Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Home » » Haji Delapan Syarikah: Sistem Baru, Risiko Baru

Haji Delapan Syarikah: Sistem Baru, Risiko Baru

 Haji Syarikah: Sistem Baru, Risiko Baru.


Saya tidak ikut haji tahun ini. Tapi saya tahu betul, para petugas haji kita—dari Kemenag, KK, PIHK sampai TKHK—sedang gundah. Banyak yang belum tahu sistem baru ini. Bahkan yang sudah tahu, banyak yang belum paham.

Namanya: sistem syarikah.

Bukan istilah yang asing, sebenarnya. Tapi jadi terasa asing saat kita tahu, tahun ini, penyelenggaraan haji Indonesia tidak lagi sepenuhnya di tangan pemerintah. Kini, pelayanan jemaah Indonesia diatur oleh delapan syarikah asal Arab Saudi. Delapan perusahaan yang tiba-tiba punya kuasa besar terhadap 221 ribu jemaah kita. 


Kita memang tidak bisa menolak. Sejak 2024, Pemerintah Arab Saudi memang mewajibkan sistem ini. Tapi saya khawatir, seperti biasa: kita ini terlalu sering siap berangkat, tapi belum tentu siap berubah.

Delapan nama syarikah itu barangkali tidak akan pernah dihafal jemaah. Tapi mereka akan merasakannya. Akan tinggal di hotel yang disediakan syarikah. Akan makan dari dapur yang dimasak oleh syarikah. Akan naik bus dan tidur di tenda Mina yang diatur syarikah.

Dan di situlah persoalannya.

Satu kloter, satu syarikah. Sistem ini menggantikan sistem lama: kloter disusun berdasarkan asal kabupaten/kota. Maka jangan kaget, jemaah dari Jember bisa sekamar dengan orang Cianjur, tidur satu tenda dengan orang Palembang. Petugas haji kabupaten pun, yang biasanya sudah sangat mengenal jemaahnya, kini ikut terseret dalam tatanan baru.

Saya bayangkan suasana malam di Mina: jemaah bingung, petugas kewalahan. Karena apa? Karena syarikah A mengatur logistik sendiri. Syarikah B punya vendor katering sendiri. Syarikah C punya protokol sendiri soal evakuasi. Belum tentu satu sama lain saling terhubung. Tidak ada jaminan semuanya bisa duduk satu meja dan menyamakan SOP.

Bahkan Duta Besar RI di Arab Saudi pun sudah bilang, sistem ini rawan gesekan. Masalah "murur" dan "tanazul"—dua istilah penting dalam pengaturan mobilitas jemaah—sudah mulai muncul sebelum puncak haji tiba.

Saya bayangkan: seseorang dari kloter syarikah keempat harus segera tanazul (pulang lebih awal) karena ibunya meninggal di kampung. Tapi ternyata, syarikah-nya tak siap menyediakan transportasi cepat. Siapa yang harus urus? Petugas kloter? Atase Haji? Konsulat? Atau... tidak ada?

Saya tahu, niatnya baik. Pemerintah ingin pelayanan yang lebih profesional. Lebih berskala besar. Lebih modern. Tapi apakah delapan syarikah itu paham betul kultur jemaah Indonesia?

Apakah mereka tahu bahwa orang Indonesia makan harus pakai sambal? Bahwa tenda di Mina tak bisa hanya diberi matras, tapi perlu disiapkan selimut dan sandal jepit? Bahwa jemaah Indonesia suka saling nitip, saling bantu, dan panik kalau ketinggalan rombongan?

Saya tidak menyalahkan mereka. Mereka orang Arab Saudi. Mereka hanya kontraktor.

Yang saya khawatirkan: apakah negara—dalam hal ini Kemenag—masih cukup punya kontrol atas delapan entitas besar ini? Kalau makan terlambat, siapa yang ditegur? Kalau bus telat dua jam, siapa yang minta maaf? Jangan sampai nanti, negara kita hanya jadi penonton, yang hanya bisa menampung keluhan, tapi tak bisa menindak.

Di sisi lain, ada satu hal menarik dari sistem ini. Justru bisa jadi peluang.

Bayangkan kalau suatu saat, Indonesia sendiri punya syarikah. Kita kirim ratusan ribu jemaah tiap tahun. Kenapa tidak kita bangun sendiri jaringan hotel, dapur, bus, bahkan tenda Mina? Bukankah pasar haji ini sangat jelas? Tidak akan pernah sepi.

Tapi itu butuh nyali. Butuh investasi. Dan tentu, butuh komitmen jangka panjang. Kalau setiap tahun kita hanya jadi konsumen, maka selamanya kita bergantung.

Tahun ini adalah tahun uji coba. Kita akan tahu dalam sebulan ke depan, apakah sistem ini berhasil atau kacau. Yang jelas, para petugas haji kita sedang bekerja keras mengawal transisi ini.

Saya tahu, banyak yang sudah senior, paham lapangan, dan cinta pada tugasnya. Saya percaya, mereka tidak akan menyerah.

Tapi saya juga tahu: sistem yang baik tidak cukup hanya mengandalkan orang-orang baik. Ia butuh kepastian. Butuh skema kerja. Butuh sistem kontrol yang adil dan kuat.

Dan itu, belum tentu dimiliki delapan syarikah.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga kesopanan dalam komentar

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog