Negeri dalam Antrean: Catatan dari Banyuwangi yang Tertahan
Oleh : Syafaat
Bayangkan begini: kau bangun pagi di Banyuwangi, ingin mengirim keripik tempe ke Denpasar, lalu mengecek peta Google. Jalur Gumitir merah pekat. Jalur Situbondo lebih merah lagi. Kapal penyeberangan di Ketapang mengantre sampai Alas Baluran, 55 kilometer dari pelabuhan. Di titik ini, kita bisa mengatakan bahwa Banyuwangi tidak sedang baik-baik saja. Ia nyaris seperti kota yang diisolasi. Bukan karena wabah, bukan karena kerusuhan, tapi karena jalan dan kapal.
Jalur Gumitir ditutup sejakdua puluh empat Juli. Ada perbaikan jalan. Katanya butuh waktu dua bulan. Itu bukan waktu sebentar bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kelancaran arus barang dan jasa. Gumitir bukan sekadar jalan raya yang membelah pegunungan. Ia adalah urat nadi. Di sanalah barang-barang dari Surabaya, Jember, dan sekitarnya mengalir menuju Banyuwangi dan Bali. Ketika nadi itu terputus, tubuh pun limbung.
Jalur utara via Situbondo sebenarnya bisa jadi alternatif. Tapi, mari kita bicara fakta: jalur utara lebih jauh, lebih padat, lebih panas. Tak banyak orang memilihnya jika tak terpaksa. Lebih-lebih sekarang, ketika kapal penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk sedang dalam mode "hemat armada". Hanya lima kapal yang beroperasi. Lima kapal untuk ribuan kendaraan per hari. Kau tahu apa yang terjadi? Kemacetan panjang. Bahkan beberapa hari lalu, kemacetan menembus Alas Baluran. Hutan itu menjadi garasi dadakan.
Saya tidak tahu siapa yang bisa tidur nyenyak dengan peta merah darah seperti itu. Saya juga tidak tahu siapa yang diuntungkan dalam situasi ini. Tapi saya tahu siapa yang dirugikan: semua orang. Ya, semua. Petani di Kalibaru, pedagang di Rogojampi, sopir ekspedisi dari Lumajang, hingga pengusaha keramik di Bali. Semua terkena dampaknya. Ekonomi tidak mengenal batas administratif. Banyuwangi mungkin punya bupati, Bali punya gubernur, tapi pasar tak punya bendera.
Sayur-mayur dari Banyuwangi—untungnya—masih diberi prioritas. Truk-truk berisi kol, wortel, dan bayam tetap bisa menyeberang. Tapi itu tidak cukup. Ada ikan asap yang terhambat. Ada sepatu kulit dari Jember yang ditunda pengirimannya. Bahkan, mobil pribadi pun harus antre berjam-jam demi bisa naik kapal. Beberapa orang memilih putar balik dan menginap. Beberapa lainnya menggerutu di pinggir jalan sambil menyeduh kopi sachet yang mulai terasa pahit. Kita mungkin bisa memuji pemerintah karena memberi prioritas pada bahan pangan. Tapi kita juga punya hak untuk bertanya: mengapa hanya lima kapal? Mengapa perbaikan jalan Gumitir tidak bisa dikerjakan dengan sistem buka-tutup? Mengapa tidak disiapkan rute darurat yang bisa membantu kendaraan ringan? Apakah harus menunggu semuanya macet dulu baru menyadari bahwa satu jalur punya efek domino sampai ke dapur rumah tangga?
Dalam cerita-cerita masa lalu, jalur Gumitir adalah lorong waktu. Ia bukan hanya penghubung Jawa dan Bali, tapi juga pembuka jalan bagi wisata, budaya, dan logistik. Orang datang ke Banyuwangi lewat situ. Orang pulang dari Bali juga lewat situ. Ketika Gumitir tertutup, seolah-olah pulau ini kehilangan separuh denyutnya.
Namun, di tengah keterpurukan ini, Banyuwangi seperti punya ketahanan batin yang tak mudah luntur. Tour de Banyuwangi Ijen—balap sepeda internasional—tetap digelar. Ratusan pembalap asing tiba lewat udara, lewat laut, lewat rute apa pun yang masih mungkin. Jalan boleh tertutup, tapi semangat menyambut tamu dunia tidak ikut ditutup. Itulah Banyuwangi. Ia seperti perempuan tua yang kehilangan perhiasannya, tapi tetap menyambut tamu dengan senyuman. Ia tak bisa mengantar tamu sampai pintu, tapi ia tetap menyeduhkan kopi.
Pertanyaannya sekarang: sampai kapan kondisi seperti ini berlangsung? Sampai kapan daerah perbatasan antara Jawa dan Bali ini dibiarkan menunggu dengan napas tersengal? Apakah kita harus terus berharap pada cuaca, pada kapal, pada proyek jalan yang tak pernah selesai tepat waktu?
Saya tidak sedang ingin menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya ingin mencatat, bahwa dalam peta merah ini, kita semua adalah titik-titik yang sedang mengantre untuk menemukan jalan keluar. Banyuwangi tidak terisolasi. Ia hanya sedang diuji. Tapi ujian yang terlalu lama bisa membuat orang kelelahan. Dan saya kira, kelelahan kolektif seperti ini bukan hal yang bisa dibiarkan. Sebab dari kelelahan lahirlah ketidakpercayaan. Dan ketika orang tak lagi percaya bahwa mereka bisa sampai ke tujuan, mereka akan berhenti mencoba.
Seorang lelaki tua duduk di emperan SPBU yang kosong. Tangki-tangki besar menganga seperti mulut raksasa yang kelaparan. Ia memandangi sepeda motornya yang tak bisa bergerak, seperti manusia yang kehilangan tulang punggungnya. Bahan Bakar Minyak tak lebih dari cairan hitam pekat, tetapi ia menyambung urat nadi bangsa ini. Lalu, seseorang dari kejauhan bertanya dengan getir, “Kenapa kita tak siap saat sesuatu yang paling sederhana menjadi langka?” Kita hidup di sebuah negeri yang tergesa-gesa. Bangun tidur langsung menyalakan mesin. Anak-anak pun tak lagi mengenal suara rantai sepeda. Mereka tahu bunyi starter motor lebih dulu sebelum tahu caranya menyeimbangkan diri di pedal. Negeri ini menjadikan BBM sebagai dewa kecil dalam rumah tangga. Tanpa BBM, tak ada pergerakan. Dan tanpa pergerakan, seolah-olah hidup tak berjalan.
Ketika Jalur Gumitir ditutup, orang-orang baru sadar bahwa negeri ini tidak punya rencana cadangan. Padahal, itu hanya satu ruas jalan yang menghubungkan Banyuwangi dan Jember. Tapi dampaknya menyebar seperti bau bensin yang tumpah: meruap, menusuk, dan tak bisa diabaikan.
Empat hari saja jalur itu tak bisa dilewati, dan Jember mulai kehabisan nafas. Truk-truk tak bisa menyeberang. Pengiriman BBM tersendat. Stok di SPBU menyusut lebih cepat daripada baterai ponsel yang tak pernah dicas. Sekolah lumpuh. ASN mulai bekerja dari rumah. Dan kita—dengan segala kebiasaan urban kita—mulai bertanya: apakah ini tanda zaman kiamat versi modern?
Lucunya, kelangkaan BBM di Jember justru lahir dari keterisolasian Banyuwangi. Karena kapal Pertamina bersandar di dermaga Banyuwangi, dan dari sanalah bensin mengalir ke berbagai kabupaten tetangga. Maka, ironi pun terjadi. Ketika Banyuwangi seolah-olah menjadi provinsi kecil yang terisolasi, dampaknya justru dirasakan paling keras oleh yang di luar sana. Seperti seseorang yang memutuskan diam, dan diamnya justru membuat gaduh dunia.
Bukankah selama ini kita menganggap Banyuwangi hanya semacam halaman belakang dari Jawa Timur? Tempat orang singgah sejenak sebelum menyeberang ke Bali. Tapi kini, halaman belakang itu ternyata menyimpan saklar utama. Sekali dipadamkan, separuh rumah ikut gelap. Kita bisa menertawakan ini, tentu saja. Tapi itu tawa getir. Sebab, kita hidup dalam sistem yang menjadikan satu komoditas sebagai penentu segalanya. BBM tidak hanya menyulut mesin, tapi juga menyulut kecemasan, ketergantungan, bahkan kekacauan sosial.
Anak-anak yang biasanya naik ojek ke sekolah, tiba-tiba harus belajar daring. Bukan karena pandemi, tapi karena bensin habis. Lalu muncul tanya yang menyakitkan: kenapa mereka tak terbiasa naik sepeda? Karena kita sudah lama percaya bahwa sepeda adalah simbol kemiskinan. Dan kemiskinan adalah aib yang harus dibakar dengan bensin. Kini, ketika bensin langka, kita tak hanya kehilangan mobilitas, tapi juga kehilangan kepercayaan diri.
Mungkin, ini pelajaran yang terlambat datang. Bahwa kita terlalu mengandalkan satu jalur, satu jenis energi, satu cara hidup. Kita terlalu percaya bahwa modernitas adalah soal kecepatan. Bahwa teknologi adalah mesin, dan mesin adalah kendaraan. Padahal, dulu sekali, manusia bisa berjalan kaki puluhan kilometer, membawa buku di punggung, dan tetap menjadi orang cerdas. Tapi kini, seorang anak tak bisa ke sekolah hanya karena motornya tak bisa hidup. Dan seorang ibu tak bisa memasak karena harga gas melonjak. Dan seorang sopir truk mogok di pinggir jalan, memandangi truknya seperti perahu yang kehilangan angin.
Negeri ini terlalu rapuh untuk bergantung pada satu hal. Terlalu besar untuk disandarkan pada satu dermaga. Dan terlalu penting untuk dijadikan eksperimen logistik. Kita membutuhkan lebih dari sekadar aspal dan bensin. Kita butuh daya tahan. Kita butuh kesiapan mental untuk kembali ke cara-cara sederhana saat dunia modern kolaps.
Barangkali sudah waktunya kita mengenal ulang kata “hemat.” Mengenal ulang sepeda. Mengenal ulang berjalan kaki. Mengenal ulang sekolah sebagai tempat bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk bertemu dan berdiskusi, walau tanpa sinyal internet. Karena jika tidak, suatu saat nanti kita akan menjadi bangsa yang bisa kerja dari mana saja, tapi tidak tahu lagi ke mana harus melangkah. Kita akan menjadi bangsa yang bisa mengisi formulir online, tapi tak bisa mengisi hati anak-anak dengan pengalaman yang bermakna. Kita akan menjadi bangsa yang berjalan cepat, tapi tak tahu ke mana. Dan semua itu dimulai dari cairan hitam bernama BBM. Ketika ia hilang, semua menjadi lumpuh. Dan kita pun terpaksa duduk di emperan, menunggu sesuatu yang kita sendiri tidak tahu: apakah truk Pertamina akan tiba, atau hidup kita akan mulai dipertanyakan ulang.
Setiap jalan menuju Banyuwangi adalah cerita. Sebagian panjang, sebagian pendek. Sebagian lancar seperti doa yang diaminkan malaikat, sebagian terjal seperti hati yang patah dan belum selesai disembuhkan. Tapi semuanya menuju ke satu tempat yang sama—sebuah wilayah di ujung timur Pulau Jawa, tempat matahari lebih dulu menyapa sebelum ke kota-kota lainnya.
Ada jalan darat. Roda empat. Roda enam. Bahkan roda seribu. Semuanya menggelinding dengan beban dan harapan. Lewat Gumitir, yang melengkung seperti alis perempuan yang sedang mengerutkan dahi. Di sanalah jalan bersandar pada tubuh gunung, menghirup kabut, dan kadang memanggul longsor. Jalur itu ditutup sekarang. Diperbaiki karena luka yang dalam. Gumitir sedang istirahat, seperti seseorang yang tak lagi kuat berdiri setelah bertahun-tahun menopang lalu lintas kesibukan.
Tapi manusia selalu mencari cara. Ketika jalur darat luka, rel kereta api tetap setia mengantar. Tak pernah mengeluh. Tak pernah membunyikan klakson. Ia hanya berjalan di jalurnya sendiri, seperti seseorang yang sudah berdamai dengan nasib. Kereta api ini tidak terburu-buru, tapi juga tidak lamban. Ia tahu persis kapan harus tiba.
Masih ada jalur laut. Dan Banyuwangi tidak pernah pelit urusan laut. Ada laut selatan, dengan ombak yang berdiri seperti tiang-tiang doa. Ombak yang menggulung tubuh peselancar dan kadang menggulung perahu nelayan. Laut itu seperti lelaki yang tidak bisa ditebak: tenang di permukaan, bergolak di dalam. Tapi Banyuwangi juga punya laut yang kalem seperti perempuan yang menutup wajahnya dengan selendang tipis. Laut itu disebut Laut Meneng. Dulu pelabuhannya bernama Pelabuhan Meneng, kini ia punya nama baru: Tanjung Wangi. Di situlah kapal-kapal besar berlabuh tanpa takut kandas, karena Selat Bali tidak pernah menyimpan pasir. Ia hanya menyimpan kedalaman.
Jalur laut ini seperti persahabatan lama. Tidak selalu ramai, tapi selalu ada saat dibutuhkan. Melalui jalur inilah barang-barang dikirim. Termasuk BBM, bahan yang bisa menghidupkan atau menghentikan peradaban, tergantung apakah ia ada atau tidak. Maka laut tidak hanya membawa ikan, tapi juga kehidupan.
Dan ketika darat dan laut belum cukup, langit dibuka. Di Banyuwangi sudah ada bandara. Bukan bandara yang besar dan bising. Tapi bandara yang bersih, wangi, dan tahu caranya menyambut orang dengan senyum. Pesawat datang dan pergi seperti burung-burung yang tidak pernah lupa jalan pulang. Dulu, orang harus naik mobil dari Jember untuk mencapai bandara. Sekarang, kereta api yang mengantar. Bandara ini tidak hanya untuk orang Banyuwangi. Tapi juga untuk orang Jember, Bondowoso, Situbondo, bahkan Bali yang ingin berbalik arah.
Tapi infrastruktur tidak hanya bicara tentang jalur. Ia bicara tentang perasaan. Ketika satu jalur tertutup, yang lain harus membuka diri. Ketika Gumitir ditutup, kereta api menjadi harapan. Ketika mobil tidak bisa lewat, kapal jadi pilihan. Ketika semuanya macet, pesawat datang seperti malaikat. Dan ketika semuanya berjalan lambat, orang-orang baru sadar bahwa perjalanan bukan hanya tentang sampai, tapi tentang bagaimana kita berjalan.
Banyuwangi memang seperti itu. Ia tidak bisa didatangi dengan satu cara. Seperti cinta, ia harus dicari dengan berbagai jalan. Kadang lewat hutan. Kadang lewat laut. Kadang lewat langit. Tapi selalu ada jalannya. Dan mungkin, di antara semua jalur itu, yang paling penting bukanlah aspal, rel, dermaga, atau landasan pacu. Tapi niat. Karena orang yang sudah berniat, akan menemukan jalan bahkan ketika jalur Gumitir longsor.
Banyuwangi itu kaya. Bahkan mungkin terlalu kaya untuk tidak diperhitungkan. Lihatlah tanahnya, subur seperti hati yang tidak pernah putus asa. Apa pun yang ditanam, tumbuh. Apa pun yang dijala, tertangkap. Apa pun yang digali, keluar emas. Iya, emas. Bukan perak, bukan batu bata, bukan mimpi. Tapi emas, yang kalau orang lain bicara, nadanya bisa berubah. Kaya, bukan berarti tidak butuh. Dan inilah kisah dari sebuah tanah yang diberkahi tapi tetap menggantungkan hidupnya pada dunia luar.
Orang-orang luar mungkin melihat Banyuwangi sebagai daerah yang bisa hidup sendiri. Ada laut, ada gunung, ada sawah, ada ladang, bahkan ada bandara. Bahkan dalam satu hari, kamu bisa melihat matahari terbit dari Pulau Merah dan tenggelam di balik Ijen. Bisa menyelam di Bangsring lalu sore harinya sudah sampai di perkebunan teh di Kalibaru. Tapi apa iya, kemegahan alam itu cukup untuk mencukupi seluruh denyut nadi kehidupan? Buah naga di sini manis. Buahnya besar-besar, warnanya cantik, rasanya menyegarkan, seperti janji yang datang di musim kemarau. Tapi buah naga tidak bisa hidup lebih dari beberapa hari di keranjang. Ia butuh keluar, menempuh perjalanan, masuk ke pasar-pasar di luar Banyuwangi. Kalau tidak, buah naga yang manis itu jadi basi di lumbung. Beberapa tahun lalu, truk-truk tak bisa keluar kota. Jalanan tertutup. Buah naga yang tadinya ditunggu-tunggu berubah jadi beban. Ia jatuh ke tanah, membusuk, dimakan kambing, bahkan jadi pupuk untuk pohonnya sendiri.
Laut di Banyuwangi tidak pernah pelit. Laut ini penuh, bahkan lebih dari cukup. Setiap pagi, perahu-perahu kecil menjemput rezeki. Pelabuhan Muncar jadi saksi. Pabrik-pabrik ikan berdiri, menyala, berbau asin. Tapi mereka juga punya batas. Ketika hasil tangkapan melimpah dan jalur distribusi terhenti, maka ikan bukan lagi rezeki, tapi dilema. Ikan-ikan tidak bisa menunggu. Mereka tidak bisa antri di gudang. Mereka harus diolah, dikeringkan, dipindang, diasapkan, diasinkan—kalau tidak, mereka busuk. Dan kalau tak lagi berguna, dijadikan tepung. Ikan yang tadinya makanan berubah jadi bubuk.
Banyuwangi itu kaya. Tapi tetap manusia. Dan manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri. Ada jeruk, ada kopi, ada cengkeh, ada beras. Tapi tidak semua bisa ditanam di tanah ini. Beberapa kebutuhan tetap harus didatangkan dari luar. Garam dari Madura. Barang-barang elektronik dari Surabaya. Obat-obatan dari Jakarta. Alat-alat berat dari Jepang. Kita hidup dalam sistem yang saling memeluk. Seperti tubuh manusia. Mata tidak bisa menggantikan perut. Kaki tidak bisa menggantikan paru-paru. Banyuwangi bisa kaya, bisa mandiri, bisa memproduksi banyak hal. Tapi tidak semua. Dan di situlah pentingnya jalur keluar masuk: jalan, rel, pelabuhan, bandara. Karena tanah yang paling subur pun tetap butuh benih. Karena laut yang paling kaya pun tetap butuh dermaga. Dan karena manusia seberkecukupan apa pun tetap butuh manusia lainnya untuk hidup.
Begitulah Banyuwangi. Kaya, tapi tidak bisa hidup sendirian.