Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Gaji, Cinta, dan Sepasang Sandal Jepit

Gaji, Cinta, dan Sepasang Sandal Jepit

Gaji, Cinta, dan Sepasang Sandal Jepit

Oleh: Lensa Banyuwangi


Tidak ada yang benar-benar bisa mengukur cinta. Bahkan saat ia sudah menjelma dalam bentuk sepotong nasi hangat dan tempe goreng yang ditaruh di atas piring yang retaknya membentuk garis seperti sungai di musim kemarau. Bahkan saat ia sudah menjelma dalam keputusan untuk bertahan di rumah, membersihkan lantai yang tak pernah mengeluh kotor, menyuapi anak yang tak mengerti harga beras. Kalau saja cinta bisa diukur dengan slip gaji, barangkali lelaki itu akan dinyatakan kalah sejak awal. Tapi kita tahu, hidup tidak berjalan seperti logika neraca keuangan. Kadang, yang tampak seperti kekurangan justru menyimpan kelimpahan yang tidak kasat mata.

Aku ingin memulai cerita ini dari sepasang sandal jepit. Barang murah yang sering hilang di masjid atau tertukar di warung kopi. Tapi pernah satu masa, dua orang yang sedang jatuh cinta memakai sepasang sandal jepit itu—berjalan di bawah hujan yang entah sudah berapa kali mengguyur kota mereka. Mereka tidak membawa payung, tidak membawa masa depan yang pasti, hanya keyakinan bahwa selama mereka saling menggenggam tangan, dunia ini cukup. Lelaki itu, sebut saja Suami, tidak pernah berubah. Ia masih bangun pagi dengan bau semen dan mata yang berat karena tidur semalam cuma dua jam. Tapi ia tidak pernah lupa mengecup kening istrinya, yang sekarang duduk di kantor berpendingin ruangan, menandatangani absen, dan berbicara tentang target kerja bulanan.

Dulu mereka berbagi nasi bungkus. Sekarang mereka berbagi... perbedaan. Cinta adalah medan yang aneh. Ia bisa bertahan di pinggiran kota dengan suara kodok malam dan wajan bocor. Tapi ia juga bisa hancur di rumah yang luas dengan dispenser air panas dan mesin cuci yang bisa menyanyi. Cinta tidak pernah punya standar. Ia tidak bisa diatur dalam Peraturan Menteri.

Istrinya pernah bilang, “Aku ingin berkembang.” Dan kalimat itu seperti paku kecil yang menancap di dinding rumah mereka. Tidak terlihat. Tapi perlahan membuat retak. Sebab pertumbuhan satu pihak dalam rumah tangga, jika tidak ditata baik, bisa menjelma jadi jarak. Dan jarak adalah musuh dari kata "kita". Lelaki itu tidak bisa kuliah. Ia tidak ikut tes CPNS. Ia tidak paham soal seragam kerja. Tapi ia tahu cara menyimpan uang lima ribu di saku celana, dan membuatnya cukup untuk membeli minyak goreng dan bumbu dapur. Ia tahu cara diam ketika istrinya lelah, dan cara menenangkan anak-anak dengan dongeng tentang kura-kura yang sabar.

Tapi ternyata, di zaman ini, itu tidak cukup. “Aku ingin hidup yang lebih baik,” kata sang istri suatu hari. Padahal hidup yang lebih baik itu dulu mereka bangun dari dua gelas teh hangat dan atap bocor yang mereka perbaiki sendiri dengan terpal bekas. Tapi tak apa. Semua orang berhak bermimpi. Hanya saja, tidak semua orang sanggup melihat bahwa yang sederhana belum tentu buruk.

Cinta adalah soal siapa yang tetap tinggal saat yang lain mulai merasa malu. Cerita ini tidak tunggal. Ia beranak-pinak di banyak sudut kota. Ada istri yang jadi TKW dan lupa jalan pulang. Ada suami yang naik pangkat tapi merasa pasangannya tidak sepadan lagi. Ada rumah-rumah yang dulu penuh suara kini tinggal gema. Ada anak-anak yang tumbuh tanpa tahu aroma tangan ibunya. Dalam setiap perceraian, ada kalimat yang tertulis rapi di dokumen negara: "Tidak sejalan lagi." Tapi di balik itu, ada air mata yang tercecer di dapur, ada kenangan yang terlipat dalam baju-baju bekas, dan ada doa-doa yang masih tersangkut di langit-langit rumah, menunggu jawaban.

Dan aku ingin menyisihkan tempat untuk cerita yang lain. Tentang perempuan yang tidak bekerja. Setidaknya tidak dalam pengertian umum. Ia tidak memiliki slip gaji, tidak pernah tahu tanggal cuti bersama, dan tidak ikut dalam rapat tahunan. Tapi ia bangun pagi-pagi, sebelum ayam tetangga berkokok, menyetrika baju suaminya, menyiapkan bekal sekolah anaknya, dan mengecek apakah ember air sudah cukup untuk mandi pagi.

Ia disebut ibu rumah tangga. Dalam formulir, ia menulis: IRT. Dan saat petugas bertanya, “Jadi pengangguran ya, Bu?” ia hanya tersenyum. Karena marah pun percuma. Dunia sudah terlalu lama tidak paham apa arti kerja yang tidak dibayar.

Perempuan itu tahu harga cabai hari ini naik. Tapi ia tahu cara menggantinya dengan sayur bening yang tetap disukai anaknya. Ia tahu cara mencuci popok dengan tangan kiri sambil menggendong bayi dengan tangan kanan. Ia tahu cara menyimpan sedikit uang di kaleng biskuit, dan mengeluarkannya diam-diam ketika suaminya bingung harus beli bensin. Ia tidak punya kartu pegawai. Tapi ia adalah direktur keuangan, HRD, chef, cleaning service, konsultan keluarga, dan guru PAUD di waktu yang bersamaan. Ia hanya tidak diberi gelar.

Kadang-kadang, ada yang bercanda di warung kopi, “Suruh aja istrimu kerja. Masa cuma makan dari hasil keringatmu?” Dan semua tertawa. Seolah-olah kerja di rumah itu bukan kerja. Seolah-olah menyiapkan cinta setiap hari itu bukan bagian dari produksi. Tapi lelaki yang bijak tahu: rumah itu tetap hidup bukan karena uangnya, tapi karena ada seseorang yang rela membagi hidupnya tanpa imbalan.

Aku teringat cerita teman. Perempuan lulusan universitas ternama, dulu punya karier bagus. Tapi setelah punya anak, ia memilih tinggal di rumah. “Aku tidak ingin anakku tumbuh lebih akrab dengan pengasuh daripada denganku,” katanya. Lalu suatu malam, ia bilang pada anaknya, “Nanti kalau kamu besar, jangan malu ya kalau ada yang tanya profesi ibu.” Anaknya memeluknya, dan berkata, “Ibu kerjanya di rumah kan? Ibu kan rumahnya aku.”

Kalau cinta itu sepasang sandal jepit, maka salah satu harus siap ikut kotor saat yang lain menginjak lumpur. Harus siap hilang saat yang lain tertinggal di teras masjid. Tapi selama mereka saling menunggu, selama mereka saling percaya bahwa pasangannya akan kembali, maka mereka tidak kehilangan apa pun.

Gaji bisa naik. Cinta tidak. Tapi cinta juga tidak bisa turun. Ia hanya bisa diabaikan atau dipelihara.

Di akhir hari, mungkin lelaki itu akan tetap memakai sandal jepit yang sama. Berjalan ke pasar. Membeli dua ikat kangkung, sepotong tempe, dan setengah kilo beras. Lalu memasaknya sendiri. Memakannya sendiri. Dan tetap mencintai seperti pertama kali ia belajar tentang arti sabar.

Cinta bukan soal siapa yang menghasilkan lebih banyak. Tapi siapa yang tetap tinggal saat semuanya menjadi kurang. Dan ibu rumah tangga bukan pengangguran. Mereka adalah penjaga peradaban yang tak pernah disorot lampu panggung. Mereka adalah pilar yang menyangga rumah dari dalam. Yang diam-diam menjaga dunia agar tidak runtuh oleh kesibukan kita yang terlalu sering mengejar angka.

Mungkin sudah waktunya kita menatap ibu kita sendiri. Dan bilang, “Terima kasih, Bu. Karena engkau, aku tahu bahwa rumah tidak selalu ada di bangunan. Tapi di hati yang tidak pernah meninggalkan.”

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog