Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Diskusi Permaduan di Tujuh Belas Juni

Diskusi Permaduan di Tujuh Belas Juni

 Sebenarnya, tubuh saya sudah remuk redam. Bukan karena hujan. Bukan karena penyakit. Tapi karena sesuatu yang lebih diam-diam dan lebih kejam: kesibukan. Kesibukan yang memperkosa waktu, memborong hari, mencabik-cabik ingatan tentang diri sendiri. Sampai-sampai saya lupa ini tanggal berapa. Sampai-sampai saya lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun saya sendiri.

Dan anehnya, saya justru sedang duduk di sebuah kafe yang tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap. Undangannya biasa saja, obrolannya juga biasa, hanya aroma kayu manis dan lilin kecil di meja yang terasa agak tidak biasa. Seorang teman menyodorkan sepiring kecil kue tape dengan taburan keju dan bunga telang. “Selamat ulang tahun,” katanya. 

Saya diam. Mendadak saya tersadar: oh, ini tujuh belas Juni. Tahun lalu, saya sedang berada di tenda Mina, dikelilingi ribuan orang berpakaian putih, dan suara takbir bergulung-gulung seperti awan tak habis-habis. Hari ulang tahun saya terbenam di antara wukuf, mabit, dan dinginnya udara gurun. Tahun ini, ia muncul lagi, seperti lebah yang tahu jalan pulang setelah bertahun-tahun mencari bunga.

Setelah pulang dari kafe itu, saya hanya ingin merebahkan kelopak jiwa. Tapi ternyata WhatsApp belum rela membiarkan saya tidur. Ada undangan dari Mas Budy Amboyna — nama yang manis di lidah, seperti nama seorang pengembara dari Maluku yang tiba-tiba jadi ketua komunitas peternak lebah madu Banyuwangi.

Kami ngobrol. Ringan saja. Tentang lebah. Tentang madu. Tentang sesuatu yang manis tapi bukan rayuan. Tentang sesuatu yang lengket tapi bukan luka. Tentang sesuatu yang mengandung hidup, bekerja diam-diam, tanpa keluh, tanpa kelakar.

Mas Budy bilang, “Madu itu beda dengan gula. Ia tidak bikin diabetes.” Saya tersenyum. Tapi kemudian saya diam. Saya pikir-pikir, ternyata manusia lebih sering memilih gula, karena ia murah dan tersedia di mana-mana. Sementara madu, yang lebih tulus, lebih berproses, lebih tabah, justru sering diabaikan. Begitu juga dengan cinta, bukan?

Kami bicara tentang lebah yang menggembara, yang tak pernah punya rumah tetap. Mereka berpindah dari kebun kopi ke kebun randu, dari bunga mangga ke bunga kelengkeng. Hidupnya penuh bunga, tapi tidak pernah mabuk. Penuh manis, tapi tidak pernah memonopoli. Ia menghisap, tapi memberi kembali.

“Kau tahu,” kata Mas Budy sambil mengusap botol madu seperti mengelus kepala anaknya, “setiap jenis bunga memberi rasa yang berbeda. Madu kopi, misalnya, agak pahit di awal, tapi hangat di tenggorokan. Madu randu lebih ringan, dan madu kelengkeng… ah, itu paling dicari orang-orang kota.”

Saya termenung. Saya pikir, hidup kita juga begitu. Ada masa pahit, ada masa ringan, ada masa yang dicari-cari orang lain tapi justru kita sendiri tak menyadarinya. Madu, dalam diamnya, mengajari kita untuk sabar menyerap, sabar mengolah, sabar menyimpan, dan sabar memberi. Dan ketika seseorang benar-benar membutuhkan, ia cukup membuka botolnya, menuangkan satu sendok kecil, dan keajaiban akan bekerja: luka reda, batuk menghilang, dan hati perlahan reda dari gelisah.

Banyuwangi, kata Mas Budy, seharusnya jadi surga bagi lebah. Ada banyak bunga. Ada banyak hutan dan kebun yang belum diracuni pupuk sintetis. Tapi kita lupa. Kita lebih suka aspal daripada semak. Lebih bangga mall daripada bunga. Kita membangun rumah sakit besar tapi tak peduli pada hutan kecil di belakang rumah. Kita mengejar vitamin mahal dari pabrik, padahal lebah-lebah sudah menyiapkan apotek alam sejak ribuan tahun lalu.

Saya menatap botol kecil madu yang dibawakan Mas Budy. Warna kuning kecoklatan, pekat, dan ada aroma samar bunga di leher botolnya. Saya isap sedikit dengan jari telunjuk. Hangat. Tidak seperti gula yang langsung membuat lidah gemetar, madu menyusup pelan-pelan. Ia seperti doa ibu yang tidak terdengar tapi sampai ke langit.

“Banyak orang salah paham,” ujar Mas Budy. “Mereka kira madu yang bagus itu yang dari pabrik besar, yang bening, yang diberi label keren. Padahal madu yang jujur itu kadang berawan, berendapan, dan sedikit berbau asam. Madu yang baik itu seperti hidup yang baik — tidak selalu bersih, tapi selalu jujur.”

Saya tidak tahu mengapa, tapi kalimat itu membuat saya ingin pulang. Ingin menyalakan lilin kecil di rumah, ingin mencium kening anak saya, ingin menulis surat untuk diri saya sendiri — bahwa kita hidup bukan untuk sekadar sibuk, bukan untuk sekadar mengejar omset, bukan untuk pamer prestasi. Kita hidup untuk menghasilkan madu — sesuatu yang manis dan berguna, meski mungkin hanya satu sendok sehari.

Dan jika suatu saat kita tidak ada, semoga ada yang masih merasakan manfaat dari tetes-tetes kecil kebaikan yang kita tinggalkan.

Karena sejatinya, manusia yang baik itu seperti lebah. Ia tidak pernah menebar racun, tidak pernah mengganggu bunga yang ia hisap, dan selalu meninggalkan madu di tempat-tempat yang tak terduga.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog