Langsung ke konten utama

Malam Sastra di Lesehan Jalan Brawijaya: Lentera Kata Menyinari Generasi Muda

Banyuwangi (Warta Blambangan) Malam  bersahaja di bawah temaram lampu-lampu jalan, tiga penulis Banyuwangi duduk dibkursi menjalin bersama pelajar SMA Negeri 1 Glagah. Mereka bukan duduk di ruang seminar berpendingin ruangan, melainkan di angkringan sederhana sebuah lesehan di Jalan Brawijaya, Senin malam, 14 April 2025. Di sanalah kata-kata tak hanya diucap, tetapi disulam menjadi jembatan antara generasi.


Moh. Husen, Joko Wiyono, dan Ketua Lentera Sastra Banyuwangi Syafaat, bukan sekadar datang membawa nama, tapi membawa nyala: api kecil yang hendak mereka titipkan ke tangan muda yang mulai meraba dunia sastra. Di tengah aroma wedang jahe dan gemerisik dedaunan, mereka membuka ruang dialog yang hangat, membiarkan puisi dan prosa mengalir di antara sruputan teh dan gelak tawa ringan.



Tiga siswa kelas XI—Zahwa Alina Putri, Kayla Nafisa Ramadhani, dan Adifio Agustin—bukan hanya menyimak, melainkan menyala. Mereka bertanya, menjawab, berbagi pandangan tentang sastra lokal Banyuwangi. Seolah malam itu mereka tak sekadar menjadi siswa, tapi calon penyair, calon pengisah zaman.


“Saya melihat benih-benih besar dalam diri anak-anak ini,” ucap Moh. Husen dengan sorot mata yang percaya. “Mereka punya rasa ingin tahu yang tulus. Tinggal bagaimana kita, generasi sebelumnya, menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya pohon-pohon kata mereka.”


Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, dengan nada lembut namun tegas, mengajak para pelajar untuk terus membaca dan menulis. Bagi dia, sastra adalah jalan pulang—kepada budaya, kepada identitas. “Jangan malu mencintai daerahmu. Di balik setiap legenda dan cerita rakyat Banyuwangi, ada pintu menuju karya yang tak lekang zaman,” katanya.


Diskusi tak hanya berkutat pada teknik menulis atau nama-nama besar dunia literasi. Mereka bicara tentang dongeng yang dulu diceritakan nenek, tentang kisah-kisah lisan yang nyaris punah, tentang aroma hutan Blambangan yang bisa menjelma sajak.


Kegiatan ini bukan sekadar agenda. Ia adalah pernyataan: bahwa sastra di Banyuwangi belum mati. Ia hidup dalam tawa anak-anak muda, dalam semangat yang menyala di malam-malam sederhana, dalam ruang lesehan yang menjelma menjadi taman kata. Dan siapa tahu, dari tikar itulah akan lahir generasi penyair yang kelak menulis tentang negeri ini dengan cara yang paling jujur: lewat cinta dan kata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...