*Hoki BCM yang Tertinggal di Taman Blambangan*
Car Free Day di Taman Blambangan sudah berlangsung enam tahun. Tidak panjang sebenarnya, tapi cukup untuk menciptakan satu rutinitas sosial yang halus, nyaris tak terdengar, namun bekerja seperti detak jam dinding yang sudah akrab di telinga: diam-diam ada, diam-diam ditunggu. Setiap Minggu pagi, sejak pukul lima sampai sekitar pukul sepuluh, ada sesuatu yang lebih dari sekadar orang-orang berolahraga. Ada aroma nasi tempong yang baru matang. Ada suara penggorengan mendesis dan tawa anak-anak yang merengek dibelikan mainan dari kayu atau sabun. Ada lapak-lapak yang dihamparkan malam hari dan digulung kembali ketika mentari menjelang siang. Semua ini berlangsung tanpa riuh, tanpa protes, tanpa proposal bantuan. Seperti semesta kecil yang bekerja berdasarkan saling percaya.
Kita sering mendengar kalimat seperti ini di media: “Pemerintah tidak akan memberikan pekerjaan kepadamu. Tapi ketika kamu mulai mendapat penghasilan, maka pemerintah akan datang untuk menagih pajakmu.” Kita bisa menyepakati kalimat itu dengan senyum masam atau geleng kepala. Tapi buat kawan-kawan yang berdagang di BCM (Banyuwangi Creative Market) yang selama ini setia menata lapak di seputaran Taman Blambangan, itu bukan kalimat kiasan. Itu adalah kenyataan. Mereka tak menuntut gaji, tak berharap proyek, apalagi tunjangan. Mereka hanya butuh ruang. Bukan ruang yang mewah. Hanya beberapa meter untuk membentangkan tikar, menata kerajinan tangan, menyusun minuman tradisional, dan menunggu pembeli yang mereka tahu akan datang karena telah menjadi langganan, telah menjadi bagian dari siklus sosial selama enam tahun. Tapi sekarang, ruang kecil itu hendak digeser. Mereka diminta pindah ke jalan Ahmad Yani, Mungkin ini urusan estetika. Mungkin pemerintah menganggap Taman Blambangan sudah terlalu ramai. Atau mungkin pemerintah sedang ingin menunjukkan bahwa mereka sedang menata kota. Bukankah relokasi selalu punya kata pembenaran yang elegan? Penataan. Penertiban. Estetika. Kerapian. Semua terdengar baik. Tapi kita tahu, dalam praktiknya, tidak semua yang rapi itu adil.
Saya percaya pada yang namanya hoki. Sebagian dari kita menyebutnya keberuntungan, sebagian menyebutnya aura rezeki. Tapi bagi para pedagang kecil, hoki adalah bagian dari strategi bertahan hidup. Tempat yang ramai bukan selalu berarti tempat yang menghasilkan. Di Ahmad Yani, lalu lintasnya padat. Orang banyak lalu lalang. Tapi tak semua yang datang berminat belanja. Sementara di Taman Blambangan, para pembeli bukan sekadar lewat. Mereka datang memang untuk membeli. Untuk mampir. Untuk menyapa. Untuk jajan setelah jogging. Ada relasi sosial yang dibangun perlahan dan setia. Ada pedagang yang akhirnya mencoba pindah ke Ahmad Yani. Hasilnya? Banyak yang datang. Tapi tidak banyak yang membeli. Seperti tamu undangan yang datang ke pameran, hanya melihat-lihat, sekfi lalu pulang. Bukan pengunjung. Bukan pembeli. Tidak ada interaksi. Tidak ada "hoki."
Saya selalu berpikir bahwa ruang publik adalah cermin bagaimana kita memperlakukan warganya. Jika sebuah kota tidak menyediakan ruang yang manusiawi bagi warganya untuk bertahan hidup secara layak, maka kota itu bukan sedang ditata, melainkan sedang didekorasi. Dan dekorasi hanya menutupi yang seharusnya dibuka. Kota ini tidak kekurangan ruang. Tapi sering kali ruang-ruang itu disediakan untuk yang besar, yang punya modal, yang berjejaring dengan kekuasaan. Sedangkan yang kecil, yang menunduk pelan, yang hanya ingin menjual minuman kunyit asam dan bros dari kain perca, harus berpindah. Harus menyesuaikan. Harus menelan penjelasan birokrasi yang tak pernah benar-benar mengerti bahwa rezeki tak hanya soal strategi pasar. Tapi juga soal kenyamanan. Soal relasi batin. Soal tempat yang akrab. Saya pernah melihat seorang ibu tua membuka lapaknya pukul setengah lima pagi. Di lapaknya ada keripik singkong, peyek udang, dan kerajinan dari limbah koran. Ia duduk tenang. Senyumnya muncul ketika pembeli datang. Kadang hanya tanya-tanya, kadang benar-benar membeli. Tapi ia tahu, setiap Minggu akan ada saja yang kembali. Yang mencari lagi. Yang menunggu rasa pedas peyek udangnya. Kalau kemudian ia diminta pindah, bukan hanya tempatnya yang hilang. Tapi juga langganannya. Jejak-jejak kecil yang telah ia ukir perlahan. Kota ini mungkin tak akan merasa kehilangan. Tapi ibu itu akan kehilangan. Dan itu bukan sekadar kehilangan penghasilan, tapi kehilangan kehidupan.
Kita tidak sedang berbicara soal menata ulang pasar. Kita sedang bicara soal keberlangsungan. Soal keberanian untuk mengakui bahwa terkadang yang kecil dan bersahaja itu lebih berkontribusi pada wajah kota daripada bangunan megah yang sepi. Kita sedang bicara tentang taman yang bukan hanya tempat selfie atau konser. Tapi tempat di mana kehidupan kecil tumbuh dan bertahan.
Car Free Day bukan hanya tentang bebas kendaraan. Tapi juga tentang ruang hidup. Ruang sosial. Ruang ekonomi. Dan ketika ruang itu dipersempit atau dipindah tanpa mempertimbangkan ekosistem kecil yang telah tumbuh di dalamnya, maka yang kita hasilkan bukanlah penataan, melainkan pengusiran yang halus. Saya kira, para pedagang BCM itu bukan menolak perubahan. Mereka hanya ingin diajak bicara. Diajak mendesain bersama. Diberi ruang untuk menyampaikan rasa. Karena pada akhirnya, sebuah kota bukan dibangun dari beton semata, tapi dari dialog. Dari empati. Dari cara kita mendengar suara-suara kecil yang selama enam tahun telah membantu kota ini berdenyut setiap Minggu pagi. Dan mungkin, sesederhana ini permintaan mereka: biarkan kami tetap di tempat yang sudah kami rawat. Karena di sanalah rezeki kami tinggal. Di sanalah hoki kami menunggu.
Komentar
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar