*Pelantikan di Tempat Sampah: Dari Pelayan Menjadi Cermin Birokrasi Banyuwangi*
ASN adalah pelayan masyarakat, kalimat itu sederhana, seberat gunung, sering kita dengar dalam pidato pejabat, keluar dari mulut dengan intonasi tegas, kadang dengan tatapan yang ingin meyakinkan, namun, seperti doa yang terlalu sering diulang, ia kerap kehilangan makna, di banyak kantor, di banyak meja dengan tumpukan berkas, kalimat itu tak lebih dari hiasan dinding. ASN, alih-alih melayani, duduk seperti penguasa kecil, menunggu rakyat datang dengan segala ketidakberdayaan, lalu dengan satu tanda tangan menentukan arah hidup orang banyak. Sejarah panjang birokrasi kita mengabadikan wajah-wajah itu: wajah yang lebih suka dilayani daripada melayani, tetapi Banyuwangi, dalam beberapa tahun terakhir, mencoba berbicara dengan bahasa simbol, sebuah eksperimen kecil tentang bagaimana sebuah pelantikan bisa berubah menjadi pesan moral, simbolisasi, yang biasanya hanya ada di ruang seni, tiba-tiba hadir di ruang birokrasi. Mujiono, dulu Kepala Dinas PU CKPP, kini Wakil Bupati, pernah dilantik sebagai Sekda di halaman Mal Pelayanan Publik, pada 28 September 2019. Ia tidak berdiri di panggung hotel, tidak di pendopo atau aula dengan karpet merah, melainkan di jantung kota, tempat rakyat antre panjang untuk mengurus KTP, akta kelahiran, surat izin, dokumen yang menentukan kelangsungan hidup, dari sana, pesan yang ingin dibawa jelas: pejabat tidak boleh hanya duduk di kursi empuk, ia harus terbiasa berada di tengah denyut rakyat, di tengah keringat dan keluh kesah, di ruang tempat birokrasi benar-benar diuji.
Lima tahun kemudian, giliran Dr. Ir. H. Guntur Priambodo, MM, menerima mandat Sekretaris Daerah, dan tempat yang dipilih lebih ekstrem: sebuah lokasi pengelolaan sampah, dengan bau yang tidak pernah bisa ditutup parfum, dengan suasana yang tidak pernah bisa dikemas menjadi mewah, di situlah ia berdiri, di tengah tumpukan yang sering dianggap jijik, menerima beban tanggung jawab, simbol itu tidak main-main: birokrasi harus berani turun ke ruang kotor, ruang berbau, ruang yang rumit, sebab di sanalah rakyat sebenarnya berjuang, dalam persoalan yang tidak wangi, dalam sampah-sampah kehidupan yang harus diurai, pertanyaannya, sebagaimana selalu muncul dalam hati rakyat: apakah simbol itu akan tinggal simbol?, apakah pelantikan di mal dan di TPS akan berhenti di galeri berita, atau benar-benar menjadi kompas moral birokrasi?, rakyat, yang sabarnya sering diuji oleh antrean panjang dan wajah dingin petugas, tidak lagi percaya pada simbol belaka, mereka menunggu bukti: apakah pelayanan publik benar-benar lebih mudah?, apakah birokrasi lebih transparan?, apakah ASN berhenti menjadi penguasa kecil dan benar-benar hadir sebagai pelayan?
Guntur, dengan pengalaman panjang, membawa reputasi sebagai pejabat yang komit pada transparansi. Ia sering disebut disiplin, konsisten, seperti seorang pesepeda yang tahu betul bahwa kayuhan panjang tidak boleh terhenti di tanjakan, kini ia harus mengayuh bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh Banyuwangi. Ia dituntut menjaga ritme, merawat semangat, sekaligus menghadirkan wajah birokrasi yang lebih humanis, tetapi publik tidak pernah buta, mereka tahu ASN menerima gaji tetap, tunjangan, fasilitas, mereka tahu tanda tangan pejabat tidak boleh dijual dengan harga tak pantas, mereka tahu kalimat “ASN adalah pelayan masyarakat” bukan kutipan indah, melainkan janji yang harus dibuktikan di meja pelayanan. Perbandingan dua pelantikan Sekda ini menarik untuk dicatat: satu di Mal Pelayanan Publik, satu di Tempat Pengelolaan Sampah, dua tempat yang sama-sama penuh manusia, meski fungsinya berbeda, di mal, rakyat datang dengan harapan: mengurus dokumen, menata kehidupan, di TPS, rakyat datang dengan sisa kehidupan: sampah rumah tangga, limbah usaha, residu yang sudah tidak berguna. Dua-duanya adalah kenyataan yang tidak bisa dipisahkan dari birokrasi. ASN tidak boleh hanya mengurusi dokumen yang rapi, mereka juga harus berani masuk ke ruang-ruang berbau busuk, tempat masalah riil berserakan. Simbol ini mengandung ironi sekaligus harapan. Ironi, karena birokrasi sering dianggap sebagai sampah itu sendiri: tempat orang harus membayar lebih, menunggu lebih lama, menghadapi wajah masam, harapan, sebab dari ruang sampah kita belajar: yang bau bisa diolah, yang kotor bisa dibersihkan, yang rumit bisa ditata, sampah adalah cermin: ia mengingatkan kita bahwa manusia tidak pernah steril, hidup selalu menghasilkan residu. Birokrasi, kalau mau jujur, hanyalah mesin pengelolaan residu sosial.
Apa sebenarnya birokrasi yang humanis? Bukan sekadar menempelkan senyum di poster. Humanis berarti memahami bahwa setiap orang yang datang membawa beban: ada yang cemas karena urusannya genting, ada yang lelah karena sudah berhari-hari bolak-balik, ada yang buta huruf dan tidak tahu harus mengisi formulir apa. Birokrasi yang humanis tidak memperlakukan mereka sebagai “pemohon,” melainkan sebagai sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. ASN yang humanis sadar bahwa satu tanda tangan bisa menentukan apakah seorang anak bisa masuk sekolah, apakah sebuah usaha bisa berjalan, apakah seorang ibu bisa mendapat akses kesehatan, pelayanan bukan sekadar administrasi; ia adalah jembatan keadilan sosial, namun, jalan itu tidak pernah mudah. Guntur kini berada di posisi yang sulit. Ia harus menjaga ritme birokrasi yang kaku, penuh aturan, tetapi pada saat yang sama diminta memberi wajah yang lembut, ramah, dan cepat. Banyuwangi, dengan segala prestasi yang sudah ditulis di laporan pembangunan, tidak boleh berhenti di euforia. Ia butuh nafas baru, agar birokrasi tidak menjadi museum penghargaan.
ASN harus belajar ulang dari hal-hal sederhana: dari cara menyapa, dari kecepatan layanan, dari keberanian menolak gratifikasi. Digitalisasi, misalnya, bukan hanya soal aplikasi, tetapi soal apakah aplikasi itu benar-benar membantu rakyat atau justru menambah kebingungan. Jangan sampai teknologi menjadi tembok baru yang lebih tinggi.
Pelantikan di TPS adalah pengingat yang keras: birokrasi tidak boleh hanya wangi di laporan tahunan, tetapi harus rela berkeringat di lapangan. Ia bukan soal pidato pejabat, melainkan soal bagaimana rakyat merasakan perubahannya. ASN, pada akhirnya, adalah cermin negara, kalau ASN buruk rupa, negara ikut terlihat buruk, kalau ASN lambat, negara dianggap lambat, kalau ASN meminta imbalan, negara seolah sedang menjual dirinya. Maka, pelantikan Guntur bukan sekadar pergantian pejabat. Ia adalah ujian bagi janji ASN sebagai pelayan, tidak ada yang bisa ia lakukan dalam sekejap, tetapi setidaknya ia bisa memastikan satu hal: bahwa birokrasi Banyuwangi tidak lagi ingin diperlakukan sebagai penguasa, melainkan benar-benar hadir sebagai pelayan. Rakyat, sebagaimana selalu, akan menilai dengan mata mereka sendiri: apakah simbol-simbol itu menjadi kenyataan, atau hanya menjadi catatan kecil dalam berita pelantikan.
Dan di antara bau sampah yang menyengat itu, mungkin rakyat berbisik dalam hati: jangan biarkan simbol hanyut seperti plastik sekali pakai, jadikan ia kompas, sebab hanya dengan begitu, birokrasi yang sering dicaci sebagai sampah bisa berubah menjadi pupuk: memberi kesuburan bagi kehidupan bersama.
Ketua Lentera Sastra Banyuwangi.
1 komentar:
Semoga Banyuwangi menjadi lebih baik
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar