Rumah yang Bernama Indonesia
oleh : Syafaat
Tidak ada rumah yang sempurna. Bahkan rumah yang dibangun dengan cinta pun bisa bocor di musim hujan. Gentengnya bisa bergeser, dindingnya bisa retak, lantainya bisa menjadi dingin saat malam tiba. Tapi rumah tetaplah rumah. Tempat kau kembali setelah dunia terlalu gaduh, tempat kau menyimpan luka dan tawa, tempat di mana bau kayu tua dan masakan ibu bertahan lebih lama dari ingatanmu sendiri.
Indonesia, rumah besar ini, tak pernah mengklaim dirinya sempurna. Ia hanya berdiri seadanya, dengan fondasi yang ditanam oleh peluh para petani dan darah para pemberontak yang menolak dijajah. Ia berdiri dari doa-doa ibu di lereng gunung dan dari air mata istri nelayan yang setiap pagi menatap laut tanpa tahu apakah suaminya akan pulang. Rumah ini kini sedang dalam masa yang tak mudah. Tapi bukan karena cintanya telah padam. Bukan pula karena tiangnya patah. Ia hanya sedang terlalu banyak dihuni oleh tangan yang lupa caranya menyapu halaman. Oleh mulut-mulut yang rajin menyalahkan, tapi enggan memungut sampah di depan pintu. Namun rumah tetaplah rumah. Kau boleh marah saat listrik padam. Boleh mengeluh saat harga beras melonjak dan suara rakyat tenggelam dalam rapat-rapat yang terlalu dingin karena pendingin ruangan. Tapi jangan pernah kau menjelekkan rumah ini di hadapan orang luar. Karena jika satu atap roboh, semua akan kehujanan. Jika satu dinding runtuh, kita semua akan kehilangan tempat bersandar.
Korupsi, ketidakadilan, kerusakan lingkungan—itu bukan hanya isu. Itu adalah retakan kecil yang kadang tak kasatmata, tapi jika dibiarkan, bisa membuat temboknya roboh. Rumah ini tidak membutuhkan penghuni yang sempurna. Ia hanya butuh orang-orang yang tahu cara menambal dan membersihkan.
Di sudut-sudut negeri, ada orang-orang yang setiap hari menambal retakan itu dengan tangan kosong. Seorang ibu yang menenun di Flores, seorang anak yang menyusuri jalan berlumpur ke sekolah, seorang nelayan yang bertarung dengan gelombang agar ada nasi di piring malam nanti. Mereka bukan pahlawan di buku sejarah, tapi mereka adalah tiang-tiang yang tak pernah tumbang.
Indonesia bukan sekadar pulau-pulau. Ia adalah ruang batin. Tempat seorang Dayak duduk berdampingan dengan seorang Batak di bus malam, tempat seorang Madura menyeduhkan kopi untuk seorang Sunda yang baru datang dari kota. Kita tak perlu mengenal semua wajah, cukup mengenali bahwa kita sama-sama penghuni rumah yang sedang belajar saling mengerti. Dan seperti rumah mana pun, ia butuh dirawat. Butuh dipeluk. Bukan oleh kekuasaan, tapi oleh keikhlasan.
Ketika dunia semakin gaduh dan bangsa-bangsa saling melotot, rumah ini hanya ingin tenang. Ia tak meminta semua setuju, ia hanya ingin semua sadar bahwa perbedaan bukan alasan untuk saling menyingkirkan.
Banyak yang ingin rumah ini gagal. Dari luar dan dari dalam. Tapi harapan tidak pernah mati jika masih ada orang yang menyalakan lilin meski tahu malam akan panjang. Jika masih ada yang menatap merah-putih dengan mata yang basah, bukan karena sedih, tapi karena cinta yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kalimat. Tidak perlu menjadi pahlawan. Cukup menjadi tetangga yang tahu kapan harus mengetuk pintu dan kapan harus membantu memperbaiki pagar. Rumah ini tidak akan utuh karena satu orang hebat, tapi karena semua orang saling menambal retaknya.
Kita dulu bangsa besar. Bukan karena senjata, bukan karena tambang, tapi karena semangat yang menyala di dada-dada yang nyaris tak punya apa-apa. Guru-guru berjalan kaki membawa buku, petani-petani menanam doa di sela benih, ibu-ibu melilitkan kain di tubuh anak-anaknya sambil mengajarkan sabar.
Saat dunia masih gelap oleh penjajahan, negeri ini memekikkan kemerdekaan. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk dunia. Kita menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika bukan untuk pamer diplomasi, tapi untuk menyatakan bahwa keadilan bisa dibicarakan, bahwa kemerdekaan bisa dijemput bukan hanya dengan peluru, tapi juga dengan puisi dan jabat tangan.
Negeri ini pernah mengirim guru ke negeri-negeri lain. Tanpa berharap balasan. Karena kita percaya, cahaya yang dibagi tidak membuat pelitiknya sendiri padam. Sekarang mungkin kita tertinggal. Jalan mereka lebih mulus, gedung mereka lebih tinggi, uang mereka lebih kuat. Tapi itu bukan akhir cerita. Sebab rumah bukan dinilai dari cat dindingnya, tapi dari bagaimana penghuninya menjaga nilai-nilai yang dibangun sejak awal. Masalah negeri ini bukan pada kekurangan, tapi pada lupa. Kita lupa bahwa rumah ini harus dijaga bersama. Kita mulai saling curiga, saling membandingkan, saling menyalahkan. Padahal rumah hanya ingin dihuni oleh mereka yang tahu cara saling menyapa.
Tapi belum terlambat. Dindingnya masih berdiri. Ada bunga yang baru tumbuh di pekarangan. Masih ada anak-anak yang menatap huruf pertama dengan mata berbinar. Masih ada remaja yang bisa menulis kode dan puisi dengan imajinasi yang lebih kaya dari APBN. Rumah ini belum habis. Yang kita butuhkan bukan pidato baru. Bukan jargon. Bukan perayaan dengan kembang api. Kita hanya butuh ingatan—bahwa kita pernah menyala, dan bisa menyala lagi.
Tidak perlu menjadi bangsa yang sempurna. Cukup menjadi keluarga yang tahu bagaimana cara menjaga rumah. Karena rumah ini, betapa pun retaknya, tetap milik kita. Dan jika kita bisa saling menjaga, pekerjaan berat pun bisa berubah menjadi ladang harapan. Yang pernah menyala, tak akan selamanya gelap. Asal ada yang rela meniup bara dengan sabar. Asal ada yang tahu bahwa rumah ini dibangun dari sabar, dari luka, dari doa-doa ibu yang tidak pernah lelah meski malam-malam makin sunyi.
Rumah ini indah. Bukan karena emas dan tambangnya. Tapi karena ia dihuni oleh orang-orang yang pernah bersumpah untuk saling menjaga. Namun sumpah itu sekarang terdengar seperti gema. Tak jelas. Tak bulat. Kadang sekadar seremonial yang diulang tanpa jiwa. Permata-permata itu masih ada. Tapi ia hanya bisa digali oleh tangan yang bersih dan niat yang jernih.
Dan rumah ini, yang dibangun oleh syuhada dan tangis diam para perempuan tua, tidak boleh dikelola dengan rakus. Jika rumah ini ladang, hasilnya harus bisa dimakan semua orang. Bukan hanya mereka yang memegang kunci gudang.
Masjid boleh megah. Tapi adzan harus tetap lebih nyaring dari suara mesin tambang. Al-Qur’an masih dibaca, tapi isinya harus sampai ke keputusan-keputusan penting. Sekolah agama jangan hanya ramai saat pagi, tapi harus menghidupkan kasih sayang dan keadilan sampai ke ruang sidang. Anak-anak rumah ini harus belajar menanam, bukan mencuri. Belajar memetik, bukan merampas.
Dan jika suatu saat mereka cukup dewasa, biarlah mereka menggali permata itu dengan dzikir, bukan dengan tipu daya. Sebab permata yang digali dengan dzikir akan bercahaya lebih lama daripada permata yang dicuri dalam gelap.
Rumah ini bukan milik kita semata. Ia adalah titipan masa lalu dan warisan masa depan. Maka jagalah ia sebagaimana kau menjaga tubuhmu: diberi makan yang baik, dibersihkan dari penyakit hati, dan dilindungi dari hawa nafsu yang membutakan. Karena rumah ini akan bertanya padamu kelak: Apa yang kau lakukan saat rumahmu hampir retak? Apakah kau memperbaiki, atau justru ikut menambahi retaknya?
Jika yang kau jawab adalah kebaikan, rumah ini akan tetap berdiri. Tidak hanya di bumi. Tapi juga di langit.
Karena rumah ini, meski letih, masih percaya pada cinta.Dan cinta yang setia—akan selalu menemukan jalan untuk pulang.
.
Komentar
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar