“Jarum 2”
Oleh : Dardiri
Aneh.
Akhir-akhir ini aku mulai senang menyoal tentang jarum. Ya, jarum. Yang mula-mula berasal dari gumpalan kecil bijih besi, baja, tembaga, alumunium, timah, emas, atau malah bisa juga plastik yang notabene bukan logam tetapi lebih lunak dan mudah rusak tentunya. Karena jarum mainan. Lalu tampillah jarum dengan berbagai wajah. Peniti, bros, emblem, brevet, lencana, tanda jasa, dan entah apa namanya yang lain lagi, aku tidak hafal. Itupun sebenarnya adalah sederetan perwujudan jarum dengan tampilan berbeda. Tetapi bukan itu persoalannya. Melainkan jarum. Setelah dicetak panjang membatang dan diasah pabrikan, tajamlah ia. Lalu masuk loper industri dari busana sampai tender PILKADA ternyata tidak lepas dari peran jarum. Mungkin tidak akan ditemukan sebentang kainpun setelah jadi busana maha mewah yang tidak pernah tertusuk jarum. Di dunia perhotelan, perniagaan, pun di kantor-kantor resmi tak luput dari keberadaan jarum di dalamnya. Di dunia kesehatan sangat lazim dan sudah sangat bersahabat dengan apa yang dinamakan jarum. Alat injeksi paling tepat untuk menangani pasien tentunya jarum, dan ketika musim pandemi Virus Covid 19 masa sekarang yang sedang gencar-gencarnya jarum juga menjadi sarana paling depan untuk uji rapid dan lain sebagainya. Dari dunia perdukunan yang nyentrik dan selalu dikaitkan dengan hal-hal berbau klenik sampai khasanah pesantren di bawah ulama kharismatik yang selalu bersentuhan dengan cahaya Tuhan, pun tak lepas dari peran keberadaan jarum di kesehariannya. Tak bisa dipungkiri.
Aneh.
Ada berapa banyak jarum di rumah kita?. Di peraduan, di kamar mandi, di tempat cucian, di dapur dan beranda belakang, di halaman depan, malah kadang ada yang nyangkut nongol begitu saja di ruang tamu berubin yang sebenarnya kurang elok dan berbahaya bagi anak kecil. Tetapi toh tetap saja jarum akan tetap jarum. Ia tidak perduli dengan semua itu. Ia tetap saja panjang membatang dan tajam meruncing.
Aneh.
Dan juga sedikit nyeleneh. Kadang-kadang ada yang menjerit tertahan karena tertusk jarum, ah, tidaklah seberapa perihnya. Tetapi tetap ada darah. Ya darah yang sebenarnya enggan keluar dari peraduannya, dengan ikhlas mencecah dirinya sendiri setelah tusukan jarum mengecupnya. Kemudian dilemparlah ia. Dan jarum, tetap saja jarum tidak berganti nama. Jatuh, dilempar, dibanting, kadang malah dibakar, tetap saja panjang membatang dan tajam meruncing.
Aneh.
Ketika seorang laki-laki sedang kasmaran ia mengirimkan kado istimewa untuk kekasihnya yang berada di luar kota. Dengan hati-hati dan rapi sekali laki-laki itu membungkus kadonya dan disematkan mawar merah di atasnya. Tentu saja dengan bantuan jarum. Diapun tidak pernah tahu bagaimana kekasihnya kelak membukanya dan bisa juga jemarinya yang halus dan wangi serupa bunga tunjung itu akan sedikit tergores oleh jarum. Darinya. Tetapi, tetap saja jarum tidak memerlukan itu atau malah tidak megetahuinya. Ia hanya berperan sebagai jarum tidak lebih.
Aneh.
Jarum tidak pernah marah atau mendendam. Ia hanya diam dan menikmati ketenangannya sebagai jarum. Ia sebenarnya menyimpan misteri teka-teki yang saban hari berkeliaran dalam keseharian kita. Sewaktu-waktu kapan saja mudah baginya untuk aus atau hilang dan baru diketemukan ketika bongkah sembrani diseret sepanjang jalan atau malah ketemu nyungsep di barang rongsokan. Dasar jarum, iapun hanya diam dan dengan lapang dada menerima titik nadir terakhirnya sebagai jarum. Dibuang atau dilupakan begitu saja. Toh dengan gampangnya jarum-jarum baru didapatkan. Entah dari membeli di toko-toko kelontong atau minta saja kepada teman pasti diberi. Karena hanya jarum. Harga murahnya bikin geli. Dan tidak pernah ada satupun perdebatan di muka bumi ini tentang jarum. Betapa konyolnya. Padahal bayangkan saja. Kalau tidak ada jarum. Tentu rotan maupun akar tidak akan bisa menggantikan kedudukannya sebagai jarum.
Aneh.
Dunia jarum adalah dunia logam dan bukan logam. Yang hanya panjang mambatang dan tajam meruncing. Kodratnya adalah menusuk dan menikam, ia tidak mengenal iba dan cita-cita. Ia tidak peduli dengan asmara dan rasa kagum tiba-tiba yang sebenarnya sering tertumpah bersamanya di dalam saku kita. Ia tidak memahami rasa sakit atau perih berkat gores dan sayatan yang muncul setelah berpapasan dengan runcingnya yang tajam. Ia juga tidak mengerti acara-acara di televisi atau situs-situs langka dalam dunia maya yang belakangan ini digandrungi manusia lebih dari kekerabatan rasa kepada saudara. Ia juga tidak pernah resah menahan rindu ketika tidak bertemu dengan sesiapapun juga bahkan ketika tidak diperhatikan sama sekali. Ia juga tidak memerlukan mantel untuk melindungi diri ketika hujan begitu derasnya di luar sana. Dengan bebas dan ikhlas diterimanya saja buliran hujan, karena toh ia tidak akan merasakan kedinginan. Jarum, benar benar jarum. Ia pun tidak memerlukan teduh ketika amukan matahari memberangus bumi, karena toh, panas tak menyurutkan ia menjalani kodrat sebagai jarum. Ia juga tidak akan pernah ikut merasakan betapa lembayungnya senja dengan pendar jingganya di ufuk barat ketika kita duduk di tepian dermaga atau di bawah pohon lo berbunga dadu di halaman rumah kita, yang ketika kelopak bunganya berguguran satu atau dua di hadapan kita selalu kuselipkan di sela kerudungmu yang abu-abu itu, dan ada jarum pula di bawah janggut dan bibirmu yang ranum dan basah karena rindu yang tak lagi beku sesudahnya. Sungguh sebenarnya hatiku menggerutu dan selalu ingin kutahan senja agar lebih lama karenanya. Tetapi lagi-lagi. Jarum tidak pernah mengerti. Ia hanya jarum saja. Bahkan ketika malam tiba dan kita masuk ke dalam rumah. Lalu bincang-bincang di beranda dalam. Ia tetap jarum saja. Tidak pernah ia bertanya mengapa. Lalu, ketika kita masuk ke peraduan dan membuka kembali bingkisan senja yang kita simpan dalam ingatan kita. Jarum yang masih melekat di bawah bibir dan janggutmu kurenggut perlahan-lahan. Kucampakkan. Dan kita ulangi lagi pendar jingga senja di bawah intaian rembulan merah saga, atau dalam gulita, toh kita tidak pernah kehilangan sebingkis senja dalam benak kita. Dan jarum. Masih saja jarum. Ia diam saja. Bahkan ketika pendar jingga kita lepas bersama.
Aneh.
Tiba-tiba pikiranku mengumpamakan. Kalau saja aku jarum dan kamu pun juga jarum. Apakah kita hanya akan membatang panjang dan meruncing tajam?.
Ahh.
Seandainya aku jarum?. Tidak. Aku bukan jarum.
Seandainya kamu jarum?. Bukan. Kamu tentu bukan jarum.
Aku hanya ingin mencintaimu dengan kodrat manusia.
Dan jarum. Agaknya menjadi saksi tanpa kata.
Bahwa kita,
Ada,-
……………………………………………………………………………………………………………………….
(K G P H : 15 Februari 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar