Tubuh Bisa Ditelanjangi, Jiwa Tak Boleh Dikalahkan
Oleh: Syafaat
Ada seorang guru. Seorang ASN yang hidupnya biasa saja. Pagi berangkat ke sekolah negeri, siang pulang dengan wajah lelah tapi tetap ramah. Murid-murid mengenalnya sebagai sosok yang sabar. Ia mengajarkan huruf, angka, doa, dan sedikit-sedikit tentang hidup. Tetapi di balik itu, ia menyimpan luka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: luka yang datang bukan dari ruang kelas, bukan dari murid yang nakal, melainkan dari dunia maya yang tak berhenti menebarkan jebakan.
Ceritanya sederhana. Bermula dari sebuah sapaan di media sosial. Seseorang hadir dengan wajah tampan dan suara yang menenangkan. Mereka bercakap-cakap, lalu berlanjut ke panggilan video. Malam-malam panjang yang sepi tiba-tiba terasa hangat. Ada tawa, ada perhatian, ada janji-janji kecil yang membuat perempuan itu merasa dihargai. Sampai pada suatu malam, ia menyerahkan kepercayaannya. Ia menanggalkan busana di depan kamera, dengan keyakinan cinta sedang menyapanya. Ia tak tahu bahwa layar kecil itu sedang merekam, mengubah cintanya menjadi perangkap. Keesokan hari, ancaman datang. Uang atau aibmu akan disebarkan.
Dunia yang ia percaya runtuh seketika. Kejahatan digital memang licik. Teknologi yang katanya cerdas ternyata bisa menipu mata dengan begitu halus. Wajah bisa dipoles, suara bisa dimodifikasi, identitas bisa dipinjam dengan begitu meyakinkan. Seseorang bisa menyamar jadi siapa saja: duda mapan, ustaz alim, pejabat berwibawa, atau sekadar lelaki penuh kasih. Semua ilusi itu bersinar di layar, memikat hati, dan menjebak. Pertanyaannya: siapa yang sanggup membedakan cinta dari tipuan ketika layar begitu meyakinkan?
Seperti kisah lama: iblis menggoda Adam dengan buah khuldi. Bedanya, kini ia tak datang dengan buah, tapi dengan cahaya layar yang selalu menyala. Tipu daya tetap sama: merenggut manusia di titik paling rapuh, rasa ingin dicintai. Dan seorang guru pun bisa kalah. Bukan karena ia bodoh. Justru karena ia manusia.
Fenomena ini bukan hanya menimpa pribadi. Lembaga pendidikan pun sering jadi sasaran. Ada yang datang mengaku wartawan, membawa ancaman berita buruk. Ada pula yang mengaku LSM, menakut-nakuti dengan laporan hukum. Mereka mengetuk pintu sekolah dengan suara dingin: “Jika tak memberi uang, reputasimu akan kami hancurkan.” Kepala sekolah panik. Guru-guru resah. Mereka takut namanya rusak. Lalu mereka memilih jalan singkat: menyerahkan sejumlah uang, berharap teror itu berhenti. Padahal hukum punya mekanisme. Ada hak jawab. Ada inspektorat. Ada aturan yang bisa melindungi. Tapi ketakutan lebih besar daripada logika.
Begitulah negeri ini: ancaman lebih sering menang daripada kejujuran. Namun tidak adil bila dunia digital hanya dilihat sebagai kegelapan. Ada juga cahaya: ruang belajar, gerakan solidaritas, komunitas kreatif, kesempatan yang dulu mustahil kini terbuka lebar. Dunia maya melahirkan banyak kebaikan. Tetapi ia tetap hutan lebat: ada jalan terang, ada jalan gelap. Dan manusia berjalan di dalamnya, sering tanpa peta.
Di sinilah agama seharusnya menjadi kompas. Kitab suci berulang kali mengingatkan: fitnah akan gugur di hadapan kebenaran. Tapi kebenaran tidak jatuh dari langit begitu saja. Ia menuntut keberanian. Guru itu seharusnya melapor. Sekolah itu seharusnya berani menolak ancaman. Masyarakat seharusnya berdiri tegak, tak tunduk pada pemerasan. Sayangnya, manusia sering kalah sebelum bertanding. Rasa takut datang lebih dulu. Itulah penyakit paling berbahaya: ketakutan yang membuat seseorang menyerahkan harga diri dengan murah.
Kisah guru ASN yang diperas lewat video telanjang hanyalah potret kecil dari rapuhnya manusia di hadapan layar. Ia pahit, tetapi ia juga pelajaran. Bahwa cinta bisa disulap jadi jebakan. Bahwa manusia bisa runtuh hanya dengan cahaya di ujung jari. Tetapi pelajaran itu tidak boleh berhenti pada rasa malu. Ia harus berubah menjadi kekuatan: untuk berani melapor, untuk menegakkan hukum, untuk melawan pemerasan.
Begitu pula lembaga pendidikan. Jangan menyerah hanya karena ada ancaman. Jangan pasrah dengan bayang-bayang fitnah. Sebab setiap tuduhan ada jalannya. Dan setiap kebohongan bisa dipatahkan. Doa pun dibutuhkan. Doa agar manusia tetap waras di tengah banjir notifikasi. Doa agar tidak mudah panik saat difitnah. Doa agar guru, kepala sekolah, siapa saja yang bekerja dengan jujur, diberi keberanian berkata: “Sebarkanlah fitnahmu, kebenaran akan menjawabnya.”
Tubuh bisa dipermalukan. Tetapi jiwa jangan pernah kalah.
Di media sosial, kadang kita tergoda membela diri. Kita menulis bantahan panjang di kolom komentar. Tapi algoritma bekerja dengan cara yang aneh: semakin banyak komentar, semakin tinggi berita itu muncul. Yang palsu justru semakin terlihat nyata. Maka ada saatnya diam lebih bijak. Biarkan yang palsu tenggelam oleh waktunya sendiri. Yang penting bukan seberapa keras kita membantah, tetapi bagaimana kita membuktikan: kita tidak salah, kita tidak kalah.
Dan pada akhirnya, hanya keberanian nyata yang bisa menghentikan kejahatan maya.
Komentar
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar