Al-Hikam, Kopi, dan Malam yang Tak Pernah Selesai
Setiap Senin malam Selasa, dua pekan sekali, saya ikut duduk di masjid tanpa dinding. Angin masuk dari mana-mana. Tidak ada yang bisa menolaknya. Seperti hidup, kadang ia datang tanpa aba-aba. Di Masjid Cheng Ho, kami menunggu suara yang pelan dan dalam. Suara Gus Kholiq. Seorang kiai muda yang tutur katanya tidak ingin menguasai, hanya ingin tinggal sebentar di dalam dada kita.
Saya tidak datang karena merasa hampa. Saya datang karena saya lelah. Itu saja. Dan saya merasa lelah adalah alasan yang paling jujur untuk bertemu Tuhan.
Gus Kholiq membaca Al-Hikam seperti sedang membuka surat yang tertunda. Seperti ayah yang mengeluarkan sepucuk kertas dari laci lama dan membacakannya untuk anaknya yang sudah lama dewasa tapi masih sering menangis dalam tidur.
Malam-malam itu, saya belajar bahwa Tuhan tidak terburu-buru. Ia tidak menginginkan kita sempurna. Ia hanya ingin kita hadir. Duduk. Menyimak. Lalu pulang dengan dada yang sedikit lebih ringan.
Di pengajian itu, tidak ada yang sibuk ingin terlihat lebih saleh. Tidak ada yang berlomba menjawab pertanyaan. Kami hanya mendengar. Kadang tertawa. Kadang diam cukup lama. Seperti baru saja menyadari betapa kosongnya hidup yang selama ini terlalu penuh.
Saya menyukai masjid ini karena ia tidak memaksa siapa pun menjadi siapa-siapa. Seorang mantan pejabat duduk di pojok, bersedekap seperti siapa saja. Dan mungkin itulah hikmah yang paling besar: menjadi siapa saja.
Al-Hikam bukan kitab yang menjanjikan kesuksesan. Ia bukan modul motivasi. Ia tidak menyuruh kita kuat, tapi memberi izin untuk hancur. Karena dari kehancuranlah, kita benar-benar mengenal arti pulang.
Ada malam ketika Gus Kholil membacakan:
“Jangan kamu berduka karena kehilangan sesuatu dari dunia. Karena apa yang luput darimu, tak pernah ditakdirkan menjadi milikmu.”
Saya diam. Kalimat itu seperti tangan yang meraba luka yang sudah lama tidak disentuh. Pelan. Tidak menyembuhkan. Tapi membuat kita tahu: luka itu masih ada. Dan tidak apa-apa. Setelah pengajian, kami makan bersama. Kadang lauknya tempe, kadang tahu, kadang tewel, kerupuk, kadang hanya bayam yang direbus dan sambal yang seadanya. Tapi entah mengapa, rasanya seperti makan di surga yang tidak terlalu sibuk mencatat dosa. Kadang Kami juga menyeruput kopi. Bukan kopi mahal. Hanya kopi dari rumah-rumah yang tahu bahwa cinta tidak perlu dikemas dalam kardus bermerek. Di tangga masjid itu, kami mengobrol. Tentang cucu. Tentang kenangan. Tentang hidup yang kadang terasa seperti cerita lama yang tidak selesai.
Saya tidak tahu apakah semua yang duduk di sana sedang lelah. Tapi saya tahu kami semua sedang mencari arah pulang. Dan Al-Hikam adalah penunjuk arah yang tidak pernah membentak. Ia hanya menunggu. Kadang bertahun-tahun. Kadang sepanjang hidup. Malam itu, Gus Kholiq dengan kalimat bertanya, “Gus, kenapa kita sudah salat, sudah sedekah, tapi hidup masih berat?”
Gus Kholiq tersenyum. Seperti sudah sering mendapat pertanyaan serupa dari dirinya sendiri. Lalu ia membaca satu hikmah:
“Keinginanmu agar Allah memberi apa yang kamu mau, itu tanda kamu belum benar-benar mengenal-Nya.”
Kami terdiam. Diam yang tidak canggung. Diam yang terasa seperti peluk yang tidak terlihat. Dan saya teringat doa-doa saya yang cerewet. Yang panjang. Yang kadang terdengar seperti daftar belanjaan. Saya sadar malam itu: saya terlalu sering menyuruh Tuhan, bukan memanggil-Nya.
Orang-orang bilang: pengajian bisa ditonton dari rumah. Ada siaran langsungnya di YouTube, di channel Radar Banyuwangi. Tapi saya tahu, itu tidak sama. Karena suara yang membasuh hati tidak bisa disiarkan. Ia harus dialami. Seperti mencium aroma kopi dari balik kaca, tapi tidak meminumnya. Saya ingin tetap datang. Karena kehadiran itu bukan sekadar fisik. Tapi tentang getar sajadah. Tentang suara air wudu. Tentang senyum yang tidak punya nama.
Kami manusia pelupa. Sudah diingatkan, lupa lagi. Dan mungkin itulah alasan mengapa pengajian seperti ini tidak boleh berhenti. Ia bukan sekolah. Ia bukan seminar. Ia hanya ruang di mana kita boleh menjadi lemah dan tidak merasa bersalah. Kalau nanti saya tidak bisa datang, saya mungkin akan menontonnya dari rumah. Tapi saya tahu, saya tidak akan merasakan angin itu. Tidak akan mendengar suara tewel yang dituang ke piring. Tidak akan melihat mata Gus Kholiq yang seperti menahan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dan malam-malam tanpa itu, akan terasa sunyi. Hidup, ternyata, bukan tentang menang. Tapi tentang kembali. Dan Al-Hikam tidak pernah mengajarkan cara memenangkan dunia. Ia hanya menunjukkan jalan pulang. Pelan-pelan. Tanpa desakan. Karena barangkali, kita memang tidak pernah benar-benar pergi. Kita hanya lupa arah.
Saya masih belum selesai dengan diri saya sendiri. Tapi saya ingin terus duduk di sana. Di bawah suara yang tidak ingin menggurui. Di antara orang-orang yang diam-diam sedang sembuh. Dan kalau nanti saya benar-benar sembuh, saya ingin tetap duduk di sana. Bukan karena saya butuh. Tapi karena saya ingin menemani mereka yang masih lelah. Karena bukankah itu yang diajarkan Al-Hikam: tidak menjadi yang paling suci, tapi menjadi tempat pulang yang paling sunyi.
Cheng ho, 28-07-2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar