Lima Orang Pemenang Judol yang Akan Dipidana
Oleh : Lensa Banyuwangi
Saya tidak tahu siapa yang pertama kali merekam mereka. Lima orang itu. Diarak dari gedung yang dingin ke mobil tahanan yang catnya sudah kusam. Wajah mereka seperti halaman buku yang tak lagi dibaca: ada yang kosong, ada yang kusut, ada yang penuh coretan nasib.
Media menyebut mereka “peretas judi online yang merugikan bandar.” Saya berhenti di kata “merugikan bandar.” Seperti ada humor gelap yang disisipkan Tuhan di situ. Bukankah bandar selalu menang? Bagaimana bisa ada orang yang merugikannya?
Mungkin saya terlalu banyak menonton film. Dalam film-film itu, bandar adalah tokoh yang kebal peluru, kebal hukum, kebal waktu. Ia seperti raja di negeri yang tak terpetakan. Kita tidak tahu di mana ia tinggal, tidak tahu wajahnya, tapi semua orang tahu kekuasaannya nyata. Orang yang kalah padanya tidak pernah berpikir untuk melapor. Mereka menerima kekalahan seperti menerima musim hujan—basah, dingin, tapi wajar.
Namun lima orang ini berbeda. Mereka bukan penjudi biasa. Mereka seperti pemburu yang masuk ke hutan, mencari celah dalam pagar, dan menemukan jalan rahasia yang membawa mereka langsung ke dapur istana. Mereka mengambil sesuatu di sana—entah uang, entah kebanggaan bandar—dan kabur. Lalu, seperti dalam semua kisah yang sudah diatur, mereka tertangkap.
Polisi bilang mereka bisa melacak lima orang ini dengan teknologi. Saya percaya. Teknologi adalah mata-mata yang tak pernah tidur. Ia bisa masuk ke ponsel Anda, komputer Anda, bahkan ke mimpi Anda. Tapi anehnya, mata-mata itu hanya tajam ke arah tertentu. Ia bisa melihat para peretas yang merugikan bandar, tapi tidak bisa melihat bandar itu sendiri.
Saya bertanya-tanya: bandar ini sebenarnya siapa? Apakah ia manusia biasa dengan rekening di bank lokal? Apakah ia organisasi yang punya kantor seperti perusahaan, lengkap dengan meja resepsionis dan mesin fotokopi? Ataukah ia sekadar nama yang bersembunyi di balik layar server di negeri yang jauh? Polisi bilang mereka tidak mengenalnya. Tapi entah mengapa mereka selalu tahu pencurinya.
Di warung kopi, seorang teman saya tertawa kecil mendengar berita itu. “Kalau begitu, kita bisa bikin laporan juga. Lapor ke polisi karena kita kalah judi.” Ia mengucapkannya sambil menyendok gula, seperti bicara hal yang sangat wajar. “Kita dirugikan, sama seperti bandar itu dirugikan.”
Saya membayangkan betapa absurdnya pemandangan itu: orang-orang berbaris di kantor polisi, membawa bukti tangkapan layar saldo mereka yang habis. “Pak, saya dirugikan secara sistematis. Saya sudah setahun main, tak pernah menang.” Polisi mungkin akan tertawa, atau mungkin akan menatap mereka seperti menatap anak-anak yang mengadu kehilangan layang-layang di musim hujan.
Tapi bukankah logikanya sama? Kalau bandar bisa melapor karena dirugikan, kenapa pemain yang kalah tidak? Perbedaan utamanya adalah arah kekuasaan. Bandar punya nama yang tak terlihat tapi berat, sedangkan penjudi hanya punya nama di KTP.
Saya tidak ingin membela lima orang itu. Saya juga tidak ingin membela bandar. Saya hanya resah melihat cara dunia menimbang keadilan. Timbangan itu seperti milik pasar tradisional yang sudah karatan: jarum penunjuknya condong sebelum barang diletakkan. Kita yang melihatnya hanya bisa mengernyit, lalu kembali ke pekerjaan masing-masing.
Ada orang yang percaya bahwa setiap ketidakadilan akan dibalas suatu hari nanti. Balasannya tidak selalu datang di dunia. Bisa jadi datang di tempat yang kita tidak tahu arahnya, tidak tahu bentuknya. Di situlah letak kesabaran yang paling sulit: menunggu keadilan yang tidak kita tahu kapan datangnya.
Tapi sementara itu, dunia terus berjalan. Judi online terus berputar, seperti kipas angin yang berdecit tapi tak pernah berhenti. Orang-orang kalah setiap hari. Sebagian menerima kekalahan itu dengan pasrah, sebagian mencoba mengakali sistem. Dan seperti yang sudah-sudah, mereka yang mencoba mengakali akan menjadi berita, sedangkan yang menguasai sistem tetap menjadi bayangan di balik layar.
Saya ingat, suatu kali, seorang kawan bercerita tentang pamannya yang kecanduan judi. Bukan judi online, tapi judi kartu di kampung. Pamannya sering kalah, tapi terus bermain. “Dia bilang, sekali saja menang besar, dia akan berhenti,” kata kawan saya. Tapi kemenangan itu tidak pernah datang. Pamannya meninggal dengan utang yang lebih besar daripada semua kemenangan kecil yang pernah ia dapat.
Bedanya, di kampung, bandar judi itu orang yang kita kenal. Kita tahu rumahnya, tahu motornya, bahkan tahu ia suka makan pecel di warung siapa. Tapi tidak ada yang melaporkannya. Sebab di kampung, melapor sama saja dengan memutuskan untuk hidup tanpa teman. Di kota, atau di dunia maya, bentuknya lebih rumit. Kita bahkan tidak tahu siapa yang harus dilaporkan.
Mungkin itu sebabnya, setiap kali saya membaca berita seperti ini, saya hanya bisa tersenyum hambar. Dunia memang tidak dirancang untuk adil kepada semua orang. Ada yang dilindungi oleh undang-undang, ada yang dilindungi oleh jarak. Ada yang bisa ditangkap hanya dengan jejak digital, ada yang tetap bebas walau seluruh dunia tahu perbuatannya.
Lima orang itu, sekarang, mungkin sedang duduk di sel yang dingin. Mereka mungkin menyesal, mungkin tidak. Bandar itu, entah di mana, mungkin sedang tertawa kecil sambil menghitung keuntungan hari ini. Dan kita, penonton yang duduk di rumah, hanya bisa menatap layar dan bertanya dalam hati: sampai kapan Tuhan akan diam?
Sebab kalau ada satu hal yang membuat saya gelisah, itu adalah keheningan. Keheningan yang panjang, yang membuat kita bertanya-tanya apakah kita sedang diuji, atau sedang diabaikan.
Komentar
Posting Komentar
Jaga kesopanan dalam komentar