Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Danging Qurban dibungkus Daun Jati: Hikayat Idul Adha dari Kementerian Agama Banyuwangi

Danging Qurban dibungkus Daun Jati: Hikayat Idul Adha dari Kementerian Agama Banyuwangi

BANYUWANGI, (Warta Blambangan) Di bawah langit biru yang cerah, di halaman Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, aroma tanah pagi dan desir angin Juni bersatu dalam kidung Idul Adha yang khidmat. Senin itu, 10 Juni 2025, bertepatan dengan 13 Dzulhijjah 1446 Hijriyah, bukan sekadar penanggalan yang berjumpa, tetapi juga pertautan antara langit dan bumi, antara pengorbanan dan keberkahan.v


Enam ekor sapi dan enam kambing telah berserah diri dalam zikir terakhirnya, menunaikan takdir sebagai qurban—sebagai titipan cinta dari mereka yang mampu kepada mereka yang menanti. Daging yang tersaji tak hanya dibagi rata, tapi juga dibagi rasa. Dan rasa itu dibungkus rapi dalam lembar-lembar daun jati yang luas, tua, dan harum, menggantikan plastik yang biasa hadir dalam sunyi dan tak terurai.

Tahun ini berbeda. Tak sekadar karena jumlah hewan yang dikurbankan atau banyaknya penerima manfaat, tapi karena makna yang dikandung lebih dalam. Ada langkah kecil yang menyentuh, sederhana namun menggetarkan: daging qurban dibungkus dengan daun jati. Sebuah isyarat bahwa tradisi dan kesadaran lingkungan bisa bergandengan tangan, seperti dua makmum dalam satu saf panjang doa.

Kepala Kantor Kemenag Banyuwangi, H. Chaironi Hidayat, berdiri di antara kerumunan panitia dan pegawai, suaranya lirih namun sarat makna, menyapa pagi dan menyampaikan syukur.

“Ini bukan sekadar kegiatan rutin,” ucapnya. “Qurban adalah wasilah. Sebuah jalan menuju rahmat dan hidayat dari Allah SWT. Terima kasih kepada seluruh keluarga besar Kemenag Banyuwangi yang telah menjadikan ibadah ini penuh makna.”

Chaironi tak sekadar berbicara. Ia menanamkan. Ia mengajak. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya kekompakan, kebersamaan, dan keikhlasan. Bahwa qurban bukan hanya soal pisau dan darah, bukan hanya soal pembagian dan antrian, tapi juga tentang bagaimana manusia saling merangkul dalam ibadah, saling menguatkan dalam kebaikan.

“Panitia harus solid dan saling menguatkan,” katanya lagi. “Ini bukan hanya ibadah ritual. Ini momentum mempererat ukhuwah.”

Dan ukhuwah itu terasa nyata. Para pegawai tampak menyingsingkan lengan, merapikan antrean, mengatur kupon, menyambut dengan senyum, dan menuntun warga dengan sabar. Ada yang memanggul daging, ada yang menimbang, ada pula yang sekadar mengelap keringat sambil tersenyum. Tak ada hiruk pikuk yang gaduh, hanya gemuruh tenang dari hati yang bahagia berbagi.

Siti Rohmah, seorang ibu rumah tangga dari lingkungan sekitar kantor, menerima bungkusan daging dengan mata berkaca-kaca. Ia memandang daun jati yang membungkus daging itu dengan penuh kenangan.

“Biasanya kami terima daging dalam kantong plastik,” ujarnya pelan. “Tahun ini dibungkus daun jati. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, ke masa nenek saya. Lebih alami, lebih segar, lebih... hangat.”

Hangatnya bukan hanya dari tangan yang memberi, tapi dari pesan yang diselipkan: bumi tak lagi kuat memikul plastik. Maka manusia yang punya cinta dan akal harus mulai mengurangi bebannya. Daun jati pun hadir, bukan sebagai gaya, tapi sebagai pernyataan. Bahwa ibadah pun bisa bersahabat dengan alam, bahwa tradisi tak harus ditinggalkan, asal dijalankan dengan jiwa yang penuh hikmah.

Dan benar, dalam sunyi daun jati itu, tersimpan banyak cerita: tentang hutan yang rimbun, tentang dapur nenek, tentang nasi jagung dan sambal kelapa, tentang masa lalu yang tak sepenuhnya ingin kita tinggalkan. Kini, daun itu menjadi saksi atas niat baik dan langkah sederhana untuk masa depan yang lebih bersih.

Kegiatan qurban tahun ini pun tak hanya menyentuh sisi spiritual dan sosial, tapi juga ekologis. Di tengah dunia yang penuh sampah plastik, di tengah laut yang menjerit dan tanah yang murung, langkah kecil seperti ini adalah gema takbir yang memuliakan bumi. Bahwa qurban bukan hanya kepada sesama, tapi juga kepada alam yang diam-diam melayani kita setiap hari.

Chaironi menutup sambutannya dengan doa yang pelan namun mengalir dalam:

“Semoga semangat qurban membawa keberkahan, tidak hanya bagi yang berkurban dan menerima, tetapi juga bagi alam yang kita tinggali bersama.”

Dan langit pagi itu pun mengangguk. Daun jati yang terhampar, daging yang dibagi, senyum yang ditanam, serta takbir yang terus dilantunkan, menjadikan hari itu bukan hanya hari raya. Tapi hari di mana manusia, sesama, dan semesta kembali saling mengenali dalam bahasa kasih.

Hari di mana Banyuwangi menulis bait indah tentang qurban yang tak hanya memotong daging, tapi juga ego. Yang tak hanya berbagi makanan, tapi juga makna. Yang tak hanya menata logistik, tapi juga merapikan niat.

Di bawah teduh Kementerian Agama, Banyuwangi menulis sejarah kecil. Tapi sejarah yang akan dikenang oleh bumi.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog