Lagu-Lagu dan Tarian yang Tak Kita Kenal dari Suara Sound Horeg
Sound horeg tak sekadar dentuman musik; ia berubah menjadi panggung dominasi atas diam. Anak-anak disuruh iuran, lalu berjoget dengan lagu yang tak mereka kenal, sementara orang tua menutup telinga. Di balik gegap gempita itu, kita pelan-pelan kehilangan malu, kehilangan makna, dan yang paling menyedihkan: kehilangan ruang untuk mendengar suara hati.
Beberapa hari ini, linimasa kita penuh dengan perdebatan yang tak selesai tentang sound horeg. Ada yang membolehkan. Ada yang mengharamkan. Ada yang membela karena merasa mewakili "kebebasan berekspresi." Ada pula yang menolak karena merasa sedang menjaga "kesucian tradisi." Tapi seperti biasa, yang paling nyaring bukanlah kebenaran, melainkan siapa yang lebih dulu naik panggung.
Selebihnya, adalah orang-orang seperti kawan saya di desa kecil yang jauh dari kota, tetapi dekat dengan dentuman.
"Remaja-remaja diminta iuran buat sewa sound horeg," katanya. "Yang keberatan diam. Yang tak sanggup tetap iuran. Karena siapa yang berani bilang tidak?"
Saya mendengarnya seperti mendengar ayat-ayat yang tak tertulis. Sebab dalam diam mereka, tersimpan rasa takut. Takut dianggap tidak kompak. Takut disingkirkan dari pergaulan. Takut tak diajak lagi ikut lomba 17-an.
Tapi bagian yang paling menghantui saya adalah ini: setelah iuran terkumpul, anak-anak itu diminta berjoget. Joget yang tidak mereka kenal. Bukan tarian Gandrung atau kuntulan. Bukan dari tari Saman atau Lengger. Musiknya bukan dangdut atau shalawat Tapi dari entah mana gerakan yang disalin dari gawai, dari aplikasi yang mengatur tubuh manusia tanpa perlu akal dan rasa.
Saya tidak sedang mempermasalahkan gerakan tubuh. Tapi saya bertanya-tanya: apakah jiwa mereka tahu sedang diajak ke mana?
Kita ini, orang Timur, katanya penuh unggah-ungguh. Kita diajari menunduk sebelum menyapa. Kita disuruh berdoa sebelum makan. Kita diajari menyebut Bismillah sebelum melangkah. Tapi bagaimana mungkin hari ini kita memaksa anak-anak menari dengan iringan lagu yang bahkan tak berani kita doakan?
Karena lagu-lagu itu tidak menyebut Tuhan, tidak menyapa ibu, tidak memuliakan tanah yang kita pijak, tidak pula menyembuhkan luka. Ia hanya memekakkan, menggerakkan, dan lalu pergi.
Saya kira ini bukan hanya tentang sound horeg. Ini tentang bagaimana kita perlahan kehilangan malu. Tentang bagaimana dentuman dijadikan ukuran kemajuan. Tentang bagaimana volume suara menjadi patokan keberhasilan sebuah perayaan.
Ada yang bilang: ini budaya baru. Tapi budaya macam apa yang membuat kita harus memaksa orang tua mengungsi dari rumahnya sendiri?
Saya membaca sebuah surat edaran dari seorang kepala desa. Bunyinya seperti ini: Akan ada iring-iringan sound horeg yang melewati beberapa ruas jalan. Mohon warga lansia, yang sedang sakit, atau memiliki anak kecil untuk menyesuaikan diri.
Menyesuaikan diri? Dengan kebisingan? Dengan dentuman yang bahkan membuat langit-langit rumah bergetar?
Apakah kita sudah lupa bahwa dalam banyak hadis, Rasulullah tidak pernah meninggikan suara ketika lewat rumah orang? Bahwa azan pun ditinggikan hanya pada waktunya bukan untuk pamer kekuatan, tapi untuk menyeru hati?
Barangkali itulah yang hilang: suara hati.
Karena dalam sound horeg, semua harus keluar. Tidak ada ruang untuk batin. Tidak ada ruang untuk tafakur. Bahkan kadang tidak ada ruang untuk mengingat bahwa di balik dinding, mungkin ada seseorang yang sedang menyebut nama Allah, berharap bisa meninggal dalam husnul khatimah, tapi tidak bisa mendengar suaranya sendiri karena tertutup dentuman.
Dan siapa yang berani melawan? Siapa yang sanggup mengangkat tangan dan berkata, "Ini berlebihan?" Tidak banyak. Karena siapa yang berani menentang keramaian akan dianggap sombong. Karena siapa yang tidak mau berjoget, dituduh merusak suasana. Karena siapa yang mengajak berpikir, dianggap merusak tawa.
Maka orang-orang pun menepi, mencari jalan sunyi.
Mereka yang sakit harus mencari kamar yang paling jauh dari jalan utama. Anak-anak kecil dipasangi kapas di telinganya. Orang yang jantungan disuruh minum obat sebelum pawai dimulai. Semua menyesuaikan diri, bukan karena ingin, tapi karena tak kuasa menolak.
Sementara itu, sound horeg melaju seperti arak-arakan raja. Disambut sorak sorai. Ditaburi tepuk tangan. Diarak seperti pahlawan dari negeri yang kita tak tahu kapan berdirinya.
Dan kita menyebutnya kemajuan.
Padahal yang kita lihat adalah gugurnya rasa.
Saya tidak menolak perayaan. Saya tidak menolak kegembiraan. Tapi jika kegembiraan kita menyakiti orang lain, itu bukan lagi pesta. Itu penjajahan yang dibungkus warna-warni lampu strobo.
Dalam Islam, kita diajarkan laa dharara walaa dhiraara, jangan membahayakan dan jangan saling membahayakan. Tapi siapa hari ini yang berani membacakan hadis itu di tengah pesta sound horeg?
Mungkin nanti, kalau ada orang tua yang meninggal karena jantungnya tak kuat mendengar dentuman itu, kita akan bilang: Dia mati dalam merdeka. Diiringi lagu-lagu yang keras. Di hari yang meriah.
Kita akan membacakan yasin dengan pengeras suara yang lebih kecil dari sound horeg tadi. Kita akan mendoakan dengan pelan, sementara lampu-lampu panggung masih menyala di sisi lain desa.
Dan esoknya, anak-anak kembali berjoget. Lagu-lagu kembali diputar. Dan tak ada yang bertanya lagi: apakah kita masih punya ruang untuk mengingat Tuhan?
Mungkin benar: kalau tidak horor, bukan sound horeg. Tapi bila sudah terlalu horor, mungkinkah kita masih bisa pulang? Pulang ke rumah yang sunyi. Ke mushala yang senyap. Ke lantunan doa ibu yang hanya terdengar jika kita mau diam sebentar dan menundukkan kepala.
Dan semoga, sebelum semuanya benar-benar terlambat, kita masih bisa mendengar-Nya dalam sunyi. Sebab kalau tidak, kita akan hidup dalam lagu-lagu yang tak pernah kita doakan, dan mati dalam kebisingan yang tak pernah kita pahami.
Karena di dunia yang semakin bising ini, yang kita butuhkan bukan lagi pengeras suara, melainkan penjernih jiwa.
Bukan lebih banyak lagu, tapi lebih banyak makna. Bukan lebih keras volume, tapi lebih dalam penghayatan. Karena peradaban tidak tumbuh dari pesta, melainkan dari doa. Dan anak-anak tidak tumbuh dari dentuman, melainkan dari dekapan.
Mungkin kita harus kembali belajar dari suara ibu yang mendongeng pelan sebelum tidur. Dari kakek yang melagukan syair dalam temaram lampu minyak. Dari guru ngaji yang mengucapkan Iqra (bacalah) dengan nada lirih tapi menggetarkan. Karena suara-suara itulah yang dahulu membentuk kita.
Sekarang? Kita bentuk oleh apa yang kita dengar. Dan jika yang kita dengar adalah bunyi yang tak bermakna, jangan heran jika hidup kita pun jadi kehilangan arah.
Saya kira, kita butuh senyap. Kita butuh jeda. Kita butuh hening, agar bisa mendengar lagi suara yang pelan, tapi dalam. Suara hati. Suara Tuhan. Suara yang tak perlu panggung, tapi cukup hadir di dalam dada.
Dan jika suatu hari kita bertanya mengapa kampung kita jadi asing, mungkin jawabannya bukan karena pendatang, tapi karena suara-suara yang tak pernah kita kenal telah mengambil alih ruang-ruang yang seharusnya suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar