Tentang Aurat, Hate Comment, dan Kesabaran di Era Digital
(Kenangan pembinaan KTIQ Banyuwangi)
Selama tiga hari berturut-turut, saya diminta mendampingi dua penulis muda dalam lomba karya tulis ilmiah Al-Qur’an. Yang perempuan, wajahnya manis, dan sering menulis di media sosial. Ia pandai menyampaikan ide dengan bahasa sederhana. Ia beberapa kali mengikuti pembinaan kampus, dan dari situ saya tahu bahwa dunia tulis-menulis bukan sekadar hobi baginya. Ia serius.
Yang laki-laki, santri. Tulisan-tulisannya pernah menghiasi media digital. Gaya tulisnya seperti tafsir klasik yang diturunkan ke meja makan kita hari ini. Ada kekuatan ketika ia mengutip ulama lama lalu menyambungkannya dengan kondisi zaman sekarang. Saya mendampingi mereka bukan karena saya lebih pandai. Saya kira hanya karena saya dianggap sabar. Sabar, ternyata, lebih dibutuhkan daripada pintar. Anak-anak muda penuh gagasan, seperti air yang pecah dari bendungan: deras, liar, kadang tak terkendali.
Penulis perempuan itu menulis tentang aurat. Aurat, katanya, bukan hanya tentang kain yang menutupi tubuh. Aurat juga tentang kehormatan diri. Dan di media sosial, aurat bisa berupa foto, kata-kata, bahkan curhat yang seharusnya disimpan tapi diumbar. Saya mengingat firman Allah:
> “Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya...” (QS. An-Nur [24]: 31)
Ayat itu sederhana. Tapi lihatlah bagaimana zaman memperumitnya. Dulu, aurat terbuka hanya di pasar atau di jalan. Sekarang aurat bisa dikirim ke ribuan mata hanya dengan satu klik. Dulu, orang menutup tubuhnya dengan kain. Sekarang, ada yang dengan sengaja membukanya, karena ingin dianggap modern, karena ingin diperhatikan, karena ingin mendapat “like” lebih banyak.
Padahal aurat bukan sekadar kain. Aurat adalah benteng kehormatan. Jika benteng itu roboh, maka yang masuk bukan hanya pandangan orang, tapi juga fitnah, syahwat, dan kehinaan. Saya pernah melihat seorang perempuan di media sosial yang membagikan fotonya dengan pakaian terbuka. Awalnya, ia mendapat pujian: “Cantik sekali”, “Modis”, “Wow”. Tapi setelah itu, komentar bergeser: “Murahan”, “Cari perhatian”, “Bahan gosip”. Dalam waktu singkat, ia menjadi bahan gunjingan. Aurat yang diumbar berubah jadi bumerang. Itulah aurat di era digital: sekali terbuka, sulit ditutup kembali.
Sementara itu, penulis laki-laki menulis tentang hate comment. Tentang komentar penuh kebencian yang lahir dari jemari yang tak sabar.
Allah sudah memperingatkan:
> “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra [17]: 36)
Hate comment sering lahir dari ketidaktahuan. Dari dengki. Dari iri. Atau dari hati yang gelap. Di dunia digital, mulut bukan lagi harimau. Jari-jari lebih buas dari mulut. Sekali ketik, sekali kirim, kata-kata meluncur tanpa bisa ditarik kembali. Saya ingat firman Allah:
> “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf [50]: 18)
Kalimat itu jelas. Tidak ada kata yang hilang. Tidak di dunia, tidak di akhirat.
Dan Rasulullah ï·º bersabda:
> “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tetapi lihatlah dunia kita. Semua orang bicara. Bahkan mereka yang seharusnya diam. Negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Kita bisa melihatnya dari cara para pejabat bicara. Ada yang asal ucap, ada yang meluncurkan kata-kata seperti peluru nyasar. Maksudnya mungkin biasa saja, tapi sampai di telinga rakyat yang sedang lapar, kata-kata itu jadi bara. Saya masih ingat seorang pejabat berkata, “pajak naik sedikit itu biasa.” Padahal, bagi rakyat yang uangnya hanya cukup untuk makan sehari, “sedikit” itu bisa berarti tidak makan. Dan ketika ucapan itu menyebar lewat media sosial, rakyat merasa dihina. Di sinilah bahayanya. Sebuah kalimat bisa menggerakkan ribuan orang. Apalagi jika disebarkan oleh algoritma yang tak kenal belas kasihan.
Dulu, sebelum ada internet, kata-kata masih melewati pintu redaksi koran, atau filter televisi. Sekarang tidak ada pintu. Tidak ada filter. Bahkan identitas pun bisa disamarkan.
Orang bisa menghina tanpa menampakkan wajah. Bisa menebar fitnah dengan nama palsu. Bisa menyerang orang lain tanpa pernah keluar rumah. Kadang saya merasa, kita sedang hidup di zaman paling aneh: orang bisa mati hanya karena kata-kata yang ditulis orang asing yang wajahnya pun tak pernah kita lihat.
Dan saya teringat firman Allah:
> “Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 191)
Betul. Fitnah di media sosial bisa lebih mematikan daripada peluru. Saya melihat dua penulis muda itu, dan saya berpikir: menulis bisa jadi jalan untuk menahan diri. Menulis membuat seseorang berpikir lebih lambat. Tidak seperti komentar yang asal ketik lalu kirim. Menulis memaksa kita menimbang kata, memilih kalimat. Dan di situlah letak kesabaran. Saya merasa orang yang menulis dengan hati lebih dekat kepada Tuhan daripada orang yang sibuk bicara dengan lidah. Karena menulis itu pekerjaan sunyi.
Allah berfirman:
> “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Hud [11]: 115)
Kesabaran bukan sekadar menahan marah. Kesabaran juga menahan jari, menahan kata, menahan keinginan untuk selalu tampak di depan orang lain. Mungkin, inilah pelajaran dari tiga hari itu: bahwa aurat dan hate comment hanyalah pintu masuk. Di baliknya, ada soal yang lebih besar. Soal bagaimana manusia menempatkan dirinya di zaman yang serba cepat ini.
Apakah kita masih tahu batas?
Apakah kita masih menjaga lisan?
Apakah kita masih menahan diri dari fitnah?
Kita tidak bisa mengembalikan zaman. Yang bisa kita lakukan hanya menjaga diri. Menjaga kata, menjaga aurat, baik aurat tubuh maupun aurat jiwa. Dan saya berharap dua penulis muda itu terus menulis. Karena di tengah riuh bising komentar digital, kita butuh suara yang jernih.
Dan kesabaran, sebagaimana janji Allah, adalah pintu yang paling dekat menuju-Nya.
Komentar
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar