah mulut netizen tetap ramai, biarlah mereka menertawakan, memuji, atau mencemooh. Pada akhirnya, rumah tangga yang sakinah tidak dibangun oleh komentar orang, melainkan oleh kesabaran suami-istri, oleh janji yang ditepati, oleh cinta yang dijaga.

Dan jika sebuah tepukan tangan bisa mengingatkan orang pada lima pilar rumah tangga, zawaj, mitsaqan ghalizan, mu‘asyarah bil ma‘ruf, musyawarah, taradhin, maka tepukan itu lebih suci daripada seribu komentar yang lahir dari mulut netizen.

Saya kira begitu saja, karena pada akhirnya, ketika layar ponsel dimatikan, semua orang kembali pada rumahnya masing-masing. Dan di situlah, jauh dari sorot kamera dan riuh komentar, tepuk sakinah yang sesungguhnya diuji.


penulis: Syafaat (Lensa Banyuwangi)


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger