Pages

Home » » Cinta dalam Rias Mupus Braen Blambangan

Cinta dalam Rias Mupus Braen Blambangan

 Cinta dalam Rias Mupus Braen Blambangan

Malam penutupan Festival Banyuwangi tempo dulu adalah malam yang penuh bayangan. Lampu-lampu panggung menyalakan cahaya seperti kunang-kunang yang terjebak di jaring raksasa, sementara angin dari selat membawa aroma laut samar, orang-orang berdiri rapat, sebagian duduk di barisan undangan dan sebagian lainnya duduk bersila di tikar yang digelar terburu-buru, sebagian lagi sibuk mencari sudut yang nyaman untuk menyaksikan pertunjukan, mengambil gambar atau video dengan kamera kecil yang menyatu dengan telepon genggam. Saya di sana, dyduk di deretan undangan , mencoba meraih sepotong makna dari sebuah panggung yang malam itu menampilkan tradisi pernikahan khas Banyuwangi: Mupus Braen Blambangan. 


Saya tidak pernah bisa menolak undangan semacam ini, ada sesuatu yang membuat saya selalu datang pada acara yang mengangkat tradisi, barangkali karena saya lahir di tanah ini, tanah yang kaya oleh percampuran, oleh riwayat migrasi, oleh pertemuan banyak bangsa, tapi saya juga selalu merasa seperti orang asing di rumah sendiri.

Ketika kecil, di sekolah, teman-teman kerap memanggil saya dengan sebutan wong jowo kulon, sebutan itu bukan sekadar panggilan main-main. Ia adalah penanda sosial, sebuah garis yang memisahkan: bahwa saya Jawa, bukan Osing, bahwa saya berasal dari orang-orang yang datang dari barat, dari arah Mataraman, Tulungagung, Kediri, dan seterusnya. Di Banyuwangi, ketika saya kecil, orang Jawa semacam saya dibedakan dari orang Osing, suku asli tanah ini, saya tumbuh dengan sebutan itu, dan tanpa sadar, sebutan itu membuat saya sering merasa sedang singgah, meski saya lahir di sini.

Tapi malam itu, ketika musik gamelan ditabuh, dan pengantin Mupus Braen memasuki panggung dengan segala keindahan riasan mereka, saya seperti sedang dipanggil pulang oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar darah atau garis keturunan, saya merasa sedang diajak duduk di sebuah meja besar, meja warisan leluhur, tempat semua orang Banyuwangi boleh duduk: Osing, Jawa, Madura, Bali, Arab, Cina, Bugis, merasa memiliki yang sama.

Dan cinta, rupanya, adalah bahasa universal yang membuat semua pintu terbuka. Mupus Braen: Puncak Keindahan Sekali Seumur Hidup

Mupus berasal dari kata pupus, daun muda di pucuk pohon. Ia adalah simbol: pengantin yang masih muda, yang sedang berada di puncak kehidupan, di pucuk keindahan. Braen berarti indah, cantik, menawan. Maka Mupus Braen adalah puncak berdandan, puncak merias diri, dan hanya sekali dilakukan: saat menikah.

Saya menatap pengantin di panggung itu, wajah mereka penuh riasan pakaian merah dan hitam. Merah untuk keberanian menghadapi hidup rumah tangga. Hitam untuk doa agar langgeng sampai maut, di atas kepala, bunga melati disematkan: putih, suci, harum, mahkota emas menambah keagungan.

Saya tiba-tiba sadar: riasan itu bukan sekadar kosmetik. Ia adalah kitab yang dibaca dengan mata. Merah, hitam, putih, emas, setiap warna adalah doa, setiap perhiasan adalah nasihat. Cinta, ternyata, tidak cukup hanya dengan perasaan. Ia butuh keberanian, ia butuh doa, ia butuh kesucian, ia butuh keagungan, selain buku nikah sebagai pengikat hukum.

Dan betapa kontrasnya dengan cinta-cinta yang saya saksikan di luar panggung, cinta yang sering tergesa, cinta yang mudah tumbuh tapi juga mudah layu, cinta yang kadang berakhir sebelum sempat dirayakan. Mupus Braen mengajarkan sebaliknya: bahwa cinta adalah puncak yang dicapai lewat kesabaran.

Ada aturan yang ketat: Mupus Braen hanya untuk anak bungsu. Untuk kemunjilan. Untuk yang terakhir. Saya bertanya dalam hati: mengapa hanya anak bungsu? Mengapa yang lain tidak berhak? Saya tidak menemukan jawabannya malam itu. Tapi semakin saya renungi, semakin saya merasa bahwa ada filosofi cinta yang tersembunyi di balik aturan ini. Anak bungsu adalah akhir dari sebuah garis, penutup sebuah generasi. Mungkin itu simbol bahwa cinta sejati adalah yang terakhir, yang benar-benar mengikat, yang bukan lagi permainan atau percobaan.

Apakah itu berarti setiap orang akan jatuh cinta berkali-kali, sampai akhirnya menemukan yang terakhir? Saya tidak tahu. Tapi saya tahu, di usia tertentu, cinta memang berhenti menjadi bunga liar yang tumbuh di mana saja. Ia menjadi pohon besar yang menuntut akar dalam, yang membutuhkan keteguhan.

Ubarampe: Nasihat yang Disamarkan

Tradisi ini juga membawa banyak ubarampe: bantal, guling, tikar, ayam, telur, kelapa, kampil putih. Semua dengan makna. Semua dengan doa.

Saya suka membayangkan, bahwa cinta juga membutuhkan ubarampe seperti itu. Bantal untuk tempat beristirahat, guling untuk sandaran, tikar untuk alas, ayam dan telur untuk keberlangsungan hidup, kelapa untuk keteguhan, kampil putih untuk kesederhanaan. Tidak ada cinta yang bisa bertahan hanya dengan ciuman dan janji. Ia membutuhkan ubarampe sehari-hari: kesabaran, pengertian, pengorbanan, tawa, doa.

Di situlah saya menemukan ironi. Banyak orang ingin cinta yang indah, tapi malas mengumpulkan ubarampe. Padahal, tanpa ubarampe, cinta hanya akan jadi pesta semalam, lalu mati ketika lampu dipadamkan.

Cinta sebagai Tradisi

Malam itu, ketika pertunjukan selesai, orang-orang bertepuk tangan. Saya berdiri diam. Saya tahu saya tidak sedang menonton tari-tarian biasa. Saya sedang menonton tafsir tentang cinta.

Cinta, rupanya, adalah tradisi. Ia tidak hanya lahir dari perasaan dua orang. Ia lahir dari doa leluhur, dari nasihat orang tua, dari harapan anak-anak yang belum lahir. Cinta adalah ritual kecil sehari-hari: menunggu, menjemput, memberi kabar, menahan amarah, memaafkan.

Dan Mupus Braen mengajarkan itu dengan bahasa yang indah. Bahwa cinta adalah daun muda yang rapuh, tapi juga indah. Bahwa cinta adalah warna merah keberanian, hitam doa panjang, putih kesucian, emas keagungan. Bahwa cinta adalah ubarampe sederhana yang tidak boleh dilupakan.

Saya pulang dari festival itu dengan langkah pelan. Angin malam menyapa wajah saya, seperti tangan yang menyentuh dengan lembut. Saya tahu, cinta bukan lagi sekadar perasaan. Ia adalah upacara. Ia adalah doa yang harus dipelihara setiap hari.

Dan di Banyuwangi, doa itu diwariskan lewat Mupus Braen Blambangan.

Syafaat. Lentera Sastra Banyuwangi 

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger