Langsung ke konten utama

Mendung di Bola Mata Ning Wida

Mattahari belum genap menyapa tenda Mina yang belum tertata, kami datang dengan tenaga di ujung lelah setelah semalam bermalam tak terpejam di Muzdalifah, jamaah merebahkan diri di dua tenda terpisah sekenanya, bagi mereka mendapatkan tempat merebahkan diri diatas kasur spon merupakan anugerah terindah yang berbeda dengan warna cerita tentang Mina pada tahun sebelumnya yang hanya beralaskan selembar karpet saja, meskipun bayangan kurangnya tempat masih menghantui, namun bagi yang telah mendapatkan tempat nyaman akan persetan dengan dengan kesepakatan. 


Sayapun juga manusia biasa yang sama dengan mereka, keterbatasan tenaga yang juga butuh beristirahat, mencoba mengingatkan agar menempati posisi terpisah sesuai dengan jenis kelaminnya, namun lelah yang mereka tanggung mengakibatkan tidak dapat berfikir jernih, begitupun dengan saya, sehingga percuma saja berbicara dengan orang yang sedang kelelahan, bisa jadi pada akhirnya juga emosi, terlebih saya sudah mencobanya, saya gertak juga mereka "kalau nggak mau diatur tak tinggal tidur" dan sebagian dari jamaah saling menyalahkan yang terpaksa saya mengambil opsi yang saya sampaikan yakni tak tinggal tidur.

Tidur tidak harus menghilangkan semua kesadaran, cukup mengistirahatkan raga dan mengosongkan semua pikiran dan kalau bisa juga perasaan, meskipun sayup-sayup saya mendengar sedikit keributan tetap saya saya biarkan, setidaknya saya hanya butuh mengistirahatkan pikiran lima sampai lima belas menit.

Saya yakin banyak yang kecewa dengan yang saya lakukan, ketika masalah belum selesai saya tinggal tidur, namun saya mempunyai prmbenar dengan yang saya lakukan, setidaknya saya tidak akan terbawa emosi ketika menghadapi orang-orang yang sudah dewasa, setidaknya memberi kesempatan orang-orang untuk memikirkan yang sudah dilakukan tanpa harus di salahkan, setidaknya memberikan ruang pikiran menerima kenyataan pahit dan merubah menjadi kenyamanan dan cerita indah kepada keluarganya.

Saya kembali menata jamaah, dan mereka juga dengan kesadaran diri menempati tempat sesuai dengan kesepakatan, mengutamakan perempuan ditempat yang lebih lapang.

Saya melihat' Ning Wida tak seperti biasanya, pipinya terlihat kemerah-merahan, terlihat semakin cantik saja, keluar dari tenda yang diperuntukkan jamaah laki-laki, meskipun siang itu tanpa senyum, tidak mengurangi kecantikannya, saya terus memandang wajahnya, memastikan kemerah-merahan pipinya bukan produk kosmetik, matanya sedikit sayu menghampiriku, aura tak seperti biasanya, menggambar ribuan kata yang tak mampu terucap. Tepat berdiri di depanku, ada mendung di bola matanya, perlahan air mata menetes dari sudut matanya yang jernih membasahi pipinya seperti anak kecil mengadu kepada bapaknya, semua terdiam bahkan matahari pun juga tak berani beranjak.

Ketegaran yang selama ini terjaga akhirnya tumbang juga dengan air mata, saya mendengarkan saja yang dialaminya, dokter Wida sudah bekerja secara maksimal, meskipun ketika di Muzdalifah saya sudah menyiapkan kemungkinan yang terjadi di Mina, namun Ning Wida yang dirumahnya mempunyai puluhan santri ini kaget juga ketika dibentak oleh salah satu jamaah ketika saya tidak bersamanya karena kita sama-sama menata jamaah dibtenda yang berbeda.

Saya ingin menyeka air matanya dengan sapu tangan, namun tidak membawa, karena kita masih berpakaian ihram.

Sungguh saya merasa sangat bersalah ketika Dokter cantik ini meneteskan airmata, memang, tanpa adanya survei awal lokasi mengakibatkan kita agak kesulitan menata jamaah, untungnya ini bukan tugas saya yang pertama, sehingga meskipun hanya dibekali peta, saya sudah dapat memperkirakannya, berapa kapasitas tiap tenda, dan telah ada komitmen awal dengan jamaah sebelum Armuzna.

Saya mencari Ning Wida, ternyata dia ke Masjid, sayapun juga ingin tahu kondisi Masjid yang gandeng dengan tenda, lumayan besar dan bersih, air conditioner juga dingin, saya sempat rebahan setelah sholat duha empat rakaat, dari jauh saya lihat Ning Wida khusuk yang saya tidak tahu apa yang di bacanya.

Tiga hari di tenda Mina terlalu banyak cerita, dan kisah tentang perjalanan air mata ini tak mudah terhapus dari pikiran siapapun yang benar-benar merasakannya.


Mina 16/06/2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...