Langsung ke konten utama

Habitusmu Dirampas, Pajakmu Diganyang

 "Habitusmu Dirampas, Pajakmu Diganyang"

Oleh : Lensa Banyuwangi

Kau bangun pagi. Matahari belum sepenuhnya menembus kabut di kota ini, tapi kau sudah berdiri di depan cermin, menatap wajah yang lelah tapi keras. Kau menyiapkan diri untuk bekerja, bukan sekadar untuk uang, bukan sekadar untuk rutinitas, tapi untuk membangun sesuatu dari dirimu sendiri. Kau membangun habitus. Pierre Bourdieu menamainya habitus: pengalaman yang menyusup ke pikiranmu, cara berpikir yang mulai mengokoh, rasa yang mulai tajam, empati yang meresap ke setiap tindakan. Tanpa itu, katanya, manusia akan menjadi hampa, kepribadian anomali, jiwa rusak. Kau merasakannya. Kau tahu, tanpa rutinitas yang bermakna, tanpa kerja yang menumbuhkan rasa dan refleksi, manusia hanyalah sekadar mesin yang berjalan tapi tak bernyawa.

Kau berjalan ke kantor, atau ke bengkel, atau ke toko kecilmu. Kau bersalaman, kau tersenyum, kau berinteraksi dengan manusia lain yang tak kau kenal baik. Semua itu kau lakukan dengan kesadaran, dengan perhatian, dengan empati yang kau bentuk sendiri lewat pengalaman bertahun-tahun. Kau menanam benih habitus di setiap sudut hidupmu. Setiap percakapan, setiap keputusan kecil, setiap sentuhan pada benda dan orang, adalah latihan untuk jiwa. Kau tahu, kalau habitus tidak terbentuk, kehancuran akan datang perlahan, diam-diam. Bukan perubahan yang lahir, tapi anomali yang memakan manusia dari dalam.v


Dan di sinilah paradoksnya: negara yang kau harapkan hadir sebagai pelindung, sebagai penyedia ruang untuk berkembang, seringkali tak ada. Ia menonton dari kejauhan, diam, seolah dunia yang kau bangun sendiri adalah urusanmu sendiri. Lapangan kerja tidak tersedia. Subsidi tidak jelas. Peluang tidak nyata. Kau digantung di udara. Kau harus bertahan sendiri.

Tetapi begitu kau berhasil. Kau berhasil membangun diri, punya penghasilan, punya karya, punya pencapaian. Kau merasa hidup, merasa dihargai. Dan saat itu, negara datang. Tidak dengan tepuk tangan, tidak dengan penghargaan, tidak dengan apresiasi. Yang datang hanyalah catatan pajak, dokumen yang menagih setiap tetes keringatmu. Negara menakar, mengukur, menghitung, menuntut. Kau bekerja, negara menunggu untuk mengambil. Kau membangun, negara menagih. Kau bernapas, negara mencatat.

Kau ingin perubahan, tapi dunia menatapmu dengan dingin. Kau ingin memperbaiki, tapi setiap gerakmu diperiksa. Kau ingin berkembang, tapi sistem hanya tahu menagih. Habitus yang seharusnya menjadi senjata untuk membentuk kehidupan, menjadi korban birokrasi yang tak pernah puas. Jiwa yang seharusnya bersinar, mulai retak.

Dan kau mulai bertanya: untuk apa semua ini? Untuk siapa kau membangun diri sendiri jika setiap kemajuan hanya akan dimintai imbalan oleh sistem yang tak pernah memberi lebih dari tuntutan? Kau ingin membentuk empati, tapi negara tidak peduli pada rasa. Kau ingin melatih kesadaran, tapi negara hanya peduli angka. Kau ingin perubahan, tapi sistem hanya tahu menghitung, menagih, menakar.

Di sinilah tragedi kehidupan modern. Habitus, yang seharusnya menjadi benteng manusia, menjadi sasaran. Kau membangun diri, tetapi sistem menjarah. Kau memperkaya jiwa, tetapi birokrasi menuntut materi. Kau menumbuhkan empati, tetapi pajak datang seperti bayangan hitam yang menelan setiap rasa. Kau ingin perubahan, tapi kehancuran diam-diam sudah menunggu di sudut yang tak terlihat.

Kau bekerja keras, membangun usaha kecil, merawat toko, bengkel, atau kantor yang kau miliki. Kau membentuk kebiasaan, mengasah rasa, menata tindakan, membangun diri. Semua itu seharusnya menjadi cermin perkembangan manusia. Tetapi di negara yang tak menyiapkan ruang untukmu, setiap pencapaian menjadi beban baru. Pajak, pungutan, regulasi, birokrasi yang lamban dan tak ramah. Kau merasa seperti pemain dalam sandiwara tanpa naskah: kau berusaha, kau memberi, kau bekerja, tapi setiap langkah diukur dengan ketelitian tanpa hati.

Habitusmu, yang kau bentuk dengan penuh kesabaran dan ketekunan, menjadi alat ukur untuk memungut pajak. Negara hadir bukan sebagai pelindung atau pendamping, tapi sebagai pengukur dan penagih. Kau yang membangun, ia yang menuntut. Kau yang menumbuhkan empati dan tindakan, ia yang menakar. Kau yang membentuk diri, ia yang menjarah. Kau ingin perubahan, tapi anomali lahir di setiap celah yang terbuka. Jiwa yang seharusnya utuh, menjadi rapuh. Perubahan yang seharusnya lahir dari habitus, menjadi impian yang tertunda.

Bayangkan seorang pedagang kecil di pasar. Ia bangun subuh, menata dagangan, menata diri, berinteraksi dengan pelanggan dengan senyum dan kesabaran. Ia membentuk habitus: kesabaran, empati, ketelitian, ketekunan. Tetapi begitu ia menghasilkan, pajak datang. Pajak atas dagangan, pajak atas penghasilan, pajak atas tanah yang digunakan. Semua yang ia bangun sendiri, semua yang ia kerjakan dengan keringat dan rasa, dihitung sebagai angka yang harus dibayarkan. Bukankah itu paradoks? Bukankah itu penghancuran perlahan dari manusia yang bekerja dengan niat baik?

Dan lebih jauh lagi, kita melihat fenomena yang sama terjadi di banyak lapisan kehidupan. Birokrasi yang tak ramah, regulasi yang menjerat, kebijakan yang tidak berpihak, semuanya merusak habitus manusia. Bukannya memfasilitasi pengalaman, bukannya memperkaya empati, bukannya menumbuhkan kesadaran, sistem justru merampas energi, merusak rasa, menghancurkan jiwa. Kau membangun diri sendiri, tapi sistem memaksa kau membela diri dari tuntutan yang tak ada habisnya.

Kau ingin berbuat baik, ingin produktif, ingin berinovasi, tapi setiap langkah diperiksa. Kau ingin belajar, ingin berkembang, ingin memperluas cakrawala, tapi setiap pencapaian dihitung. Kau ingin berkreasi, tapi setiap ide diperiksa, dinilai, dan dijadikan alasan untuk menagih. Kau ingin perubahan, tapi sistem menuntut stabilitas yang membunuh kreatifitas. Kau ingin empati, tapi setiap tindakan diukur dengan angka.

Dan di tengah semua ini, jiwa manusia mulai retak. Orang yang seharusnya utuh menjadi pecah. Habitus yang seharusnya menjadi benteng untuk menghadapi kehidupan, menjadi sasaran penghancuran sistemik. Anak-anak yang melihat orang tua bekerja keras, belajar, membangun, tetapi selalu ditekan oleh tuntutan sistem, mulai kehilangan keyakinan pada keadilan. Mereka melihat perubahan bukan sebagai hasil karya dan pengalaman, tapi sebagai beban baru yang datang dari kekuatan yang jauh dan tak terlihat.

Kita bisa melihat paradoks ini di kota-kota besar dan kecil. Di desa yang jauh, di kantor yang sepi, di toko-toko pinggir jalan, di bengkel-bengkel kecil, di rumah-rumah yang penuh keluarga, semua manusia yang membangun habitusnya sendiri, menghadapi sistem yang menjarah. Tidak peduli seberapa kuat empati, seberapa halus rasa, seberapa kokoh cara bertindak, setiap pencapaian selalu dihitung, ditakar, dan ditagih. Kau membangun diri, sistem menghancurkan. Kau menumbuhkan jiwa, sistem menjarah. Kau ingin perubahan, sistem menunda.

Dan inilah kesimpulannya: tanpa habitus yang kuat, manusia hancur. Tanpa ruang untuk membentuk pengalaman, empati, rasa, dan tindakan, manusia menjadi anomali. Tanpa keadilan dalam sistem yang mengatur hidup, setiap pencapaian menjadi ancaman, setiap langkah menjadi beban. Negara yang seharusnya hadir untuk mendukung, justru hadir sebagai penuntut. Kau membangun, ia menghancurkan. Kau menumbuhkan, ia menagih. Kau ingin perubahan, ia menunda.

Jadi, kau berdiri di sini, menatap dunia, menatap sistem, menatap negara yang hadir bukan sebagai pelindung, tapi sebagai penagih. Kau membangun habitus, tetapi habitus itu sendiri sedang diuji oleh kekuatan yang jauh, dingin, dan tak peduli. Kau ingin empati, tapi empati dihitung. Kau ingin tindakan, tapi tindakan ditagih. Kau ingin perubahan, tapi perubahan tertahan oleh sistem yang tak memahami manusia.

Habitusmu dirampas, pajakmu diganyang. Dan kau hanya bisa menatap, menahan nafas, membangun lagi, membentuk lagi, mencoba bertahan di dunia yang seharusnya mendukung, tapi justru menguji setiap tetes keringat, setiap pikiran, setiap rasa. Dan di sanalah tragedi modern ini: manusia membangun diri sendiri, sementara sistem memaksa manusia mempertahankan diri dari kehancuran yang ditimbulkan oleh ketidakadilan itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Registrasi PTK Baru di Simpatika

Syarat Registrasi PTK Baru Persyaratan untuk melakukan registrasi PTK baru adalah sebagai berikut. 1. Belum memiliki PegID ataupun NUPTK 2.     Menjadi PTK di Madrasah/Sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan  3.     Mengisi Formulir A05 Formulir tersebut diisi kemudian serahkan kepada Admin Madrasah atau Kepala Madrasah, dengan dilampiri: Pas photo berwana ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar (Plus siapkan File Foto ukuran Maksimal 100 kb) 2.     Copy Kartu Keluarga 3.     Copy Ijazah SD (Terendah) 4.     Copy Ijazah Pendidikan Tertinggi 5.     Copy SK Pengangkatan sebagai PTK di madrasah tersebut Formulir A05  beserta lampirannya tersebut diserahkan kepada  Admin Madrasah  atau Kepala Madrasah untuk dimasukkan ke dalam sistem melalui "Registrasi PTK" di menu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Simpatika. Langkah bagi Operator atau K...

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna Oleh: Petugas PPIH 2024 Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur. Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya.  Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ba...

Santri Pekok

  Santri Pekok Oleh : Syafaat   Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneai (KBBI) “pekok” artinya bodoh, bisa juga diartikan gokil, aneh atau nyleneh, bisa juga istiahnya gila/sesuatu yang tidak wajar tapi masih dalam batas garis, susah diberitahu,   berbeda dengan bodoh yang memang belum tahu. Sedangkan kata “santri” menurut wikipedia adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta, “Shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan,. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekwensinya pengasuh pondok pesantren memberikan ilmu pengetahuan ...