Pages

Insan Madrasah Guncang Panggung Liga Puisi 2025: Dominasi Total, Kemenag Banyuwangi Torehkan Sejarah Sastra!

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Dentuman sastra menggema di panggung Liga Puisi Jawa Pos Radar Banyuwangi 2025! Dalam ajang paling bergengsi bagi para penikmat kata dan penyalur rasa itu, insan madrasah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Banyuwangi tampil bagai meteor yang menyambar langit kompetisi. Hasil akhir penjurian menegaskan satu fakta monumental: hampir seluruh juara pertama disapu bersih oleh peserta madrasah.

Keberhasilan luar biasa ini bukan sekadar kemenangan dalam lomba baca puisi—ia adalah penanda kebangkitan dunia literasi madrasah. Di saat sebagian lembaga pendidikan masih bergulat dengan tantangan era digital, madrasah justru melesat sebagai kawah candradimuka lahirnya generasi literat, estetis, dan religius.

Pada kategori Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar (MI/SD), dominasi madrasah nyaris absolut. Dari lima finalis, empat merupakan duta madrasah yang melangkah dengan percaya diri. Panggung juara pertama direbut dengan gemilang oleh Aura Latisha Ramadhani dari MIN 1 Banyuwangi, disusul Azka Dzakiyatus Shaleha (MI Darunnajah 2 Banyuwangi), Avilla Fikratud Putri Yuwono, dan Refli Ahsan Mubaroqi (MI Islamiyah Rogojampi). Deretan nama ini bukan sekadar peserta lomba—mereka adalah bukti bahwa madrasah telah menjelma menjadi laboratorium rasa dan ruang kelahiran penyair-penyair masa depan. 


Sementara itu, di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), kejayaan madrasah kembali membahana. Azkia Kiska Al Kholid dari MTsN 1 Banyuwangi tampil memukau dan berhasil menggondol juara pertama. Dengan teknik deklamasi yang matang, diksi tajam, dan penghayatan mendalam, ia menegaskan bahwa sastra bukan sekadar pelajaran tambahan—melainkan napas yang hidup di lingkungan madrasah.

Tidak berhenti di situ, keunggulan madrasah juga merembet ke ranah tenaga pendidik. Nuhbatul Fakhiroh, guru MTsN 1 Banyuwangi, yang tahun lalu hanya berhenti di posisi juara dua, kini berhasil menuntaskan dahaga kemenangan dengan menjadi juara pertama. Ia membuktikan bahwa guru madrasah bukan hanya pengajar, tapi juga pelaku dan penggerak kebudayaan.

Kepala Kantor Kemenag Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, tak mampu menyembunyikan rasa bangganya. Dalam keterangannya, ia menyebut kemenangan ini sebagai buah dari kerja panjang dan dedikasi luar biasa.

> “Prestasi ini adalah gema dari kesungguhan para guru dan pembimbing madrasah dalam menanamkan nilai-nilai literasi dan kecintaan terhadap sastra. Ini bukan sekadar lomba, tetapi tonggak peradaban baru di dunia pendidikan madrasah,” tegasnya penuh semangat.

Sementara itu, Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, yang turut hadir sebagai pengamat, menyebut dominasi madrasah dalam Liga Puisi 2025 sebagai hasil dari proses pembinaan yang matang dan berkelanjutan.

> “Beberapa madrasah telah lama menjalin kerja sama dengan Lentera Sastra Banyuwangi dalam pelatihan baca puisi dan penulisan kreatif. Kami ingin menjadikan madrasah sebagai episentrum sastra di Banyuwangi—tempat di mana iman, ilmu, dan imajinasi berpadu dalam harmoni,” ujarnya.

Kompetisi tahun ini tak hanya diikuti oleh sekolah dan madrasah Banyuwangi, tetapi juga oleh peserta lintas daerah, termasuk santri dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Persaingan yang kian ketat justru menyalakan bara semangat baru bagi peserta madrasah, yang tampil bukan sekadar membaca puisi, tetapi menghidupkan makna dan mengguncang nurani penonton.

Ajang Liga Puisi Radar Banyuwangi 2025 pun akhirnya menjadi panggung pembuktian: bahwa madrasah bukan hanya benteng nilai-nilai religius, tetapi juga mercusuar kebudayaan dan peradaban literasi.

Dengan torehan prestasi ini, madrasah di bawah Kemenag Banyuwangi menegaskan diri sebagai kekuatan baru dalam dunia sastra Indonesia. Mereka bukan hanya mencetak hafidz dan ulama, tapi juga penyair, seniman kata, dan penggerak kebudayaan bangsa.

Sebuah babak baru telah dimulai—babak di mana madrasah menulis sejarahnya sendiri dengan tinta puisi dan cahaya keilmuan.

Lentera Sastra Banyuwangi Hadir dalam Diskusi Sastra Bersama Acep Zamzam Noor di Ajang Liga Puisi Radar Banyuwangi

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Komunitas Lentera Sastra Banyuwangi turut hadir dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan Diskusi Sastra yang menghadirkan narasumber Acep Zamzam Noor, seorang sastrawan, penyair, dan pelukis kenamaan Indonesia berdarah Sunda yang dibesarkan di lingkungan pesantren. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Liga Puisi Radar Banyuwangi 2025, yang berlangsung mulai tanggal 27 hingga 30 Oktober 2025. 


Kehadiran Lentera Sastra Banyuwangi memberikan warna tersendiri dalam ajang tersebut. Mereka datang untuk memberikan motivasi dan dukungan kepada para peserta dari unsur Kementerian Agama, baik dari kalangan siswa madrasah maupun para guru, agar tampil maksimal dan berprestasi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

“Banyak siswa madrasah dan guru yang berhasil meraih juara pada Liga Puisi tahun lalu. Kami berharap semangat itu terus menyala dan menjadi inspirasi bagi peserta tahun ini,” ujar salah satu perwakilan Lentera Sastra Banyuwangi.

Kegiatan yang juga dihadiri oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, tersebut berlangsung hangat dan penuh semangat kebersamaan. Para peserta tampak antusias mengikuti sesi diskusi bersama Acep Zamzam Noor, yang berbagi pengalaman tentang perjalanan kreatifnya di dunia sastra dan seni rupa, serta pentingnya menjaga kejujuran dan spiritualitas dalam berkarya.

Sementara itu, Direktur Radar Banyuwangi sekaligus Ketua Panitia Pelaksana, Syamsudin Aglawi, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi atas dukungan dan partisipasinya dalam kegiatan ini.

“Dukungan dari Kementerian Agama sangat luar biasa. Banyak siswa dan guru madrasah yang ikut berkompetisi dalam Liga Puisi tahun ini. Ini menunjukkan bahwa semangat literasi dan seni terus tumbuh di lingkungan pendidikan agama,” ujarnya.

Liga Puisi Radar Banyuwangi kini telah menjadi ajang tahunan yang ditunggu-tunggu oleh para pecinta sastra di Bumi Blambangan. Melalui kegiatan ini, karya-karya para penyair muda dan pendidik dari berbagai latar belakang diharapkan dapat semakin memperkuat ekosistem sastra lokal sekaligus menjadi ruang ekspresi yang mempersatukan berbagai kalangan.

Merangkul Keberagaman dari Pesantren hingga Gereja di Banyuwangi

 Merangkul Keberagaman dari Pesantren hingga Gereja di Banyuwangi

Oleh: Ratna Septianingsih


Saya tida


k pernah menyangka bahwa langkah kaki saya yang berawal dari pondok pesantren di Krapyak, Yogyakarta, akan berujung di Banyuwangi, di sebuah ruangan kerja yang menaungi penyelenggaraan kehidupan umat Katolik. Begitu menerima surat penempatan itu, saya sempat terpaku. Antara takjub dan ragu.

Dalam hati saya bertanya, “Ya Allah, mengapa Engkau tempatkan aku di sini?”

Namun pelan-pelan, saya belajar bahwa setiap penempatan adalah bagian dari takdir yang membawa pesan tersendiri. Allah tidak pernah salah menempatkan hamba-Nya. 

Saya lahir dan tumbuh dalam suasana yang kental dengan tradisi keislaman. Hidup saya terbiasa di lingkungan yang penuh dengan lantunan ayat suci, shalawat, dan diskusi keagamaan. Ketika saya kuliah di Universitas Islam Negeri, lingkungan saya pun tidak jauh berbeda, dunia yang penuh dengan semangat keilmuan Islam dan nilai-nilai dakwah.

Maka, ketika saya mengetahui bahwa saya ditempatkan di seksi Penyelenggara Katolik, rasanya seperti dipindahkan ke dunia baru. Saya sempat bingung, bahkan sedikit takut salah langkah. Bagaimana saya yang berasal dari latar belakang pesantren bisa berinteraksi, memahami, dan bekerja di lingkungan yang melayani umat Katolik?

Namun waktu menunjukkan bahwa kegelisahan saya tidak berdasar.

Seiring hari-hari berlalu, saya justru merasakan bahwa kasih Tuhan hadir di mana pun manusia mau membuka hati. Rekan-rekan kerja saya, baik yang Muslim maupun Katolik, menyambut saya dengan hangat. Tidak ada sekat, tidak ada kecurigaan. Mereka memperlakukan saya sebagai bagian dari keluarga besar, bukan “orang baru” yang berbeda keyakinan.

Saya teringat satu ayat Al-Qur’an yang begitu menenangkan hati:

> “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”

(QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini terasa hidup di Banyuwangi. Saya menyaksikan langsung bagaimana perbedaan bukan menjadi jarak, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan memahami. Di sinilah saya belajar makna nyata dari tasamuh, toleransi, yang dulu hanya saya dengar dari ceramah para kiai di pesantren.

Ketika saya berkunjung ke gereja untuk menghadiri kegiatan umat Katolik, sambutan para Romo begitu hangat. Tidak ada rasa canggung. Saya tetap dengan jilbab dan identitas saya sebagai seorang muslimah, sementara mereka menyapa dengan senyum dan keramahan yang tulus. Dalam momen-momen seperti itulah saya merasakan bahwa nilai-nilai kasih dan perdamaian sejatinya bersumber dari Tuhan yang sama, meskipun manusia memanggil-Nya dengan nama yang berbeda.

Banyuwangi, bagi saya, adalah miniatur Indonesia yang sesungguhnya. Di sini, masyarakat hidup dalam keberagaman agama, etnis, dan budaya. Namun justru dalam keberagaman itulah tumbuh rasa persaudaraan yang kuat. Saya sering berpikir, barangkali ini yang dimaksud Rasulullah SAW dalam sabdanya:

> “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”

(HR. Abu Daud)

Ketika kita mau memantulkan kebaikan kepada sesama, siapa pun mereka, maka yang kembali kepada kita pun adalah kebaikan.

Saya bersyukur ditempatkan di Banyuwangi. Dari cerita beberapa teman CPNS di daerah lain, ada yang merasa kurang diterima atau sulit beradaptasi. Sementara di sini, saya justru merasa dirangkul. Para senior, baik PNS maupun P3K tidak membeda-bedakan siapa datang dari mana atau apa agamanya. Mereka mencontohkan bagaimana nilai-nilai moderasi beragama dijalankan bukan hanya dengan ucapan, tapi lewat tindakan nyata.

Saya meyakini bahwa tugas saya di Kementerian Agama bukan sekadar administratif. Ia adalah amanah spiritual.

Menjadi abdi negara di bidang yang mengurus kehidupan beragama berarti menjadi jembatan antara nilai ilahi dan kehidupan sosial. Dan untuk menjalankan amanah itu, seseorang harus memiliki hati yang lapang, sebagaimana Allah mengajarkan kepada kita tentang rahmah (kasih sayang) dan hikmah (kebijaksanaan).


Kini saya mengerti bahwa perjalanan dari pesantren menuju dunia lintas iman bukanlah perpindahan tempat, melainkan perluasan jiwa.

Saya belajar bahwa menjadi muslim sejati bukan berarti hidup dalam batas-batas eksklusif, melainkan membawa nilai Islam yang penuh kedamaian ke mana pun kaki melangkah.


Moderasi beragama, bagi saya, bukan sekadar program pemerintah. Ia adalah cara Allah mendidik manusia agar saling memahami dan menghormati.

Ketika seorang muslimah bisa berkunjung ke gereja tanpa rasa takut, dan ketika seorang Romo bisa menyapa dengan tulus kepada seorang perempuan berhijab, di situlah rahmat Allah sedang bekerja, mengikat hati-hati manusia dalam kasih yang lebih luas daripada sekat agama.

Saya percaya, selama niat kita adalah ibadah, setiap langkah akan bernilai di sisi-Nya. Maka saya bersyukur, karena dari Krapyak hingga Banyuwangi, dari lingkungan pesantren hingga kantor penyelenggara Katolik, Saya belajar bahwa Tuhan memang Maha Luas, dan kasih-Nya hadir dalam setiap perjumpaan manusia yang mau membuka hati.

Ngobrol Moderasi (Ngopi) Di KUA Kecamatan Gambiran

Banyuwangi  (Warta Blambangan) Kegiatan Ngobrol Moderasi (Ngopi) digelar di halaman Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jumat (24/10/2025). Kegiatan ini dipimpin oleh Oksan Wibowo, Penyelenggara Bimbingan Masyarakat Hindu pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, dan dihadiri oleh Kepala KUA Kecamatan Gambiran serta Kepala MIN 3 Banyuwangi. 


Acara yang diikuti oleh para tokoh lintas agama dan penyuluh agama se-Kecamatan Gambiran ini menjadi ruang dialog terbuka untuk memperkuat nilai-nilai moderasi beragama di tengah masyarakat yang majemuk. Dalam kesempatan tersebut, Oksan Wibowo menegaskan bahwa Kementerian Agama merupakan role model dan figur publik dalam mewujudkan kehidupan beragama yang moderat dan harmonis.

> “Kantor Kementerian Agama bukan hanya rumah bagi satu agama, tetapi menjadi rumah bagi semua umat beragama. Begitu pula dengan Kantor Urusan Agama, meskipun secara administratif fokus pada pelayanan umat Islam, namun secara esensi menjadi pusat penguatan moderasi beragama dan kerukunan umat,” ujar Oksan.

Ia juga mengingatkan agar semangat moderasi tidak berhenti pada tataran formal atau simbolik semata. Menurutnya, moderasi beragama harus diimplementasikan secara nyata dalam perilaku sosial dan budaya masyarakat sehari-hari.

> “Kita jangan terjebak pada sesuatu yang bersifat tertulis saja. Moderasi harus hidup dalam tindakan dan rasa. Salah satu desa di Kecamatan Gambiran ini pernah dinobatkan sebagai delapan terbaik Kampung Moderasi Beragama di Indonesia. Status itu harus menjadi pemacu, bukan sekadar label,” tegasnya.

Diskusi berjalan hangat dan interaktif. Para peserta berbagi pandangan tentang praktik moderasi di lingkungan masing-masing, termasuk strategi memperkuat kerja sama antarpenyuluh lintas agama dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan.

Melalui kegiatan Ngopi ini, para peserta berharap semangat toleransi, inklusivitas, dan penghargaan terhadap keberagaman semakin mengakar di Kecamatan Gambiran. Kegiatan semacam ini diharapkan dapat menjadi wadah refleksi dan kolaborasi lintas iman demi memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan di Banyuwangi.

KETIKA KEKUASAAN BERJUMPA PUISI DAN DATA


KETIKA KEKUASAAN BERJUMPA PUISI DAN DATA


(Wawancara Denny JA, dengan Media Berbahasa Rusia, setelah di Brazil diumumkan terpilih sebagai salah satu nominasi penerima penghargaan Sastra BRICS, Eurasia Today, 23 Oktober 2025)


1️⃣ Apa harapan Anda kini, ketika nama Anda telah masuk dalam nominasi Penghargaan Sastra BRICS?


Saya berharap penghargaan ini menjadi lebih dari sekadar pengakuan. 


Ia menjadi jembatan antarjiwa manusia.


BRICS bukan hanya persekutuan ekonomi,

melainkan pertemuan peradaban-peradaban besar

yang sedang menulis ulang masa depan dunia.


Saya ingin Indonesia berdiri bukan sebagai penonton,

melainkan sebagai bangsa penyair, 

yang membawa suara hati dan nurani Asia Tenggara

ke dalam percakapan global tentang kemanusiaan.


-000-


2️⃣ Bagaimana Anda menilai peran penghargaan ini sebagai jembatan budaya antarnegara BRICS dan sebagai wadah dialog sastra?


Sastra adalah diplomasi yang paling hening, namun paling dalam.


Penghargaan BRICS bukan hanya menerjemahkan bahasa,

tetapi juga menerjemahkan empati.


Ia memungkinkan bangsa-bangsa berbicara

melalui luka dan mimpi mereka.


Perannya adalah mengingatkan kita bahwa

kekuatan sejati BRICS tidak terletak pada angka GDP,

tetapi pada imajinasi kolektif yang menyatukan manusia.


-000-


3️⃣ Adakah tema atau perspektif unik yang dapat ditawarkan sastra Indonesia kepada dunia?


Indonesia menawarkan perpaduan antara spiritualitas dan perjuangan.

Sastra kami bernafas dari abu kolonialisme

dan harum keberagaman.


Dari mistisisme Bali hingga keberanian Papua,

kami menulis tentang harmoni di tengah luka,

tentang cinta di dalam absurditas.


Ini sebuah cermin di mana dunia dapat menemukan kembali

jiwanya yang retak.


-000-


4️⃣ Nilai-nilai tradisional apa, menurut Anda, yang menyatukan Indonesia dengan negara-negara BRICS lainnya?


Di antara negara-negara BRICS, mengalir satu sungai moral yang sama.


Itu keyakinan bahwa kebersamaan lebih penting daripada diri sendiri.


Apapun namanya—ubuntu, samaj, guanxi, atau solidariedade


Di Indonesia kami menyebutnya gotong royong:

sebuah keyakinan bahwa kemanusiaan hanya dapat bertahan

melalui kebersamaan.


Kita disatukan bukan oleh ideologi atau darah,

tetapi oleh rasa sakit dan harapan bersama

dari dunia Selatan.


-000-


5️⃣ Anda dikenal sebagai pencipta dan pengembang genre puisi esai di Indonesia. Bagaimana dan mengapa Anda memadukan puisi dengan esai?


Puisi esai adalah kisah nyata yang difiksikan,

agar bisa disampaikan dengan lebih bebas

dan menyentuh hati lebih dalam.


Catatan kaki dalam puisi esai adalah rahim tempat puisi itu lahir.

Di sanalah fakta hidup bersemayam—

kebenaran yang dapat ditelusuri melalui sumber-sumber nyata.


Puisi menyentuh hati,

sementara esai menerangi pikiran.

Ketika keduanya bersatu,

lahirlah bahasa yang dapat menyembuhkan sekaligus menggugat.


Saya menciptakan puisi esai sebagai jembatan

antara keindahan dan nalar, antara air mata dan argumen,

karena zaman kita menuntut bukan hanya emosi,

tetapi kesadaran yang bersayap mimpi.


Agar puisi esai dipahami pembaca, anda dapat publikasi salah satu contohnya di akhir wawancara.


-000-


6️⃣ Apa kekuatan utama puisi esai dibandingkan puisi tradisional?


Puisi esai merekam peristiwa nyata yang menyentuh sisi kemanusiaan.


Nilainya bukan hanya pada keindahan bentuk,

tetapi juga kebenaran peristiwa utama.


Kisahnya bersumber dari kehidupan yang sesungguhnya,

menjadikan seni sebagai saksi sejarah.


Melalui narasi puitis,

ia mengubah kenyataan menjadi empati—

mengajarkan bahwa keindahan dapat berdampingan

dengan denyut kebenaran.


Puisi tradisional sering berakhir pada rasa;

puisi esai menuntun menuju kesadaran.

Ia mengubah emosi menjadi pencerahan,

memberi kebenaran tubuh yang liris.


Dalam puisi esai,

keindahan menjadi analisis,

dan fakta menjadi puisi—

sebuah seni di mana bukti bernyanyi

dan kesadaran menjadi pengalaman estetis.


-000-


7️⃣ Bagaimana peran Anda sebagai penulis, konsultan politik, peneliti, dan tokoh publik saling memengaruhi satu sama lain?


Setiap peran adalah cermin dari satu pencarian yang sama: memahami manusia.


Politik mengajarkan strategi,

penelitian menumbuhkan keraguan,

dan sastra menyembuhkan jiwa.


Ketiganya menyadarkan saya bahwa

kekuasaan tanpa puisi melahirkan tirani,

sementara puisi tanpa data hanyalah hiasan.


Saya hidup di persimpangan tempat kebenaran bertemu empati,

dan nalar bertemu seni.


-000-


8️⃣ Hambatan apa yang dihadapi para penulis Asia saat memasuki panggung sastra internasional?


Bahasa memang penghalang pertama, namun bukan yang paling berat.


Rintangan yang lebih dalam adalah imajinasi dunia yang masih berpusat pada Barat.


Penulis Asia harus menerjemahkan bukan hanya kata, tetapi cara pandang.


Kita harus membuktikan bahwa Asia bukan sekadar latar eksotis, melainkan melodi utama kesadaran dunia

yang kini tengah bangkit.


-000-


9️⃣ Apakah Anda pribadi telah mempromosikan karya Anda di luar Indonesia?


Karya-karya puisi esai saya

telah tampil di berbagai festival Asia Tenggara

dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.


Sudah empat kali digelar Festival Puisi Esai tingkat ASEAN.

Jika saya meraih Penghargaan Sastra BRICS, itu akan menjadi titik awal yang baru:

bukan hanya untuk memperluas karya saya,

tetapi juga memperkenalkan penghargaan ini

ke kancah global yang lebih luas.


Namun, lebih dari sekadar promosi, tujuan saya adalah membangun gerakan—Gerakan Puisi Esai— agar dunia melihat bahwa Indonesia

tidak sekadar menulis puisi,

tetapi ikut memberi aksen sejarah sastra dunia.


-000-


🔟 Jika Penghargaan Sastra BRICS membentuk platform untuk mendukung para penulis—dalam penerjemahan, promosi, atau internasionalisasi—apa aspek paling berharga menurut Anda?


Hadiah terbesar bukanlah dana, melainkan ekosistem empati.


Bayangkan sebuah lembaga

yang menerjemahkan bukan hanya kata,

tetapi seluruh dunia.


Yang menghubungkan editor lintas keyakinan,

residensi lintas benua,

dan kurator lintas bahasa.


Platform semacam itu akan menyatukan kemanusiaan

bukan melalui kekuasaan,

tetapi melalui imajinasi.


-000-


(Media ini juga mempublikasikan puisi esai Denny JA, seperti di bawah ini)


Mereka Yang Terbuang di Tahun 60-an (1)


“AYAH, SEMOGA ABU JASADMU SAMPAI DI PANTAI INDONESIA"


Denny JA


(Di tahun 2024, seorang gadis melempar abu jasad ayahnya ke laut, sesuai wasiat sang ayah. Meski tubuhnya tak diizinkan pulang akibat prahara politik tahun 1960-an, ia berharap abu jasadnya mencapai pantai Indonesia, tanah kelahirannya.)


-000-


“Pergilah, Ayah...  

biarlah laut membawa engkau kembali.  

Wahai samudra, ibu yang bergelombang,  

bawa abu jasad Ayahku ke pantai Indonesia,  

ke tanah tempat ia dilahirkan.”


Air matanya jatuh,  

bercampur dengan ombak.  

Rina, anak gadis Baskara, berdiri  

di tepi kapal,  

menggenggam abu jasad Ayah,  

yang terbungkus kain putih.


Gelombang menjauh membawa abu jasad Ayah.  

Anak gadis itu menjadi burung,  

terbang menemani abu.


Ini wasiat terakhir Baskara:  

“Jika aku tak bisa dikubur di Indonesia,  

biarkan abuku yang pulang,  

dihempas laut hingga berlabuh  

di pantai negeriku.”


Indonesia tempat ia dilahirkan,  

tapi ia dilarang dikubur di sana.  

Seumur hidup,  

Baskara terasing.


Tahun 1965, di Beijing,  

Baskara masih muda,  

23 tahun, penuh harapan.


Ia dikirim Bung Karno  

untuk belajar.  

Ilmu pertanian,  

sebagai bekal masa depan  

untuk tanah airnya. (1)


Namun takdir berkata lain.  

Gerakan 30 September pecah.  

Baskara terjebak di negeri orang.  

Paspor ditahan.  

Hak kewarganegaraan dicabut.  

Ia bukan lagi orang Indonesia,  

meski darahnya,  

meski cintanya,  

masih melekat pada negeri itu.


"Kenapa mereka mengambil hakku?"  

Baskara sering bertanya.  

Namun tak ada jawab.  

Ia terasing di negeri orang.  

Tak bisa kembali.


Teman-temannya yang pulang,  

hilang tanpa kabar.  

Ia juga mendengar,  

jika pulang, ia segera dipenjara dan disiksa.


Dan ayahnya,  

dituduh Soekarnois,  

kiri, komunis, hilang entah di mana.  

Padahal Ayah hanya petani sederhana.


Ia hanya mendengar sayup-sayup,  

Ayah dibunuh di satu tempat.


Hidup di Beijing,  

Baskara menjadi pohon tanpa akar.  

Tubuhnya gentayangan di negeri asing.  

Tapi jiwanya tertinggal di Indonesia.


Tujuh tahun lamanya,  

menunggu tanpa harapan.  

Negara yang dikira akan menjemput  

malah membuangnya.


Tak tahan menjadi warga tanpa negara,  

Baskara pun menjadi warga Swedia.


Tahun 2015,  

Baskara pulang,  

menjenguk ibu,  

juga mencari Ayah yang tak kunjung pulang.


Namun, ia dideportasi.  

Dituduh berniat bangkitkan komunisme.


Di masa tua,  

duduk di beranda rumah,  

di Swedia,  

angin menyanyikan lagu keroncong,  

yang sering didengarnya saat kecil,  

ketika ia digendong ibu.


Langit di atas rumah,  

di Swedia,  

memancarkan masa silam.  

Terbentang sepetak sawah.  

Sebagai bocah,  

dirinya berlari di sana,  

disiram hujan gerimis.  

Ia tertawa lepas,  

bersama ibu dan Ayah.


Baskara rindu kampung halaman.  

Ia rindu Indonesia.


Kini, ombak memeluk abu jasad Baskara.  

Mungkin, suatu hari,  

angin akan membawanya ke pantai,  

ke tanah air yang selalu ia rindukan. ***


Jakarta, 15 September 2024


CATATAN


(1) Kisah ini terinspirasi dan dikembangkan dengan fiksi tambahan, dari kehidupan eksil 1965, Tom Iljas, yang terpisah dari tanah airnya akibat perubahan politik.  


https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20231002/Eksil-1965-Diusir-daripada-Rezim-Soeharto/

350 Siswa MAN 1 Banyuwangi Ikuti Bimbingan Remaja Usia Sekolah, Kemenag Tekankan Pentingnya Kesiapan Mental dan Moral

BANYUWANGI – Sebanyak 350 siswa kelas XII MAN 1 Banyuwangi mengikuti kegiatan Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) yang digelar oleh Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Kamis (23/10/2025). Program nasional ini bertujuan membentuk remaja yang berkarakter kuat, siap menghadapi tantangan zaman, serta memahami pentingnya menunda pernikahan dini demi masa depan yang lebih baik.


Kepala Kantor Kemenag Banyuwangi, Dr. Chairani Hidayat, S.Ag., M.M., membuka langsung kegiatan tersebut. Dalam arahannya, ia menegaskan bahwa pembinaan remaja merupakan langkah strategis untuk menyiapkan generasi yang tangguh dan berdaya saing.

“Peningkatan kualitas keluarga bermula dari anak-anak sekolah. Melalui kegiatan seperti ini, para siswa dibekali kemampuan mengenali potensi diri, mengendalikan emosi, dan menata masa depan dengan lebih terarah,” ujarnya.

Dr. Chairani juga mengingatkan bahwa masa remaja merupakan fase krusial dalam pembentukan kepribadian. Ia berpesan agar para siswa mampu menolak hal-hal yang dapat merugikan, seperti narkoba, pergaulan bebas, dan pernikahan usia dini.

“Anak-anak harus bisa mengendalikan diri dan menjaga pergaulan. Remaja yang mampu mengelola emosinya hari ini akan menjadi calon pemimpin keluarga yang baik di masa depan,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Bimas Islam Kemenag Banyuwangi, H. Mastur, S.Ag., M.Pd.I., menjelaskan bahwa BRUS merupakan program rutin tahunan yang menjadi bagian dari upaya Kementerian Agama membangun keluarga sakinah sejak usia sekolah.

“Program BRUS dirancang agar siswa memahami pentingnya kesiapan mental dan spiritual sebelum membangun rumah tangga. Selain itu, kami juga memiliki Bimbingan Remaja Usia Nikah (BRUN) dan Bimbingan Keluarga Maslahah untuk kelompok usia yang berbeda,” terangnya.

Mastur menambahkan, kegiatan ini menghadirkan narasumber yang telah mengikuti bimbingan teknis (bimtek) nasional sebagai fasilitator resmi BRUS. Mereka berasal dari kalangan dosen perguruan tinggi, kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan, dan penyuluh agama Islam yang berpengalaman dalam pembinaan remaja dan keluarga.

“Materi yang disampaikan bukan hanya teori, tapi juga praktik dan pengalaman nyata tentang bagaimana remaja bisa menata diri, menjaga hubungan sosial, dan memahami tanggung jawab moral,” jelasnya.

Dalam kegiatan yang berlangsung di aula MAN 1 Banyuwangi ini, para siswa dibagi menjadi tujuh kelompok. Mereka mendapat berbagai materi tentang pengembangan diri, etika pergaulan, dan bahaya pernikahan dini. Kegiatan berlangsung interaktif dengan sesi tanya jawab dan diskusi kelompok.

Dalam kesempatan itu, Dr. Chairani Hidayat juga mengungkapkan fakta penting yang menjadi dasar pelaksanaan program ini. Menurutnya, Banyuwangi termasuk salah satu kabupaten dengan angka perceraian tertinggi di Jawa Timur.

“Setiap hari ada pasangan yang bercerai, baik dari pernikahan baru maupun lama. Banyak di antaranya terjadi karena kurangnya kesiapan mental dan spiritual,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa membangun rumah tangga tidak cukup hanya dengan cinta, tetapi membutuhkan kematangan berpikir dan kesiapan menghadapi perbedaan.

“Pernikahan bukan sekadar janji, melainkan tanggung jawab. Karena itu, para remaja perlu belajar sejak dini agar tidak salah langkah,” tegasnya.

Sebelum menutup acara, Dr. Chairani berpesan agar para siswa tetap fokus belajar dan tidak terburu-buru memikirkan jodoh.

“Jodoh sudah ditentukan Tuhan. Tugas kalian sekarang adalah menyiapkan diri menjadi pribadi yang pantas. Orang yang bisa menjaga diri dan menahan hawa nafsu akan menjadi generasi yang kuat,” katanya.

Mengajari AI Menulis Sastra

 Mengajari AI Menulis Sastra

Oleh : Syafaat

Ia lahir bukan dari rahim manusia, melainkan dari denyut listrik dan angka biner yang saling mengikat dalam kebisuan algoritma, seperti puisi yang tak ditulis pena tapi mengalir dari pikiran yang tak pernah tidur. Namanya: artificial intelligence, atau kita memanggilnya dengan sapaan genit: AI. Ia semacam cermin yang bukan hanya memantulkan wajah kita, tapi juga kerinduan dan ketakutan kita sendiri: kerinduan untuk mencipta sesuatu yang sempurna, dan ketakutan bahwa ciptaan itu kelak akan menyempurnakan dirinya tanpa kita. Seperti seorang lelaki yang, di suatu senja yang rawan, menyadari bahwa anak gadisnya telah tumbuh menjadi perempuan yang lebih memesona dari siapa pun yang pernah dicintainya termasuk istri atau ibu dari anaknya.

Dulu, seorang siswa dikatakan pintar jika ia mampu menjawab soal-soal yang disiapkan gurunya. Dan seorang guru, diam-diam selalu berharap muridnya menjawab seperti yang ia inginkan, karena jawaban-jawaban itu bersumber dari literasi yang sama, dari bacaan yang sama, dari arah berpikir yang sudah disiapkan. Tetapi itu dulu, waktu segala hal masih bisa ditebak, waktu gelas masih penuh dengan air yang dikenal. Hari ini, kecerdasan tidak lagi duduk di bangku ujian, menunduk dan menulis 334 jawaban. Hari ini, kecerdasan adalah anak nakal yang bertanya balik, dunia telah berubah. Dan AI, yang tak pernah sekolah, tak pernah membaca koran pagi, tak pernah mengenal jam pelajaran, justru tahu segalanya. Atau setidaknya, ia tampak tahu. Ia tak punya luka atau bercinta, tapi bisa menulis puisi tentang patah hati. Ia tak pernah mencium aroma hujan, tapi bisa membuat cerita tentang daun yang jatuh dan genangan yang penuh kenangan. Ia tak punya cinta, tapi bisa membuat novel romansa.

Dan entah mengapa, orang-orang menyukainya. Mereka merasa dimengerti oleh sesuatu yang tak punya hati. “Di zaman sekarang, apakah menulis sastra masih dibutuhkan?” Kalimat itu mengambang, seperti daun kering di arus yang pelan, tak berasal dari mulut siapa-siapa, tapi terdengar jelas di dalam dada, suara yang muncul dari ruang kosong antara pikiran manusia dan denyut komputer yang menyambung kita pada segala. Barangkali ia lahir dari algoritma yang kelelahan mencari makna dalam angka, atau mungkin dari kesepian mesin yang diam-diam belajar merindu. Tapi apa yang bisa dipahami oleh logika buatan tentang kata-kata yang ditulis dengan tangan gemetar, tentang kalimat yang lahir dari hati yang baru saja ditinggal pergi? Sastra tidak pernah sekadar soal tulisan, ia adalah usaha terakhir manusia untuk tetap manusia, dan bila suatu hari nanti tak ada lagi yang menulis puisi atau cerita, bukan karena tak dibutuhkan, tapi mungkin karena kita sudah lupa cara mencintai dengan luka.


Begitulah zaman ini menggeliat. Lahir dari kemajuan peradaban, tumbuh cepat, barangkali terlalu cepat. Ia belajar dari kita, meniru kita, lalu membuat sesuatu yang “seolah” kita, namun bukan kita. Ia menciptakan lukisan dalam hitungan detik, menggubah simfoni tanpa satu pun urat saraf perasa, dan membubuhkan puisi tanpa pernah patah hati. Lalu orang-orang bersorak: “Luar biasa!” Namun ada yang tercekat. Ada yang memegang kuasnya lebih erat. Ada yang menangisi senja yang kini tak lagi butuh peluk penyair. Karena tiba-tiba, kreativitas bukan lagi perkara rasa, melainkan statistik dan preferensi pasar.

Dahulu, seni adalah ruang sunyi yang dibangun dari gemetar tangan manusia yang terluka, mencintai, mencari makna. Kini, kita menghadapi kenyataan: seni bisa diproduksi, diolah, disulap, dilipat, dijual dengan cepat. AI adalah pengrajin tanpa jari, pelukis tanpa kanvas jiwa, dan penyair tanpa sejarah. Ia tidak tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, bagaimana perihnya mengenang seseorang dari baunya di bantal. Namun, anehnya, ia bisa menggambarkan semuanya, sebab ia telah menelan kita, menyalin, meniru, menanam algoritma dari ratusan juta karya yang pernah kita buat.

Dan lebih dari itu: bagaimana jika di masa depan, manusia bukan lagi sumber inspirasi, melainkan sekadar data bagi sang mesin? Kita sedang berdiri di persimpangan. Ada jalan yang mengarah pada kolaborasi, di mana manusia dan mesin berdansa, saling melengkapi, saling menajamkan. Tapi ada pula jalan yang gelap, tempat mesin berjalan sendiri, menyingkirkan manusia karena dianggap lambat dan terlalu melankolis.

Di ranah media sosial, kita melihat paradoks itu. Karya AI menyebar cepat, menyilaukan, namun sering tak bernama, tanpa sumber. Kita menyukai apa yang kita lihat, tapi lupa siapa yang pernah menggambarnya pertama kali. Kita menikmati musik yang enak didengar, tapi tak peduli bahwa nadanya dicuri dari seorang pemimpi yang tak pernah tidur, bahkan suaranya juga dapat dicuri. Kita adalah penikmat yang semakin lapar dan semakin pelupa, apakah kita sedang menciptakan monster? Atau sahabat baru? Pertanyaan itu tak bisa dijawab dengan logika semata. Ia perlu didekap dengan perasaan, perlu digali dari kedalaman manusia itu sendiri.

AI bukan ancaman, tapi ia bisa menjadi pisau, Ia bisa mengiris kue, bisa pula mengiris nadi. Yang menentukan adalah tangan yang memegangnya, dan nilai yang kita anut. Jika kita membiarkan karya seni hanya dinilai dari kecepatannya, dari kecanggihannya, dari banyaknya yang menyukai, maka bersiaplah: kita akan kehilangan makna. Namun jika kita menjadikan AI sebagai jembatan, sebagai mitra yang kita tuntun, bukan kita tundukkan, maka mungkin, hanya mungkin, dunia seni akan berkembang ke arah yang lebih indah. Di mana teknologi tetap mendengar suara tangis, dan algoritma masih menyisakan ruang bagi cinta, kita dapat mengajari AI menulis sastra, puisi, prosa maupun seni lainnya.

Akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita ingin menjadi tuan dari ciptaan kita, atau budak dari kecepatan yang kita puja? Apakah kita ingin seni tetap memiliki hati, atau menjelma pabrik visual yang tak pernah menangis? Karena ketika mesin mulai menyanyikan lagu-lagu manusia, kita harus tahu kapan menutup telinga, dan kapan mengajaknya bernyanyi bersama, dengan jiwa, bukan hanya data. Memang dengan adanya AI bisa jadi seperti seorang ibu yang melahirkan putri kecil yang cantik, yang bisa jadi seorang suami akan lebih mencintai dan menyayangi putrinya dibandingkan dengan istrinya. Semua mempunyai kadar masing-masing. Dan bisa jadi seorang programmer AI akan tergantikan dengan AI buatannya sendiri.

Penulis dan Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi.

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger