Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2021

ISUN TETEP TEGAR

 ISUN TETEP TEGAR Oleh : Faiz Abadi Masio riko tinggal Atin isun tetap kuat Yonggo roso loro Ati hang keroso- roso Sedino rong dino urip koyo sing ono artine Godong hang rontok Kembang cecer keleleran Dadi paribahasan Uwong wadon hing mung siji Hang biso ngarteni arti bebraenan Osing wis Hing kiro mundur sak langkah baen Sunar serngenge nang pucuk wetan Madangi ati Nguweni semangat Urip kudu tansoyo nandur kebajikan Yoro hing kiro Kadung urip mung nelongso Biso hing biso Sun tegarno Sun adepi Klawan ati hang sabar

Menangkap Laron

 Menangkap Laron Akrostik oleh : Asri Kur Banyuwangi, 28 Pebruari 2021 == Memberikan silau untuk memerengkapnya Efek sinar kemilau kan membuatnya terperdaya Namun kau harus bersiap pada sayapnya yang mengotori singgasana  Ambilkan saja sebaskom air, lalu fatamorgana kan membuatnya binasa Nasib laron yang tak mampu menolak rayu kilau cahaya Gelap yang seharusnya menjadi perisai tiada disuka Kelam hanya tertawa melihat laron menjemput ajal tiba Apalah daya hasrat menggapai sinar telah merasuk sukma Perlahan dan sadar laron kehilangan sayap dan kembali merayap nelangsa *** Letih jiwa yang tak mampu kendalikan nafsu duniawi  Amor akan gemerlap membuat diri lupa tak terkendali Riuh pemangsa bertepuk tangan menanti  Oh… Sungguh sayang bisik Sang laron sedih Niat menggapai mimpi harus kandas sampai disini

Merdeka

 --Merdeka-- oleh : Dardiri Bila kuceritakan tentang kamboja cina, Kerling bola mata itu berpusingan di guguran kelopaknya, Jika kuberitakan tentang mawar, Cermin kedap warna memasukkannya dalam kotak kaca, Bilamana kukisahkan tentang gagar mayang, Cecah wanginya menggenang hujan, Ingsut dan anjak adalah keharusan yang tak bisa dihindarkan bagi keberadaan, Jarak adalah niscaya bagi segala bentuk ruang, Dan kurun adalah jeda bagi segala yang mewaktu, Sebagaimana spektra yang tak pernah sempurna dan bulan sabit yang tak mungkin bertahan dengan lengkung runcingnya menjelang purnama, Kerling mata itu bebas, Dan senyum, kapanpun bisa lepas landas juga kandas, Sebagaimana air mata yang juga merdeka sesukanya untuk bersembunyi atau menampakkan diri, Tak ada yang bisa menjajah lalu memenjarakannya dalam ruang pengap kedap udara, Atau sengaja menggembalakannya di padang luas tidak berkutub batas, Ini adalah sebuah  percakapan, Tentang kamboja cina, tentang mawar, dan kembang mayang, Ke...

Arloji 2

 "Arloji 2" oleh : Dardiri Yang melingkar di pergelangan tangan kananmu, Memuat semacam sengat halus yang bukan jarum, Berparas datar walau melingkar, Arloji pula namanya, Tidak berputar, Tetapi selalu berkedip dan mengejap, Menggeser angka-angka tua, Mungkin tak kau sadari bahwa ia terus memata-matai hembusan napasmu, Mendiktemu dalam segala adat yang penat, Iapun sebenarnya ingin berkata, Bahwa usiamu terkedip, terkejap, dan tergeser pula di dalamnya, Seketika adalah selamanya, Sebelum usia tak lagi terkejar denyut nadimu,- (K G P H : 28 Februari 2021)

Arloji 1

 "Arloji 1" oleh : Datdiri Yang melingkar di pergelangan tangan kirimu itu, Terbuat dari emas, tembaga, magnet, jarum, timbal, sedikit plastik dan karet, angka, abjad, besi, juga kaca, Arloji namanya, Berputar sendiri, Menandai dirinya sendiri, Menatapmu dengan sedikit curiga, Dan bertanya, Kapan terakhir kali kau memandangnya, Lalu menyelipkan kata-kata purba, “Penantianku tak akan lama”,- ( K G P H : 28 Februari 2021)

BIARKAN TUHAN SAJA TERKENAL

 BIARKAN TUHAN SAJA TERKENAL Oleh : Faiz Abadi Kita hanya menumpang lewat Sebelum ajal merenggut  Biarkan tuhan saja terkenal Sebab memang kita menumpang nama Lewat satu kata Keikhlasan Demi bangsa, agama, seluruh ummat manusia Andaikata kau memaksa Memajangkan nama Dari Fir'aun,hitler Junta militer Myanmar terkini Atau siapa saja Apakah masih bertahan Ketika tulang mulai rapuh Kulit keriput pudar warnanya Justru ketika di ujung nafas Ketika degup jantung telah terbatas Namamu yang angkuh Kelak meluruh dalam keruh Kesombongan Akan jatuh Tergantikan ketakutan luar biasa Saat menyadari tetapi sudah terlambat Seharusnya biarkan tuhan tetap selalu yang terkenal Di kasat mata, jagad dunia maya Bahkan ketika semua telah sirna

SUDAHKAH SEPERTI BURUNG TERBANG BEBAS

 SUDAHKAH SEPERTI BURUNG TERBANG BEBAS oleh ; Faiz Ada Apakah kebebasan sudah kita dapatkan Seperti burung terbang bebas Lepaskan segenap kerinduan Pada segenap ilalang Nyanyikan perdamaian pada ranting-ranting kemerdekaan Baginya kesunyiaan adalah sangkar belenggu Merengut suaranya yang merdu Dipaksa oleh kekuasaan manusia Bertindak atas kesenangan semata Bahkan memperjualbelikan suara nyaring Demi ambisi semata Adakah terjadi di hari ini Ketika globalisasi mata, telinga, Suara Adalah keniscayaan Adalah kepastian Burung-burung harus terbang tinggi senandungkan hukum alam Hingga sampai pada ketetapan tuhan Apakah sudah kita saksikan bersama Dari kutub utara hingga kutub selatan Narasi kebebasan sebenarnya Ataukah belenggu nurani tetap sama Terjerembab dalam retorika kekuasaan Dibungkus kain sutra indah Semuanya terpana mengiyakan Padahal suara rakyat kecil tertahan dikerongkongan Masing-masing menyelamatkan diri  Buat apa logika suara rakyat  Jika tidak membuat selamat Li...
 YAKINLAH KITA AKAN MENJADI TERDEPAN Oleh : Faiz Abadi Menjelang pilihan semuanya seperti tidak enak Saling jagokan para kandidat Sudah biasa Karena proses pendewasaan Tapi negeri tengah menuju kesempurnaan Semua berjabat tangan Bersatu padu membangun martabat Bumi Pertiwi menggeliat Jangan pernah lupa disini pernah lahir Pemimpin negeri sekaligus pemimpin dunia Sang Proklamator bangsa Juga pemimpin bangsa menjadi pemimpin agama sedunia Yakinlah akan selalu lahir titisan titisan baru Roh jati diri Manunggal dalam kesaktian Burung Garuda Bhineka tunggal ika Akan selalu terpatri di Dada Wahai engkau berdua Generasi penerusmu takkan surut Tepiskan segenap perbedaan Enyahkan segenap pertikaian Kami.hanyalah abdi negeri Padamu yang disana kuikuti Jejak jejak kejayaan negeri Takkan lenyap dari Bumi Pertiwi Ayo terus.kibarkan panji-panji Sang Burung Perkasa Berkoar tunjukkan keunggulan peradaban Semua agama, semua suku bersatu Kita pasti bisa Kembali memimpin dunia

Seruling_Mawar

 "Seruling_Mawar" Oleh : Dardiri Duduklah ia, Di teras rumah beratap tinggi menyerupa bukit, Tiba-tiba didengarnya lagi suara seruling itu, Jauh dari seberang lautan ganas bergelombang panas, Turun seketika seperti air terjun yang deras, Segera saja ia beranjak lalu mengepak kehendak, Membuka-buka almari lalu sejenak tenggelam dalam pencarian, Setelah beberapa saat ditemukan olehnya sesuatu yang lazim dalam persembunyian, Selingkar cincin dan seberkas map berwarna cokelat tua, Dikenakannya lagi cincin berukir mawar itu di pergelangan jari manisnya, Lalu duduk kembali di beranda rumah sambil menyeka bening kaca di matanya, Suara seruling yang datang dari dunia tak kasat mata, Menyambar-nyambar lubang kecil di gendang telinganya, Ia ingat betul, Siapa yang meniup seruling sambil duduk di tepi danau dengan kedua mata memandangi wajahnya di bulir air itu, Laki-laki yang dulu pernah melingkarkan cincin berukir mawar di jari manisnya, Mungkin dia sedang menunggu, Seperti saat ini k...

Rindu_Mawar

 "Rindu_Mawar" oleh : Dardiri Aku mencium wanginya duri, Dari sepasang kaki bertungkai darah, Dengan lanskap malam tergambar jelas di jejak-jejak yang disembunyikannya, Ada yang ragu-ragu memanggilmu, Karena kamu memang selalu diam seperti bisu, Tetapi bukan batu, Kusaksikan kesaksianmu, Tentang rindu yang rapat-rapat disimpannya dalam lipatan kertas berwarna merah jambu, Tentang cinta yang selalu rahasia dan diliputi tanda tanya, Lalu kau diselipkan di tepinya, Dan diberikan entah kepada siapa, Mereka bangga, Hingga menyebutnya rindu, Dan aku, Selalu memanggilmu, Mawar,- (K G P H : 25 Februari 2021)

Rindu_Mawar 2

 "Rindu_Mawar 2" oleh ; Dardiri Kau bisa saja terus memejamkan mata, Dan menutup rapat jendela kamarmu dengan gorden sewarna hati waktu itu, Dari, Pagi yang bergerigi memecahkan karatnya menjadi sekerumunan hingar bingar di atas kepalamu, Juga  godaan angin yang malu-malu memilin rambutnya di bawah sumping ronamu, Tetapi kau mawar, bukan?, Kedaulatan merdeka telah memilihmu menjadi duta paling nyata, Bahwa rindu, Benar-benar ada,- (K G P H : 25 Februari 2021)

Repertoar Senja

 "Repertoar Senja" oleh : Dardiri Kita bertemu lagi di sini, Menjelma sebuah ruang, Lengkap dengan kursi, meja, cermin, sisir, bunga plastik, belati, juga debu, Di luar sana, Kepak burung dara membenturi angin, Seperti ada yang sedang terus menerus dipacunya di atas landasan misterius, Bekur dan anggukannya menjadi penanda bahwa yang bersuara akan selalu ada walau tak kasat mata, Kita berpaling dari cermin, Membelakangi kursi dan menyisir garis tepi meja berdebu, Lalu terhenti tepat di samping seonggok bunga plastik dan ujung belati, Darah, Tiba-tiba pecah di kilat tajamnya, Kita tidak mengajukan tanya, Karena bunga plastik yang selalu pendiam itu melahap suara dengan sempurnanya, Senja itu, Benar-benar menghunus kita dalam darah, Wajah kita terasah oleh garis waktu, Lalu kita diam, Ada yang diam-diam memandang dari dalam cermin dan koyakan debu, Seolah bertanya, Wajah siapa yang berlumur darah dan menyeringai senyum di ujung belati?,- (K G P H : 24 Februari 2021)

Adalah Siksaan

 "Adalah Siksaan" oleh : Dardiri Adalah siksaan, Untuk menulis bagi yang tidak pernah mengerti tentang angka dan aksara, Adalah siksaan, Untuk melihat semburat pagi atau lembayungnya senja bagi yang buta warna, Adalah siksaan, Untuk mengunjungi situs jeraring sosial yang diinginkan ketika sinyal tidak kunjung didapatkan, Adalah siksaan, Untuk menembak lawan ketika sebutir peluru tidak berada di laras senjata, Adalah siksaan, Untuk membayar upah karyawan Ketika uang tak ada di brankas perusahaan, Adalah siksaan, Untuk menduduki wilayah tertentu bagi prajurit pilihan tanpa perintah komandan, Adalah siksaan, Untuk terus menghafal alamat dan nama bagi yang selalu lupa, Adalah siksaan, Untuk menentukan pilihan bagi yang terus dilanda gamang dan keraguan, Adalah siksaan, Untuk menceritakan apa-apa yang dilihatnya bagi yang tidak punya penglihatan, Adalah siksaan, Untuk membidik tepat sasaran bagi tangan yang selalu gemetaran, Adalah siksaan, Untuk menyadap hujan ketika kemarau seda...

Jam Beker

 "Jam Beker" oleh : Dardiri Jam beker itu berbunyi, Lantang suaranya seperti dentang lonceng dari atas menara ketika malam berdiri tegak di atas kepala, Menjejali lubang telingamu yang sempit dan mengaburkan pandang mata yang mulai rabun karena kejaran usia, Kamu bertanya pada dirimu sendiri, Bagaimana jika kaupecahkan saja  beker itu, Tetapi, tunggu dulu, Bukankah ia yang selalu mengingatkanmu tentang angka-angka di sepanjang garis usia?, Bukankah ia yang senantiasa bercakap-cakap denganmu melalui bunyi tik tak sepanjang waktu?, Kalau bukan ia, siapa lagi yang mau menampung getaran resah yang kau gantungkan seperti anak kunci di pintu kesadaranmu?, Siapa yang sanggup melipat segala adat yang keramat dari masa silam dan ruam rejam harapanmu?, Kalau kamu berdoa, tentu juga tak luput dari hitungan-hitungan yang dihadiahkannya padamu, Begitu juga ketika rindu yang selalu tabu itu tiba-tiba menderumu, ia selalu siap sedia menjadi labuh bagi genangan air matamu, Biarkan saja ia te...

Matra_Mawar

 "Matra_Mawar" oleh : Dardiri Kamu masih saja menulis, Di atas sebuah meja yang penuh gulungan kertas, Terkadang begitu lama ujung jarimu memintasi layar sebuah telepon genggam, Meretas pencarian tentang apa-apa yang tak kau temukan di dunia nyata, Mungkin kau juga mencariku?, Setangkai mawar di halaman rumah, Sedikit basah selepas hujan menelanjanginya semalam, Seolah ada yang memerintah, Ia terkesiap lalu mengibaskan bulu-bulunya yang kusam, Seperti ada yang tengah disambutnya dari dunia tak bermatra, Kau buka jendela kamarmu lalu mengernyitkan mata, Pagi masih terlalu buta, Sehingga sulit bagi sudut pandang menentukan warna dan cuaca, Subuh seolah menjadi buluh, Membadai lautan darah lalu menggemuruh dalam kerutan denyut nadi, Dan berkelebat bebas di pintu-pintu napas, Kamu tak perlu mencariku, Karena akulah dunia tanpa matra yang berkelebat bebas keluar masuk pintu napas, Menggemuruh denyut nadi dan membadai lautan darah-mu,- (K G P H : 24 Februari 2021)

Jalan Mawar

 "Jalan Mawar" oleh : Dardiri Jalan itu begitu sepi, Hanya ada angin, embun dan hujan, Sama sekali tidak ada perempatan dengan rambu dan lampu, Tidak ada tanjakan tinggi atau turunan curam pun juga kelokan-kelokan tajam, Kau pun tidak akan menemukan marka  ataupun uraian kabel panjang dengan tiang menjulang, Jalanan itu benar-benar lengang, Seolah kosong dari hingar bingar dunia, Bahkan tatkala ufuk riuh oleh gaduhnya pagi dan senja diam-diam dilindap malam, Di jalan itu, Angin lebih mudah mengasah tajamnya duri yang seolah abadi, Embun senantiasa melintas di jalur yang dibuatnya sendiri jauh sejak sunyi menikam dini hari, Dan hujan dengan sangat leluasa menjadi cermin dengan pantulan warna berbeda menciptakan kecipak bersahutan di bawah kakinya, Kemudian membukakan dahan jendela, Dan dengan sedikit tersipu ada yang mengintipnya dari sana, Lalu angin dan hujan yang baru saja menuntaskan perselisihannya dengan embun sepagi itu, Menyambutnya dengan kecupan pertama dan pagutan p...

DALAM KUASANYA

 DALAM KUASANYA oleh : Faiz Abadi Kupandang langit Pada sejauh batas mata memandang Kuitari bumi  Pada sejauh batas fikiranku Apa hendak dapat kukatakan Aku hanyalah setitik bayangan  Pada jagad raya luas membentang Segenap jasadku Pada seluruh jiwaku Segala milikku Juga segala milikmu Hanyalah titipan Cepat atau lambat akan kembali pada pemiliknya Adakah keengganan untuk melepasnya Hanya ada tiga pilihan Keengganan Keikhlasan Atau biarkan mengalir begitu saja Seperti air mengalir Dari atas tempat tinggi, bukit, pegunungan Jatuh dari atas langit Berasal dari uap air dari sungai, danau,juga laut Semua sebenarnya tahu Yakin kita ada pada batas apa Mata kita sampai dimana Sentuhan rasa kita untuk siapa Penglihatan hati kita entah kemana Fakta dan logika adalah kemerdekaan awalnya dalam retorika kebebasan  Tetapi lingkaran hukum manusia Alam semesta beserta jagad raya Ada dalam kubangan maha luas Ketinggian paling tinggi Berjalan pada segenap kurun waktu Atas segala kehe...

Doa_Senja

 “Doa_Senja” (Dalam Sebuah Doa 3) oleh : Dardiri Kuulang doa, Pada lembaran senja, Pintamu suatu ketika, Doaku sejenis mantram agung, menukik dari balik gunung, dari celah himpit berpayung mendung, bergulingan di lereng-lereng menggantung, terjun bebas ke dasar palung, mengaduk segala gema dan gaung, menggulung  baju zirah dari punggung raja-raja agung, menjalin anyaman hampa tiada ujung, entah apa yang ditanggungnya, Doaku malu-malu mengintip di belakang senja, Adakah yang lebih tahu tentang senja?, Senja itu gantung lembayung, Senja itu mirip payung melengkung, Senja itu penghulu malam berkerudung, Senja itu sampan tidak berdayung, Senja itu isyarat, tanda, dan rahasia yang tak mungkin kau hitung, Senja itu doa, Senja itu duka, Senja itu nestapa, Senja itu hampa, Senja itu murka, Senja itu dusta, Senja itu durjana, Senja itu gila, Senja itu fana, Senja itu mengembara, Senja itu rongga menganga, Senja itu batas dunia, Senja itu persinggungan masa, Senja itu gumpalan mega, Sen...

PANGKUAN TUHAN

 PANGKUAN TUHAN oleh ; Rohimah Saat aku minta kepada Tuhan Sebuah bintang mungil nan indah Tuhan malah memberikan Sorotan cahaya yang terang nan indah Seakan tak ada habisnya Saat aku minta pada Tuhan Setangkai bunga kecil yang mungil dan cantik Tuhan malah memberikan Kaktus berduri Yang jatuh seakan menusuk tubuh ini Saat itu aku sadar dan aku mengerti Bahwa semua ini akan terjadi Karena tidak semua kemauan dan harapan berakhir menyenangkan Saat aku sendiri Saat aku menangis Dan kenangan itu begitu nyata Ketika lentera ada acara perdana Dia sosok sahabat yang dermawan dan tepo sliro  Dia sahabat yang tau apa yang ku mau Senyummu begitu teduh Seteduh lembahyung senja yg menawan Kesabaran terpancar dari  rona-rona guratan wajah disenyumanmu Pantas aja Tuhan menganugerahi Hari teristimewa, sayyidul ayyam(tuan dari semua hari)  Dihari pemanggilan mu sahabatku Hari pembebasan siksa kubur , tanpa ketakutan Yang ada hanya nikmat kubur dan kegembiraan Pribadi mempesonamu...

Dalam Sebuah Doa

 “Dalam Sebuah Doa 2” oleh ; Dardiri Aku berdoa lagi, Pagi ini, Di bawah awan putih menggelinding bersanding batang-batang galah matahari, Doaku seperti seekor burung sriti yang bertengger di atas pabrik penggilingan padi, mengibaskan bulu-bulunya yang sedikit lembab, lalu terbang melayang mencari pasangannya, kemudian bertengger kembali, entah apa yang didapatinya, Doaku serupa ujung jari kompas yang selalu berputar dan mencari kutub-kutub tersembunyi, menjaga titik-titik tertentu, memakna angka-angka buta, memantulkan arah dan ranah,  lalu kembali terdiam, entah apa yang disimpannya, Doaku memindai pucuk-pucuk cemara yang basah, bermain mata dengan pusaran cahaya, membisiki segala tentang nisbi dan hakiki, lalu berdiri lagi menerka teka-teki, entah apa yang disimpulkannya, Dalam doaku pagi ini, Aku memandang diriku sendiri, di bawah sayap burung sriti, terjepit penggilingan padi, terselinap di kutub tersembunyi, tersekap di deretan angka-angka buta, tersesat di ranah arah, t...

Romanza Kisah yang kini telah usai

 Romanza  Kisah yang kini telah usai oleh : Sulistyowati Terhempas dalam dinding waktu Takdir telah membalas surat cintamu Surat Cinta pada sang pemilik kehidupan Kau sambut dengan senyum  Tidak ada rasa takut  Bahkan teramat berani  Kau layangkan surat buat takdir Dan kau memperoleh balasannya Sungguh tiada yang bisa memaknai sebelumnya Dan kini baru kusadari setelah engkau tiada... Romansa kini telah benar-benar bisu Goresan penamu yang masih bisa disuarakan dengan merdu Karyamu tak kan lekang oleh waktu Lentera ilmu telah menerangi jalan keabadianmu Sambut dengan kedua tanganmu... Songsong sang kekasih yang telah merinduimu Bermesralah di alam keabadianmu Biarlah romansa ini berhenti sampai di sini Biarlah kami yang akan mengenangmu Kenang-kenanglah romansa saksi bisu perjalananmu Yang kini benar-benar membisu di bawah ranting bambu

Dalam Sebuah Doa

 --Dalam Sebuah Doa-- oleh : Dardiri Aku sedang berdoa malam ini, Di bawah kolong langit yang selalu biru itu, Katamu, Aku sendiri kurang mengerti, Ini harapan atau keinginan yang kupaksakan, Keduanya saling tindih dan melaju kencang berkejaran seperti sedang memperebutkan hal-hal muskil yang sebenarnyalah mendekati mustahil, Doaku menyerupai kera yang berlompatan dari dahan ke ranting, dari ranting ke pohon, dari pohon turun ke tanah, merontokkan daun-daun, merayap, merangkak, berjingkrak, lalu meloncat lagi, tak pernah berhenti, Doaku bagai serigala buas yang berlarian dengan sekawanannya ke atas perbukitan tandus, menggaruk-garuk tanah dan bebatuan, mencakar semak-semak, memburu yang bernyawa, mengoyak daging, meminum darah, lalu mengaum sekeras-kerasnya sambil menatap bulatan rembulan merah, entah apa yang diteriakinya, Jikalau doaku tidak menjadi kenyataan,  Buru-buru aku mengucap tarji, semacam mantra untuk mengembalikan segala hal  kepada Asal, Entah itu benar-bena...

Bukan Tentang Wulandari

 *Bukan Tentang Wulandari* oleh : Syafaat Tentang puisi-puisi Romansa Tentang Wulandari yang selalu ada di setiap puisi Tentang cerita lelaki dewasa Yang mati di usung puisinya sendiri Ini kisah Lentera Sastra Tak ada lagi lalu lalang puisi Semua terhenti Tergeletak dibawah pohon bambu di pemakaman rindu Di pojok belakang rumah masa depan yang kutinggalkan Kata dan kalimat tak dapat lagi Menyembunyikan cinta yang berhamburan Lelaki dewasa itu tersenyum sendiri Menuliskan nada religi dalam sajak bisu Dia selalu menulis puisi, dan membiarkan mencari takdirnya sendiri Bidadari pujaannya selalu menghardik puisi puisi itu agar lekas pergi Lelaki dewasa yang menulis puisi itu diam dan terus membuncahkan libido puisi Hasratnya tak lagi menggebu Dia tertidur dalam bayangannya sendiri Menunggu puisinya kembali

Mantra Romanza

 *Mantra Romanza* oleh : Syafaat Diam diam kubaca mantra Dari kitab Romanza Kuhayati seakan mengerti makna Untuk Wulandari dengan segenap cinta Aku tak ingin tertukar nama Satu persatu kalimat kueja Sambil kutabur kembang tujuh rupa Berderai air mata, kupuja nama Bidadariku berselendang sutra Rindu dendam tersirat dibalik senyumnya Telah kuikat dengan perjanjian jiwa Cintaku telah terjepit rongga asmara Membelai angan yang selalu menggoda Wulandari tersenyum menyuguhkan luka Menghantarkan angan surga Belati cinta menghujam lara Puisi tak mampu lagi membalut duka Ketika puncak kerinduan menghimpit Sukma Aku pasrah pada takdir yang kuasa Kamis, 25022021 (Tujuh hari meninggalnya Romanza)

Sepasang Kamboja

 “Sepasang Kamboja” oleh : Dardiri Kamu ingin menulis lagi,  Pada selembar daun bambu yang jatuh karena cumbuan angin di teras rumahmu, Kamu ingin bercerita lagi, Pada sepasang kamboja yang belum sempat berbunga dan lalu ditancapkan begitu saja di pelataran rumahmu, Kamu ingin berkisah lagi, Pada jalan setapak yang sempit terhimpit bangunan sejenis pasak tidak begitu panjang di kiri dan kananmu, Kamu ingin melukis lagi, Pada batang-batang rumput yang dengan sekejap menjamur di sana usai hujan berdatangan dan bertamu padamu malam itu, Kamu ingin berbicara lagi, Pada sekuntum sepi yang dulu sering kau tangkup dalam cakrawala igauan dan lalu kau tuangkan ke sebuah nampan besar berisi sajak-sajak biru, Kamu ingin mengajakku bercakap-cakap lagi, Tentang pagi yang bergerigi, senja yang tiba-tiba menyala, malam yang dengan rakusnya menjadi geram, fajar yang senantiasa menebar pijar menjalar, Tentang belati yang tajam melindap dendam,  Tentang gerimis yang berganti-ganti wajah me...

Guru Harus Bersikap SEWOT

 Guru Harus Bersikap SEWOT Achmad Nadzir, S.Pd* Standar kompetensi minimal guru belum terpenuhi, meski program sertifikasi guru telah digulirkan sejak tahun 2006. Padahal guru menjadi kunci dalam meningkatkan kualitas Pendidikan. Fakta di tahun 2016, kualitas pendidikan di Indonesia berada diperingkat ke-62 dari 69 negara (Syarifudin Yunus, DetikNews). Hal tersebut menjadi cermin konkret kualitas guru di Indonesia. Di tahun 2017 masih kita ingat bagaimana penerapan sekolah lima hari menimbulkan polemik, bahkan penerapan kurikulum 2013 yang “terpaksa” diterapkan dan gagal akibat guru belum kompeten dan siap, sehingga pembelajaran tidak berjalan optimal. Membahas kompetensi profesional guru, perlu membuat pemetaan atas faktor-faktor penyebabnya. Ketidaksesuaian antara pelajaran yang diampu dengan latar belakang akademik, sehingga timbul permasalahan terutama dalam aspek pedagogik. Sikap acuh dan tidak mau mengembangkan diri, membuat guru malas untuk menambah pengetahuan dan kompe...

LANTUNKANLAH

 LANTUNKANLAH oleh : Faiz Abadi Lantunkanlah Di segenap penjuru ruang dan waktu Sholallahu ala muhammad Sholallahu alaihi wassalam Nafas terbatas Dalam segenap penjuru angin tanpa jejak berbekas Terus gemakan Kemudian apa yang kau ragukan Derukan dalam setiap pengakuan La ilaaha illallah muhammadarasulullah La ilaaha illallah muhammadarasulullah La ilaaha illallah muhammadarasulullah Semuanya ada karena kehendaknya Semua tercipta karena iradatNya Bumi dan langit terus berputar Karena kehendakNya Terus lantunkan Sholallahu ala muhammad  Sholallahu alaihi wassalam Katakan tiada tuhan selain Dia La ilaaha illallah Telah terpayungi segenap kasih cinta untuk alam semesta Muhammadarasulullah Segala perkataanNya Segala ucapanNya Cukup kata kata " Jadi" Maka semua jadilah Terus lantunkan  Terus lanjutkan Jangan sampai engkau tinggalkan La ilaaha illallah Muhammadarasulullah Semuanya kepastian Mulailah dari segenap kesucian Kemudian segenap pujian Pastilah menuju pengakuan  T...

Niscaya

 “Niscaya” oleh : Handaru Masih, Tentu tidak serta-merta menghilang begitu saja, Pernah, Suatu ketika, Kamu mengajariku tentang angka-angka, Aku memberimu kata-kata, Kamu menuliskan abjad di belakang angka yang kubuat, Aku memberimu kata sesudahnya dengan rahasia, Kita tidak pernah berjanji, Tetapi kita saling mengerti, Kita tidak pernah mengumbar keniscayaan, Tetapi kita saling memamahamkan kepercayaan, Karena janji berawal dari kepercayaan, Dan, Saling mengerti adalah keniscayaan, Tak ada yang tahu, Bahwa sebenarnyalah angka dan abjad yang tersemat tak lebih seperti sungai berbatu yang kita lewati begitu saja atau kita seberangi dalam waktu yang tidak begitu lama, Karena layar memang tak dibutuhkan untuk menyeberangi sungai berbatu yang didiami riak dan jeram berkejaran, Selalu, Ketika kukatakan lelah, Kamu bilang bukan, Ketika kutawarkan berhenti, Kamu bilang tidak, Ketika kuberikan peristirahatan sejenak, Kamu bilang jangan, Sungai berbatu yang mengalir dari negeri cahaya dan d...

JANGAN LAGI KAU RENGGUT PAKSA

 JANGAN LAGI KAU RENGGUT PAKSA Oleh : Sulistyowati Telah kau renggut paksa saudaraku Telah kau renggut paksa sahabatku Jangan main paksa ambil yang bukan kau punya  Biarkan yang maha empunya yang akan mengambilnya Apakah kau sudah mati rasa Tak kau lihat air mata jutaan keluarga Menangis,  meratapi atas kehilangan orang terkasihnya Cukup cukuplah sudah Jangan kau tebar derita lara Tuhan jika ini adalah perpanjangan tanganMu Jika ini semua atas titahMu Hamba akan belajar mengihklaskannya Walau sebenarnya tak rela Hamba akan belajar memaknai setiap kalam  Walau sebenarnya aku belum paham... Alfatekha....

Puisi Sunyi

 Puisi Sunyi oleh : Syafaat Lentera sastra terlihat sepi Tak terlihat lagi Hilir mudik puisi Jari-jari serasa tak mau bereaksi Meski sekedar membunuh sunyi Pagi seakan masih didekap mimpi Suaramu masih terekam bercampur nadi Meski kusadari bahwa kematian adalah hal yang pasti Menerima beritanya seperti tak bernyali Pagi ini aku menanti Kiriman puisimu seperti biasanya Meski kutahu takkan terjadi lagi Masih kutunggu juga Kau kabarkan rencana kepergianmu Yang kau selipkan dibait puisimu Dan kubaca dengan makna setelah kau tiada Dibawah pohon bambu kau jemput senja

Kepergianmu

 Kepergianmu By Lulu' Aku tahu ini terasa berat Air matapun tumpah tak terbendung Sekilas waktu ku baru mengenalmu Corona telah mempertemukan kita Lewat wadah penulis Lentera Sastra Tiba-tiba terdengar berita kepergianmu Sontak menyesakkan dadaku Rasa tidak percaya Matamu yang teduh selalu memberi kedamaian Karakter lembutmu yang memberi kesan Lincah dalam berpikir Cerdas dalam bertindak Lembut dalam bertutur Selalu sigap dan penuh tanggungjawab Kini karena corona engkau pergi untuk selamanya  Pulang dalam kedamaian kasih illahi Semoga engkau tenang di alam pilihan Engkau tetap abadi dalam sanubari

PERGILAH SUDAH

 PERGILAH SUDAH oleh : Faiz Abadi Mengapa bayanganmu masih di sini Seperti menetap di pelupuk mata Padahal derap derap langkahmu tak lagi terdengar Lenyap bersama angin Berhembus kesana Lalu lenyap begitu saja Mengapa harus ada Mengapa harus melihat senyummu Namun kau tinggalkan Saat tangan mendambakan Romansa kerinduan Romansa cinta Romansa religi tentang nurani Pergi  Pergilah Kalau akhirnya kau tinggalkan  Kenangan indah  Pergi  Pergilah segera Tapi jangan lama-lama Sebab segala suara hatimu Ku abadikan di karya lentera

Bulu Merak Hijau

 “Bulu Merak Hijau” oleh ; Dardiri Entah berapa kali kubuka layar telepon genggamku, Kuseka ke atas kusentuh ke bawah, Kugeser ke kiri dan ke kanan, Berkali-kali, Lagi, Dan lagi, Nama dan pesan yang pertama kali kulihat tetap sama, Selalu dirimu dan darimu, Berharap warna centang kelabu menjadi biru, Dan terbetiklah kata-kata di bawahnya, Sebagaimana biasa, Seperti biasa, Kita bertukar tawar tentang bulan sabit, anak sungai, telaga, laut, gunung, bukit-bukit, langit, matahari, bintang, dan segala rerupa semesta yang sempat terpandang ujung mata, Adakalanya kita ramaikan layar telepon genggam kita dengan persinggungan garis sepi dan sunyi, Lalu kita sama-sama diam, Dan menyelinapkan tentang bingkisan senja, pahatan malam, jerangan dini hari, rekah fajar, beranda pagi, dan amukan terik dalam diam-diam kita, Lalu lahirlah kabut, salju, embun, rintik, gerimis, juga hujan berkeliaran dalam larik-larik tulisan kita, Kutahu, Sebenarnya, Kita adalah sama-sama romansa, Kita adalah sesama pe...

SEPERTI MASIH BERSAMA

 SEPERTI MASIH BERSAMA oleh : Faiz Abadi Aku mengembara di negeri syair bersamamu Namun tanpa berpamitan tiba-tiba engkau pergi Masih terbayang di pelupuk mata Ketika cahaya lentera kau nyalakan Masih terngiang di telinga Gaung suara kau kumandangkan Nyanyi rindu Nyanyi suara kalbu Tetapi mengapa hanya sekejab saja Terpana di sudut sudut literasi Lalu terhempas di belantara kesunyian abadi Aku tahu tersenyum di sana Aku tahu kau bahagia di sisiNya Tapi aku tidak tahu Seberapa lama bisa kutepiskan Kerinduan akan kehadiranmu

Proses Terjadinya Hujan

 -- Proses Terjadinyan Hujan- oleh : Dardiri Pada awalnya adalah air, nyaman tiduran di dalam tanah, sungai, telaga, juga di bawah laut, Lalu panas membangunkannya, Panas itu datangnya dari negeri di atas awan, Matahari namanya, Yang seolah membangun lorong panjang dari sana ke sini, Dengan tujuan pasti, Membangunkan air dan menjemputnya, Air yang terbangun seketika berubah menjadi uap, Lalu terbang tinggi menemui koleganya sesama uap yang terbentuk dari air tadi, Sesampainya di sempadan langit, Ia memadat dan jadilah embun,  Kemudian menjadi besar karena angin menyusuinya dengan seksama, Lalu menjadi raksasa berwarna kelabu, Mendung namanya, Karena angin tak mampu lagi menggendong dan menimangnya, Jadilah ia butir-butir kecil yang acak tetapi serasi dan senantiasa turun dengan bersamaan, Hujan begitulah namanya, Bermula dari air lalu kembali menjadi air, Adakah kau tahu, Dari mana kisah ini bermuasal?,  Pada mulanya tak terjadi apa-apa, Lalu ada yang tiba-tiba terbangun ...

ADAKAH KITA

 ADAKAH KITA oleh ; Faiz Abadi Pernah kau mengingatNya Hingga kau lupa dunia Adanya kita karena siapa Saat ada tapi sebenarnya tiada Adanya hanya Dia Adakah engkau saat itu Kita ada  Tetapi bayangan saja Menjalani hari hari Dari yang telah digariskan Tetapi kita ada juga Dalam kuasa sementara Menyiapkan bekal yang ada Agar senantiasa hidup Walaupun sudah tiada Sebenarnya adakah kita dalam adaNya Adanya kita tidakkan mengusik keberadaanNya Adakah kau disana Saat tangan tangan orang tidak berada terangkat Membutuhkan adanya belas kasihanmu Adakah kau disana  Dalam majelis ilmu Nabi Musa Adakah kau disana Dalam majelis ilmu Nabi Khidir Adakah kau disana Dalam majelis ilmu utusan penyempurna Dalam pengembaraan usia dewasa hingga renta Kau wariskan para putra Majelis ilmu dan dzikir Atau hanyalah harta dalam benaknya Adakah disana Saat kau tunggu masa penantian Sebelum Terompet sangkakala dibunyikan Pewaris generasi berlari menggantikanmu dalam majelis mulia Mengumandangkan na...

Teman Sejawat

 --Teman Sejawat-- oleh : Dardiri Teman sejawat,  Adalah nurani-mu sendiri, Yang seringkali menasihati-mu tanpa kata dan mata,  Dan kau sangkal pula dengan keinginan dan kebenaran yang kau buat sendiri, Dengan Keakuan yang diakukan dan terus meraja rona pikir-mu, Lalu dengan lantang pula kau paksakan dalam benak-mu, Bahwa kebenaran adalah milik-mu, Bukan milik orang lain, Kau tak ingin dinilai dan dihakimi, Tatkala engkau berpuluh juta kali menilai dan menghakimi orang lain, Dengan kebenaran buatan-mu sendiri, Kawan,  Teman Sejawat, Adalah jejak bayanganmu sendiri,  Yang mungkin tak kau kenali lagi" (K G P H : 17 Februari 2021)

BUKALAH SEKARANG

 BUKALAH SEKARANG oleh ; Faiz Abadi Kalau tidak sekarang Kapan kau buka Miftahul jannah La ilaaha illallah Tidak takutkah kau kehilangan Tidak pernah mendapatkannya Sebab selalu menunda  Dari mencari jalan  Di antara pilihan Menyesal Ujung akhirmu penyesalan Luruskan segenap muka dalam keteguhan Sebelum kau terpuruk pada fatamorgana Seolah olah kamu ada Tetapi lalu terhempas bagai buih Ditengah lautan samudra

Prolog Debu

 “Prolog Debu” oleh : Dardiri Saksikanlah, Serapah angin menjulurkan lidahnya di sepanjang jalanan beraspal legam, Ada rerupa seperti asap sisa pembakaran jerami di permukaannya yang tampak rata, Asap yang tidak berbau itu, Masuklah ke dalam lubang kunci, Kecil sekali, Dicarinya jalan paling sempit untuk dilaluinya agar keluar dengan selamat dan sampai di dalam sebuah rumah bergorden kain warna biru langit, Persis seperti warna layar telepon genggam yang dilihatnya semalam, Dan ketika angin mendadak meninggalkannya begitu saja di kisi-kisi jendela, Tiba-tiba ia letih dan ingin sejenak rebah di punggung kusen pintu yang terbuat dari besi tidak berwarna itu, Ia tertidur karena pintu selalu tertutup dan jendela di sampingnya juga tidak pernah terbuka, Sebelum mimpi menjadi cita-cita paling merdeka datang dan membawanya terbang kembali, Ia berharap, Ketika bangun nanti, Ada sepasang lentik jari menyekanya dengan kain lembut, Atau menggarisnya dengan tulisan-tulisan aneh tentang sesuatu...

ADIK KAKAK MAU PERGI

 ADIK KAKAK MAU PERGI oleh : Faiz Abadi Adik tidakkah engkau ingin kesana Terbang ke angkasa Mengitari jagad raya Aku tahu engkau mau Tetap engkau laksana burung kecil Sayapmu terlalu lemah Untuk terbang Hinggap kemana-mana Adik tungguilah kakak disini Bersama ibu dendangkan lagu ceria Masa depan selalu tetap ada Biarkan kukibarkan panji cita-cita Segenap belahan bumi akan kutelusuri Akan kuceritakan padamu Tentang dunia beserta isinya Aku akan kembali Saat mentari tersenyum di pagi hari Kelak kembali kulepas tawa Ikhlaskan kepergian ku sementara Kelak kan kubuktikan berita Kehidupan dibalik dunia Memang benar adanya

Ruh

 “Ruh” oleh : Dardiri Membuka kamus sore ini. Tiba-tiba saja terbetik dan ada yang menggelitik keingintahuanku. Berkali-kali kubuka dan kucari dengan teliti. Hasilnya sama. Angin. Ya angin-lah yang bisa mewakilinya dalam bahasa sederhana. Tetapi, bukan, dan tidak. Jelas-jelas bukanlah angin. Terlalu sepele dan teramat sederhana jika disebandingkan dan disetarakan hanya dengan angin.  Ruh. Siapa yang pernah bertatap muka dengannya?. Agaknya sedikit konyol dan kurang terkontrol atau malah lebih tepat dikakatan sia-sia bahkan gila membanding dan menyetarakan ruh. Sejak zaman pra peradaban sampai era millenium ketiga ini tak ada satupun bahkan dari ciptaan paling dahsyat sekalipun yang pernah bertatap muka atau berbincang-bincang secara langsung dengannya. Segala warna dan rupa disematkan. Segala daya yang tampak dan yang tidak kasat mata dicurahkan. Toh, tak ada penggambaran yang benar-benar tepat mengejawantahkannya dalam ujaran. Wahyu, Ilham, wangsit, wisik, atau apapun juga ya...

Manusia 3

 "Manusia 3" Oleh : Dardiri Apa?, Siapa?, Di mana?, Kapan?, Mengapa?, Bagaimana?, Pertanyaan demi pertanyaan, Atau mungkin terdapat sederetan pertanyaan lain yang tak kita temukan padanannya dalam perbendaharaan ujaran kita,  Menjadi bilah pedang bermata dua, Berkejaran di batas garis dan warna, Adalah penentu, Bahwa kita, Benar-benar manusia,  Yang senantiasa lapar dan haus, Akan keberadaan dan kebenaran, Dan, Tuhan, Lebih dari sekedar persangkaan alam duga kita,- (K G P H : 17 Februari 2021)

FATAMORGANA

 FATAMORGANA     oleh : Laeli Sigit Di sudut ruang Ku duduk Terabas pandang kaca jendela Seakan kau ulurkan tanganmu Dan...  Ku sambut senyum bahagia Halus sapamu ... buatku ceria Rengkuh batinku  Senyaman di surga Kehangatan hadirmu Buatku tergoda Tuk slalu bersama Semilir angin...  Sampaikan salam padanya Bisikan ingat memorial berdua Seraya berkata Ku rindu hatimu yang slalu terjaga Hadirmu buatku utuh hatiku pun tersungkur luluh  Kau lumpuhkan janjiku Dari rasa yang tlah ku kubur tuk siapapun Jelma sinaran harap Sibak titik rintihku Tuk jalani hidup sempurna Akankah smua bisa terurai Dan munculkan bunga rindu Yang bermekaran  Hiasi hidupku tuk bisa satukan kita Lonceng jam dinding  Hentakkan lamunan Beri jeda angan dan kenyataan Aaah....  Lagu indah terhenyah Denting senar terlepas Nyanyian rindu terhempas Deru batin terkoyak lemah Hampa rasa bersimbah rekah LS-AIA170221

ABRA KADABRA

 ABRA KADABRA Oleh : Laeli Sigit Ku coba... Racik bumbu cinta Meramu rasa Memadu aroma Tuk temukan  Sejuta manis Seribu kelezatan Seratus cita rasa Dalam hangat suasana Tapi hati kecilku berkata Itu masih kurang...  Yahhh  Taruh sejumput doa Sepucuk sendok teh garam nirwana Seiris gula jiwa selaksa Sedikit butiran penyedap rasa cakrawala Walau smua bertabur rasa  Apa mau dikata Sudahlah....  Biarlah alam semesta yang mengaturnya Walau belathi sudah ku sematkan Dayung genderang kuhentakkan Bendera merah menyala ku tegakkan Tetap saja Semburan mantra tak bermakna tak terelakkan Aku ini siapa Ketika dibloking manusia tanpa rasa Hati tanpa jiwa Aku bisa apa...  Ku hanya bisa pasrah dan berdoa Duh Gusti... Ini salah siapa Pinjami aku  Tangan panjangMu Gusti LS-AIA170221

Cermin Dusta

 Cermin Dusta oleh : Nurul Ludfia Rochmah Cermin retak yang tak memiliki nama dan tidak berukuran itu, telah berpuluh kali  menampung kejujuran  paling dalam, semu, dusta, dan kepalsuanmu Adakah engkau pernah mengais guratan wajah  dalam keping, garis, dan cekungan penuh debu? Tawa dan air mata dikedapkan suara olehnya Mungkin kau tak pernah tahu Bahwa sesekali ia ingin bercerita kepadamu Tentang perumpamaan peristirahatan sementara  atau terakhir baginya Mungkin juga bagimu? Dan cermin itu tetap saja retak Sepanjang waktu Tak pernah tahu, apa, dan mengapa Garis keping denuh debu Menjadi pantulan abadi di wajahnya Mungkin kau tak mengenalinya lagi Karena kebenaran yang menghinggapi benakmu, manusia 😆😆👌🙏🙏

Manusia 2

 “Manusia 2” oleh : Dardiri Kebenaran, Adalah nisbi yang menjadi isbat dari segenap sangka dan duga, Titik fusi keberadaan dan ketiadaan ditahbiskan, Dan alangkah dengan mudahnya, Kita,  Membenarkan diri kita sendiri, Menyangkal dan menisbikan kebenaran demi kebenaran yang kita sadari atau yang kita lupakan begitu saja, Karena kita, Adalah manusia,  Keserakahan akan kebenaran,  Seringkali menutupi kejernihan Mata Hati,- (K G P H : 17 Februari 2021)

Manusia

 “Manusia” Oleh : Dardiri Pernahkah terlintas dalam batas kesadaran kita?,  Malam telah ribuan kali mengajarkan kepada kita, Tentang doa dan dosa, Saling jejal, Saling jejak, Saling himpit, Memperebutkan tapal batas, Kita, Cakrawala semesta, Dan sekali lagi kukatakan kepada diriku sendiri, Juga kepada-mu, Bahwa kita, Adalah manusia, Yang seringkali tak mengenali lagi ke-manusia-an-nya,,  Senja yang tinggal sekerat roti saja, Juga secangkir kopi pagi ini, Masih tergantung dalam teka-teki, Antara aku, kamu, doa, dosa, dan manusia,- (K G P H : 17 Februari 2021)

Sang Pecundang

 Sang Pecundang oleh : Syafaat Kupacu rindu Malam tanpa dirimu Selepas aku jadi pecundang Belok kiri tinggalkan gelanggang Kuteguk segelas birahi Yang tak pernah mati Sesatkan diriku dalam belantaramu Di selangkangan rimba gelisahku Kutelusuri bukit indah didadamu Dan kutikam dengan belatiku Menyemburkan kenikmatan semu Lantas terbunuhlah diriku Lelaki itu telah mati dalam pelukku Tubuhnya kekar tak berdaya Kini dia seperti tiada Nafasmu tersengal sendiri diujung nafsu

Sabuk Mangir

 Sabuk Mangir oleh : Syafaat Selarik mantra membuai angan malam// Kurapal pelan dengan segenap puja// Mendesah perlahan membalur jiwa kusam// Diiringkan  Sekar pembayun mengalunkan nada/// Mantra kutuang perlahan// Pada secangkir puisi/ yang kuseduh dengan segenap cinta// Untuk mu yang masih ragu/  Pada hatiku yang terlanjur luruh// Pada kesetiaanku yang nyaris habis membalut namamu// Terimalah sabuk mangir ku// Dengan senyum dan candaku seperti dulu// Menjerat hatimu tanpa ragu// Kuhanyutkan diriku dalam mantra cinta// Untukmu yang menyembunyikan rasa// Menghidangkan ku dengan segenap harap// Bismillahir rahmanir rahim Niat isun mataji Sabuk Mangir Lungguh isun lungguhe Nabi Adam Hang sapa ningali lungguh isun iki Ya isun iki lungguhe Nabi Adam Badan isun badane Nabi Muhammad Hang sapa ningali lungguh isun iki Ya isun iki badane Nabi Muhammad Cahyanisun cahyane Nabi Yusuf Hang sapa ningali cahyanisun iki Ya isun iki cahyane Nabi Yusuf Suaranisun suarane Nabi Daud Hang sa...

Perempuan. sejuta Puja

 Perempuan. sejuta Puja Oleh : Syafaat Perempuan itu masih juga terjaga Terkulai lemas bukan karena Corona Atau kelelahan bercinta semalaman Dia meratapi cinta yang deritanya tak berkesudahan Perempuan itu bersimbah duka Tetes matanya membahasi pipi dan jatuh ke BH merah muda Matanya nenar menatap cinta tanpa asmara Yang merintih dalam kebimbangan luka Perempuan itu kukecup dengan segenap puja Yang kutaburi dengan sejuta mantra Kegelisahan tetap akan mendera Tanpa diriku bersamanya

MEREKA SELALU TERTAWA

 MEREKA SELALU TERTAWA Oleh : Faiz Abadi Jis au Setelah itu mereka mereka berpelukan Makan bersama Menelusuri hari demi hari tanpa kesenjangan Mereka adalah lare lare osing Selalu bernyanyi meneriakkan kebebasan Segenap risi adalah kepura puraan Apakah kau dulu singgah Lalu tinggal kesini Adakah rona kebencian pada Lare lare osing Untuk tinggal di tanah nenek moyang mereka Yang dibantai Belanda Puluhan ribu tumbuh membiru Di palagan Bayu Jis au Adalah celoteh persahabatan Tak lekang oleh jaman Di atas nampan kue kue dinikmati bersama Ayah ibuku bertopi blangkon Disambut udeng bapakku Bersinergi membangun kejayaan kota Jis au Di pasar, angkot, di atas hamparan pasir Saling piting saling tendang Lalu pulang berpelukan Sudah biasa Bahkan umpatan berawalan huruf A,B,C Tak mungkin siapa saja merebut kebebasan  Sejak dulu mereka telah merdeka dari Basa basi

Dunia dan Mantra

 “Dunia dan Mantra” Oleh : Dardiri Aku berbicara dalam bahasa mantra, Warisan indang dan karuhun,  Inyiak Mamak dan para Datuk, Para wiku dan ajar, Resi dan begawan, Aum, Dunia mengaum, Awignam, Dunia bersemayam Astu, Dunia milikku, Nama, Dunia miliknya, Sidham, Dunia terbungkam, Sarahita, Dunia milik siapa, Samahita, Dunia kita punya, Darmahita, Dunia adalah kita, Eneng, Dunia kita oleng, Ening, Dunia mu tersungging, Enung, Dunia ku tercenung, Mulih, Dunia mu beralih, Mula, Dunia ku meraja, Mulanira, Dunia kita berbeda, Rahayu, Dunia mu layu, Sagung, Dunia ku tergulung, Dumadi, Dunia kita kembali, Tibalah watunya sendiri menjadi mantra abadi, Bagi ku, Bagi mu, Aum Awignam Astu Nama Sidham, Eneng, Ening, Enung, Mulih Mula Mulanira, Rahayu Sagung Dumadi,- (K G P H : 16 Februari 2021)

Romansa

 “Romansa” Oleh : Dardiri Ada yang tak ada, Ketika pagi tiba-tiba beralih senja, Dan senja tiba-tiba menjadi pagi, Bulu-bulu merak, Biasanya terbang rendah di atas tikar keterasingan-ku, Lalu menyunting kelopak seroja merah muda, Di beranda malam-ku, Ia datang dari perbukitan romantika lewat belantara rahasia, Menjadi pena biru bergambar hati, Kini tengah sembunyi, Atau memang sengaja disembunyikan dari kutub pandang, Romansa, Memang tak pernah lekang oleh masa, Kamu tentu disekap sepi dan senantiasa terpenjara dalam pengapnya rindu, Tapi, Ada keyakinan yang terus mengembara dan berkelana dalam semak kata, Bahwa kamu akan kembali, Sebagaimana aku selalu menanti,- (Tulisan ini didedikasikan sebagai doa untuk Yth. Bpk. Achlis Yusrianto) (K G P H : 16 Februari 2021)

Seroja

 “Seroja” Oleh : Dardiri Baru aku ingat, Bahwa seroja adalah sama dengan teratai, Yang selalu gemilang di atas singgasana berpangku udara, Di gurun mengalir,  Air namanya, Setelah beberapa dekade, Baru kusadari, Bahwa seroja dengan giwang pesona yang meneduhkan mata dan mengikat harum cahaya di atas telaga, Pernah menjadi “tanaman” paling menakutkan di ujung timur Lorosae, Kata mereka kiriman dari negeri kita Indonesia, Kelopak seroja itu berwarna loreng hijau dan hitam, Bermekaran di udara dan terjun dengan moncong senjata, Siapa yang sanggup membelinya?, Nyawa, Jadilah penebus paling berharga, Dengan sekira dua ratus ribu jiwa, Menjadi rabuk dan pupuk awet muda bagi Indonesia, Kata mereka, Falintil dan Fretilin benar-benar merasa seperti lilin, Yang kehabisan sumbu dan tempatnya berdiri, Kemudian meleleh dan luluh lantak digilas kelopak seroja yang berterbangan seperti kelelawar siluman dan merayap mengendap seperti naga laut selatan, Bunga seroja yang ditanam di sana, Tumbu...

Pesawat Dari Kertas

 “Pesawat Dari Kertas” Oleh : Dardiri Kamu tak pernah bilang jika air lautpun suatu saat menawar karena air mata, Dan yang bergoyang karena terombang-ambing tamparan angin di atasnya, Pun, Suatu ketika terdiam dalam rimba sia-sia, Bulu-bulu halus di perbukitan jemarimu setidaknya lebih cepat merampungkan sulaman masa silam, Milikmu sendiri yang kau buatkan pesawat dari kertas dan lalu kau panggil siul angin untuk membawanya ke seberang, Benar juga, Menyeberang selalu membutuhkan ruang untuk ditinggalkan, Berjalan selalu membutuhkan pijakan untuk dilewatkan, Jika laut kelak akan bercerita perihal sesiapa yang berlalu lalang dan menyeberang, Pesawat kertas yang kau sisipkan pada selembar angin suatu saat nanti akan berkisah tentang perjalanan yang tak pernah kembali, Di situlah, Aku,  Pesawat kertas yang kau ciptakan, Tinggal landas karena terlindas segala majas, Terjerembab dalam pusaran masa silam di bawah sepatumu yang bergambar langit biru, Akulah pesawat kertas yang kau cip...

DIBALIK KEDAMAIAN ABADI

 DIBALIK KEDAMAIAN ABADI Oleh : Faiz Abadi Kadang kita menggerutu Saat semuanya menjerit pilu Di tanah rekah diterjang gempa Di bumi telah rata setelah banjir bandang Tapi kau selalu bisa menyalahkan saja Lalu seolah empati Dengan berebut nama  Sedang bumi geram menahan marah Sebab ulah tiada berkah Jujur katakan Kemudian Insyaflah Dalam deru waktu yang pacu Dalam setiap geliat nafas peradaban Dalam diri kita Siapakah yang bertahta Tersungkur saat harusnya bersyukur Apakah bukan kufur Bahkan hak si Fakir Rela kau berikan untuk segenap darahmu Terkapar saat harusnya bersabar Saat itu sebenarnya ingkar Terpuruk di ujung keputusasaan Dalam tiap detik kau hirup udara Baru akui betapa nikmatnya Saat semuanya sudah terlambat Salahkah Bumi tumpahkan Murka

PERKENALKAN NAMANYA

 PERKENALKAN NAMANYA Oleh : Faiz Abadi Masihkah engkau menyebut namamu Generasi penerus tak butuhkan sekedar nama Sebab kelanggengan karenaNya Setiap pemberian adalah untukNya Keberkahan adalah seperti helaan nafas Tidak berbekas Lahirkan generasi Berlari Mengitari pagi sampai malam sunyi Dendangkan puja puji UntukNya Hanya satu nama Juga sebenarnya keberkahan abadi Saat kau berbaring terasing Di bawah sana Masihkah pemberianmu Masihkah jejak jejak langkahmu Masihkah darah dagingmu Laksana air mengalir tiada henti Membentuk awan keabadian  Selamanya mengalirkan pahal tiada hentimya

BUKALAH SEKARANG

 BUKALAH SEKARANG Oleh : Faiz Abadi Kalau tidak sekarang Kapan kau buka Miftahul jannah La ilaaha illallah Tidak takutkah kau kehilangan Tidak pernah mendapatkannya Sebab selalu menunda  Dari mencari jalan  Di antara pilihan Menyesal Ujung akhirmu penyesalan Luruskan segenap muka dalam keteguhan Sebelum kau terpuruk pada fatamorgana Seolah olah kamu ada Tetapi lalu terhempas bagai buih Ditengah lautan samudra

DIA BERSEMBUNYI

 DIA BERSEMBUNYI Oleh : Faiz Abadi Rasakan dalam Rahsamu Dia bersembunyi Dibalik suka cita Kadang dibalik kegelisahan yang paling dalam sekalipun Bersembunyi dibalik riak yang menyeruak Saat 'Aku' menjadi raja atas diriku Sesungguhnya yang hinggap di mata Sebenarnya fatamorgana Sesaat puluhan tahun saja Dia yang Bersembunyi Tak pernah terikat oleh rasa

BERAPA LAMA

 BERAPA LAMA Oleh : Dardiri Berapa lama kau temukan mutmainahmu Bersembunyi di antara relung hati Apakah kau hendak merugi Hingga ajal menjemput Tak jua kau dapatkan Bahkan kesia siaan di antara belantara logika Karena mata hati sudah buta Tak pernah bertemu dengannya hingga pada penghujung nafas Tawadhu mu hilang  Sebab tahlilmu baru di mulutmu saja

Jarum 2

 “Jarum 2” Oleh : Dardiri Aneh.  Akhir-akhir ini aku mulai senang menyoal tentang jarum. Ya, jarum. Yang mula-mula berasal dari gumpalan kecil bijih besi, baja, tembaga, alumunium, timah, emas, atau malah bisa juga plastik yang notabene bukan logam tetapi lebih lunak dan mudah rusak tentunya. Karena jarum mainan. Lalu tampillah jarum dengan berbagai wajah. Peniti, bros, emblem, brevet, lencana, tanda jasa, dan entah apa namanya yang lain lagi, aku tidak hafal. Itupun sebenarnya adalah sederetan perwujudan jarum dengan tampilan berbeda. Tetapi bukan itu persoalannya. Melainkan jarum. Setelah dicetak panjang membatang dan diasah pabrikan, tajamlah ia. Lalu masuk loper industri dari busana sampai tender PILKADA ternyata tidak lepas dari peran jarum. Mungkin tidak akan ditemukan sebentang kainpun setelah jadi busana maha mewah yang tidak pernah tertusuk jarum. Di dunia perhotelan, perniagaan, pun di kantor-kantor resmi tak luput dari keberadaan jarum di dalamnya. Di dunia kesehata...

Membaca Indonesia

 “Membaca Indonesia” Oleh : Dardiri Aku tersipu sedikit malu menatap tumpukan buku, Di dalam kamus tebal berwarna cokelat abu-abu, Membaca, Indonesia, Dengan dua ratus tujuh puluh lima juta nyawa, Menduduki tujuh belas ribu empat ratus sembilan puluh satu daratan, Bertutur sapa dengan tujuh ratus delapan belas ragam bahasa, Bertingkah di tiga puluh empat ibu keramaian kota, Kubaca, Indonesia, Ada yang bercetak tebal warnanya, Tentang ibu kota yang ramah dan senantiasa terbuka, Tentang bencana yang membabi buta, Tentang geraham dunia dengan lubang menganga, Tentang mata air membanjir menjadi genangan air mata, Tentang nurani kian gerimpis menipis, Tentang berita-berita memperkosa kemerdekaan bicara, Tentang sandiwara dan drama bertokoh bunda tua dan bapa renta, Tentang tukang sihir memelintir peristiwa, Tentang panglima membawa tongkat sewarna lembayung senja, Tentang air susu ibu menawar rasa, Tentang prasangka mengurungkan perkara, Tentang delik berakhir pelik, Tentang penipu berp...

SEPERTI MENDAKI BUKIT TINGGI

 SEPERTI MENDAKI BUKIT TINGGI Oleh : Faiz Abadi Menuju padaNya Seperti mendaki bukit yang tinggi Hati khusyuk kadang remuk Sebelum pada puncak tawadu Perbekalan tertinggal Oleh nafsu yang nakal Kadang jatuh pada lembah tipu daya Mencintai bukan milik sendiri Memeluk bukan haknya Melumpuhkan rindu padaNya Melunturkan kerinduan syafaat pada rasulnya Hati terus berpaling dari mengingatNya Dia pun melupakan manusia tentang tujuan diri sendiri Apabila Dia berpaling berarti murkaNya Jangankan hendak ke puncak bukit paling atas Baru melangkah sudah hilang arah Tersesat di hutan belantara bersama para durjana Mabuk penasaran karena kelalaiannya Apa hendak kau tunggu Sebelum semua berakhir Tanpa ada kesempatan untuk bertaubat Kembalilah pusatkan kerinduan Menuju satu jalan lurus padaNya

Ayah, Ibu, Sarung Kotak-Kotak, dan Indonesia

 “Ayah, Ibu, Sarung Kotak-Kotak, dan Indonesia” Oleh : Dardiri Seorang wanita setengah baya, Ibu namanya, Menunjuk ke langit timur, Apakah Papua benar-benar ingin merdeka?, Langit baratpun menjawab, Semenanjung utara Andalas masih Indonesia, Dari utara terdengar kabar, Miangas masih berasas,  Pancasila namanya, Seorang laki-laki setengah baya, Ayah namanya, Telunjuknya melambai angin laut, Membawa berita menyeringai kabut, Bahwa kerajaan besar Laut Selatan, Masih berbendera Getih Getah dan Gula Kelapa, Langit-langit di atas Nusantara, Masih dalam jelajah garuda bersayap terbuka, Mata air di bawah rimba belantara, Masih berlinang tumpah darah Bhineka Tunggal Ika, Sarung kotak-kotak biru tua, Tergantung di jemuran kawat, Masih berlumur lembab mukanya, Karena hujan menghadangnya sejak pagi masih belum sepenuhnya menuntaskan hasrat, Sarung kotak-kotak biru tua, Bergambar bola dunia, Di dalamnya, Tercetak deretan pulau dan selat merapat penuh kerabat, Tanjung dan teluk dengan sampa...

Repertoar Fajar

 “Repertoar Fajar” Oleh : Dardiri Sebentar, Jangan dulu kau kisahkan, Apa-apa yang terseret dari ujung pendulum, Di atas selusin angka-angka, Dari lipatan abjad-abjad gila, Tentang malam dan kita, Peraduan semesta, Menimbun belukar dan semak-semak, Senja kita dibenamkan pula olehnya, Perburuan dan perjalanan, Asahan janji dan tajamnya sunyi, Ada baiknya, Sejenak kita perdengarkan, Rekah fajar, Menggali mata hulu, Menjadikan hilir bagi penghulu subuh, Yang tak lama lagi berlabuh,- (K G P H : 13 Februari 2021)

Songkok Indonesia

 “Songkok Indonesia” Oleh : Dardiri Songkok hitam, Tergantung di sebuah ruang bercat hitam, Di dalam rumah besar berlantai pualam, Berjendela kaca polos berkilat tajam, Dibatasi pagar dari besi sewarna arang, Jauh, Di seberang jalan dan tempat parkir mobil-mobil berpelat merah, Tangan-tangan mengucur darah, Jari-jarinya memeras resah, Memintal gulungan kapas dan kertas, Di sebuah pabrik songkok, Beludru berwarna hitam, Keringat mereka serupa aspal gorengan, Lebam dan legam menajam, Nasib telah diremah renyah, Dalam rapat-rapat singkat temu pendapat, Dalam sidang-sidang tertutup di dalam gedung berkubah terbelah, Tangan-tangan pekerja pabrik, Tidak begitu piawai menorehkan kesepakatan, Janji yang ditunggu adalah tiap tanggal satu, Lebih dari itu, Resah dan darah menguntitnya dari waktu ke waktu, Darah dan resah itu telah dititipkan pada seonggok songkok, Hitam warnanya, Beludru kulitnya, Karena tangan mereka sendirilah yang membuatnya, Songkok hitam, Dibawa membaca sesuatu di bawah ...

MENGAPA ENGKAU TEGA

 MENGAPA ENGKAU TEGA Oleh : Faiz Abadi Bolehkah aku bertanya Padamu wahai Bumi Mengapa engkau masih tega Menumpahkan kemurkaan pada kami Sedangkan wabah corona Belum usai melumpuhkan kami Mematikan segenap persendian Roda ekonomi nyaris lumpuh Betapa banyak kami gulung tikar Menambah keberingasan beberapa gelintir manusia Merampas hak sesama Di segenap belahan dunia Untuk memenuhi hajat perut tidak terkendali Apa salah dan kami Kau mutahkan lahar dari perutmu Kau datangkan banjir bandang dari atas bukit bukitmu Kau kerahkan kemarahan puting beliung Menyapu villa villa kami Perdamaian di negeriku kami sudah terjaga Hanya riak riak kecil di pulau seberang sana Atau ulah segelintir ketidak puasan Padahal roda demokrasi terus berjalan Lahir dari Ibu Pertiwi Disatukan dwi warna Dengan slogan Bhineka Tunggal Ika Setiap penghuni negeri adalah pemimpin Membangkitkan kejayaan sesuai adanya Ing ngarsa sung tuladha Ing madya mangun karsa Tutwuri handayani Sudah kami tancapkan Tetapi mungkinka...

Madah 2

 “Madah 2” Oleh : Dardiri Pada dasarnya, Manja adalah merdeka, Sebagaimana cinta, Bukanlah sepasang garis kurva yang ditarik sepanjang apapun tak akan mendapatkan titik temunya, Ia tidak seperti rel kereta api yang kaku dan tidak beranjak dari kesejajaran bijih besi, Walau landas telah melindasnya ribuan kali, Begitu juga halnya, Rindu, Lebih suka mengembara dari pandang mata, Lalu menelusur garis panjang semacam sungai brantas, Melintas rawa-rawa besar dengan cericit anak burung pipit di ranting trembesi, Membakar tanah liat lembab dan basah karena cecaran mata air, Lalu menempatkannya di atas meja bundar menjadi tembikar berukir buliran tangan dengan selingkar senja di jari manisnya, Di hatimu, Merdeka adalah cara cinta menebas jarak suara dan kata, Sebagaimana pengeras suara mengantarkan sendu dan syahdu lagu tanpa menoleh pelantunnya bahkan tanpa mengenalnya, Dan rindu begitu mandiri dan sendiri, Seperti bundar yang semakin melebar di tengah telaga karena serimpang enceng gondo...

AMPUNILAH KEPALSUANKU

 AMPUNILAH KEPALSUANKU Oleh : Faiz Abadi Kami katakan sudah berjuang  Pada setiap penjuru dunia hingga paling ujung Pada setiap waktu paling penghujung Tetapi tetap saja musibah di mana mana Mendera seperti tak pernah lelah Semakin hari semakin bertambah Belum habis covid 19 Jerit tangis kembali memelas Nyawa seperti pepes udang saja Belum lagi pertikaian antar sesama Korban nafsu birahi Korban nafsu angkara Menambah daftar nestapa Tuhan apakah kami hendak demo padamu Membawa pamflet kalimat unjuk rasa Alangkah nyawa tidak berharga Tak mungkin  Tak mungkin Engkau lakukan tanpa sebab Karena peringatan telah berulang kali Pada setiap ayat ayat Al kitab Pada setiap ayat ayat tertulis di bumi  dan langit Hingga berganti ganti utusan tiap jaman Tiada bosan Engkau ingatkan Sebenarnya kebosanan pada siapa Nina bobok kekayaan Keputus asaan segenap kemelaratan Kebutaan nurani di ujung derita, kekuasaan, kedengkian, kealpaan Ya Allah segenap kebajikan sudah kami tebarkan Di ra...