Pages

Home » » Peringatan Maulid Nabi dan Telur Jodang di Banyuwangi

Peringatan Maulid Nabi dan Telur Jodang di Banyuwangi

Di Banyuwangi, peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menjadi sekadar kalender rutin. Ia hadir seperti musim yang ditunggu. Orang-orang menyebutnya dengan berbagai nama, tetapi di desa-desa ia selalu datang dengan warna yang khas. Ada tabuhan rebana, ada suara shalawat yang saling sahut, ada arak-arakan yang memadati jalan kecil, dan ada simbol sederhana yang membuatnya berbeda dari tempat lain: sebutir telur yang dihias, ditancapkan pada batang pisang, lalu dipikul bersama keliling kampung.

Endhog-endhogan. Begitu orang Banyuwangi menyebutnya. Batang pisang yang menopang telur-telur itu dinamakan jodang atau jojohan gedang. Dari jauh, jodang tampak seperti pohon ajaib yang berbuah warna-warni. Dari dekat, ia lebih mirip kesabaran yang berdiri tegak: batang pisang yang rela menanggung beban, dan telur-telur yang bersinar karena dihias dengan cinta sederhana.

Saya pernah melihat seorang anak kecil, kira-kira usia sembilan tahun, berdiri di depan rumah sambil memandangi jodang yang sedang disiapkan bapaknya. Ia menatap telur-telur berwarna merah, biru, hijau, dan kuning yang menancap rapi. Wajahnya penuh kekaguman. Sesekali ia mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh, tetapi buru-buru ditahan. Seakan ia tahu, ada sesuatu yang sakral di sana. Kelak, ia akan ikut berarak, ikut menyanyikan shalawat dengan suara yang mungkin tak beraturan, tetapi penuh semangat. Dari wajah anak itu, saya merasakan betapa agama tidak selalu hadir lewat ceramah panjang. Kadang ia datang melalui warna kertas di sebutir telur.

Setiap Rabiul Awal, halaman rumah di desa berubah menjadi bengkel sederhana. Para ibu menyiapkan telur, merebusnya, menghiasnya dengan kertas minyak warna-warni, menambahkan bendera kecil di ujung tusuk. Para bapak menebang batang pisang di kebun belakang, mengukur panjangnya, menancapkan telur satu per satu hingga penuh. Di sekitar mereka, anak-anak menunggu dengan wajah berbinar, seperti menunggu hari raya. Ada aroma rebusan telur yang menyatu dengan suara orang-orang dewasa yang tertawa kecil sambil bekerja. Ada suasana gotong royong yang mengikat rumah-rumah dengan benang tak kasatmata.

Ketika pagi tiba, jodang-jodang dipikul bergantian. Shalawat mengalun, rebana dipukul, dan jalan-jalan desa yang biasanya sepi berubah menjadi ruang pertemuan. Di setiap langkah, ada doa yang berjalan. Di setiap tabuhan, ada kerinduan yang naik ke langit. Saya pernah berjalan di belakang arak-arakan itu. Dari jauh, saya melihat barisan jodang bergerak seperti hutan kecil yang berpindah. Dari dekat, saya mendengar suara orang-orang tua melantunkan Barzanji dengan suara yang bergetar. Saya pikir, inilah cara paling sederhana orang Banyuwangi mengingat Nabi: bukan dengan kata-kata besar, tetapi dengan telur yang diarak seperti hadiah kecil yang dipersembahkan untuk langit.v

Di masjid atau mushola, jodang-jodang disusun rapi. Kitab Al-Barzanji dibacakan. Nama Nabi Muhammad kembali disebut, kisah kelahiran beliau kembali dihidupkan. Satu per satu bait syair menyalakan ingatan, bahwa pernah ada manusia yang datang dengan kelembutan, yang mampu mengubah arah sejarah hanya dengan kasih. Beliau memimpin tanpa istana. Beliau menjadikan masjid sebagai pusat musyawarah. Beliau menegakkan Piagam Madinah sebagai tanda bahwa damai itu mungkin, bahkan di tengah perbedaan yang tajam. Semua dijalankan dengan kasih sayang, bukan kekerasan.

Tradisi endhog-endhogan adalah cermin kecil dari semangat itu. Telur bulat mengajarkan tentang kesempurnaan hidup. Lapisan di dalamnya—kulit, putih, dan kuning—adalah peringatan tentang Islam, Iman, dan Ihsan: tiga hal yang saling membungkus. Batang pisang sebagai jodang adalah gambaran kerendahan hati: mudah dipotong, mudah dibentuk, tetapi sanggup menopang beban tanpa keluhan. Arak-arakan adalah lambang kebersamaan. Sebuah pesan bahwa iman tak pernah berjalan sendirian, selalu ada bahu yang ikut memikul.

Di Banyuwangi, perbedaan etnis dan agama tidak pernah sepenuhnya menjadi sekat. Ia lebih sering berubah menjadi harmoni. Dan ketika Maulid tiba, harmoni itu semakin nyata: semua larut dalam satu perayaan yang sama, meski berasal dari latar berbeda. Di sinilah endhog-endhogan bekerja sebagai bahasa cinta. Sebuah bahasa yang lahir dari iman, tetapi dipeluk oleh budaya.

Ketika acara selesai, telur-telur itu dibagikan. Anak-anak berebut dengan tawa riang, orang-orang tua menatapnya dengan senyum lega. Sebutir telur yang biasa, tiba-tiba berubah menjadi berkah. Ada doa yang ikut termakan bersama putih dan kuningnya. Ada cinta Nabi yang diam-diam menyusup melalui tradisi.

Ada yang mungkin menertawakan semua ini. Mereka berkata: menghias telur tidak ada di zaman Nabi. Benar, bentuknya memang tidak pernah ada. Tetapi bukankah agama selalu menemukan bentuknya di dalam kebudayaan? Bukankah cinta bisa hadir lewat apa saja, bahkan lewat sebutir telur yang dihias dengan kertas warna? Selama tradisi ini mengajarkan syukur, cinta, dan kebersamaan, bukankah di situ letak ibadahnya?

Endhog-endhogan adalah cara masyarakat Banyuwangi merawat ingatan pada Nabi. Ingatan itu tidak hanya dibaca di kitab, tidak hanya didengar di mimbar, tetapi dihidupkan dalam bentuk yang bisa disentuh, diarak, dibagikan, dan dirasakan. Saya pikir, agama yang hidup adalah agama yang menyalakan ingatan. Dan ingatan itu harus menemukan bentuknya agar bisa diwariskan.

Dan setiap kali jodang dipikul keliling kampung, setiap kali shalawat mengalun dari mulut-mulut sederhana, seakan terdengar kembali bisikan paling halus dari Nabi: bahwa ajaran Islam adalah rahmat, bukan hanya bagi satu kaum, melainkan bagi seluruh alam.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Copyright © 2013. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger