Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » , » Wajahku di Depan Scanner, Hati di Peron Kenangan

Wajahku di Depan Scanner, Hati di Peron Kenangan

"Wajahku di Depan Scanner, Hati di Peron Kenangan"

oleh : Syafaat

Stasiun Gubeng, dalam perjalanan kereta menuju diri sendiri.

Sudah lama saya tidak naik kereta api. Terlampau lama. Barangkali lebih lama dari yang diizinkan oleh kalender dan kalender gantung di warung sebelah. Aroma gerbong seperti sudah lama hilang dari ingatan: bau besi tua yang bergesek diam-diam, karat hujan yang tak tuntas dibilas matahari, dan desah napas penumpang yang bercampur antara rindu, letih, dan urusan rumah tangga yang tak sempat diselesaikan. Semua itu seakan lenyap, tergilas oleh roda kehidupan yang berputar pada titik yang sama: rumah, pekerjaan, layar gawai, dan tidur yang tak nyenyak. Hari ini, tiba-tiba saya kembali menjadi penumpang. Bukan penonton kereta yang melintas dari balik pagar stasiun, bukan juga pendengar siulan roda besi yang mengiris pagi dari kejauhan. Hari ini, saya benar-benar naik kereta api.


Dan betapa banyak yang telah berubah. Bahkan sejak langkah pertama saya menjejak lobi stasiun, perubahan itu telah menyapa—dingin, efisien, dan nyaris tanpa sapa.

Dulu, kita menyerahkan KTP. Sebuah kebiasaan sederhana yang terasa manusiawi. Ada senyum petugas, ada percakapan ringan, kadang bercanda soal nama atau asal kota. Tapi kini, tak ada lagi pertanyaan, “KTP-nya, Pak?” yang pelan dan sopan. Wajah saya menjadi tiket. Tiket digital yang disetor pada mesin. Saya berdiri di depan scanner, memandang layar seakan bercermin, tapi tak bisa melihat pantulan jiwa. Cahaya dari layar dingin seperti musim yang lupa caranya menghangatkan. Saya menatap wajah saya sendiri—yang telah lebih tua dari yang saya ingat.

Ada kerutan yang tak saya kenali. Ada sembab lelah yang rupanya selama ini tinggal diam di bawah kelopak. Seperti bertemu orang asing yang ternyata tinggal di rumah kita sendiri. Ya, ini wajah saya. Wajah yang disetor. Wajah yang dikenali oleh mesin, tapi entah apakah masih dikenali oleh diri sendiri.

Naik kereta hari ini bukan lagi soal berangkat. Tapi soal diperiksa. Divalidasi. Disetujui oleh sistem yang tak bisa dititipi perasaan. Tidak bisa kita ajak kompromi kalau kita telat satu menit, atau jika wajah kita kurang tidur. Ia hanya tahu satu hal: cocok atau tidak. Bip. Cocok. Pintu terbuka.

Dan masuklah saya, sebagai data. Namun saya rindu. Rindu suara peluit panjang dari kepala stasiun. Suara yang mengandung restu, seperti doa yang melengking dalam sunyi. Rindu kopel yang berdentum saat menyambung gerbong—dentum yang menggetarkan lantai stasiun dan hati penumpang. Dentum itu seperti berkata: "Bersiaplah, kita akan bergerak, kita akan pergi." Kini, semuanya terlalu halus. Terlalu senyap. Seakan-akan perjalanan adalah bisnis sunyi yang harus rapi dan steril.

Dalam gerbong ekonomi zaman dahulu, kami bukan hanya penumpang. Kami kawan seperjalanan. Ada yang menyuapi anaknya, ada yang menawarkan buah, ada yang bercerita tentang ladangnya, tentang mantan pacarnya, tentang nasib yang tertunda. Sekarang, semua larut dalam layar. Dalam dunia yang tak bersuara. Gawai menggantikan manusia. Telinga sibuk mendengar musik, tapi hati dibiarkan diam. Seperti dunia ini jadi panggung bisu. Semua bicara, tapi tak ada yang berbicara.


Dan di tengah keasingan itulah, saya justru menemukan pertemuan. Bukan dengan orang lain, tapi dengan diri saya sendiri. Di layar scanner tadi, saya berjumpa dengan wajah yang telah saya lupakan. Saya sadar, selama ini saya hidup dalam lari—lari dari bayangan sendiri. Tapi tak ada yang bisa lari dari kamera wajah. Wajah saya disimpan sistem, tapi hati saya tak bisa disimpan siapa-siapa.

Suara dari pengeras kabin mengingatkan agar tak salah naik kereta. “Berangkat dari stasiun yang sama, tapi tujuan bisa berbeda,” katanya. Kalimat itu biasa saja, tapi di telinga saya, ia seperti peringatan hidup. Kita mungkin lahir dari tempat yang sama, tumbuh bersama, tapi siapa tahu kita sedang berjalan ke arah yang saling menjauh. Bahkan satu gerbong pun beda kelas, beda tempat duduk, beda tarif. Seperti hidup yang diam-diam mengajari kita: kebersamaan itu rapuh, bisa putus oleh angka.

Kereta bergerak. Perlahan. Saya menatap jendela. Di sana, sawah dan kampung melesat mundur, seperti ingatan yang tidak bisa kita tahan. Bayangan saya terpampang di kaca—kabur, bergerak, lalu hilang. Tapi rasa di dada tetap tinggal. Wajah saya sudah terekam sistem. Tapi cerita saya tidak. Dan mungkin itu yang membuat saya menulis ini.

Dalam gerbong yang nyaman dan sunyi ini, saya tahu: saya masih manusia. Walau dipindai, walau dilacak, walau duduk dalam sistem yang mengatur hingga napas terakhir, saya masih bisa merasa. Masih bisa menyesal, masih bisa rindu, masih bisa menulis. Menulis dengan jari yang dulu biasa memegang karcis karton kecil warna merah muda. Kini tak ada lagi karcis itu. Tapi kenangan masih tertempel di ujung jemari.

Inilah perjalanan. Dulu, kita memulai dengan tas berisi baju dan bekal dari rumah. Kini, kita membawa diri dan data. Tapi selama kita masih bisa mengenang, masih bisa menyapa masa lalu dengan mata berkaca-kaca, maka kita belum sepenuhnya hilang. Kita belum selesai sebagai manusia.

Dan dalam selfie yang tidak pernah diunggah ini—saya ingin mengingat satu hal: bahwa ada saat di mana saya pernah menatap wajah saya sendiri, bukan untuk dinilai orang lain, tapi untuk mengakui bahwa saya pernah hidup. Pernah bepergian. Pernah menjadi seseorang yang ingin pulang.


Stasiun Gubeng, 19-06-2025

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya bertanya tanya, kelak, seperti apakah kenangan di benak generasi yang lahir di zaman sekarang ...

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog