Malam itu saya tertidur selepas Maghrib. Bukan karena lelah—meski tubuh ini, kalau boleh jujur, sudah seperti keranjang beras yang dipaksa menampung karung pasir. Tapi saya tidur bukan karena kelelahan. Saya tidur karena lupa kalau saya sedang hidup.
Tidur itu ganjil. Ketika terbangun, rasanya seperti baru saja memejamkan mata di bangku SMA, lalu mendadak bangun sebagai seseorang yang sudah satu tahun lebih tua. 17 Juni, katanya. Hari lahir. Tapi apa yang benar-benar lahir pada hari lahir? Orang-orang menyebutnya hari jadi. Tapi saya malah merasa hari itu justru hari mengurai. Seperti benang-benang yang makin lama makin lepas dari gulungannya.
Saya tidak tahu apakah menjadi tua itu semacam kemampuan. Mungkin tidak. Orang bisa tambah usia, tapi belum tentu jadi orang. Belum tentu jadi utuh. Kadang justru makin compang-camping.
Yang saya tahu, malam itu saya duduk di Rumah Budaya Osing, Kemiren. Rumah tua, dengan lampu yang temaram, dan udara yang seperti menyimpan petikan-petikan sunyi dari masa lalu. Di depan saya ada lontar. Bukan sembarang lontar. Ini Lontar Yusuf. Sebuah teks yang tidak disimpan di museum, tapi di dada manusia-manusia yang diam-diam masih percaya bahwa suara bisa menyimpan sejarah.
Kang Pur membuka lembarannya pelan-pelan. Tidak tergesa. Tidak ingin mengejutkan siapa pun. Seperti membuka kenangan—yang harus diurai perlahan, kalau tidak ia akan menangis. Di sekelilingnya duduk beberapa orang. Ada warga kampung, ada dari kota. Dan tiga orang asing. Satu lelaki, dua perempuan. Katanya dari Jerman atau Amerika. Saya bertanya nama mereka. Tapi bodohnya manusia zaman ini: kami rajin bertanya, tapi lupa mendengarkan jawabannya. Kang Hasan Basri menamai mereka mbok Tatik, Mbok Asma dan Kang Sutris, mereka senyum-senyum saja dipanggil dengan nama yang biasa dipakai suku Osing.
Saya lebih sibuk memandangi huruf Pegon di halaman-halaman lontar. Huruf-huruf itu seperti teman masa kecil yang pernah bermain petak umpet bersama saya. Tapi sekarang, saya hanya bisa berdiri di tepi lapangan dan melihat mereka bermain tanpa saya.
Tembang-tembang kuno dilagukan dengan nada lirih. Ada Kasmaran, ada Pangkur. Saya tahu tembang-tembang itu karena pernah membaca tentang urutan hidup manusia versi Jawa:
- Maskumambang: saat kita masih dalam kandungan.
- Mijil: lahir ke dunia.
- Sinom: masa muda.
- Kinanthi: masa mencari arah.
- Asmarandana: masa cinta dan kegelisahan.
- Gambuh: masa mapan.
- Dhandhanggula: masa kejayaan.
- Durma: masa berbakti.
- Pangkur: masa menyepi.
- Megatruh: masa menjelang kematian.
- Pocung: kematian itu sendiri.
Ada satu rasa asing di dalam hati saya malam itu. Bukan takut, bukan sedih, tapi seperti sedang ditatap oleh masa lalu saya sendiri.Tiga orang asing itu mengeja dengan cara yang membuat kami tersenyum. Tapi diam-diam saya malu. Mereka datang dari negeri yang tak mengenal Pegon, yang tak tahu apa itu tembang Asmarandana, tapi mereka datang dan duduk dan belajar. Sementara kita, yang dilahirkan di tanah ini, sibuk menggulir layar ponsel dan merasa cukup tahu hanya karena pernah ikut pelajaran muatan lokal.
Saya jadi ingat masa santri saya yang tidak lama. Saya pernah belajar membaca kitab gundul dengan bantuan tulisan Pegon. Saya juga pernah merasa bangga karena bisa menerjemahkan satu-dua kalimat Arab ke dalam Jawa. Tapi malam itu, saya seperti orang yang tersesat di rumah sendiri. Seperti pernah hafal jalan, tapi kini tak tahu arah kiblat.
Hasan Basri datang malam itu. Ketua DKB, orang yang selalu membawa kitab lebih besar dari milik saya. Bukan karena dia ingin pamer. Tapi karena dia, saya tahu, lebih sungguh-sungguh. Hasan Basri membaca bukan untuk tahu, tapi untuk merawat. Itu dua hal yang berbeda. Kita bisa tahu sesuatu tanpa merawatnya. Tapi kita tak bisa merawat sesuatu tanpa terlebih dahulu mencintainya.
Dan saya tahu, malam itu saya mencintai Lontar Yusuf, belajar Mocoan, meski saya belum tentu mampu merawatnya. Ada juga Kang Iwan (Antariksawan Yusuf) dan Mbak Upik (Nurul Ludfia Rochmah), mereka belajar juga Mocoan.
Apa yang dibacakan Kang Pur malam itu bukan sekadar kisah Nabi Yusuf. Tapi sebuah suara yang menyampaikan bahwa kita tidak perlu berlari ke masa depan untuk merasa hidup. Kadang kita hanya perlu duduk, membuka naskah tua, mendengar suara yang nyaris punah, dan membiarkan hati kita kembali muda.
Mungkin itu yang disebut pulang, saya tidak tahu siapa yang membawa saya ke sana. Saya hanya ingat bangun dari tidur dan kemudian duduk di ruangan yang tak punya jam dinding. Dan waktu pun seperti terdiam. Orang-orang tak sibuk dengan unggahan Instagram. Tak ada kue ulang tahun. Tak ada lilin. Tapi semua yang saya butuhkan tentang makna menjadi tua ada di ruangan itu.
Menjadi tua ternyata bukan soal lilin dan angka. Tapi soal kesadaran bahwa kita pernah muda. Dan bahwa masa muda itu, jika tidak kita genggam dengan rasa hormat, akan berubah jadi debu yang menyesakkan dada setiap kali kita mengingatnya.
Tiga orang asing itu, entah kenapa, tampak lebih tulus. Mereka menyimak dengan mata yang jujur. Tidak seperti kita yang kadang membaca untuk dipamerkan. Mereka membaca untuk mengenal. Sementara kita membaca untuk merasa penting. Bedanya besar. Saya tidak tahu apakah mereka akan mengingat malam itu seperti saya mengingatnya. Tapi saya tahu, mereka membawa sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti kita membawa doa yang tak sempat diucapkan. Seperti cinta yang tak sempat diberi nama.
Menjadi tua, saya pikir, seperti membaca kembali huruf Pegon. Kita mengenalnya. Tapi kita harus belajar lagi. Kita tahu bentuknya. Tapi kita lupa cara membacanya. Dan seperti cinta, huruf Pegon tidak akan marah kalau kita lupa. Ia akan diam saja, menunggu kita datang kembali.
Malam itu ditutup dengan secangkir kopi, seperti tembang kegelapan. Tapi saya tidak merasa takut. Saya merasa damai. Karena dalam setiap kegelapan, selalu ada terang. Dan dalam setiap terang, selalu ada cerita yang perlu dibacakan pelan-pelan, dengan suara yang tidak terburu-buru.
Lontar Yusuf tak mengajari saya menjadi bijak. Ia hanya menunjukkan bahwa saya belum sepenuhnya hidupan, dan di pojok rumah saya yang mulai sunyi ini, dengan lampu remang, saya menulis ini sambil mendengarkan suara malam yang seperti ingin berkata: “Kamu belum terlambat. Duduklah. Buka lagi halaman itu. Bacalah. Sebelum waktumu benar-benar habis.”
Semoga bulan depan ata tahun depan, entah di mana saya berada, masih ada suara lirih yang membaca Pegon. Dan semoga saya masih cukup waras untuk mendengarkannya. Karena di usia yang bertambah, kita tidak butuh pesta. Kita hanya butuh satu kalimat sederhana: “Selamat pulang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar