Selamat Datang di Warta Blambangan

Pages

Refleksi Spiritualitas dan Kaderisasi Kepemimpinan: Perayaan Ulang Tahun ke-57 KH. Ir. Achmad Wahyudi di Pondok Pesantren Adz Dzikra Banyuwangi

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Pada Sabtu, 14 Juni 2025 pukul 00.00 WIB, berlangsung sebuah kegiatan yang sarat makna di Aula Pondok Pesantren Adz Dzikra, Banyuwangi. Kegiatan tersebut berupa perayaan ulang tahun ke-57 bagi KH. Ir. Achmad Wahyudi, S.H., M.H.—figur sentral dalam pengembangan pendidikan pesantren serta pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi. 


Dalam suasana yang diatur dengan kesengajaan dramatis—pencahayaan dipadamkan, santri duduk dalam formasi hening—KH. Achmad Wahyudi diundang keluar dari kediaman untuk menghadiri forum yang tidak ia ketahui sebelumnya. Suasana berubah secara tiba-tiba saat para santri melantunkan sholawat dan lagu “Mabruk Alfa Mabruk”, diiringi penyerahan simbolis kue ulang tahun bertuliskan angka 57. Kejutan ini menjadi wujud penghargaan kolektif terhadap kontribusi dan keteladanan beliau.

Peristiwa ini tidak dapat hanya direduksi sebagai perayaan seremonial. Dalam pendekatan sosiologis dan pedagogis, momen tersebut berfungsi sebagai ritual simbolik yang memperkuat nilai-nilai spiritual, kedisiplinan moral, serta hubungan emosional trans-generasional antara guru dan murid. Hal ini tercermin dari testimoni yang diberikan oleh alumni dari berbagai negara, yang menyebut KH. Achmad Wahyudi bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga murabbi, yakni pembimbing ruhani yang menanamkan nilai kehidupan secara integral.

Salah satu pernyataan dari alumni yang saat ini menempuh pendidikan di Timur Tengah menyebutkan:

“Abi bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi menanamkan nilai. Bagi kami, Abi adalah teladan, tempat kami kembali, dan alasan kami tetap ingin disebut santri, bukan alumni.”

Testimoni semacam ini mengindikasikan keberhasilan transmisi nilai jangka panjang, yang secara pedagogik mencerminkan hidden curriculum dari sistem pendidikan berbasis pesantren.

Kegiatan tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Kawah Ijen (YLBHKI) dan Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-POLRI (GM FKPPI) PC 1325 Banyuwangi. Kehadiran lintas sektor ini mengafirmasi posisi KH. Achmad Wahyudi sebagai tokoh multidimensional: agamawan, organisatoris, advokat sosial, dan figur pembina masyarakat.

Sekretaris GM FKPPI Banyuwangi, Marselinus Moa Dany, S.Pd., dalam sambutannya menyampaikan:

“Keteladanan beliau telah menjadi cahaya dalam organisasi dan kehidupan pribadi anggota.”

Pernyataan ini menguatkan konsep “figur transformatif” dalam kepemimpinan sosial-keagamaan, yang menggabungkan peran spiritual dengan kapasitas organisasi.

Dalam sesi tausiyah singkat, KH. Wahyudi menjelaskan bahwa peringatan ulang tahun bukanlah ekspresi seremonial semata, melainkan bentuk muhasabah (refleksi diri). Sejak usia 50 tahun, beliau mulai memperingati hari lahir sebagai momentum konsolidasi arah hidup.

“Ulang tahun bukan sekadar ulang angka, tapi momentum untuk meneguhkan arah hidup. Di usia 50, saya memilih untuk kembali ke medan perjuangan—bukan untuk pribadi, tapi untuk generasi.”

Pernyataan tersebut sejalan dengan prinsip filsafat pendidikan Islam, yang memandang usia matang sebagai titik balik menuju “khidmat abadi”—yaitu pengabdian tanpa pamrih kepada ummat dan bangsa.

Lebih jauh, beliau menyampaikan pesan moral universal berbasis hadis:

“Allah SWT tidak melihat jasadmu, tapi hatimu.”

Pesan ini mengandung nilai etika sufistik, yang mengedepankan qalbu (hati) sebagai pusat spiritualitas dan akhlak.

Perayaan ulang tahun KH. Ir. Achmad Wahyudi ke-57 di Pondok Pesantren Adz Dzikra merepresentasikan lebih dari sekadar peristiwa individual. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, kegiatan ini menjadi arena konsolidasi nilai, penguatan identitas santri, serta aktualisasi peran pesantren sebagai institusi kaderisasi kepemimpinan bangsa.

Melalui pendekatan yang menggabungkan nilai-nilai sufistik, moral-spiritual, serta tanggung jawab sosial, KH. Wahyudi berhasil mentransformasikan hari kelahiran menjadi ruang kontemplatif yang menginspirasi berbagai lapisan masyarakat. Keberhasilan beliau menghubungkan jaringan santri hingga mancanegara menandakan bahwa pendidikan pesantren memiliki daya jangkau global yang berakar kuat pada nilai lokal.

Malam itu, di tengah gelap yang penuh simbol dan cahaya hati, generasi muda kembali diingatkan akan pentingnya menghormati guru, menjaga keikhlasan, dan membangun peradaban dari ruang-ruang sederhana—seperti aula pesantren yang menyala oleh cinta dan ilmu.



Seblang Bakungan: Tarian Leluhur di Temaram Obor

Banyuwangi (Warta Blambangan) Dalam temaram api obor, di malam yang menggigilkan kulit dan membasahi napas dengan aroma tanah dan dupa, masyarakat Osing Bakungan kembali memanggil arwah leluhur. Mereka tak sekadar merapal masa silam, tapi menjahit benang waktu yang diwariskan sejak 1639 menjadi tubuh peradaban hari ini. Di Sanggar Seblang, Kamis malam (12/6/2025), ritual adat Seblang Bakungan kembali digelar—sebuah pertunjukan sakral yang bukan hanya ritual, tapi napas panjang kebudayaan yang terus hidup. 


Ribuan pasang mata berkumpul. Dari bocah hingga pelancong mancanegara, semua terpukau. Di jalan yang mengular menuju sanggar, tumpeng-tumpeng berjejer seperti sesaji semesta. Warga saling menyapa dalam harmoni, menyatu dalam lantunan doa magrib dan hajat yang dinaikkan di langit masjid. Setelahnya, mereka berjalan bersama, mengarak api oncor yang mengibas malam, melingkari desa dalam prosesi ider bumi, seakan hendak mengikat batas alam dengan kesetiaan budaya.

Di bawah suluh-suluh bambu yang bergetar, mereka menghamparkan tikar, menyantap pecel pithik—hidangan sakral warisan leluhur—dengan cara paling tulus: bersama.

Lalu tiba momen puncak, ketika Isni, perempuan 53 tahun yang tubuhnya telah dibuka oleh waktu dan jiwa leluhur, memasuki dunia lain. Tubuhnya terhuyung dalam trance, lalu menari dalam irama gending yang menyayat sunyi. Mata orang-orang menahan napas, menyaksikan tarian yang bukan sekadar gerak tubuh, tapi gerak roh, gerak sejarah, gerak kesetiaan pada warisan yang tak bisa dibeli dan tak bisa dijelaskan hanya dengan kata.

“Tradisi ini sangat menarik,” kata David, seorang pelancong dari Selandia Baru, matanya masih menyisakan keheranan yang puitis. “Sebelumnya saya melihat Gandrung Sewu, penuh warna dan ramai. Tapi malam ini, saya seperti melihat tarian yang berbicara langsung pada langit dan bumi.”

Seblang memang ada dua. Di Bakungan, ia ditarikan oleh perempuan yang telah matang usia dan pengalaman, digelar di bulan Dzulhijah. Sedang di Olehsari, tarian ini dipercayakan kepada dara muda, usai Idul Fitri. Dua wajah, satu jiwa. Dua zaman, satu akar.

Wakil Bupati Banyuwangi, Mujiono, turut hadir. Dalam sorot matanya ada kebanggaan dan harapan. Ia berkata, “Menjaga tradisi bukan semata menarik wisatawan. Ini tentang gotong royong, tentang menjaga batang tubuh kebudayaan agar tetap tumbuh subur di tengah modernitas.”

Kehadiran Seblang malam itu tak hanya menarik warga dan wisatawan, tapi juga ilmuwan. Sumarsam, Kaplan Professor of Music dari Wesleyan University Amerika Serikat, duduk khidmat di antara warga. Ia adalah profesor gamelan yang telah menetap di Amerika selama 53 tahun, tapi malam itu, di antara bunyi kendang dan lengking suling, wajahnya seperti kembali ke tanah ibu.

“Saya sudah mendengar Mamaca Lontar Yusuf, menyaksikan Janger, dan malam ini, Seblang. Banyuwangi adalah kepingan mozaik budaya yang sangat utuh. Tak heran jika tanah ini menjadi permata dari timur Jawa,” ujarnya dengan mata berkaca.

Seblang Bakungan bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah doa yang ditarikan, ingatan yang dihidupkan, dan jati diri yang disematkan dalam tubuh sebuah bangsa yang terus mencari dirinya sendiri.

Dan di malam itu, ketika obor perlahan padam dan langkah-langkah meninggalkan sanggar, satu hal terasa abadi: budaya bukan milik masa lalu, ia adalah detak jantung yang harus terus dijaga, agar kita tak pernah kehilangan arah di tengah gempuran zaman. (*)

Dialog Intern Umat Islam Dorong Penguatan Dakwah Moderat di Banyuwangi Majelis taklim diminta adaptif terhadap era digital

BANYUWANGI (Warta Blambangan) — Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Banyuwangi menggelar Dialog Kerukunan Intern Umat Beragama, Kamis (13/6/2025), di aula bawah kantor setempat. Dialog ini diarahkan untuk memperkuat siaran keagamaan Islam yang moderat dan adaptif terhadap perkembangan zaman, terutama di tengah masyarakat multikultural.

Forum ini melibatkan para pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, pengurus majelis taklim, serta para penyuluh agama Islam dari berbagai kecamatan di Banyuwangi. Diskusi berlangsung dinamis dengan penekanan pada pentingnya sinergi dakwah, legalitas kelembagaan, serta penguatan narasi Islam yang damai.



Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat (Kasi Bimas) Islam Kemenag Banyuwangi, H. Mastur, dalam laporannya mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 6.900 majelis taklim aktif di Banyuwangi. Kelompok ini dihuni oleh 15 hingga 30 jamaah dalam satuan kecil yang tersebar hingga pelosok desa. Namun demikian, tidak semua telah memiliki surat keterangan terdaftar (SKT), yang menjadi syarat administratif penting bagi pengakuan dan penguatan fungsi sosial mereka.


“Majelis taklim bukan sekadar forum pengajian, tetapi kekuatan sosial yang hidup dan dekat dengan denyut masyarakat. Legalitas SKT akan membuka jalan mereka untuk terlibat dalam berbagai program sosial dan keagamaan pemerintah,” ujar Mastur.


Dialog dibuka oleh Kepala Subbagian Tata Usaha Kemenag Banyuwangi, Drs. H. Moh. Jali, M.Pd.I., yang mewakili Kepala Kantor. Ia menyampaikan bahwa dialog intern seperti ini masih jarang digelar secara formal, padahal sangat dibutuhkan untuk menjembatani berbagai pandangan di antara umat Islam sendiri.


“Menjaga kerukunan antarumat penting, tetapi menjaga kedamaian di dalam tubuh umat Islam sendiri tak kalah urgen. Dialog ini adalah salah satu upaya untuk mengawal harmoni dari dalam,” kata Jali.


Diskusi yang dipandu H. Syafaat, S.H., M.H.I., menghadirkan sejumlah narasumber. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banyuwangi, Drs. Nur Chozin, S.H., M.H., dalam paparannya menekankan pentingnya pemahaman batas toleransi dalam Islam. Menurutnya, toleransi tidak berarti mencampuri urusan ibadah agama lain, tetapi bekerja sama dalam konteks sosial dan kenegaraan.


Sementara itu, Abdul Aziz, S.H.I., M.H., Sekretaris Tanfidziah PC-NU sekaligus Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Banyuwangi, menyampaikan pentingnya strategi dakwah digital. Ia menyarankan agar penyuluh agama dan pengurus majelis taklim mulai memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk menyampaikan nilai-nilai Islam moderat kepada generasi muda.


“Kita harus hadir di ruang-ruang digital, karena di situlah generasi sekarang mencari informasi dan membentuk pandangan keagamaannya. Dakwah harus relevan dengan ekosistem informasi hari ini,” katanya.


Selain tokoh-tokoh NU, forum ini juga menjadi wadah konsolidasi antarlembaga Islam lain seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, BKPRMI, dan LDII. Sejumlah pengasuh pondok pesantren juga turut hadir dan memberikan pandangan. Mereka menyampaikan perlunya penguatan kerja sama antarormas Islam guna menyikapi dinamika keumatan, termasuk dalam menjawab isu-isu intoleransi dan polarisasi di media sosial.


Rangkaian masukan dan gagasan dalam dialog tersebut akan ditindaklanjuti dengan penyusunan program pelatihan digitalisasi dakwah bagi para penyuluh dan pengurus majelis taklim. Program ini diharapkan dapat memperluas cakupan dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan menjawab tantangan zaman secara bijak.


Forum diakhiri dengan kesepakatan bahwa kerukunan umat harus dirawat mulai dari dalam, melalui penguatan dialog antarkelompok Islam, yang kemudian akan memberi dampak pada harmonisasi hubungan antarumat beragama di Banyuwangi—daerah yang selama ini dikenal sebagai model

 kerukunan dan toleransi.

ASN Kemenag Banyuwangi Gelar Sholat Duha dan Kultum: Renungan tentang Kemuliaan Manusia di Sisi Allah

Banyuwangi (Warta Blambangan) — Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi kembali menggelar kegiatan rutin Sholat Duha dan pembacaan Surat Al-Waqi’ah yang dilaksanakan pada Kamis pagi, 12 Juni 2025, mulai pukul 07.30 WIB. Kegiatan yang diikuti oleh seluruh ASN Kemenag Banyuwangi yang beragama Islam ini berlangsung khidmat di aula kantor setempat. 


Bertindak sebagai imam sekaligus penceramah adalah Drs. Makmun, Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dari MTsN 10 Banyuwangi. Sementara pembacaan Surat Al-Waqi'ah dipimpin oleh A. Fauzan Anshori, S.HI, salah satu ASN di lingkungan seksi bimbingan masyarakat Islam Kemenag Banyuwangi.

Dalam kultumnya, Drs. Makmun menyampaikan materi bertema “Kemuliaan Manusia di Sisi Allah” dengan merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 1 dan ayat-ayat terkait yang menggambarkan posisi mulia manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.

 “Manusia diciptakan dengan potensi akal dan hati. Allah mengajarkan nama-nama kepada Adam yang tidak diketahui oleh malaikat, ini menjadi bukti bahwa manusia diberi derajat yang tinggi, asalkan ia mampu menjaga iman dan ilmunya,” terang Drs. Makmun di hadapan para jamaah.

Ia juga mengingatkan bahwa kemuliaan manusia bukan terletak pada jabatan, kekayaan, atau keturunan, melainkan pada ketakwaan dan kemampuannya untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pembinaan rohani dan penguatan karakter ASN Kemenag Banyuwangi agar senantiasa mengawali hari dengan ibadah dan perenungan nilai-nilai Al-Qur'an.

Danging Qurban dibungkus Daun Jati: Hikayat Idul Adha dari Kementerian Agama Banyuwangi

BANYUWANGI, (Warta Blambangan) Di bawah langit biru yang cerah, di halaman Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, aroma tanah pagi dan desir angin Juni bersatu dalam kidung Idul Adha yang khidmat. Senin itu, 10 Juni 2025, bertepatan dengan 13 Dzulhijjah 1446 Hijriyah, bukan sekadar penanggalan yang berjumpa, tetapi juga pertautan antara langit dan bumi, antara pengorbanan dan keberkahan.v


Enam ekor sapi dan enam kambing telah berserah diri dalam zikir terakhirnya, menunaikan takdir sebagai qurban—sebagai titipan cinta dari mereka yang mampu kepada mereka yang menanti. Daging yang tersaji tak hanya dibagi rata, tapi juga dibagi rasa. Dan rasa itu dibungkus rapi dalam lembar-lembar daun jati yang luas, tua, dan harum, menggantikan plastik yang biasa hadir dalam sunyi dan tak terurai.

Tahun ini berbeda. Tak sekadar karena jumlah hewan yang dikurbankan atau banyaknya penerima manfaat, tapi karena makna yang dikandung lebih dalam. Ada langkah kecil yang menyentuh, sederhana namun menggetarkan: daging qurban dibungkus dengan daun jati. Sebuah isyarat bahwa tradisi dan kesadaran lingkungan bisa bergandengan tangan, seperti dua makmum dalam satu saf panjang doa.

Kepala Kantor Kemenag Banyuwangi, H. Chaironi Hidayat, berdiri di antara kerumunan panitia dan pegawai, suaranya lirih namun sarat makna, menyapa pagi dan menyampaikan syukur.

“Ini bukan sekadar kegiatan rutin,” ucapnya. “Qurban adalah wasilah. Sebuah jalan menuju rahmat dan hidayat dari Allah SWT. Terima kasih kepada seluruh keluarga besar Kemenag Banyuwangi yang telah menjadikan ibadah ini penuh makna.”

Chaironi tak sekadar berbicara. Ia menanamkan. Ia mengajak. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya kekompakan, kebersamaan, dan keikhlasan. Bahwa qurban bukan hanya soal pisau dan darah, bukan hanya soal pembagian dan antrian, tapi juga tentang bagaimana manusia saling merangkul dalam ibadah, saling menguatkan dalam kebaikan.

“Panitia harus solid dan saling menguatkan,” katanya lagi. “Ini bukan hanya ibadah ritual. Ini momentum mempererat ukhuwah.”

Dan ukhuwah itu terasa nyata. Para pegawai tampak menyingsingkan lengan, merapikan antrean, mengatur kupon, menyambut dengan senyum, dan menuntun warga dengan sabar. Ada yang memanggul daging, ada yang menimbang, ada pula yang sekadar mengelap keringat sambil tersenyum. Tak ada hiruk pikuk yang gaduh, hanya gemuruh tenang dari hati yang bahagia berbagi.

Siti Rohmah, seorang ibu rumah tangga dari lingkungan sekitar kantor, menerima bungkusan daging dengan mata berkaca-kaca. Ia memandang daun jati yang membungkus daging itu dengan penuh kenangan.

“Biasanya kami terima daging dalam kantong plastik,” ujarnya pelan. “Tahun ini dibungkus daun jati. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, ke masa nenek saya. Lebih alami, lebih segar, lebih... hangat.”

Hangatnya bukan hanya dari tangan yang memberi, tapi dari pesan yang diselipkan: bumi tak lagi kuat memikul plastik. Maka manusia yang punya cinta dan akal harus mulai mengurangi bebannya. Daun jati pun hadir, bukan sebagai gaya, tapi sebagai pernyataan. Bahwa ibadah pun bisa bersahabat dengan alam, bahwa tradisi tak harus ditinggalkan, asal dijalankan dengan jiwa yang penuh hikmah.

Dan benar, dalam sunyi daun jati itu, tersimpan banyak cerita: tentang hutan yang rimbun, tentang dapur nenek, tentang nasi jagung dan sambal kelapa, tentang masa lalu yang tak sepenuhnya ingin kita tinggalkan. Kini, daun itu menjadi saksi atas niat baik dan langkah sederhana untuk masa depan yang lebih bersih.

Kegiatan qurban tahun ini pun tak hanya menyentuh sisi spiritual dan sosial, tapi juga ekologis. Di tengah dunia yang penuh sampah plastik, di tengah laut yang menjerit dan tanah yang murung, langkah kecil seperti ini adalah gema takbir yang memuliakan bumi. Bahwa qurban bukan hanya kepada sesama, tapi juga kepada alam yang diam-diam melayani kita setiap hari.

Chaironi menutup sambutannya dengan doa yang pelan namun mengalir dalam:

“Semoga semangat qurban membawa keberkahan, tidak hanya bagi yang berkurban dan menerima, tetapi juga bagi alam yang kita tinggali bersama.”

Dan langit pagi itu pun mengangguk. Daun jati yang terhampar, daging yang dibagi, senyum yang ditanam, serta takbir yang terus dilantunkan, menjadikan hari itu bukan hanya hari raya. Tapi hari di mana manusia, sesama, dan semesta kembali saling mengenali dalam bahasa kasih.

Hari di mana Banyuwangi menulis bait indah tentang qurban yang tak hanya memotong daging, tapi juga ego. Yang tak hanya berbagi makanan, tapi juga makna. Yang tak hanya menata logistik, tapi juga merapikan niat.

Di bawah teduh Kementerian Agama, Banyuwangi menulis sejarah kecil. Tapi sejarah yang akan dikenang oleh bumi.

Bukan Umroh di Borobudur

 *Bukan Umroh di Borobudur*

Oleh : Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Kita hidup di zaman ketika kata-kata tak lagi diperlakukan sebagai jembatan menuju makna, melainkan sekadar alat promosi dan sensasi. Maka ketika kata “umrah” muncul dalam iklan wisata Borobudur, kita pun terdiam—bukan karena tak paham, tapi karena terlalu paham bahwa sesuatu yang suci sedang diusik tanpa permisi. 


Ada kata-kata yang tak lahir dari rahim bahasa. Ia turun, seperti hujan pertama di awal musim, dan kita hanya bisa berdiri terpaku memandanginya. Tak tahu apakah kita sedang basah oleh makna, atau oleh ketidaktahuan kita sendiri. Salah satu kata itu adalah “umrah.”

Saya tidak tahu siapa pertama kali menulis kata itu diucapkan dalam video yang sepertinya dibuat oleh AI, promosi wisata ke beberapa tempat dan salah satunya Borobudur. Tapi saya yakin, dia tidak sedang berdoa ketika menuliskan promt, Ia menulis seperti seorang juru kampanye menulis nama calon di bendera plastik, tanpa pernah menanyakan siapa yang akan mewakili makna di belakang nama itu.

“Umrah,” seperti halnya kata “shalat,” “karma,” atau “nirwana,” bukan kata yang bisa dikelola oleh agensi iklan. Kata-kata seperti itu tidak bisa dipanggil sembarangan. Ia akan datang bila hati kita bening dan langkah kita genting. Bila tidak, ia hanya akan duduk di halaman video online, gemetar dan malu, seperti anak kecil yang tersesat di kota besar.

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirim tangkapan layar: ada program promosi wisata bertajuk “Umrah di Borobudur.” Ia bertanya pelan, “Menurutmu, ini niat baik atau salah paham?”

Saya membaca pelan-pelan. Saya tidak langsung menjawab. Karena kalau saya menjawab terlalu cepat, saya takut hanya akan mengulang apa yang sudah terlalu sering kita katakan—bahwa negeri ini semakin sering mencampur-aduk ibadah dan pemasaran.

Tapi bukan itu persoalan yang paling dalam. Persoalannya adalah: kita semakin kehilangan rasa hormat pada kata. Dan bila kita kehilangan rasa hormat pada kata, maka kita kehilangan jembatan menuju makna, beberapa hari sebelumnya juga beredar beberapa narasi tentang pembanding Ka'bah dan Borobudur, putaran tawaf dari kiri ke kanan serta sebuah aktivitas di Borobudur yang memutar seperti jarum jam.

Umrah bukan perjalanan wisata. Ia bukan sekadar kunjungan ke tanah suci sambil mengambil foto berlatar Ka’bah. Ia adalah ibadah. Ia adalah perintah. Ia adalah niat yang dijahit dengan kain ihram, lalu dilipat di antara thawaf, sai, dan tahallul. Umrah tidak lahir dari brosur. Ia lahir dari ketundukan.

Dan ketundukan tidak bisa dipasang di baliho, saya jadi ingat seorang teman lama, seorang arsitek yang kini lebih suka mengerjakan proyek-proyek kecil di desa. Ia pernah berkata, “Kita ini terlalu suka menamakan sesuatu tanpa mengenalnya lebih dulu.” Ia menunjuk taman kecil yang baru diresmikan di sebuah kabupaten. Namanya: Taman Surga Mahameru. “Surga tidak bisa dipasang paving,” katanya.

Begitu juga umrah. Ia tidak bisa dilangsungkan di halaman candi. Tidak di Candi Prambanan, tidak di Borobudur, tidak di kaki gunung mana pun, seindah apa pun tempatnya. Bahkan di Madinah pun, umrah tidak bisa dilaksanakan. Karena umrah hanya sah bila dilakukan di Mekah. Bukan karena bangunan Ka’bah-nya semata, tapi karena perintahnya demikian. Karena sejarahnya demikian. Karena Nabi demikian.

Mereka yang umrah tahu bahwa ibadah itu hanya butuh waktu satu hari, atau bahkan lebih singkat. Tapi mereka tinggal lebih lama di tanah Hijaz bukan untuk memperpanjang ibadahnya, melainkan untuk menyambung ziarah. Ziarah yang bukan sekadar “wisata religi,” tapi jejak kasih pada Rasul. Maka tidak ada orang Islam yang berkata: “Saya umrah di Madinah.” Itu kalimat yang cacat sejak dalam niat.

Tapi kini, kita dengar kalimat seperti itu berseliweran. Bukan dari jamaah awam, tapi dari para penyusun naskah promosi wisata. Dari biro iklan. Dari presentasi investor, yang mungkin juga ada niatan lain yang tidak baik bagi negeri ini

“Umrah di Borobudur.” saya kira ini bukan soal keliru istilah. Ini lebih dalam dari itu. Ini soal cara kita meminjam kata tanpa izin, lalu memakainya untuk kepentingan yang bahkan tidak kita mengerti. Ini seperti memakai jubah duka untuk menyambut pesta. Kata “umrah” dipinjam dari langit, lalu dijual di trotoar. Dan tidak ada yang menggugat, karena kita terbiasa hidup dalam kegaduhan yang membuat sunyi jadi asing.

Setiap agama punya kamus rahasianya sendiri. Kata-kata di dalamnya tidak disusun oleh akademisi atau ahli periklanan. Mereka lahir dari laku hidup, dari tirakat, dari malam-malam panjang yang diselimuti zikir dan air mata. Tiracchāna dalam Buddhisme bukan kata umpatan. Ia adalah cermin batin. “Kafir” dalam Islam bukan pelabelan sosial. Ia adalah posisi spiritual yang tak bisa ditempel di punggung sembarang orang.

Kata-kata seperti itu berjalan pelan. Mereka tidak suka tergesa-gesa. Tidak suka panggung. Mereka lebih suka duduk di tengah keheningan, seperti biksu tua di ujung vihara. Tapi kini, kita paksa mereka naik pentas, berdandan dengan lampu neon, dan berdialog dalam skrip yang bahkan bukan milik mereka.

Saya membayangkan satu malam hening di Borobudur. Saat para biksu sudah kembali ke ruang meditasi mereka, dan para turis tertidur di hotel-hotel ber-AC. Hanya ada batu-batu tua yang menyimpan cerita ribuan tahun. Saya percaya: pada malam seperti itu, kata-kata kembali ke asalnya. Mereka berjalan sendiri, mencari rumah mereka. Kadang menangis. Kadang diam saja.

Kita mungkin belum sampai ke sana. Kita masih berada di zaman yang memaksa setiap kata punya harga. Zaman yang mengira bahwa iman bisa ditarik dengan promo early bird. Tapi saya percaya, akan datang satu malam, ketika seseorang duduk sendirian di depan stupa. Ia tidak membawa kamera. Tidak membawa slogan. Ia hanya duduk. Dan diam.

Dan mungkin, dalam diam seperti itu, kita bisa mulai menyebut nama-nama suci dengan lebih hati-hati. Lebih pelan. Seperti menyebut nama ibu. Karena pada akhirnya, menghormati kata adalah menghormati hidup. Kata “umrah” bukan hanya kata. Ia adalah langkah. Ia adalah jawaban. Ia adalah pulang. Dan tidak ada yang ingin pulang ke rumah yang sudah dijadikan tempat karaoke.

Kabar dari Armuzna

Kabar dari Armuzna

Oleh: Petugas PPIH 2024


Sudah beberapa kali saya membaca kabar dari Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina—dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Setiap kali membaca, dada saya bergemuruh. Seperti aroma mesiu yang menggantung di udara, meletup-letup dalam kata, siap meledak dalam telunjuk jari. Tetapi saya tahan. Karena saya tahu, ini bukan hanya tentang pelayanan. Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang kesabaran. Tentang mereka yang menggadaikan sebagian usia dan harta demi sebuah kata yang belum tentu bisa dibawa pulang: mabrur.

Banyak yang pesimis pelaksanaan haji berjalan lancar seperti tahun 2024, pemerintah kerajaan Saudi Arabia memangkas petugas haji Indonesia, mereka yakin dengan sistem baru tidak perlu petugas terlalu banyak dari Indonesia. Awalnya kita percaya sampai pada akhirnya serumit ini kenyataannya. 


Saya tahu, tidak mudah mengatur dua ratus ribu lebih jamaah Indonesia yang menyemut di tiga titik genting itu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Bahkan bagi negara sehebat manapun, mengatur kerumunan dalam waktu dan tempat yang serentak—tanpa chaos—adalah pertaruhan besar. Tapi tetap saja, kita tak bisa menganggap biasa bila ada yang rebah di tanah karena tidak kebagian tenda. Kita tak bisa menganggap lumrah bila jamaah lansia harus berjalan kaki lima kilometer lebih, bukan karena menjemput pahala, tapi karena tak ada kendaraan.

Katanya, tahun ini layanan lebih baik. Karena tak lagi bergantung pada satu syarikah—perusahaan penyedia layanan haji—tapi delapan. Delapan! Rasanya seperti menyambut demokrasi di padang pasir. Tapi pesta kadang hanya indah di spanduk. Kadang hanya hidup dalam slide presentasi di ruang rapat mentereng. Di lapangan? Beberapa jamaah Indonesia harus berebut tenda di Arafah. Harus mengalah dari sistem kafilah yang dibuat sepihak. Dibuat syarikah, bukan berdasarkan kloter. Maka pecahlah kelompok. Jamaah yang semestinya bersama pembimbing dan ketua kloternya, kini tercerai di bawah panji kafilah yang bahkan namanya sulit diucapkan.

Lalu siapa yang kenal siapa? Siapa yang tahu siapa yang stroke, siapa yang tak bisa bicara Arab, siapa yang kalau malam harus disuntik insulin?, bersyukur jika kafilah masih dalam satu kabupaten atau Embarkasi, itupun kadang ada yang tidak kenal atau bertemu sebelumnya. Beruntung orang Indonesia sudah terbiasa dengan perbedaan, dan merasa senasib ketika di negeri orang.

Saya teringat wajah-wajah itu. Wajah bapak-bapak dari pelosok desa, ibu-ibu dari pedalaman pegunungan, yang selama ini hanya tahu arti sabar dari ceramah ustaz. Kini, sabar itu mereka kunyah sendiri. Mereka telan dengan peluh, dengan kaki bengkak, dengan lutut gemetar. Bahkan sabar pun kadang kalah oleh dehidrasi.

Di Arafah, yang semestinya menjadi puncak refleksi spiritual, mereka justru sibuk mencari tempat merebahkan tubuh. Tidak untuk tidur, tapi untuk sekadar tak roboh. Padahal, al-hajju ‘Arafah, kata Nabi. Haji adalah Arafah. Ruhnya di sana. Tetapi bagaimana bisa ruh hadir, kalau tubuh harus diluar tenda seharian? Bersyukur yang langsung dapat tenda, tapi bagaimana dengan yang bingung mencari tenda. Bagaimana bisa khusyuk kalau kanan kiri penuh dengan wajah bingung yang bertanya, "Kita ini di mana?"

Saya mendengar orang bilang: pemerintah kita tak punya bargaining position terhadap Kerajaan Saudi Arabia. Lalu saya bertanya-tanya: bargaining yang mana? Mau minta tambahan kuota, toh tetap harus sabar menunggu giliran. Mau minta biaya ditekan, pemerintah Saudi juga punya logika bisnisnya sendiri. Mau ancam tidak kirim jamaah? Yang rugi malah rakyat kita sendiri. Ini bukan urusan kirim delegasi dagang yang bisa dibatalkan sepihak. Ini rukun Islam kelima—sakral. Ada darah, air mata, dan harapan seumur hidup yang digantungkan di sana.


Kita negara dengan jumlah jamaah haji dan umrah terbesar, betul. Tapi jangan lupa, ibadah ini bukan konser Coldplay yang bisa digeser ke stadion lain kalau panitia tak cocok dengan harga sewa venue. Makkah itu satu. Ka'bah itu satu. Tak bisa diduplikat, tak bisa digeser. Bargaining macam apa yang bisa dilakukan kalau kita sendiri tidak punya alternatif spiritual yang setara? Kalau pun ada yang merasa harus menggugat Saudi soal pelayanan, silakan, tapi jangan membawa nama jutaan orang yang sejak kecil mengaji dengan air mata demi satu impian: bisa menunaikan ibadah haji atau setidaknya umroh sebelum mati, tak mungkin tempat haji dipindahkan ketempat lain, bahkan bergantian hari ketika di Arafahpun juga tidak bisa, apalagi dilaksanakan di negeri sendiri.


Saya dua kali menjadi ketua kloter. Dua kali saya melihat dari dekat bagaimana ruwetnya mengatur manusia dalam ibadah massal terbesar di dunia ini. Tapi saya belum pernah melihat yang seperti tahun ini. Bahkan tahun 2017, saat suhu di Tanah Suci menyentuh 52 derajat dan enam orang jamaah saya wafat dalam satu kloter, rasanya tidak serumit ini. Waktu itu, yang jadi musuh adalah panas dan penyakit bawaan. Sekarang, musuhnya adalah sistem. Bukan kurang niat. Tapi bingung. Bingung karena segala sesuatu yang sudah kita rancang di tanah air, bubar di Mekah. Karena di sana, kita bukan lagi tuan atas jamaah kita sendiri.

Para petugas pun jadi seperti sekam basah. Terbakar pelan tapi tak menyala. Mereka tak bisa memindahkan jamaah ke tenda yang lebih aman. Tak bisa memaksa bus untuk datang. Bahkan kadang tak tahu siapa sebenarnya jamaahnya. Karena bisa jadi, jamaah yang mereka temui di tenda itu bukan berasal dari kloternya. Tapi disatukan dalam kafilah yang tak memberi ruang untuk keakraban, apalagi pendampingan.

Saya membaca satu laporan dari Muzdalifah melalui group WA, yang membuat saya diam cukup lama. Katanya, hanya 13 bus yang tersedia untuk satu syarikah. Padahal semestinya 20. Maka  kembali dari Mina ke Makkah harus lebih sabar dan antri, itu juga yang membuat jamaah jalan kaki dari Muzdalifah ke Mina, trauma kejadian 2023 yang banyak jamaah kepanasan di Muzdalifah.

Muzdalifah memang tidak dirancang untuk nyaman. Tapi setidaknya, jangan sampai membuat para lansia berjalan tanpa tahu arah. Jangan sampai ibadah ini menjadi trauma. Memang tidak sedikit yang berdoa agar dapat meninggal di tanah suci ketika sedang beribadah, tetapi juga tidak dengan cara seperti ini, dan bersyukurlah karena tidak banyak terdengar tragedi kematian selama Armuzna seperti tahun sebelumnya.

Seorang petugas menulis: "Saya hanya bisa menangis diam-diam melihat jamaah yang saya bimbing berjalan dalam gelap, di antara bisikan tak tentu arah. Kami tak bisa mengarahkan. Karena kami pun bukan siapa-siapa dalam sistem kafilah.", ini terjadi bisa jadi karena petugas kloter dan jamaah yang asalnya satu kloter berbeda kafilah, dan tidak memungkinkan untuk selalu mendatangi jamaah berbeda kafilah.

Tahun lalu, saya berjaga di Mina. Masalahnya hanya satu waktu itu: tenda kami terlalu dekat dengan masjid Kuwait yang digunakan mabid jamaah luar negeri. Maka, banyak yang masuk areal tenda sembarangan. Karena WC dan kamar mandi tenda Indonesia bersih dan nyaman, mereka ingin menumpang mandi, bahkan tidur di area sekitar tenda. Saya terpaksa jadi satpam dadakan. Mengusir mereka satu-satu. Bukan karena tak ingin berbagi, tapi karena ruang dan fasilitas untuk jamaah kita pun terbatas.

Tahun ini, tenda dekat masjid yang tidak steril seperti itu sepertinya tak lagi digunakan. Masuk area tenda harus pakai kartu Nusuk. Sistem baru yang katanya akan memperbaiki penataan. Tapi tetap saja: sistem yang baik tidak menjamin hasil yang baik, kalau eksekusinya semrawut.

Saya membayangkan wajah almarhum Pak Ruslan, jamaah saya dulu yang wafat beberapa jam sebelum wukuf. Betapa dia sangat ingin sampai ke Arafah. Bahkan ketika setelah sholat subuh berjamaah, dia masih bertanya, “Saya masih boleh ikut wukuf, kan?” Ia seperti anak kecil yang menanti hari ulang tahun. Tapi tak sempat meniup lilin. Tuhan memanggilnya lebih dulu.

Saya membayangkan wajah salah satu Ibu dari Banyuwangi yang pernah berkata, “Kalau saya meninggal di Mina, tolong sampaikan ke anak saya, saya bahagia.” dan kini, saya membayangkan wajah-wajah seperti mereka, berada dalam tenda yang terlalu sempit, dalam padang yang terlalu bising. Mereka menanti bis yang tak datang, petugas yang tak muncul, dan kabar yang tak pernah pasti.

Tapi inilah haji. Kadang kita datang dengan rencana, lalu Tuhan hadir dengan kejutan. Dan kejutan itu kadang berbentuk kekacauan. Tapi kekacauan yang penuh hikmah, bagi mereka yang mampu menahan geram dan tidak mengutuk takdir. Saya membaca satu pesan dari teman lama, Ustaz Izuddin. Yang tahun lalu juga berangkat haji. Katanya, kalau di Mina sekarang situasinya sulit, itu sebenarnya bagus. Bagus untuk menghayati bagaimana Nabi Muhammad dan keluarganya di tanah Mina pernah diboikot oleh Quraisy selama tiga tahun. Hanya makan dedaunan, sampai Khadijah wafat. Sampai Abu Thalib wafat.

"Sungguh besar hikmahnya kalau kita sekarang di tanah Mina, ada situasi sulit. Tapi sungguh tak sesulit Kanjeng Nabi Muhammad dan keluarganya."

Saya diam. Kalimat itu menampar saya yang barusan ingin menulis tajam. Saya yang barusan hendak mencaci sistem, mencela layanan, mengutuk ketidaksiapan, mendadak tenang. Mendadak seperti ditarik kembali oleh sejarah. Ini memang bukan salah Pemerintah Indonesia, kerajaan Saudi Arabia inginnya juga lebih baik, tetapi ini sistem baru yang tahap pertama. Mina memang bukan tempat untuk tidur nyenyak. Ia adalah tempat kita belajar tentang keikhlasan. Tempat Nabi melemparkan tiga batu pada simbol keangkuhan dan kesombongan. Maka wajarlah kalau di sana, ego kita harus dilebur. Amarah kita harus diredam.

Izuddin menutup pesannya: “Kanjeng Nabi pasti tersenyum bangga melihat umatnya datang dari Muncar, ribuan kilometer, di tengah kesulitan tetap sabar, di tengah keterbatasan masih ikhlas berbagi.”

Saya seperti melihat wajah Nabi itu. Tersenyum di tengah ribuan tenda. Melihat umatnya yang renta, yang tak tahu arah, tapi masih bisa menyuapi temannya yang lemah. Masih bisa merelakan air minumnya bagi yang haus. Masih bisa berkata, “Bismillah,” meski kaki bengkak dan tubuh lelah.

Tahun ini, haji memang seperti korek yang kehilangan gas. Ia menggesek banyak harapan, tapi apinya tidak menyala. Karena sistem keburu dingin. Karena logistik keburu beku. Tapi dari setiap kebingungan itu, saya percaya: Tuhan sedang menata ulang cara kita beribadah. Mungkin Dia ingin menunjukkan bahwa terlalu banyak manajemen justru bisa menutupi makna. Terlalu banyak layar bisa mengaburkan wajah-Nya.

Haji bukanlah event. Ia bukanlah festival. Ia bukanlah birokrasi yang dilipat dalam folder rapi. Haji adalah perjalanan yang mestinya kembali ke esensi: tentang labbaik, tentang jawaban. Tentang kesiapan untuk menyambut panggilan-Nya, meski dalam letih, meski dalam sepi, meski dalam salah arah.

Dan kepada para jamaah yang berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina malam itu, saya ingin berkata: kalian bukan korban. Kalian adalah teladan. Teladan tentang sabar, tentang ridha, tentang makna mabrur yang sesungguhnya. Saya ingin sekali menulis ini dengan penuh amarah. Tapi saya belajar dari para lansia itu. Yang berjalan pelan, tapi tak mengutuk. Yang duduk di trotoar, tapi tetap tersenyum.

Maka saya hanya ingin menutup dengan satu kalimat:

Kalau Mina hari ini membuatmu menangis, semoga Arafah kemarin telah membuatmu mencintai Allah lebih dalam. Fan semoga, walau hanya satu malam di Muzdalifah, engkau telah meletakkan dunia di bawah batu yang engkau kumpulkan sendiri.

Allāhumma shalli ‘alā Sayyidinā Muhammad wa ‘alā āli Sayyidinā Muhammad.


Ketua Kloter sub-58 Tahun 2024


Reformasi PPDB: Jangan Hanya Ganti Nama, Tapi Ganti Paradigma

 Reformasi PPDB: Jangan Hanya Ganti Nama, Tapi Ganti Paradigma

Oleh: Dr. Emi Hidayati

Dosen Fakultas Dakwah UNIIB & Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat (YPM) NU Banyuwangi


Setiap awal tahun ajaran, kita disuguhi kegelisahan yang sama: Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Di antara harapan besar orang tua dan semangat anak-anak untuk melanjutkan jenjang pendidikan, terselip kekhawatiran akan sistem yang rumit, ketentuan yang membingungkan, dan kenyataan yang sering kali tidak berpihak pada prinsip keadilan.



Tahun 2025 ini, pemerintah menerbitkan Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 yang mengubah istilah “zonasi” menjadi “domisili” dalam sistem PPDB, yang kini diberi nama baru: Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Sontak, publik bertanya-tanya: apakah ini sekadar penghalusan istilah untuk menenangkan kegelisahan tahunan, atau betul-betul cerminan niat untuk merombak sistem secara substansial?


Perubahan istilah ini tentu menarik dicermati. Bila “zonasi” dahulu cenderung dipahami sebagai batasan geografis administratif yang kaku, “domisili” mengisyaratkan pendekatan yang lebih lentur—setidaknya secara semantik. Namun dalam dunia kebijakan publik, perubahan terminologi hanya akan menjadi kosmetik jika tidak disertai reformasi struktural. Kita tidak sedang bermain kata. Yang dipertaruhkan adalah nasib ribuan anak yang tengah mencari tempat tumbuhnya, dan masa depan pendidikan bangsa secara lebih luas.


Zonasi—yang digagas awalnya untuk memeratakan akses pendidikan—sebenarnya lahir dari semangat yang baik: keadilan. Dalam perspektif filsuf politik John Rawls, sistem pendidikan seharusnya berpihak pada mereka yang paling rentan dan paling sedikit mendapatkan kesempatan. Itulah “Justice as Fairness”. Maka, perubahan ke sistem domisili hanya relevan jika mampu menanggalkan praktik eksklusivitas, dan benar-benar menjadi jembatan bagi akses pendidikan yang lebih merata.


Namun sayangnya, baik sistem zonasi maupun domisili hingga kini belum menyentuh akar masalah pendidikan: kesenjangan kualitas antar sekolah, ketimpangan distribusi guru, dan kurangnya infrastruktur pendidikan di daerah-daerah pinggiran. Banyak siswa yang tinggal berjarak beberapa ratus meter dari sekolah justru tertolak, hanya karena sistem digital tidak mampu membaca konteks sosial spasial secara mikro. Ini adalah contoh nyata dari bagaimana teknologi gagal ketika tidak dibarengi dengan sensitivitas sosial.


Sebagai pendidik dan penggiat lembaga pendidikan akar rumput, saya sering menyaksikan langsung keresahan ini. Ketika pendidikan berubah menjadi urusan administrasi tahunan yang penuh ketegangan, kita kehilangan ruhnya. Pendidikan bukanlah seleksi birokratis, tetapi proses pemanusiaan. Paulo Freire menyebut pendidikan sebagai praksis kebebasan, bukan sekadar pengisian formulir daring.


Demikian pula, inklusivitas yang menjadi jargon sistem PPDB belum menyentuh ranah praksis yang nyata. Padahal, pendidikan inklusif adalah mandat global sejak Deklarasi Salamanca 1994. Mel Ainscow, pakar pendidikan inklusif, menekankan bahwa inklusi bukan sekadar tentang tempat, tapi tentang sikap dan budaya. Menempatkan semua anak dalam ruang kelas yang sama tidak cukup, jika sekolah tidak merayakan keberagaman dan menghargai setiap perbedaan sebagai potensi, bukan hambatan.


Dengan proporsi jalur domisili mencapai 80% untuk SD dan 50% untuk SMP dan SMA, pemerintah sebenarnya sedang menggarisbawahi pentingnya akses berbasis tempat tinggal. Ini patut diapresiasi sebagai upaya afirmatif. Tapi sekali lagi, tanpa pemerataan kualitas dan dukungan nyata bagi sekolah-sekolah di pinggiran, kebijakan ini akan berujung pada keadilan prosedural, bukan keadilan substantif. Hasilnya: sekolah favorit tetap favorit, dan sekolah marjinal tetap dibiarkan berjuang sendiri dengan keterbatasan.


Perlu dipahami bahwa sistem penerimaan siswa juga sangat erat kaitannya dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam hal ini, Angka Partisipasi Kasar (APK) bisa menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan kebijakan PPDB. Bila sistem tidak menjangkau anak-anak di daerah terpencil, bagaimana kita bisa bicara tentang pembangunan manusia yang holistik?


Dalam konteks ini, saya melihat pemerintah daerah memiliki peran yang amat strategis. Mereka tidak boleh hanya menjadi eksekutor kebijakan pusat. Pemerintah daerah harus aktif dalam memetakan daya tampung sekolah, persebaran guru, dan kesiapan infrastruktur di wilayah masing-masing. Mereka harus mampu membaca kebutuhan riil masyarakat, dan menjadi penerjemah konteks lokal dalam kebijakan nasional.


Kepala sekolah pun harus diberi ruang otonomi untuk berinovasi dan menyesuaikan pendekatan pembelajaran dengan kondisi sosial di lingkungannya. Tidak semua sekolah memiliki latar yang sama, dan tidak semua siswa datang dengan modal yang setara. Maka prinsip keadilan dan inklusivitas harus menjadi roh dalam setiap keputusan kepala sekolah.


Kita juga tidak bisa mengabaikan peran kampus dan perguruan tinggi. Sudah saatnya institusi pendidikan tinggi menjelma menjadi aktor perubahan sosial, bukan hanya menara gading akademik. Tri Dharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian—harus menjadi landasan bagi keterlibatan aktif kampus dalam merumuskan kebijakan publik. Melalui riset-riset berbasis bukti, pendidikan kritis, dan pengabdian yang menyentuh akar masalah masyarakat, perguruan tinggi bisa menjadi pendorong reformasi pendidikan dari hulu ke hilir.


Saya yakin, pendidikan yang ideal bukanlah pendidikan yang seragam, melainkan pendidikan yang memberi ruang bagi keberagaman untuk tumbuh. Amartya Sen pernah mengatakan bahwa pembangunan adalah perluasan kapabilitas manusia. Maka, sistem PPDB harus menjadi pintu bagi setiap anak untuk menemukan kemampuannya, bukan pagar pembatas yang menyingkirkan mereka dari kesempatan.


Pendidikan bukan tentang siapa cepat dia dapat, atau siapa punya akses dia menang. Pendidikan adalah tentang siapa pun bisa bertumbuh, sejauh kita menyediakan tanah yang subur dan air yang cukup bagi benih itu tumbuh menjadi pohon kehidupan.


Maka, reformasi PPDB bukan sekadar mengganti “zonasi” dengan “domisili”. Yang harus kita ganti adalah paradigma kita tentang pendidikan itu sendiri. Paradigma bahwa setiap anak berhak mendapatkan kesempatan terbaik untuk belajar, bertumbuh, dan bermakna sebagai manusia seutuhnya.***


Kultum Hikmah Haji, Ajak ASN Kemenag Banyuwangi Tingkatkan Kesadaran Spiritual

Banyuwangi (Warta Blambangan) —Nuansa religius terasa kuat di Masjid Ar Royyan, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, Rabu pagi (5/6/2025). Usai salat duha berjamaah yang dipimpin langsung Kepala Kantor Kemenag, Dr. H. Chaironi Hidayat, S.Ag., M.M., guru MTsN 1 Banyuwangi, Abdul Gani, menyampaikan kultum bertema Hikmah Haji yang mengajak para aparatur sipil negara (ASN) merenungi kembali esensi ibadah.

Dalam ceramah singkatnya, Abdul Gani menekankan bahwa ibadah haji bukan sekadar ritual fisik, melainkan momentum puncak spiritual. Melalui simbol-simbol haji, seperti pakaian ihram putih, umat Islam diajak meninggalkan atribut dunia dan mempersiapkan diri untuk menghadap Sang Pencipta.v


 “Sebelum berangkat saja, bahkan sebelum memulai acara haji, kita sudah seharusnya menghayati seluruh maknanya. Meski tidak berangkat, pelajaran dari haji itu bisa kita ambil dan bisa sangat luar biasa,” ujarnya.

Menurut Gani, prosesi haji seharusnya menjadi inspirasi bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW bahwa orang cerdas adalah yang mampu menahan hawa nafsunya dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati.

Lebih jauh, ia mengaitkan semangat haji dengan pelatihan spiritual lain, seperti puasa di bulan Ramadhan. Ia menilai bahwa puasa seharusnya menjadi sarana efektif untuk membentuk pribadi yang sabar dan terjaga dari perbuatan sia-sia. Jika tidak ada perubahan setelah berpuasa bertahun-tahun, maka perlu ada evaluasi terhadap niat dan pelaksanaannya.

“Apapun aktivitas kita — bahkan aktivitas sehari-hari sekalipun — hendaknya bermuara pada keridhaan Allah. Mari berprestasi dalam ibadah dan meninggalkan prasasti spiritual. Ketika kelak kita wafat, hendaknya ada jejak amal yang ditinggalkan,” katanya.

Dalam bagian akhir kultum, Abdul Gani menyoroti pentingnya wukuf di Arafah sebagai momen perenungan terdalam. Ia menyebut bahwa di tempat itulah manusia didorong untuk mengenali jati diri sejatinya, sekaligus menyadari posisi di hadapan Tuhan.

 “Di Arafah, kita seakan dituntut untuk mengenal siapa diri kita sebenarnya. Kalau bisa sampai pada pengenalan itu, insya Allah sepulang dari sana, kita akan menjadi pribadi yang luar biasa secara spiritual,” tuturnya.

Kultum tersebut menjadi bagian dari agenda rutin pembinaan rohani di lingkungan Kemenag Banyuwangi. Melalui kegiatan ini, para ASN diajak untuk terus memperbarui niat, meningkatkan kualitas ibadah, serta menanamkan nilai-nilai spiritual dalam aktivitas sehari-hari.


Kurban dan Bekamal, Narasi, dan Kesabaran yang Terlupakan

 Kurban dan Bekamal, Narasi, dan Kesabaran yang Terlupakan

oleh : Syafaat 


Ada kalimat yang menarik saya diam cukup lama hari ini. Kalimat itu terbit dari sebuah portal berita daring dari penyedia jasa penyembelihan hewan qurban dan aqiqoh, yang saya dapatkan dari group WhatsApp ditulis mungkin dengan niat baik, tapi terasa seperti menabrak pelan-pelan satu lapisan kenyataan. Isinya begini kira-kira: bahwa masyarakat Osing membuat daging fermentasi bernama bekamal karena mereka jarang makan daging. Sebaris kalimat itu seperti menyodorkan kunci palsu untuk membuka lemari yang tak mereka kenali isinya. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Hanya saja, izinkan saya menyampaikan satu hal penting: tidak semua yang kita lihat bisa langsung dinarasikan.



Narasi adalah kerja rasa. Dan rasa lahir dari perjumpaan yang cukup. Perjumpaan itu bisa berupa masa kecil yang dihabiskan di dapur, obrolan di atas lincak bambu saat sore, atau ikut nimbrung ketika nenek menyisihkan daging kurban ke tampah sebelum diproses jadi bekamal. Kalau tidak pernah hadir dalam peristiwa itu, jangan terburu-buru membubuhkan simpulan.

Banyuwangi bukan sekadar kota di ujung timur. Ia adalah peta rasa yang dijaga lewat laut dan ladang. Dan laut di sana tidak pernah pelit. Ia lemparkan ikan sepuas-puasnya. Masyarakat nelayan pun, yang tahu laut tak kenal musim panen seperti padi, belajar cara menyimpan ikan. Di sini kita kenal istilah dipindang, yakni daging ikan yang diawetkan sebentar saja dengan cara di asap, cukup tahan beberapa hari. Lalu ada yang disebut kresek, ikan yang dikeringkan langsung di bawah matahari, setelah lebih dulu dibumbui. Kresek ini bisa bertahan lebih lama. Dan tentu saja ada ikan asin—fermentasi garam yang oleh orang osing dijuluki gerang. Semua metode ini bukan karena lapar. Tapi karena laut memberi terlalu banyak.

Makanan di Banyuwangi tidak pernah bercita rasa sederhana. Di balik setiap kepulan uap rujak soto atau seduhan kuah pecel rawon, ada riwayat panjang tentang bagaimana masyarakat Osing merayakan rasa dan bertahan hidup. Mereka tidak membiarkan tubuh kekurangan tenaga. Ikan laut mudah didapat. Daging menthok yang diolah menjadi geseng adalah hasil dari keakraban mereka dengan halaman belakang. Ayam kesrut bukan sekadar lauk, tapi semacam penegasan bahwa hidup ini perlu rasa yang kuat, seperti percampuran pedas dan asam yang mewakili keberanian orang Osing dalam menghadapi hidup. Saya pernah berpikir bahwa masyarakat agraris lebih banyak makan sayur. Tapi di Banyuwangi, bahkan pecel pun bisa diracik dengan kuah rawon yang gurih dan hitam legam. Di kampung-kampung Osing, protein hewani bukan kemewahan yang datang dari supermarket, melainkan bagian dari keseharian. Mereka tidak repot-repot mengukur kandungan gizi, tapi tubuh mereka kuat karena kebiasaan turun-temurun menyantap apa yang tersedia di tanah sendiri. Makanan mereka bukan hanya soal perut kenyang, tapi juga tentang warisan dan kesetiaan pada cara hidup yang tidak lekang oleh tren makan sehat ala kota.

Saya japri teman saya di Glagah Agung, sebuah desa yang letaknya di selatan Banyuwangi, dekat hutan Grajagan yang tenang tapi menyimpan banyak cerita, dan saya bertanya berapa hewan kurban tahun ini, ia menjawab pelan saja, “Alhamdulillah, di Masjid An-nur depan rumahnya ada 37 sapi, hampir sama seperti tahun lalu,” dan dalam nada suaranya saya menangkap sesuatu yang lebih dari sekadar angka: ada rasa syukur yang hening, juga semacam perasaan bahwa kehidupan betapa pun berubahnya dunia di kampungnya tetap berjalan dengan irama yang dikenalnya sejak kecil, seperti embun pagi yang tak pernah gagal turun di rerumputan belakang rumahnya, hewan kurban semakin tahun semakin banyak.

Dalam dunia yang kelebihan, manusia belajar menyimpan. Dan dalam dunia yang kekurangan, manusia belajar bertahan. Dua hal ini tak boleh ditukar tempat dalam narasi. Sama seperti saat hari raya kurban tiba di kampung-kampung Osing. Di Banyuwangi, hampir setiap masjid dan musala melakukan penyembelihan. Seekor sapi dibagi jadi ratusan bungkus. Kadang satu rumah dapat lebih dari satu. Dan daging itu terlalu banyak untuk dimasak dalam sehari. Tidak semua orang punya kulkas, apalagi zaman dulu. Maka orang belajar menyimpan dengan cara mereka sendiri: daging dikeringkan, dibumbui, difermentasi. Hasil akhirnya kadang disebut pegal, kadang bekamal.


Kang Pur dari Kemiren sudah mengingatkan di group DKB, “Iki wong durung weruh kesusu gawe narasi.” Proses membuat bekamal itu panjang. Tidak seperti menulis berita yang cukup dengan menyalin dari grup WhatsApp lalu mengira sudah menyusun kebenaran. Bekamal itu seni. Daging dipotong rapi, dibumbui, lalu dimasukkan ke dalam usus, ya, ini seperti sosis, tapi versi leluhur. Setelah itu disimpan. Diwadahi. Kadang dalam pendek, kadang di toples kaca, kadang juga cukup digantung dan diselimuti udara. Fermentasi terjadi. Rasa menguat. Umur simpan bertambah. Ia bukan sekadar olahan. Ia adalah perayaan atas waktu dan keberlimpahan.


Anggota grup lain juga menuli, salah satu pewaris rasa Banyuwangi, menulis dengan jenaka tapi tepat: “Bekamal iku khusus isi daging. Dung isine jeroan lemon teber arane ketimus....di besel beselaken nong jerone usus. Prosese emeh Podo, di rageni terus di fermentasi di dengan cara di lebokaken pendek utowo toples di serungkup hing jarang kadang Yo di Pepe.”


Saya tidak bisa menulis deskripsi yang lebih jujur dari itu. Kalimat itu seperti aroma dapur yang keluar dari sela-sela papan rumah tua. Ada bumbu, ada waktu, ada kebiasaan yang sabar. Tak ada yang tergesa.

Dan kita, sebagai orang yang hidup dalam era cepat, kadang lupa bahwa tidak semua bisa dipahami dalam dua jam kunjungan. Atau dua paragraf riset Google. Apalagi jika kita ingin bicara tentang satu suku, satu budaya, satu cara hidup.

Banyuwangi punya banyak cara menyimpan daging. Dan bekamal bukan dibuat karena langka daging, tapi karena daging datang sekaligus, dalam satu hari raya, dan ia harus dijaga untuk hari-hari setelahnya. Kalau hari ini kau makan rawon dari daging kurban minggu lalu, itu bukan karena kau miskin, tapi karena kau tahu: tidak semua makanan harus habis hari ini.

Narasi yang baik, seperti bekamal, perlu waktu. Tak bisa dibuat hanya karena deadline. Ia lahir dari pemahaman, bukan dari prasangka. Ia harus tahan lama. Karena itu ia perlu fermentasi. Perlu pengeringan. Perlu dijemur bersama matahari pagi dan dibungkus dengan kejujuran.

Dan orang Banyuwangi, yang sudah terlalu lama hidup dalam putaran musim laut dan ladang, tahu benar: yang baik itu tidak pernah buru-buru. Yang kuat itu disimpan lama. Dan yang layak diceritakan, bukan yang cepat selesai, tapi yang mengendap dalam hati dan tak mudah basi.


Penulis : Ketua Lentera Sastra Banyuwangi 


Dewan Kesenian Belambangan Gelar “Ajar Bareng Lontar Yusuf” di Rumah Budaya Osing Kemiren

Banyuwangi, (Warta Blambangan) Di sebuah malam yang lirih di Rumah Budaya Osing (RBO), Desa Kemiren, Banyuwangi, suara tembang Pupuh Kasmaran mengalun pelan. Nada-nada itu tak sekadar melagukan aksara, tetapi membangkitkan ingatan, rasa, dan nilai-nilai yang mungkin nyaris terbenam dalam debu waktu. Selasa malam, 3 Juni 2025, Dewan Kesenian Belambangan (DKB) membuka kalender literasi tahun ini dengan sebuah gerakan yang bukan saja estetis, tetapi juga bernapas spiritual: Ajar Bareng Lontar Yusuf. 


Ini bukan sekadar kelas sastra atau workshop naskah kuna. Ini adalah sebentuk laku. Sebentuk pemuliaan terhadap khazanah lisan masyarakat Osing yang hidup bukan di rak-rak buku, tapi di ruang batin, di pelipir-pelipir kehidupan. Kang Pur, budayawan yang telah bertahun-tahun memelihara nyala kecil warisan tembang dan lontar, memandu sesi ini dengan sikap rendah hati dan hangat. Ia bukan guru, melainkan sahabat seperjalanan. Di hadapannya, para peserta tak diajak duduk mendengar, melainkan turut menyelami.

“Lontar Yusuf ini bukan sekadar teks sastra. Ia adalah jendela batin, pancaran nilai, dan sarana menyelami rasa,” ucap Kang Pur, sambil membuka lembar pertama naskah, seolah membuka kembali sebuah pintu yang telah lama diketuk sunyi.

Pupuh Kasmaran yang dipilih menjadi gerbang awal kegiatan bukan tanpa alasan. Pupuh ini dikenal sebagai tembang yang menggugah rasa halus manusia: cinta, pengorbanan, keindahan yang lirih. Kang Pur melagukannya terlebih dahulu, mengikuti pakem yang sudah turun-temurun. Lalu satu per satu peserta mencoba mengikutinya. Tak semua tepat cengkok. Tak semua selaras laras. Tapi di sinilah justru maknanya. Ini bukan panggung penampilan. Ini adalah ruang belajar yang egaliter, di mana suara tak harus indah, tapi harus tulus.

Di sekeliling mereka, arsitektur kayu Rumah Budaya Osing berdiri sunyi namun bersaksi. Aroma kopi kemiren yang mengepul dari sudut dapur menemani pelafalan bait-bait awal kisah Nabi Yusuf. Angin malam menyisip dari sela jendela terbuka, seolah ingin turut menjadi bagian dari mocoan itu. Rasa kontemplatif menjelma begitu saja, tak dirancang, tak dipaksakan.

Ketua DKB, Hasan Basri, dalam sambutannya menyebut kegiatan ini sebagai titik tolak penting dari ikhtiar kebudayaan yang selama ini nyaris hanya berputar pada gelaran pertunjukan. “Rumah Budaya Osing bukan sekadar panggung. Ia adalah ruang hidup. Kami ingin menjadikannya ruang belajar bagi karya sastra lisan seperti Lontar Yusuf yang pernah tumbuh dalam kesadaran masyarakat Osing.”

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kegiatan semacam ini akan menjadi agenda rutin, tidak hanya sebagai bentuk pelestarian, tapi juga regenerasi nilai. Dalam konteks itulah Lentera Sastra Banyuwangi turut serta, membawa semangat yang tak hanya literer, tetapi juga spiritual. Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, menegaskan bahwa teks seperti Lontar Yusuf memiliki kedekatan kuat dengan sejarah penyebaran Islam di bumi Blambangan. 


“Mocoan Lontar Yusuf bukan sekadar pengulangan kisah. Ia adalah dialektika kultural antara Islam dan kearifan lokal. Di sinilah Islam tumbuh: tidak menyerbu, tapi meresap.”

Beberapa peserta yang hadir membawa salinan lontar mereka sendiri—naskah fotokopi yang telah menguning, atau dalam bentuk cetakan ulang terbatas. Ada rasa haru yang tak diucapkan, hanya terlihat dari cara mereka membolak-balik halaman, seperti menyentuh sesuatu yang telah lama mereka rindukan.


Pada sesi akhir, Kang Pur membedah bagian awal lontar yang telah dibaca bersama: kelahiran Yusuf dan metafora cahaya wajahnya yang disebut cahyaning jagad. Dalam tafsir tembang, cahaya itu bukan semata rupa, melainkan pancaran batin yang menyinari tanpa menyilaukan.


> “Melalui Lontar Yusuf, kita belajar tentang keteladanan, keindahan yang tak sombong, dan cinta yang tak membelenggu,” ujar Kang Pur, menutup sesi malam itu.




Suasana yang tersisa adalah kesunyian yang menggetarkan. Tidak sepi, melainkan penuh gema batin. Inilah ziarah rasa itu. Inilah ajar bareng yang tidak hanya berbagi pengetahuan, tetapi juga menggugah kesadaran.


DKB telah merancang seri lanjutan dari kegiatan ini. Dalam waktu mendatang, mereka akan memadukan tembang dengan ilustrasi visual dan pertunjukan dramatik. Harapannya, lontar-lontar yang selama ini terkurung di museum dan perpustakaan bisa kembali bernyawa dalam ingatan kolektif masyarakat. Terutama generasi muda, yang sering kali hanya mengenal masa lalu sebagai catatan kaki dalam buku sejarah.


Rumah Budaya Osing, malam itu, telah menjadi lebih dari sekadar ruang. Ia menjelma menjadi tubuh waktu, tempat di mana masa lampau, kini, dan nanti bisa saling menyapa tanpa canggung. Dalam lantunan Pupuh Kasmaran, dalam bait demi bait kisah Yusuf, kita semua belajar untuk tidak hanya mengingat, tapi juga merawat—dengan rasa, dengan jiwa, dengan cinta.


Ledakan Sastra dari Timur Jawa: Lokakarya HISKI Banyuwangi Tawarkan Transformasi Budaya Berbasis Naskah dan Lisan

Banyuwangi, (Warta Blambangan)  Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Banyuwangi, dengan dukungan Dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), telah menyelenggarakan kegiatan lokakarya nasional bertajuk “Penulisan Kreatif Sastra dan Pembuatan Produk Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip” pada 28–29 Mei 2025. Bertempat di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, lokakarya ini menjadi forum ilmiah sekaligus praktik kolaboratif yang bertujuan untuk merevitalisasi kekayaan budaya lokal melalui medium sastra dan produk kreatif kontemporer.



Ketua HISKI Komisariat Banyuwangi, Nurul Ludfia Rochmah, menjelaskan bahwa pelaksanaan lokakarya telah didahului oleh dua kali sesi Focus Group Discussion (FGD), yang dirancang untuk membekali para peserta secara konseptual sebelum terlibat dalam proses kreatif. FGD tersebut difungsikan sebagai instrumen epistemologis untuk membangun kesadaran budaya peserta, serta memperkuat keterkaitan antara tradisi lisan, naskah klasik, dan kemungkinan penciptaan sastra mutakhir.


Lokakarya ini diikuti oleh 30 peserta yang berasal dari berbagai elemen masyarakat, termasuk birokrat, sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, guru, mahasiswa, dan pelajar. Keberagaman latar belakang peserta dimaknai sebagai representasi pluralisme sosial yang berkontribusi terhadap proses dialektika kultural dalam pengolahan tradisi menjadi karya-karya literer yang relevan secara sosial maupun estetik.


Sebagai bentuk afirmasi keilmuan, lokakarya menghadirkan sejumlah narasumber nasional yang memiliki otoritas di bidang sastra, filologi, dan kajian tradisi, antara lain Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. (Ketua Umum HISKI), Dr. Munawar Holil, M.Hum. (Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara), Dr. Pudentia MPSS (Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan), Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd., dan Dr. Yeni Artanti, M.Hum. Adapun proses diskusi dan elaborasi materi dimoderatori oleh Sudartomo Macaryus, M.Hum., yang turut memastikan alur penyampaian materi berjalan sistematis dan partisipatif.


Secara substantif, kegiatan ini berfokus pada pengembangan keterampilan menulis kreatif berbasis data budaya, yang bersumber dari tradisi lisan maupun manuskrip kuno. Pendekatan ini tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan estetika sastra, tetapi juga sebagai strategi pelestarian warisan budaya takbenda dalam kerangka kebudayaan yang dinamis.


Hasil lokakarya menunjukkan pencapaian signifikan, antara lain:

1. Terbitnya buku kumpulan karya peserta, yang memuat eksplorasi naratif atas budaya Banyuwangi dalam bentuk fiksi, puisi, dan narasi kreatif lainnya.

2. Produksi alih wahana sastra dalam format multimedia oleh 30 peserta individu, yang kemudian disebarluaskan melalui kanal digital, terutama YouTube. Lima karya terbaik memperoleh penghargaan masing-masing sebesar Rp1.000.000.

3. Kolaborasi kelompok yang melahirkan lima proyek kreatif berbasis transformasi tradisi ke bentuk multimedia, dengan masing-masing kelompok memperoleh dana pembinaan sebesar Rp3.500.000.

4. Penyusunan artikel ilmiah yang mengkaji alih wahana sastra Banyuwangi, yang direncanakan untuk publikasi pada jurnal bereputasi dalam indeks SINTA.

5. Pendaftaran 14 karya sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yang bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap produk kreatif hasil lokakarya.


Implikasi jangka panjang dari kegiatan ini tidak hanya berkaitan dengan penguatan identitas kultural lokal, tetapi juga memberi kontribusi terhadap diskursus kebudayaan nasional melalui pembaruan model produksi sastra. Dalam konteks epistemologi sastra, kegiatan ini memperlihatkan bahwa tradisi lisan dan manuskrip bukan entitas statis, melainkan sumber naratif dinamis yang dapat dimodifikasi, ditransformasikan, dan dihidupkan kembali sesuai konteks zaman.


Seluruh hasil lokakarya akan ditampilkan dalam ajang Festival dan Dialog Sastra HISKI, yang merupakan bagian integral dari Kalender Festival Banyuwangi 2025 dengan tajuk “Banyuwangi Kolo Semono.” Kegiatan ini menjadi ruang publik untuk menampilkan produk sastra dan budaya hasil pengolahan ulang tradisi, serta menjadi sarana literasi kultural yang inklusif.


Dengan demikian, lokakarya ini berfungsi tidak hanya sebagai aktivitas kebudayaan, tetapi juga sebagai laboratorium sosial yang menumbuhkan ekosistem kreatif berbasis pengetahuan lokal. Melalui pendekatan integratif antara kajian ilmiah dan praktik kreatif, HISKI Banyuwangi telah menunjukkan bahwa revitalisasi budaya dapat dilakukan secara inovatif dan tetap mempertahankan akar tradisinya.

Restrukturisasi, Kementerian PU akan Kebut Pembangunan Pasar Banyuwangi

BANYUWANGI (Warta Blambangan) Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU) akan kembali kebut pembangunan Pasar Induk Banyuwangi. Progres pembangunan pasar tersebut sempat tersendat, karena ada reorganisasi di seluruh kementerian, termasuk Kementerian PU. 


Proses revitalisasi Pasar Banyuwangi sendiri dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan telah dimulai pada Oktober 2024. Namun dalam perjalanan waktu, terjadi reorganisasi atau perubahan nomenklatur di tubuh Kementerian PUPR, yang dipisah menjadi Kementerian PU dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (Kementerian PKP). 

Di tubuh Kementerian PU sendiri juga terjadi perubahan. Pekerjaan revitalisasi Pasar Banyuwangi dan kawasan Inggrisan yang semula ditangani Ditjen Cipta Karya kini berubah di bawah Ditjen Prasarana Strategis.

"Dengan adanya re-organisasi pada seluruh Kementerian, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga berdampak pada proses penganggaran. Dokumen-dokumen DIPA pun harus menyesuaikan, turut terjadi perubahan. Ini yang menyebabkan keterlambatan pada pekerjaan Revitalisasi Pasar Induk Banyuwangi," kata Kepala Satker Pelaksanaan Prasarana Strategis (PPS) Jawa Timur Kementerian PU, I Gusti Agung Ari Wibawa saat meninjau Pasar Banyuwangi yang sedang dalam proses revitalisasi, Rabu (28/5/2025).   

Ari menjelaskan bahwa Kementerian PU bersama Pemkab telah menggelar pertemuan dengan para pedagang Pasar Banyuwangi yang direlokasi pada Selasa (27/5/2025) untuk menjelaskan progress pembangunan pasar. Pertemuan tersebut juga dihadiri pelaksana proyek dan Tim  Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) Kejati Jawa Timur untuk kegiatan Kementerian PUPR di wilayah Jawa Timur. 

"Sebenarnya tidak terjadi pemberhentian total, karena pada Januari hingga Mei tetap dilakukan pengerjaan, meski memang ada perlambatan. Kemarin sudah digelar rapat koordinasi dengan berbagai pihak. Pelaksana pekerjaan akan melakukan percepatan pembangunan revitalisasi Pasar Banyuwangi mulai awal Juni 2025," jelas Ari.

Plt Kadis PU Banyuwangi, Suyanto Waspo Tondo, menambahkan bahwa pemkab akan terus berkoordinasi terkait percepatan proses revitalisasi pasar dengan Kementerian PU.    

“Iya, tadi kami juga rapat dengan pihak Kementerian PU apa-apa yang perlu segera kami kerjakan untuk membantu percepatan proses pembangunannya,” kata Suyanto yang akrab dipanggil Yayan.

Pasar Banyuwangi didesain memiliki  gedung utama yang terdiri dua lantai dengan arsitektur khas Osing, Banyuwangi. Pasar akan dibagi menjadi areal pasar basah, pasar kering, dan area kuliner. Juga dilengkapi dengan gedung parkir. (*)

Festival Padhang Ulanan: Strategi Pemerintah Daerah Banyuwangi dalam Pelestarian Seni Budaya Melalui Partisipasi Pelajar

BANYUWANGI (Warta Blambangan) – Pelestarian budaya lokal tidak semata menjadi aspek simbolik dalam pembangunan daerah, namun merupakan bagian integral dari upaya mempertahankan identitas kolektif dan memperkuat kohesi sosial masyarakat. Dalam konteks ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menunjukkan komitmennya terhadap keberlanjutan warisan budaya melalui program Festival Padhang Ulanan, sebuah kegiatan seni yang secara rutin melibatkan ribuan peserta didik dari jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas.b


Diselenggarakan setiap bulan secara bergilir di seluruh kecamatan, Festival Padhang Ulanan menjadi ruang ekspresi budaya sekaligus instrumen edukatif yang memperkenalkan kembali berbagai bentuk kesenian khas Banyuwangi kepada generasi muda. Kegiatan ini bukan hanya menempatkan pelajar sebagai penampil, tetapi juga sebagai subjek aktif dalam reproduksi budaya lokal.

“Festival ini kami gelar sebagai bentuk komitmen dalam melestarikan kesenian dan budaya daerah. Anak-anak muda kami libatkan, agar mereka mempelajari dan mencintai seni budaya daerah,” ujar Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, pada Minggu (18/5/2025).

Pada pelaksanaan yang berlangsung di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Sabtu (17/5/2025), tercatat sekitar 300 pelajar tampil dalam beragam pertunjukan seni. Repertoar yang ditampilkan meliputi tari tradisional Gandrung Marsan dan Niskala Seblang, pertunjukan wayang kulit, sandiwara rakyat, syair tradisional Osing, serta pembacaan naskah klasik dalam tradisi Mocoan Pacul Goang yang mengangkat teks Lontar Yusuf disertai dengan fragmen komedi bernuansa edukatif.

Model pendekatan ini menunjukkan adanya integrasi antara pendekatan pelestarian budaya dengan strategi pembelajaran kontekstual. Partisipasi aktif pelajar tidak hanya menjadi sarana regenerasi pelaku seni, tetapi juga berkontribusi terhadap penguatan jati diri budaya serta pengembangan karakter melalui internalisasi nilai-nilai lokal.

Bupati Ipuk menambahkan bahwa Festival Padhang Ulanan akan terus digelar secara berkala hingga akhir tahun dengan tema yang disesuaikan pada kearifan lokal masing-masing kecamatan. Hal ini mencerminkan upaya dekonsentrasi kegiatan budaya agar menjangkau seluruh wilayah dan lapisan masyarakat.

Harapan akan lahirnya generasi baru pelaku seni menjadi salah satu tujuan strategis kegiatan ini. “Dengan melibatkan ribuan siswa dalam kegiatan seni, kami berharap muncul talenta-talenta baru yang akan melanjutkan dan mengembangkan kesenian Banyuwangi,” imbuh Ipuk.

Respons peserta dan masyarakat menunjukkan antusiasme yang tinggi. Siva Nadia Putri (11), salah satu penampil tari tradisional, mengungkapkan kebahagiaannya dapat tampil di panggung festival. “Senang sekali diberi panggung bagus untuk bisa tampil di hadapan orang-orang. Hobi saya memang menari, semoga kelak besar tetap bisa menekuni seni tari,” ujarnya.

Kegiatan ini juga memiliki nilai tambah dalam ranah psikososial, antara lain melalui peningkatan kepercayaan diri anak dan penguatan peran keluarga dalam mendukung bakat anak. “Melihat bakat anak saya tersalurkan ini bikin kami bangga. Ini juga ajang menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak,” ungkap Jumenah, salah satu orang tua siswa.

Secara keseluruhan, Festival Padhang Ulanan menjadi bagian dari ekosistem kebudayaan Banyuwangi yang terus berkembang. Pemerintah daerah secara konsisten menggelar berbagai kegiatan kebudayaan lainnya, seperti Banyuwangi Ethno Carnival (BEC), Gandrung Sewu, Festival Band Pelajar, dan berbagai ajang seni lainnya, yang seluruhnya diarahkan untuk membangun keberlanjutan budaya berbasis partisipasi publik dan regenerasi pelaku.

Dengan demikian, Festival Padhang Ulanan bukan sekadar ajang pertunjukan, melainkan sebuah model kebijakan kultural yang mengintegrasikan edukasi, pelestarian, dan pembangunan karakter generasi muda dalam bingkai budaya lokal. (*)

Dispertan Banyuwangi Pastikan Hewan Kurban Sehat, Pemeriksaan Serentak Digelar di Semua Kecamatan

BANYUWANGI, (Warta Blambangan) — Menjelang Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, Dinas Pertanian (Dispertan) Kabupaten Banyuwangi menggencarkan pemeriksaan kesehatan hewan kurban di lapak-lapak pedagang musiman. Pemeriksaan dilakukan serentak di seluruh kecamatan, termasuk di wilayah Kota Banyuwangi dan Kecamatan Giri, Rabu (28/5/2025). 


Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Banyuwangi, Ilham Juanda, menyampaikan bahwa pemeriksaan ini bertujuan memastikan seluruh hewan kurban yang diperjualbelikan dalam kondisi sehat dan layak potong.

“Hari ini pemeriksaan dilakukan serempak se-Kabupaten Banyuwangi. Kami fokuskan pada pedagang musiman yang menjual hewan kurban di titik-titik strategis,” ujar Ilham.

Pemeriksaan dilakukan oleh tim dari Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Pemeriksaan bersifat antemortem atau dilakukan sebelum pemotongan hewan. Kepala bidang tersebut, drh Nanang Sugiharto, menjelaskan bahwa langkah ini untuk memastikan hewan tidak terinfeksi penyakit yang dapat membahayakan masyarakat atau ternak lain.

“Dengan pemeriksaan ini, masyarakat bisa merasa tenang. Hewan yang mereka beli sehat dan sesuai syariat,” kata Nanang.

Di lapak milik M Naseh di Jalan Kepiting, Kelurahan Sobo, misalnya, tim menemukan 70 ekor kambing dan 20 ekor domba dalam kondisi sehat. Tak ditemukan gejala penyakit menular, seperti demam, lesu, atau luka di mulut dan kuku.

Selain pemeriksaan fisik, Dispertan juga menganjurkan pedagang menjaga kebersihan kandang. Petugas memberikan disinfektan dan mengimbau penyemprotan kandang secara berkala untuk mencegah penyebaran penyakit, termasuk Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang masih menjadi perhatian.

“Penyemprotan ini juga agar lingkungan sekitar tidak terganggu bau tak sedap. Apalagi kandang-kandang ini berada di sekitar permukiman,” tambah Nanang.

Ia memastikan, stok hewan kurban di Banyuwangi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan data Dispertan, jumlah sapi kurban mengalami surplus sekitar 1.200 ekor. Untuk domba, terdapat kelebihan antara 2.000 hingga 5.000 ekor dibandingkan kebutuhan pada Idul Adha tahun sebelumnya.

Dispertan akan terus melakukan pemantauan hingga hari tasyrik terakhir untuk memastikan distribusi dan kesehatan hewan tetap terjaga. “Kami imbau masyarakat membeli hewan kurban dari pedagang yang lapaknya sudah diperiksa oleh petugas,” kata Nanang.

Dandim 0825 Terima Audiensi GM FKPPI, Bahas Sinergi Kebangsaan dan Perayaan Hari Lahir Pancasila 2025

 


BANYUWANGI (Warta Blambangan) – Komandan Kodim (Dandim) 0825/Banyuwangi, Letkol Arh Joko Sukoyo, S.Sos., M.Han., menerima audiensi jajaran pengurus GM FKPPI PC-1325 Banyuwangi, pada Kamis (29/5/2025) siang. Pertemuan strategis yang berlangsung di Join Selangkung Makodim 0825 ini, menjadi ajang konsolidasi lintas elemen dalam rangka menyambut Hari Lahir Pancasila 2025 dan memperkuat peran generasi muda melalui pendekatan sosial, budaya, dan intelektual.


Dengan mengusung tema “Pancasila dalam Tindakan: Semangat Gotong Royong GM FKPPI Membangun Negeri”, GM FKPPI menyiapkan rangkaian kegiatan selama empat hari, dari 29 Mei hingga 1 Juni, mulai dari lomba seni dan pidato kebangsaan, hingga diskusi publik dan konser kolaboratif lintas iman.

“Ini bukan sekadar seremoni, tapi perwujudan nilai Pancasila dalam kehidupan sosial yang inklusif dan relevan dengan zaman,” tegas Ketua GM FKPPI Banyuwangi, KH. Ir. Achmad Wahyudi, S.H., M.H.

Dalam audiensi tersebut, Dandim 0825/Banyuwangi Letkol Arh Joko Sukoyo, menyoroti pentingnya inovasi dan kolaborasi lintas sektor. Ia mencontohkan kemajuan sektor pertanian di Banyuwangi yang kini mampu panen tiga hingga empat kali dalam setahun berkat bibit unggul, air yang stabil, dan teknologi modern.

“Satu hektare sawah kini bisa dipanen hanya dalam satu jam. Ini bukti kemajuan luar biasa. Pertanian kita sudah jauh melesat,” ungkap Dandim.

Dandim juga menyambut baik pendekatan GM FKPPI yang tidak hanya menonjolkan disiplin dan militansi, tetapi juga semangat pluralisme. “TNI kita lengkap di Banyuwangi, dari TNI AD, TNI AL, dan TNI AU yang jarang dimiliki kabupaten lain. Tapi kekuatan terbesar adalah bila seluruh elemen sipil dan militer berjalan bersama,” ujarnya.

Dalam sesi dialog yang berlangsung penuh keakraban dan substansi ini, Ketua GM FKPPI menegaskan arah baru organisasi yang kini memasuki fase ketiga, yakni ekspansi budaya dan akademik. 

“Doreng kami hari ini bukan simbol baris-berbaris, melainkan simbol kebhinekaan. Struktur pengurus GM FKPPI Banyuwangi pun mencerminkan hal tersebut: Dewan Penasehat berasal dari kalangan pendeta, Sekretaris beragama Katolik, dan Ketua adalah seorang kyai. Ini menjadi preseden penting dalam model kepemimpinan inklusif berbasis nilai-nilai Pancasila,” jelas Ir Achmad Wahyudi.

Acara puncak peringatan Hari Lahir Pancasila akan ditutup dengan konser kolaboratif Suara Emas Banyuwangi, menampilkan 20 keyboardis dan penyanyi lintas agama. “Kami ingin menyampaikan pesan, bahwa seni dan nasionalisme bisa berjalan beriringan dalam harmoni,” imbuhnya.

Menanggapi isu nasional seperti revisi UU TNI, Dandim menegaskan pentingnya ruang dialog terbuka. “Mahasiswa itu teoritisi, bukan praktisi. Maka harus ada keseimbangan dalam memahami isu. TNI hadir untuk mendampingi, bukan membenturkan. Hanya lewat dialog kita bisa menjaga keutuhan bangsa,” tuturnya.

Audiensi ini juga dihadiri jajaran pengurus GM FKPPI Banyuwangi, antara lain Kries Febriyanto (Waka Bidang Orta), Eko Herwanto (Waka Bidang Senbud), Candra Yulianto (Waka Bidang Pengmas), Ir. Oktavius Bali Suki (Waka Bidang Hubla Pemormas), Ruslan Abdul Gani (Biro Publikasi dan Dokumentasi), dan Fatah Hidayat, S.P., S.Sos., M.Si. selaku Ketua Panitia.

Mengakhiri pertemuan, Ir Achmad Wahyudi, menegaskan bahwa GM FKPPI siap menjadi wadah lintas generasi yang memadukan spirit nasionalisme, kearifan lokal, dan keberagaman dalam satu gerakan yang utuh.

“Tak banyak organisasi yang bisa menyatukan ulama, seniman, santri, mahasiswa, hingga TNI-Polri dalam satu forum. Kami ingin menjadi jangkar kebangsaan di tengah ombak zaman,” pungkasnya.


Audiensi ditutup dengan komitmen bersama antara Kodim 0825 dan GM FKPPI Banyuwangi untuk terus memperkuat peran strategis generasi muda dalam merawat nilai-nilai Pancasila, melalui pendekatan yang humanis, kultural, dan solutif.


Dandim menyatakan kesediaannya untuk menghadiri langsung dua agenda utama, yakni Diskusi Publik dan Inagurasi Malam Puncak Peringatan Hari Lahir Pancasila, sebagai bentuk dukungan nyata terhadap gerakan kolaboratif yang digagas GM FKPPI PC-1325 Banyuwangi. 

(sumber: Biro Publikasi dan Dokumentasi GM FKPPI 1325 Banyuwangi)

Dunia Obah, Kata Bergelombang: Malam Sastra di Banyuwangi Bersama Tengsoe Tjahjono

Banyuwangi, ( Warta Blambangan) Kamis malam (29/5/25) — Angin berembus pelan di palinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. Bulan separuh wajahnya menengadah, menyaksikan kata-kata menari di udara. Dunia itu obah, dunia itu berubah. Seperti air yang tak mau diam, sastra pun mengalir, menggulung logika dan rasa dalam satu gelas wacana.

Malam itu, Dewan Kesenian Blambangan (DKB) memanggil para pencinta kata dan perenung makna. Di antara mereka, hadir sosok yang telah menakik kata menjadi senjata pemahaman—Dr. Tengsoe Tjahjono, sastrawan dan akademisi dari Universitas Brawijaya. Ia tak datang sebagai guru, melainkan penyala api kecil di tengah semesta yang gelap oleh repetisi. 

Didampingi oleh Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, diskusi ini bukan sekadar ajang bertukar pikiran. Ia adalah perjamuan batin, tempat kenyataan dirajam oleh pertanyaan dan keindahan dibalut kesadaran. Tengsoe membuka perbincangan dengan metafora yang menghentak, “Di tangan ilmuwan, A menjadi A. Tapi di tangan penyair, A bisa menjadi A plus.”

Dan malam pun mulai menggigil oleh kehangatan makna.

Tak ada yang terlalu baku dalam diskusi ini. Kalimat-kalimat lahir seperti kabut di pagi hari—tak perlu padat, asal menyentuh. Tengsoe melemparkan sebuah renungan yang membuat banyak kepala mengangguk dalam diam. Menurutnya, penyair bukan tukang catat, tapi pemahat jiwa. “Tugas penyair bukan menduplikasi kenyataan, tapi memberi napas baru pada realita yang biasa-biasa saja,” katanya, seolah membelah langit kata yang selama ini stagnan dalam logika.

Ada pula mitos yang dibongkar malam itu. Bahwa sastrawan hidup dalam lapar, bahwa puisi hanya menyentuh angin. “Katanya sastrawan tidak bisa hidup dari sastra. Tapi lihatlah, banyak penyair yang justru hidup dari puisi. Mereka keliling dunia karena kata-katanya,” ucapnya lirih namun tajam, seperti mata pena yang menari di atas luka.

Ia mengajak semua, dari petani sampai nelayan, dari sopir sampai guru honorer, untuk menulis. Tak perlu rumit. Tak perlu jadi sastrawan dulu untuk mulai merangkai kalimat. Cukup sadari hidup sebagai teks yang menunggu dibaca, ditulis, dan diarsipkan.

Malam tak hanya berbicara tentang puisi dan manusia, tetapi juga tentang zaman yang kian lihai mencipta ilusi. Ketika pertanyaan soal AI meluncur ke udara, Tengsoe menjawab dengan senyum penuh arti. “AI itu cerdas. Tapi tidak bisa nakal. Dan justru kenakalan itulah yang melahirkan puisi,” katanya. Kalimat itu, seperti tamparan sekaligus pelukan untuk zaman digital yang kehilangan denyut rasa.

Baginya, puisi bukan sekadar teks. Ia adalah resonansi batin. Maka dari itu, ia mengingatkan agar hasil kerja mesin harus tetap melalui mata dan hati manusia. Sebab puisi, seperti juga cinta, tak bisa dirumuskan oleh algoritma.

“Orang yang menulis tapi tidak membaca, puisinya akan terasa hampa. Pengetahuannya sempit. Terlihat dari cara memilih kata dan membangun metafora,” lanjutnya. Di titik ini, sastra seolah bukan sekadar seni, tapi jalan hidup yang memerlukan asupan, olah rasa, dan napas panjang.


Tokoh dan Tekad, Imajinasi dan Sindiran

Hadir malam itu, para penjaga api kesenian Banyuwangi. Hasan Basri, Ayung Notonegoro, S.A.Wm Notodiharjo, dan Elvin Hendrata mengisi ruang dengan aura kreatif yang hangat. Dari Basecamp Karangrejo, Hakim Said datang membawa semangat nyeleneh tapi jujur. “Kita harus berani membayangkan masa depan: rumah, mobil, bahkan punya istri dua,” katanya sambil tertawa, membuat ruangan sejenak menjadi panggung lawak yang filosofis. 

Di balik canda itu, ada keseriusan yang kentara. Hakim Said menegaskan dukungannya pada geliat kesusastraan lokal. Rumah Kebangsaan, katanya, akan menjadi rumah bagi siapa pun yang mau menyulap realitas menjadi kemungkinan.

Hasan Basri, dengan suara datar namun dalam, menyentil kebiasaan lomba puisi di sekolah. “Puisi tidak seharusnya dilombakan. Tapi kenyataannya, justru dijadikan ajang kompetisi. Kita perlu rumusan baru agar ekspresi tidak dikekang format,” katanya. Ia menyinggung pentingnya membuat indikator baru untuk membaca puisi sebagai jiwa, bukan sebagai teknik.


Diskusi makin hangat ketika para peserta mulai berbagi. Seorang pemuda bertanya bagaimana caranya menjadikan obrolan di warung kopi atau tontonan televisi sebagai cerita pendek yang menggugah. Tengsoe menjawab pendek tapi menohok, “Menjadi penulis adalah menjadi pembaca yang baik. Entah itu membaca buku, membaca peristiwa, atau membaca manusia.”

Kalimat itu menggantung di udara. Seperti puisi yang tak selesai, atau mungkin sengaja dibiarkan terbuka agar siapa pun bisa mengisinya dengan tafsir masing-masing.

Sebagai penutup, beberapa peserta membacakan puisi. Tak ada panggung tinggi. Tak ada batas antara penonton dan pembaca. Hanya ada suara, dan kata-kata yang mengalir seperti sungai kecil di tengah kota yang kian berisik.

Ketua DKB menutup acara dengan catatan kecil: bahwa malam ini bukan akhir dari pertemuan, melainkan pembuka dari perjalanan panjang. Perjalanan menggali batin, menyulam lokalitas, dan menghidupkan kembali sastra sebagai denyut hidup Banyuwangi.

Dan ketika malam benar-benar turun, para penyair itu pun pulang. Tapi kata-kata mereka tetap tinggal, menggema di lorong-lorong kota, menunggu pembaca berikutnya untuk meraba dan menghidupkannya kembali.

Obahlah, dunia. Sebab kata akan selalu punya cara untuk menyusup ke dalam perubahan.

 
Support : Copyright © 2020. Warta Blambangan - Semua Hak Dilindungi
Modifiksi Template Warta Blambangan
Proudly powered by Syafaat Masuk Blog